(Hampir) Menjemput Ajal di Pulau Harapan
- Caecilia Sherina
- 6 Jul 2024
- 7 menit membaca
Diperbarui: 27 Jul 2024
Di suatu hari yang cerah, aku dan seorang kawan lama mengobrol di telepon sambil beride, "Open trip ke Kepulauan Seribu yuk?" "Hayuk." "Pulau yang mana?"
Kita berdua langsung Google paket-paket open trip yang tersedia untuk saling membandingkan. Akhirnya pilihan kita jatuh pada paket Pulau Harapan selama 2 hari 1 malam seharga Rp350.000,- dan paket ini menawarkan fasilitas yang tidak main-main:
Snorkeling + foto underwater
Island hopping
Tiket PP dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan
3x makan dan minum
Penginapan guesthouse dengan kapasitas 1 kamar 4 orang dan diacak. (Wanita dan pria dipisah.)
Kita berdua garuk kepala. Kok bisa ya harganya cuma 350 ribu dengan fasilitas sebegitu hebohnya? Maklum, kita berdua nggak pernah jalan-jalan semurah ini. Kita jadi main tebak-tebakan jumlah profit dari travel agent yang bikin open trip kayak gini.
"Bayangin, harga kapal Ferry termurah ke Pulau Harapan aja Rp92.000,- per orang per satu kali jalan. Kalau PP berarti Rp184.000,-. Lah ini 350 ribu udah dapet Ferry PP, akomodasi, konsumsi, snorkeling; BANYAK BANGET!"
Makin penasaran kan? Akhirnya kita booking dong trip murah tersebut. Dan eng-ing-eng, ini adalah perjalanan kami menjemput ajal. Unforgetable, tapi nggak akan mau kuulang.
Sabtu, 6 Juli 2024
Malam sebelumnya temenku yang booking open trip ini sudah dimasukkan dalam grup sepi yang isinya cuma 5-6 orang. Kita sudah diperingatkan bahwa Pelabuhan Muara Angke itu macet banget, jadi sebaiknya tiba 2 jam sebelum keberangkatan.
Maka pukul 4.30 pagi kita berangkat dari Cikini ke Pelabuhan Muara Angke naik Gocar dan wow, benar saja. Jalanan menuju pelabuhan macet total, bahkan semakin parah dengan adanya banjir akibat air laut yang naik. Akhirnya driver kita nyuruh kita turun untuk jalan kaki sejauh 1 km ke pelabuhan. Sebenernya jalan kaki dengan jarak segitu nggak masalah buat kami berdua. Masalahnya adalah kami harus melewati tempat pembersihan ikan di mana limbah-limbah organik berserakan, bau mencekik, serta belatung dan lumpur di sepanjang jalan sempit. Belum lagi jalanannya ramai dengan penumpang lain yang juga terpaksa jalan kaki.


Beberapa orang di jalan cukup cerdas; mereka menyewa ojek atau odong-odong untuk melewati jalan pintas tersebut. Tapi bagi kami berdua yang terlalu ngantuk dan ingin berhemat, akh... goodbye kaki yang cantik... semuanya hancur ditelan lumpur berbelatung!
(Tidak begitu tergambarkan di foto betapa kacaunya, karena mohon maap saya sudah jijik banget dan pengen tutup mata aja. Jadi yang terfoto hanya detik-detik pertama ketika kita berdua masih agak bersih.)

Tiba di Pelabuhan Muara Angke, hati agak terobati karena pelabuhannya bersih dan cantik. Sangat teratur, meski ramai oleh pengunjung. Aku dan kawanku, sebut saja namanya B, ke toilet dulu untuk cuci kaki. Ada beberapa warung di parkiran jika kamu butuh sarapan. Tapi waktu itu entah kenapa kita berdua males banget mau makan. Jadi kita langsung cari tour guide kita.
Kita pikir, kita akan bertemu dengan tour guide dan kawan-kawan open trip di pelabuhan, tapi ternyata enggak. Kita cuma dapat chat sebuah QR code untuk masuk ke dalam kapal. Bahkan QR code itu atas nama orang yang berbeda dan tanggal yang sudah lampau. Jadi kita mulai paham, bahwa pelabuhan ini sama sekali nggak peduli kamu siapa, sudah beli tiket atau belum. Asalkan kamu punya QR code, kamu bisa masuk! Petugas hanya pura-pura scan QR code di HPmu. Dan artinya, jika kamu mati di laut, nobody knows, dude. Nama kamu nggak tercatat di pelabuhan ini!
Tiba jam 7 pagi di depan kapal Kelapa Indah, aku dan B duduk-duduk dulu ngobrol, ngerokok sambil makan buah apel dan pir yang kita bawa dari rumah. Di area ini sudah tidak ada yang berjualan, hanya banyak pengunjung berpiknik makan pagi sebelum berangkat.

Pukul 7.30 pagi, kita mulai masuk ke dalam kapal dan memutuskan untuk duduk di lantai 1. Kira-kira seperti ini bentukannya (foto di bawah). Kursi-kursinya keras, berbusa tipis dan sudah robek-robek dengan lantai kayu yang terbilang kotor.
Konyolnya, seorang ibu-ibu terpeleset jatuh saat berusaha naik ke kapal. Jadi wajahnya yang sedang berteriak bisa kami saksikan dari jendela di dalam kapal, dan JBYUR dia nyemplung ke laut. Para petugas langsung bergegas menyelamatkannya dengan tali tambang dan rompi pelampung. Aku tidak tahu nasib si ibu itu akhirnya bagaimana. Hanya bisa prihatin: baru mau mulai liburan, sudah basah kuyup duluan.

Sahabat bekamku

Pukul 8.30 pagi kapal baru mulai berangkat (karena kasus ibu tercebur tadi jadi telat). Durasi perjalanan diprediksi sekitar 3 jam. Awalnya perjalanan aman, mungkin 15 menit pertama aku masih bisa tidur di kursi. Tapi setelah itu...
OMBAKNYA GEDE BANGET DONG.
Berhubung aku duduk di ujung, aku yang mual ini langsung ngomong ke temenku, "Kayaknya gue mau muntah deh." Dan sudah, habis itu kepalaku kacau. Aku cuma bisa nahan muntahan di ujung tenggorokan sambil memaksa temenku untuk bergegas minggir dengan kibasan tangan. Aku berusaha lari ke belakang mencari jendela yang besar karena aku mau muntahin semuanya ke laut. (BTW, aku lupa bawa plastik, makanya aku butuh jendela.) Saking paniknya, aku tuh sampai lupa bahwa sebenarnya tempat dudukku juga punya jendela, tapi posisinya tinggi banget. Harus rada jinjit. Sementara itu ombaknya luar binasa banget, kapal bergoyang ke sana-sini. Sambil mengetik cerita ini pun, aku masih bisa merasakan teror dan horornya.
Bayangkan ya, sebuah kapal kayu, semi tertutup dengan ratusan orang nggak jelas duduk dan tidur di lantai (udah kayak pengungsian), dan dalam kondisi goncangan dahsyat.
Jadi nggak mungkin kamu bisa berdiri dan jalan lurus, pasti jatuh. Ya, akhirnya aku jalan merangkak, melewati bapak-ibu dan anak-anak yang tertidur di lantai. Aku merangkak sekuat tenaga menuju jendela di belakang kapal.
Sesampainya di jendela, langsung kumuntahkan semua isi perutku. Mungkin aku adalah orang pertama yang muntah di kapal itu. Di sebelahku, seorang pria muda bertopi rimba memperhatikan dengan iba.
"Lo mau sapu tangan gue?" tanyanya dengan lembut sambil mengulurkan sapu tangan, seperti di drama-drama Korea.
"Nggak, terima kasih ya... Hooeekk!!!" Nggak lama setelah aku muntah, muncul seorang bapak yang juga muntah di sampingku. Sumpah ya, itu muntahan dia banyak dan bau banget. Benar-benar menjijikkan, tapi aku tidak mampu menggeser tubuhku yang sudah lemas. Posisi kapal tetap terombang-ambing dan hujan mulai turun.
Oke, mungkin kamu pikir: ombak, hujan, dan goncangan kapal terdengar biasa-biasa saja. Tapi sekarang bayangkan jika kamu harus naik "kora-kora" ini selama 3,5 jam. Apa nggak mampus kami semua di sana? š Iya, beneran tiga setengah jam. Itu adalah durasi perjalanan kami dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan. Sayang, aku nggak punya foto yang bisa merepresentasikan kondisi kapal, karena aku tergeletak tak berdaya di jendela, sambil duduk bersila diguyur hujan dan ombak yang masuk ke dalam. Selama tiga setengah jam, deru ombak besar itu menghempas wajahku dan membersihkan sisa-sisa muntahanku.
Pada 1 jam pertama, aku masih bisa tertawa tipis bersama si abang drakor di sebelahku. Ia sempat mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk menghirup udara, tapi malah ketumpahan muntahan dari penumpang di lantai dua. Kocak lah, tapi untungnya ia dan kawan-kawannya masih bisa bersenda gurau. Aku yang duduk di sampingnya memuji hebat, karena dia terlihat santai saja di dalam kapal yang terombang-ambing ini.
Tak lama, doi menawarkan topi rimbanya untuk dipakaikan padaku. Ia kasihan melihatku diguyur hujan. Memang sih, aku agak kedinginan. Tapi aku tidak ingin merepotkan, jadi tawaran baiknya kutolak.
Tapi ternyata pria bertopi rimba ini tidak menyerah. Ia kembali bertanya, "Mbak, lo capek nggak? Gua nggak bawa minum sih. Lo bawa? Ada di mana? Gua bantu ambilin."
"Ada di temen gue, di sono. Dia lagi duduk."
Aku menunjuk ke arah kursiku, di mana sobatku yang baru saja dibekam dengan bekas lingkaran di sekujur punggungnyaāduduk lemas tidak berdaya. Si abang drakor itu pun datang menghampiri kawanku dan berkata, "Bang, itu temen lo minta minum." Berkat si abang drakor itu, aku dan kawanku terhubung kembali dan aku bisa minum air putih sedikit, instead of air hujan dan air laut.
Tapi na'as, setelah dua jam berlalu, ombak malah semakin besar. Kali ini si abang drakor pun muntah sejadi-jadinya di sampingku. Tidak hanya si abang drakor, kuprediksi 90% penumpang di kapal ini (yang jumlahnya ratusan) juga pasti muntah semua. Aku bisa mendengar suara hoek-hoek dari seluruh penjuru dan bau asam yang tidak enak.
Hujan juga semakin deras, dan ombak berkali-kali mengguyur wajahku serta masuk membasahi kapal. Beberapa ibu dan bapak mencoba menolongku, menyuruhku minggir dari jendela, tapi aku menolak. Kenapa? Karena aku tidak berhenti muntah sepanjang perjalanan. Apel dan pir yang kusantap tadi pagi sudah habis semua. Muntahanku tinggal liur dan udara.
Di detik itu, aku benar-benar lemas. Kupikir ajal sudah dekat. Aku cuma bisa berdoa, "Ya Tuhan, kuatkan diriku. Kuatkan aku." (Soalnya aku kasihan sama temenku yang sendirian tergeletak di kursi sana).
Entah apa yang terjadi, temenku tiba-tiba datang dan menanyakan kabarku. Gila, kupikir, kok dia bisa berdiri?! Tapi aku terlalu lemas untuk menjawab. Jadi aku hanya bisa mengusirnya. Maksudku, sudahlah. Biarkan saja aku basah kuyup di samping jendela ini, soalnya muntahku juga nggak selesai-selesai.
Tapi ternyata temanku ini lebih drakor dari drakor yang lain. Ia pakaikan jaket cokelat mudanya padaku, lalu ia angkat tanganku satu-persatu agar aku bisa mengenakan rompi pelampung sekalian.
Asli, gua berasa bocah lagi dipakein baju. Bener-bener lemes banget nggak bisa apa-apa. Thanks banget ya, B. ššš Dan sayup-sayup kudengar suara B yang duduk di belakangku. Sementara mataku tertutup dan kepalaku tertunduk di jendela. Ia ngobrol bersama seorang ibu-ibu.
Ibu-ibu : "Habis tuh temen kamu." (sambil menunjukku yang sudah basah kuyup di pinggir jendela)
B : "Iya, Bu, kita baru pertama kali naik kapal begini."
Ibu-ibu : "Baru pertama kali juga ke Pulau Harapan?"
B : "Iya, Bu, baru pertama kali."
Ibu-ibu : "Ini adalah hukuman. Penyiksaan." (sambil mengunyah keripik)
Satu kata: epic.
Ketika ratusan penumpang hancur lebur, anak kecil teriak histeris dan menangis tiada henti, muncul seorang ibu yang asik makan keripik. HEBAT, BU. MANTAP.
Nanti, saat aku tiba di Pulau Harapan dan berkenalan dengan seluruh peserta open trip, aku baru paham bahwa kondisi ombak dan kapal hari itu memang benar-benar kacau. Ada beberapa peserta yang duduk di ujung lantai 2 bercerita bagaimana terpal di atas kepala mereka tidak ada gunanya. Di ujung area kapal habis diterjang hujan dengan kondisi terombang-ambing. Hampir semuanya muntah. Hanya beberapa yang kuat bertahan berkat Antimo dan secercah imajinasi positif.
Lucunya, semua penumpang dalam kapal jadi inget Tuhan YME dan meminta maaf seakan-akan mau mendekati ajal. Baik yang Kristen maupun Islam, semuanya tobat hari itu. Jadi kamu bisa bayangkan betapa kacaunya opening perjalanan Rp350.000,- kami.
Simak post berikutnya untuk tahu itinerary open trip di Pulau Harapan.
Comments