top of page

Aku Ingin Menjadi Bajak Laut!

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 14 Sep 2016
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 5 Agu 2024

Sebuah pesan masuk dalam inbox Facebook-ku. Sebuah pesan super singkat dari seorang pria yang baru-baru ini kukenal lewat aplikasi jodoh di Taipei.

 

“Masih bangun?” tanyanya. Pria ini adalah seorang penyanyi indie di Taiwan. Baru merintis dan cukup puitis. Kita belum pernah bertemu dan tidak memiliki hubungan spesial apapun. Kita hanyalah dua manusia yang senang membicarakan dan mengapresiasi musik. Namun hari itu, mungkin beberapa hal akan berubah.

 

“Masih. Kenapa?”

“Aku di Taman Da'an. Dekat kosanmu kan? Mau bertemu?”

 

Sejujurnya aku gugup saat membaca pesan itu. Hari sudah larut malam, tapi rasa bosan di kamar kos sendirian menghampiri. Kuterima atau tidak terima? Pikiranku dalam dilema. Tiba-tiba, ia mengirimkan pesan lain.

 

“Kamu punya komputer? Boleh aku pinjam nggak? Tiba-tiba aku ada PR dari guruku.”

“Eh, aku juga ada PR Bahasa Mandarin, sepertinya aku bisa memanfaatkanmu balik?”


ree
ree

Itu komputer di kamar kecilku


Akhirnya kami membuat perjanjian untuk saling membantu. Aku akan pinjamkan komputerku, dan pria itu wajib mengajariku Bahasa Mandarin. Tak lama pria itu tiba di depan kosan. Ia datang berkaos tanpa lengan, dengan topi beret, celana pendek dan kaos kaki bergambar wanita karya pelukis Rembrandt. Aku tidak bisa berhenti memperhatikan kaos kakinya, karena sebenarnya aku adalah pengagum Rembrandt.

 

“Hai,” katanya, sembari tersenyum padaku. Ternyata wajahnya mirip YouTuber KevJumba. Ia lanjut berbicara, “Tiba-tiba aku ingat ada PR dari kelas menyanyi. Guruku ingin aku mencatat 10 lagu yang kusuka dan 10 lagu yang ingin kupelajari. Boleh kupinjam PC-mu?”


Aku mengangguk, mempersilakannya masuk ke kamar kecilku dan menggunakan komputer. Kami tidak banyak bicara. Ia sibuk mengerjakan tugasnya, sementara aku sibuk menyelesaikan PR Bahasa Mandarinku. Sesekali kudengar ia bernyanyi, dan suaranya memang merdu.



Akhirnya kuketahui bahwa ia menyanyikan lagu 一定要相信自己 (Yīdìng Yào Xiāngxìn Zìjǐ) dari Crowd Lu, yang artinya “Harus Percaya Diri”. Aku menikmati alunan musik itu. Akhirnya setelah ia selesai, ia menghampiri untuk mengecek PRku.


“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya pria itu.

 

“Aku belum bisa membedakan suku kata ini dan ini,” aku menunjuk huruf 住 (zhù) dan 去 (). Dalam ejaan Indonesia, keduanya sama-sama dibaca cu, tapi dalam Bahasa Mandarin ada teknik tersendiri untuk membedakannya.

 

“Kamu harus memberikan sedikit udara dan membentuk mulutmu seperti ingin mencium seseorang. Coba ikuti aku! Qù! Qù! Qù!”

 

Aku berjuang, hingga membentuk mulutku seperti bebek. Tetapi hasilnya nihil, tetap salah.  Aku lelah dan menyerah, “Sudahlah, yang penting PR-nya sudah selesai. Bagaimana dengan tugasmu?” tanyaku padanya.

 

“Sudah selesai, mau jalan?”

 

Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan kita sepakat untuk pergi ke klub kecil di Gongguan dengan nama Korner. Klub ini terkenal dengan musik eksperimentalnya dan biasa menampilkan DJ muda dengan lagu orisinil. Biaya masuknya cukup murah hanya NT$ 200 (sekitar IDR 94,000 pada tahun 2016) dan itu sudah termasuk sebotol bir atau segelas cocktail.

 

Berhubung kita berdua peminum kelas medium, jadi setelah mendapatkan cap Korner di tangan, kita keluar lagi ke 7-11 dan membeli beberapa kaleng bir. Di Taiwan, sekaleng bir biasa dihargai NT$ 37 (sekitar IDR 17,500), cukup murah tapi tidak semurah bir di Beijing.


ree

“Apakah kamu tahu kalau tentara Taiwan dibayar sangat rendah?”


Tiba-tiba obrolan kami berdua menjadi sangat berbobot. Aku menggeleng, lalu meneguk birku di depan motor orang lain. Sebenarnya selain menjadi musisi, pria ini sedang menjalani masa wajib militer. Di Taiwan, setiap warga negara pria yang berumur 18-36 wajib menjadi tentara selama 1 tahun, dan bayarannya, terbilang rendah. Bahkan pria ini mengaku saat off-duty (yang mana hanya sebentar), ia tidak diizinkan tinggal di asrama dan harus menumpang dari satu kosan teman ke kosan lainnya, untuk menghemat biaya akomodasi di ibukota.

 

“Siapa sih orang gila yang mau jadi tentara di negara sedamai ini? Nggak guna! Tapi bulan depan aku akan dibebaskan. Aku nggak sabar menantikannya!”

 

Aku tertawa melihatnya menjerit ke jalanan. Setelah itu topik pembicaraan kami berpindah ke kartun Jepang, One Piece. Super random, tapi menyenangkan. Kami tertawa-tawa membicarakan kisah Luffy dan kawan-kawannya. Mungkin sebenarnya tidak selucu itu, tapi karena agak mabuk, semua yang nggak lucu juga jadi lucu.

 

“Eh, coba deh kamu bilang ini 我要成為海賊王 (wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng)!”

“Apaan itu?”

 

“Ini ucapan ikoniknya si Luffy! Artinya aku ingin menjadi raja bajak laut. Ayo coba bilang! Kamu harus teriak. Wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng!!!”

 

Jam 12 malam, kita teriak-teriak di jalanan.

 

“Wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng!!!”

 

Untung jalanan sepi. Jadi aku nggak malu ikutan menggila. Kita berdua lanjut teriak-teriak sambil jalan kaki kembali ke Korner.

 

Sesampainya di sana, aku terkesima dengan betapa sederhananya tempat ini. Di bawah tanah, dengan lampu disko seadanya. Meski pengunjung tidak begitu ramai, Korner menawarkan musik yang benar-benar berbeda dan surprisingly bagus. Beberapa musiknya sealiran dengan Sigur Rós.


ree

Korner terbagi dalam dua area. Area utama memiliki bar dan beberapa sofa kecil, sementara area kedua seperti kelas kosong dengan DJ dan mejanya di pojok. Sangat minimalis tapi syahdu. Semua orang berdansa sendiri-sendiri mengikuti irama. Hampir tidak ada yang merokok karena memang mayoritas orang Taiwan tidak merokok.


Kebetulan letak Korner di Gongguan ini memang sangat dekat dengan National Taiwan University (NTU), universitas nomor 1 di Taiwan, dan ranking ke-85 sedunia. Jadi tidak heran kalau pengunjungnya kebanyakan mahasiswa atau anak muda usia 20an.

 

Sambil menikmati musik, tiba-tiba pria itu disapa dua orang gadis temannya. Mereka bercakap-cakap dalam Bahasa Mandarin, dan aku terdiam karena kemampuanku masih pemula. Tapi tak lama kemudian, kami mulai berbaur dan berdansa bersama, minum bir lagi, tertawa, hingga akhirnya berhenti pada pukul 3 pagi. Kami semua berakhir duduk-duduk di trotoar jalan, di depan Klub Korner.


“Aku pulang dulu ya!” ujar temannya seraya pergi, berbalik badan.

 

“Aku juga pulang ya!” sahutku sambil melambaikan tangan, pura-pura mau kabur. Tapi pria itu malah tertegun dan menarik leher bajuku, “Eh! Mau ke mana! Enak aja ninggalin. Kamu mau pulang naik apa?!”

 

“Naik sepeda,” jawabku sambil menguap ngantuk. Di Taipei, ibukota Taiwan, sepeda disewakan di setiap sudut kota, tinggal membayar dengan kartu, siapapun bisa memakainya kapan saja. Fitur ini sangat nyaman ketika harga taksi begitu mahal.

 

“Kamu tahu kan kalau mengendarai sepeda dalam keadaan mabuk bisa dipidana? Kemarin aku ketahuan bawa motor sambil mabuk, dan sekarang aku nggak boleh bawa motor lagi. Kamu mau dihukum seperti aku?!”

 

“Tapi ini kan sepeda, bukan motor.”


“Nggak! Pasti nggak boleh. Ngg... Bagaimana kalau kamu menginap bersamaku saja di tempat magical. Cuma 5 menit jalan kaki dari sini kok.”

 

“Tempat magical? Apa lagi ini? Korner nggak cukup magical?”

 

Ia tertawa dan menarik bajuku. Sama sekali tidak romantis. Kita layaknya duo bestie tolol yang sama-sama suka One Piece, berjalan kaki dalam keadaan tipsy menuju tempat yang katanya magical. Dalam hatiku, aku tahu bahwa ajakan "menginap" seperti ini biasanya mengarah pada seks. Tapi orang Taiwan pada umumnya sangat baik dan sopan, dan daritadi pria ini terlihat seperti anak "baik-baik", sehingga kurasa, ia bisa kupercaya.

 

Sambil mengikuti pria itu dari belakang, kami masuk ke dalam area kampus NTU yang tadi kuceritakan, ke sebuah gedung tua yang nampaknya telah ditinggalkan. Ia mengisyaratkan padaku untuk tenang dan diam. Kami menyelinap masuk ke dalam gedung bermodalkan senter dari HP. Gedung ini berantakan dengan meja kayu dan kertas di mana-mana. Tapi ia tahu di mana kunci disimpan dan letak toilet yang masih berfungsi.

 

“Ini adalah tempat rahasiaku. Kadang kalau kepepet, aku menginap di sini.”

 

Pria itu kemudian membuka ruangan lain yang lebih berantakan dengan berbagai kardus, karton dan maket rumah-rumahan. Sepertinya ruangan ini bekas kelas anak arsitektur.

 

“Malam ini kita tidur di sini,” ucapnya seraya mempersiapkan sebuah meja pendek dengan kardus dan kertas. Lalu ia membuka isi tasnya yang berisi sleeping bag. Sementara aku, hanya bisa tertawa melihat ini semua. Jadi ini yang ia sebut dengan magical.

 

“Jangan tertawa. Ini sudah bagus loh.”

 

Pikiranku melayang pada beberapa jam yang lalu, saat pertama kali melihatnya di depan kosan. Si kaos kaki Rembrandt yang ternyata manis juga. Aku baru sadar bahwa ia selalu berusaha menjagaku. Selama berjalan ke Korner, berdansa di antara keramaian, hingga saat aku ke kamar kecil, tak pernah ia lepas memperhatikan diriku. Ia juga senang membelai kepalaku dan menghina tinggi badanku, kadang jahil memencet hidung hingga aku harus balas mengkelitik. Ia seperti kakak laki-laki, sosok yang cukup kurindukan sejak dahulu.

 

Lalu ia menyelimutiku dan memelukku dengan tangan besarnya. Waktu itu, aku merasa nyaman bersamanya. Setelah perang kelitik kedua terjadi, pria itu bertanya lagi padaku, “Masih ingat kata yang kuajari tadi sore? Qù, coba ucapkan lagi.”

 

“Qù..? Qù, qù, q..” tiba-tiba pria itu mengecup bibirku.

 

Aku terpaku. Sumpah mati aku tidak menyangka sampai sana. Mungkin memang aku yang terlalu naif, mengira hubungan kami biasa-biasa saja. Dalam kegelapan kamar dan cahaya lampu dari jalan yang menembus masuk lewat sela-sela jendela, aku melihat wajahnya samar-samar tersenyum.

 

“Apakah kamu mau..?” ia bermaksud mengatakan kata seks. Namun terhenti, dan sepertinya aku pun telah mengerti tapi kujawab, “Nggak, maaf ya..”

 

Pria itu mengecup keningku dan memelukku lebih erat, “Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa alasanku mengajakmu jalan dan membawamu ke sini, bukan untuk itu. Jangan salah paham. Aku benar-benar menikmati hari ini. Terima kasih.”

 

“Terima kasih.”

 

Malam berganti pagi, dan kami mengucapkan salam perpisahan di Stasiun Gongguan. Tidak ada janji untuk bertemu lagi, dan tidak ada rasa di antara kami. Sesudah melakukan high-five, kami berjalan menuju arah yang berlawanan untuk naik kereta yang berbeda. Beberapa bulan kemudian aku pulang ke Indonesia, dan pria itu kudengar semakin sering manggung di sudut kota Taipei.



Komentar


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page