JENESYS 2.0: Akira Kurosawa di Daio Wasabi Farm (Day 7 of 9)
- Caecilia Sherina
- 15 Mei 2014
- 4 menit membaca
Diperbarui: 25 Jan
Pukul 7 pagi tanggal 28 Maret 2014, kami bangun dan sikat gigi. Orang Jepang punya kebiasaan tidak mandi di pagi hari untuk menghemat air. Mereka juga tidak suka apabila toiletnya basah. Sementara untuk berendam air panas di bak mandi, mereka akan menggunakannya bersama-sama secara bergilir, sehingga setiap orang yang memakai bak mandi diharapkan tidak mengotori air.
Udara di pagi hari luar biasa dinginnya. Genangan air bekas hujan kemarin pun sudah keras menjadi es batu. Saya mendekatkan kaki ke heater di dalam kotatsu agar tidak menggigil. Dapat dibayangkan bagaimana nasib orang miskin di Jepang, apabila tidak memiliki heater, mungkin bisa mati kedinginan. Sarapan pagi itu sama banyaknya dengan yang semalam. Masing-masing orang mendapatkan 3 onigiri berwarna ungu, pink dan merah. Saya tidak tahu nama furikake yang digunakan untuk mewarnai onigiri, tapi yang pasti yang berwarna merah tidak menggunakan furikake, melainkan umeboshi. Lauk pagi itu juga sedap mantap : salmon, karaage, dll. Saya yakin saya sudah bertambah 1 kg selama beberapa hari di Jepang ini.

Setelah sarapan dan berfoto bersama, kami berangkat bersama ayah ke meeting point naik mobil sedan, sementara ibu dan Toshinori naik mobil yang lain. Toshinori tidak tinggal di rumah itu, ia tinggal agak jauh dan sering mengunjungi kakek-neneknya. Pagi ini ia datang untuk memberikan kami kaos kaki lucu yang terbungkus dengan cantik sebagai hadiah balasan karena semalam saya memberikan keluarganya sapu tangan batik. Saya belajar lagi kebudayaan Jepang yang unik di mana mereka sangat senang membalas budi. Bila kita memberikan mereka hadiah, mereka juga akan segera membalasnya. Kata sensei saya dulu, bila kita memberikan hadiah yang terlalu mewah untuk orang Jepang, mereka akan menolaknya karena takut tidak bisa membalas semewah itu.
Tiba di meeting point, bus sudah menanti kami. Ibu dan Toshinori tiba lebih dulu karena handphone saya tertinggal di ruang tamu, jadi ayah mengantar saya pulang lagi. Untung saya ingat tepat ketika mobil baru keluar rumah. Kemudian saya pun mencari-cari ibu dan Toshinori, maksud hati ingin berpamitan dan berterima kasih. Rupanya ia sedang membeli kue untuk kami bertiga, atas balasan hadiah yang kami berikan pagi ini. Saya senang sekali mendapatkan sekotak kue bolu Jepang. Kemudian saya meminta email Toshinori agar kami dapat keep in touch, sayangnya ibu mengatakan bahwa Toshinori belum cukup umur untuk memiliki email (atau handphone, sebab handphone di Jepang memakai email). Saya jadi heran, di rumah mereka TV sudah LCD, toilet sudah super canggih, kenapa anaknya yang sudah SMA dilarang memiliki handphone?
Kami pun berfoto lagi untuk terakhir kalinya dan segera naik ke bus. Di dalam bus ada sedikit rasa sedih dan bahagia, bahagianya tentu karena saya sudah rindu dengan rumah sendiri. Sambil bus itu berlalu, kami pun berdadah-dadah dengan orang tua angkat. Lalu kami duduk dan saling bertukar cerita. Teman saya bilang di rumah keluarga angkatnya ada kuda poni kecil. Kami pun saling memperlihatkan foto. Ada yang keluarganya hobi membuat gelang, menulis kaligrafi, ada pula yang melipat kertas origami, sementara ibu angkat saya hobinya membuat boneka. Kami pun membawa banyak cerita yang seru untuk dibagikan ke teman-teman Indonesia kami nanti.
Sekitar pukul 09.30 pagi, kami berkumpul di Daio Wasabi Farm, Kota Azumino, tempat perkebunan wasabiāsambal khas Jepang yang berwarna hijau. Tempatnya bagus sekali. Di depan pintu masuk kita dapat melihat pegunungan Alps Utara yang mirip dengan gunung Alps di Swiss. Gunung-gunung itu masih bersalju dan berwarna biru-putih. Cantik sekali.




Ditemani seorang tour guide yang berpakaian unik, kami berkeliling perkebunan seluas 15 ha. Ternyata wasabi ditanam di batu-batu kerikil dan harus senantiasa diairi. Air yang dipakai untuk tanaman wasabi turun langsung dari pegunungan Alps Utara dan suhunya selalu 15°C meski musim panas sekalipun. Kata tour guide kami, pada tahun 1990 Akira Kurosawa pernah menjadikan Daio Wasabi Farm ini sebagai tempat syuting filmnya yang berjudul Yume (atau Dreams).
Lagi-lagi saya menyaksikan kreatifnya orang Jepang dalam mengembangkan perekenomiannya. Di Daio Wasabi Farm, selain kisah Akira Kurosawa, kita juga bisa melihat-lihat perkebunan, juga bisa membeli souvenir khas wasabi. Souvenir-nya dari boneka, gantungan kunci, hingga gantungan Hello Kitty bernuansa wasabi. Mereka juga menjual makanan khas wasabi dan tanaman wasabi itu sendiri. Saya tertarik membeli es krim wasabi-nya, ternyata rasanya benar-benar pedas. Bila membeli soft ice cream cone, rasa wasabi-nya agak tersamarkan oleh susu, tapi bila membeli soft ice cream waffle, rasa wasabi-nya sangatlah kuat.
Setelah berkelana di perkebunan wasabi, kami pun berpindah tempat ke Matsumoto, Ibu Kota Prefektur Nagano untuk mengunjungi Benteng Matsumoto. Benteng ini didirikan pada abad ke-16 dan bangunannya masih terjaga dengan baik meskipun danaunya berwarna hijau penuh lumut. Seperti biasa, untuk masuk ke dalam bangunan, kami harus melepaskan sepatu dan berganti dengan alas kaki khusus. Benteng ini dibangun dengan kayu dan batu dan memiliki 6 lantai dengan tangga yang sempit dan curam.
Di dalam benteng terdapat berbagai pajangan senjata dan baju perang, lengkap dengan keterangannya dalam Bahasa Inggris. Tak lama berkeliling di dalam, saya pun keluar dan masuk ke toko souvenir. Lagi-lagi saya menemukan gantungan kunci Hello Kitty, kali ini dalam busana perang. Keluar dari toko, koordinator saya menunjukkan cosplayer berpakaian baju zirah samurai. Kami boleh berfoto gratis dengan cosplayer ini dibantu tukang foto yang mengenakan yukata. Menurut saya ini adalah servis yang sangat baik karena mempermudah turis. Tinggal sediakan 2 orang saja: cosplayer dan tukang foto. Turis tinggal meminjamkan kameranya dan foto pun jadi.


Setelah itu kami pun pergi ke restoran untuk meminjam salah satu ruangan. Di ruangan itu kami mengadakan diskusi, membicarakan hal-hal apa saja yang telah kami temui di Jepang dan dampaknya pada kami, serta membuat action plan. Action plan ini ditujukan agar setelah kepulangan kami ke Indonesia ada hal-hal berguna yang akan kami terapkan demi mempromosikan Jepang ke masyarakat luas.
Selesai berdiskusi, kami pulang ke hotel Matsumoto Kagetsu. Makan malam di hotel cukup menarik karena menunya baru: sashimi. Sayangnya ikan mentah ini sudah tidak segar lagi. Mungkin sudah menunggu kami terlalu lama untuk datang ke restoran. Seusai makan, saya dan kawan pergi keluar. Rupanya area di sekitar toko tutup setelah jam 8 malam. Suasana malam di kota ini sangat sepi dan gelap. Saya hanya berjalan-jalan sebentar melihat-lihat rokok dijual di vending machine dan kembali ke hotel untuk packing.
Baca episode berikutnya!
Commentaires