Ternyata Gini Rasanya Kuliah S2
- Caecilia Sherina
- 18 Nov 2024
- 5 menit membaca
Diperbarui: 16 Nov 2024
Aku sebenarnya nggak punya ekspektasi sebelum memulai perkuliahan. Maksudku, ya aku nggak membayangkan akan seperti apa kuliah S2 dan kayak apa temen-temen kuliahnya. Yang ada di otakku saat itu cuma, gimana caranya aku bisa keluar dari Indonesia tahun ini juga? Aku udah nggak tahan pengen kabur dari masa laluku yang cukup kelam dan bombastis.
Baca kisah masa laluku di sini: Akhir dari Tragedi Dharma Putra.
Tapi sepertinya orang-orang di sekitarku punya ekspektasinya masing-masing tentang perkuliahanku. Kayak misalnya, ibu angkatku beranggapan bahwa kuliahku pasti lebih banyak praktek daripada teori karena aku masuk Hochschule (sekolah tinggi) bukan universitas, dan beliau benar.

Kuliahku di semester 1 ini bahkan nggak ada ujian tertulis yang kayak di Indonesia, modelan pilihan ganda gitu. Hehe. Semua ujiannya dalam bentuk academic paper (10-15 halaman) dan presentasi kelompok. Bahkan ada 1 mata kuliahnya yang ujiannya bikin majalah dan video dokumenter. Jadi kita boleh syuting di studio kampus. Seru nggak tuh?


Cara belajar di kampus juga menarik. Ada ekskursi ke tempat bersejarah, ada banyak buku yang harus dibaca dan studi kasus yang perlu dianalisis. Secara umum, aku puas dan senang bisa kuliah di Hochschule Neu-Ulm, Fakultas Manajemen Informatika, jurusan Communication and Design for Sustainability (CDS) ini.
Ngomong-ngomong soal jurusan CDS, kuliah S2 di sini ada 3 semester. Semester pertama tentang pengenalan materi sustainability dari perspektif ekonomi, marketing dan sejarah seni desain. Semester dua pendalaman seni komunikasi dalam menciptakan produk atau model bisnis yang berkelanjutan. Terakhir, semester 3 thesis menciptakan produk atau model bisnis yang sustainable.
By the way, masih ada kemungkinan aku salah menjelaskan isi jurusan ini karena aku baru semester 1, baru sotoy aja. Nanti di akhir kuliah akan aku cek lagi bener atau enggaknya ya.
Balik soal ekspektasi, aku juga punya beberapa teman yang menganggap bahwa kuliah S2 pasti isinya orang-orang pintar, pemikir, berpengalaman, dll. Tapi ternyata... mereka salah! Hehehe.
Faktanya, ada banyak alasan kenapa seseorang kuliah S2. Alasannya nggak melulu karena suka belajar dan butuh gelar. Justru kebanyakan dari kami ya alasannya simpel banget: butuh visa buat tinggal secara legal di Eropa.
Yup, kalau boleh jujur, alasanku kuliah S2 juga karena itu. Aku cuma butuh visa buat kerja legal di Eropa. Aku sebenernya nggak niat kuliah (dan mungkin karena itu aku nggak punya ekspektasi apa-apa soal kuliahnya)! Tapi buat aku sebagai orang Indonesia yang kerja di bidang perfilman, nggak mungkin banget aku bisa tiba-tiba lompat kerja di Jerman tanpa kemampuan bahasa dan koneksi orang dalam.
Soalnya, film adalah salah satu jurusan mahal di Jerman yang nggak penting banget, dan banjir pekerja. Mereka nggak butuh orang asing kayak aku buat di-hire langsung dari Indonesia. Jadilah aku pilih jalur edukasi dulu supaya bisa integrasi kehidupanku dengan orang lokal di sini. Syukurnya aku diterima S2 yang jurusannya pas dan membuka cakrawala baru dalam perjalanan karirku.
Tapi, sialnya, karena banyak mahasiswa yang kuliah cuma demi visa atau karena nggak laku di dunia kerjaan dan pengen upgrade diri, yaaa... yang tersedia akhirnya adalah mahasiswa-mahasiswa tidak berkualitas. Hehe.

Aku mengawali kuliah S2 tepat di usiaku yang ke-30 tahun. Bagi sebagian orang, mungkin itu terdengar tua banget. Harusnya udah nikah dan punya bayi satu. Tapi faktanya, aku single dan bukan yang tertua di kelas. Ada banyak mahasiswa usia 30-40; lebih tua, tapi tidak berarti lebih wiser or smarter.
Aku agak gemes ketika kerja kelompok sama beberapa mahasiswa di sini. Meskipun karakternya lucu-lucu dan bedaaaa banget, tapi namanya kerja kelompok dinilai, ya rada gemes juga kalau temen sekelompoknya o'on kan?
Berikut tipe-tipe mahasiswa lucu yang aku temui di kelas:
Si nggak bisa Enggres. Asli, ada. Beneran Bahasa Inggrisnya JELEK banget, susah dipahami oleh siapapun. Nggak ngerti lagi gimana caranya dia bisa lolos masuk sini. Meskipun orangnya baik dan lucu ya! Tapi kan kalau nggak bisa diajak diskusi kelompok, gengges juga bro! Udah gitu problemnya bukan cuma bahasa, tapi juga logika. Jadi emang dasarnya kurang pintar, ditambah lagi nggak bisa menjelaskan apa yang dia maksud. Opini dia selalu muter-muter nggak jelas ngomong apa. Dan dia juga kesulitan memahami kita ngomong, jadi sering diem aja atau nggak nyambung jawabannya. Akhirnya dia selalu ngobrol sama kita pakai ChatGPT. Kocak nggak tuh?
Si paling insecure. Ini agak sedih sih karena relate to mental health. Jadi ada temen yang memang dasarnya kurang cerdas juga, dan dia sadar banget akan kekurangannya itu, tapi bukannya jadi motivasi malah jadi nge-down ya. Susah banget kalau kita salah ngomong sedikit, misalnya kasih masukan ataupun kritik tuh langsung jadi hinaan buat dia. "Lo pinter banget ya, nggak kayak gue yang bego," adalah kalimat andalan dia di setiap waktu sampai aku geraaaahh sendiri dan minta dia stop seeing herself so badly. Tambah lagi dia suka denial dan defensif. Lengkap tuh genggesnya.
Si paling pasif. Wah, ini sih asli capek banget. Kebayang kan, motto mereka selalu, "Kalau bisa nggak usah ngapa-ngapain, kenapa harus ngapa-ngapain?" Tapi kan masalahnya kerja kelompok ini kewajiban, bukan pilihan. Mereka paling suka diam jadi silent reader dan menghilang di saat meeting. Tanpa ba-bi-bu-be-bo. Kalau di-confront langsung semangat '45 seakan-akan tersadarkan, tapi tunggu aja beberapa minggu lagi juga balik semula.
Si paling damai. Yang ini kocak. Sebenernya cinta damai itu kan positif ya. Cara bicara dia lembut, selalu positif dan menenangkan hati semua orang. Tapi masalahnya kalau segala hal dibikin damai tuh malah bikin ketidakadilan tau! Ada kalanya, yang salah memang harus ditegaskan salah, bukan malah dimaafkan dan dimengerti. Sementara yang benar ya diapresiasi benar, bukan malah dikecilkan dan disuruh memaafkan yang salah. Sempet gue kesel banget (tapi nggak mau marah di grup biar nggak drama), jadi setelah selesai online meeting sampai nangis gue sendirian di kamar. Capek banget, burn out ngelihat kelakuan bocah-bocah konyol. Kuliah S2 kok kayak masih SMA.
Si paling nanya. Ini juga sama lucunya. Senang bertanya harusnya jadi sisi positif kan? Tapi bayangin dong kalau setiap hal kecil harus ditanyain, lantaran dia males baca yang benar dan teliti! Asli setiap hari tuh nahan mulut suciku untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang menohok. Karena kalau bisa direct, pengen aku teriakin, "Woy, baca pake mata jangan pake dengkul!"
Saking seringnya nahan marah (aku kalau nahan marah tuh sambil ketawa), temen-temen tuh sampai ngakak dan nyuruh aku, "Udah Cil, tenang, tenang, chill." Ya kita semua tetep temenan baik di luar kampus karena mereka baik dan seru. Tapi kalau soal kerja, please lah, pinteran dikit kenapa sih? Udah ada ChatGPT, Google, udah banyak pengalaman hidup juga kan? Usia udah pada 26 tahun ke atas semua. Kenapa sih masih bersikap kayak bocah SMA.
Contoh ya, sikap yang menurut aku nggak banget dalam bekerja:
Nggak bisa hadir, terus cuma ngomong, "Sorry, gue ga bisa." >> Kalau nggak bisa hadir ya tawarkan solusi juga dong bisanya kapan? Udah kita yang capek cari waktu, sementara dia seenaknya tinggal ngomong nggak bisa. Situ anak sultan?
Kalau bikin presentasi, cek lagi lah typo dan benerin tuh yang mencong-mencong. Itu kan gampang banget. Kenapa sih kerja jelek banget yawla padahal benerin ginian juga cuma makan 1 detik?!
Dengerin masukan temen. Kalau dikasih tau tuh coba didengerin dan ditela'ah dulu. Nggak usah langsung dibantah, "Tapi.." atau repot-repot jelasin, "Iya, soalnya maksud gue tuh..." Nggak, nggak usah jelasin maksud lo apa. Intinya lo tuh salah, perbaikin, nggak usah diceritain. Kalau nggak setuju sama masukannya, ngomong pakai alasan atau balikin dengan pertanyaan, "Kenapa lo berpendapat gitu?" biar situ paham kenapa dikasih masukan kayak begini. Kita yang kasih masukan juga mikir loh, bukan asal ngomong dan bukan mau ngejatuhin ente. Kalau lo jatuh kan nilai satu kelompok jatuh?
Itu sih kisah lucu di kampus. Sekarang aku dijulukin "si anak yang (diam-diam) paling pintar." Soalnya ada dua orang yang aktif banget di kelas, sementara aku diem-diem aja. Tapi pas ujian, tiba-tiba nilaiku paling gemilang, sampai ngalahin dua orang itu. Wkwkwk.
Anyway, aku juga punya kekurangan kok. Sebenarnya aku ini pemalu, makanya nggak pernah aktif di kelas. Wawasanku juga bisa dibilang jongkok banget. Mana aku ngerti sejarah desain, Eropa, dan lain-lain? Aku kan dulu nggak pernah peduli soal begituan. Lagi pula, aku juga nggak hobi baca buku.
Tapi kalau soal nalar dan berpikir konseptual pakai logika, aku percaya diri banget. Jadi meskipun wawasanku kurang, aku nggak takut kalau harus berhadapan dengan topik-topik baru. Soalnya wawasan kan bisa cepat diselesaikan dengan nanya ChatGPT atau, ya, mulai mau baca!
Udah, gitu aja deh. Sekian kisah perkuliahan yang lucu ini!
Comments