top of page

Akhir dari CinemadaMare: Nuestro Tiempo

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 24 Sep 2018
  • 5 menit membaca

Diperbarui: 12 Jul 2024

"Selamat tidur," sahutku pada teman-teman, hampir untuk yang terakhir kalinya.

"Janji, Cil, bangunin kita sebelum pergi?" tanya Agustina dan Riccardo cemas.

"Janji."


Waktu menunjukkan pukul 5 pagi di perkemahan Lido, Venezia, Italia. Dalam 2 jam lagi aku harus meninggalkan pulau kecil ini dan terbang ke Amsterdam, lalu Indonesia. Jadilah aku terburu-buru mandi, membereskan koper, dan menyadari bahwa air mataku tidak berhenti sejak kupalingkan wajah dari teman-temanku.



Jam 6.30 pagi barang-barangku sudah siap diseret ke halte. Aku tinggalkan tendaku terbengkalai dengan beberapa barang yang ingin kubuang. Kemudian aku lari ke tenda Viktor, bermaksud mengatakan, "Arrivederci," bersama air mata yang tak kunjung berhenti.


"Viktor, wake up."


Entah kenapa perpisahan ini begitu menyakitkan. Aku membayangkan pertemuan untuk kedua kalinya mungkin hanya mimpi di pagi buta, mengingat jarak Indonesia dan Eropa yang terlalu jauh dan mahal. Mungkin dua, tiga, atau lima tahun lagi baru terulang?


Tak lama, Viktor bangun dengan wajah sayu, memeluk dan merebahkan wajahnya di pundakku.


"Aku ingin tidur seperti ini," katanya, masih memeluk.

"Tapi kamu akan membuatku ketinggalan pesawat."

"Itu lebih baik."


Viktor, musuh bebuyutanku dari awal perjalanan


Mendengar itu, aku terdiam dan semakin menangis. Brengsek, pikirku, anak film kalau bikin dialog bagus banget ya. Tapi aku tertawa setelahnya, jadi seperti orang gila, menangis lalu tertawa, melepaskan pelukan dan mengatakan bahwa aku benar-benar harus pergi.


Kemudian kuhampiri tenda Riccardo, sambil sesenggukan kupeluk erat pria paling hangat yang selalu mendengarkan keluh-kesahku. Teringat masa-masa aku sakit, kebingungan, dan kesepian. Riccardo yang selalu ada membantuku. Kuingat pula saat ia stress baru putus, lalu berubah menjadi serial tidur-satu-malam dengan berbagai wanita di festival film. (Memang dasar pria Italia, paling ahli merayu wanita.)


Bagiku, Riccardo dan Viktor adalah alasan utama bertahan di CinemadaMare. Mereka yang telah membuat hari-hariku menjadi super berwarna, meski kebanyakan aku hanya di kaffe, mengedit dari pagi hingga pagi. Kalau mereka pergi, mungkin aku sudah melalang-buana ke negara Eropa lain, menikmati visa 75 hari yang telah kuperjuangkan setengah mati.



Selesai berpelukan dengan semua teman-teman yang penting seperti CecilƩ, Charbel, dan Agustina, aku kembali ke tenda Viktor. Aneh, ia tidak tidur. Hanya duduk termangu di atas kasur tiupnya.


"Viktor, mau menemaniku ke halte bus?"

"Nggak mau."


"Harus mau, ayo." kutarik lengannya keluar dan ia pun menurut. Lalu ia bawa koper kecilku, keluar dari area kemah, sementara aku dengan tas carrierĀ 60L di punggung. Kami berjalan dalam diam, tapi anehnya terasa nyaman. Aku ingat ia berjalan di depanku, dengan jaket hitam kebesarannya—jaket yang pernah kupinjam di Kota Foligno dan Potenza, jaket yang kubawa tidur karena suhu Eropa belum bersahabat dan jaket yang selalu mengotori kasurku karena banyaknya daun tembakau tersisa dalam kantungnya.


Kita berdua duduk di halte, ditemani seorang bapak-bapak entah siapa, langit biru, laut Lido dan pemandangan pusat Kota Venezia di ujung, tertutup kabut tipis.


"Sampai jumpa Los Angeles," kataku bercanda. Dulu sempat aku bilang pada teman-teman bahwa kota Venezia terlihat seperti LA dari jauh, dan sejak itu semua pemandangan kota yang shitty kita sebut sebagai LA. Viktor tertawa terbahak-bahak.


"Semuanya aja lo anggap Amerika. Mungkin yang sudut sana seperti New York!"

Tiba-tiba bus kuning yang akan membawaku ke pelabuhan Santa Maria tiba. Bapak-bapak tadi bergegas lari dan kuikuti dari belakang. Tapi tololnya, saat aku sudah di depan pintu bus, busnya menutup dan ngeloyor pergi. Aku membisu bingung, mau teriak tapi ragu akan terdengar. Alhasil hanya bisa kutatap pria tua di dalam bus yang melaju kencang. Bapak itu juga bingung, tapi tak melakukan apapun. Aku menoleh ke belakang, memberikan isyarat pada Viktor, "What the fuck is happening?"Ā Jantungku mulai berdegup kencang, aku takut ketinggalan pesawat.


Waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Kami kembali duduk di halte, berpelukan lagi. Bersama air mataku yang tak berhenti mengalir, dan ingus dan entah apapun itu. Aku takut, pertemuan ini jadi yang benar-benar terakhir. Lama kami berpelukan, dalam senyap, hingga akhirnya bus kuning berikutnya datang.


Kali ini Viktor yang bergegas mengejar duluan. Kita letakkan koper dan tas di sudut paling belakang,Ā memastikannya aman, lalu ia menunggu di luar. Aku pikir, pintu bus akan segera menutup (belajar dari pengalaman sebelumnya). Tapi ternyata pintunya masih terbuka, sehingga insting memaksaku bergegas memeluknya, lagi, di pintu bus, seperti drama-drama Korea. Ia dari luar, sementara aku dari dalam. Kita berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Rasanya cukup lama, dan sangat emosional. Tidak ada kata yang kita ucapkan sampai detik ini.


Setelah itu pintu bus menutup dan kami melepaskan diri. Aku berhenti menangis dan melihat pohon-pohon berlalu dengan cepat. Tidak ada lagi wajahnya dari jendela. Bus melaju terlalu kencang.


"I heard an unhappy ending.

It sort of sounds like you leaving.

I heard the piledriver waltz.

It woke me up this morning."


Piledriver Waltz

Arctic Monkeys



Dua minggu berlalu, aku kembali ke Bali, melepas rindu dengan makanan Indonesia dan sahabat-sahabat tersayang, Mega, Tante Jasthi, Daniel, Ferdy, Mpi, dll. begitu pula dengan anjing dan keluargaku. Semua orang terlihat bahagia, dan kita membicarakan lebih banyak proyek ke depannya. Semua terlihat indah.


Tapi tak ada yang mengerti, kenapa malam terasa lebih berat dari biasanya. Aku menangis di malam pertama tidur sendiri. Setelah 3 bulan selalu tidur bersama teman-teman CinemadaMare, lalu tidur bersama Dhanya di Amsterdam dan Mega di Bali, kini aku melemah di kamar kosanku.


Aku juga menangis mendengarkan beberapa lagu yang kerap kunyanyikan di Italia, apalagi mengkorek-korek kembali album foto dan video selama di sana. Semuanya terasa begitu berat, tapi kupikir bahwa life goes on. Aku harus kembali fokus bekerja, dan tentunya meminta maaf pada Daniel, mantanku karena perasaanku yang berubah.


Sampai suatu pagi di hari Selasa, tiba-tiba HPku berbunyi. Nama Viktor muncul, menelepon setelah sekian lama tak ada kabar.


"Halo?" sapaku, tapi tak ada jawaban. Aku menunggu. Mungkin ini masalah koneksi.

"Hola?" tak lama terdengar suaranya yang khas. Ia terdengar ragu, tapi kemudian tertawa, "How's life?"


Aku menahan tangis, lega, akhirnya kudengar lagi suaranya yang bodoh itu setelah dua minggu berlalu.


"Jam berapa di sana? Di sini jam 5 pagi, dan temanku sedang mampir. Tadi aku tanya ke dia, 'Hei, mau lihat film anak cineze?' Dan kuputarkan filmmu yang itu. Dia tertawa dan menanyakan pertanyaan bodoh..."

Viktor melanjutkan, "Tapi aku berpikir, sepertinya lawakanku di sana banyak yang kasar dan jahat. Jadi aku mau minta maaf. Aku benar-benar berharap kamu memaafkanku."


Kok..?

Apaan sih? Gue udah nggak inget-inget beginian, "I'm just glad that I could hear you, and I'm very happy for that. Lo nggak tahu seberapa gilanya gue sampai nanyain Riccardo, 'Si Viktor kenapa ya diem aja? Jangan-jangan marah sama gue?'"


"Nggak, lo mesti tau juga bahwa HP gue rusak, internet juga rusak, dan gue masih nungguin HP gue dibenerin. Sekarang pun gue minjem HP temen. Dan.. gue takut kalau gue telepon lo, lo udah berubah," suaranya melemah, "Mungkin lo yang benci gue, mungkin lo jadi dingin, atau mungkin lo bakal marah."


Kita berdua ngakak, sama-sama menyadari bahwa pemikiran kita bodoh. (Dan gue nggak sadar kalau gue mengartikan seluruh percakapan ini ke dialek Jakarta. Haha.. mungkin kalau dia orang Indonesia, kira-kira seperti ini kita akan berbicara.)


Terakhir, Viktor menambahkan, "Mungkin Riccardo nggak cerita, hari itu saat lo pergi dengan tas besar naik bus. Gue nangis nggak karuan, tapi terus gue mikir, 'Hmm.. aku harus menjadi pria dewasa.' Jadi gue mencoba berhenti nangis, buru-buru balik ke tenda dan tidur. Gue kira habis bangun, gue bakal segar dan berhenti menangis. Ternyata nggak. Gue nggak bisa berhenti, dan Riccardo yang lihat gue nangis pertama kali."


Enam puluh lima hari bersama. Dua puluh hari berlalu, dan aku masih berjuang mematikan emosi.


"Badai Tuan, telah berlalu.

Salahkah kumenuntut mesra?"


Sampai Jadi Debu

Banda Neira



Comments


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page