JENESYS 2.0 Beasiswa ke Jepang! (Day 1 of 9)
- Caecilia Sherina
- 9 Apr 2014
- 5 menit membaca
Diperbarui: 25 Jan
Ini dia pengalaman gue ikut program pertukaran pelajar ke Jepang selama 10 hari dalam program beasiswa JENESYS 2.0. Program ini terbuka bagi mahasiswa-mahasiswi Indonesia setiap tahunnya berkat Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkunjung ke Jakarta beberapa tahun lalu. Programnya bersifat beasiswa jadi semuanya gratis tis tis... Nggak ada biaya pendaftaran, biaya akomodasi, konsumsi, dll. Eh iya, kecuali uang saku, itu harus bawa sendiri.
Jadi, gue boleh berbangga diri nih terpilih mewakili Institut Kesenian Jakarta tanggal 21 Maret lalu untuk merasakan langsung uniknya kebudayaan Jepang, khususnya perihal animasi, dan keindahan Provinsi Chiba, Tokyo, serta Nagano.

Tanggal 21 Maret jam 5 sore, gue dateng ke bandara Soekarno-Hatta ditemenin bokap-nyokap yang happy banget karena akhirnya impian gue tercapai juga: beasiswa ke Jepang! (FYI, waktu SMA gue pernah daftar tapi gagal.) Nah, ternyata setelah tiba di tempat berkumpul, gue nggak melihat satupun bendera embel-embel JENESYS 2.0. Gue sempet gugup, takut ini cuma email prank. Gue takut ini semua tidak nyata... Terus gue takut passport gue hilang, soalnya sejak gue kumpulin paspor ke rektorat awal Maret lalu, udah nggak pernah kelihatan lagi wujudnya.
Ternyata...
Si kepala tur yang mengurus JENESYS 2.0 Batch 5 dateng telat. Dia telat gara-gara visa kami semua baru saja jadi. Oh iya, yang gue maksud kami adalah 31 peserta JENESYS 2.0 Batch 5. Seperti yang Anda lihat, gue adalah angkatan ke-5. Tiga puluh satu peserta ini datang dari Pulau Jawa dan mewakili universitas atau tempat kursus berbau Jejepangan (bisa kursus manga atau Bahasa Jepang). Saat itu, kami semua belum saling kenal.
Dan gue sempet kaget gara-gara koper mereka gede semua. Terus jaket mereka juga tebel-tebel yang sebenarnya makes sense untuk menghadapi dinginnya Musim Semi di Jepang. Namun, diriku yang lugu ini terlalu percaya diri hanya berkoper kecil dan berjaket tipis (pinjem Willy) tanpa membawa syal sehelai pun. Maka beberapa anak itu akhirnya bertanya, "Kok tas lo kecil banget? Emang muat semua baju?"
Okay, gue beberkan saja, rahasia tas kecil gue:
Gue emang nggak punya koper gede.
Gue cuma bawa 6 baju yang mostly just tank-top. Jadi tipis dan ringan.
Gue hanya membawa satu jaket tipis dan satu celana jeans dan keduanya sedang gue kenakan saat itu.
Gue berencana mencuci baju di hotel supaya bisa dipakai-ulang.
Demikian kisah tragis koper kecil gue yang nantinya akan membawa keuntungan tersendiri.
Pesawat yang akan gue naiki adalah Japan Airlines kelas ekonomi yang terbang langsung dari Jakarta ke Bandara Narita, Jepang. Berangkatnya jam 21:30 dan akan tiba jam 07:00 pagi waktu Jepang. Lamanya penerbangan adalah 7 jam, dan gue agak ketar-ketir naik pesawat setelah nonton film "Non Stop". Emang kampret itu film, belum lagi berita pesawat Malaysia hilang, semakin membuat gue ngeri. Akhirnya gue komat-kamit baca doa di pesawat setiap kali terjadi turbulence.
Setibanya di Jepang... Masya Allah dinginnya menusuk sanubari! (Ya iyalah!)
Gue nyesel senyesel-nyeselnya nggak bawa jaket tebel. Tubuh gue menggigil kayak orang tolol sambil berlari masuk dari pesawat ke bandara. Hari itu tanggal 22 Maret dan suhu di Chiba sekitar 7°C.
Sekitar jam 8 pagi, bus khusus JENESYS 2.0 Indonesia sudah datang dan kami pun berangkat menuju hotel Nikko Narita, masih di Chiba. Oh, FYI, dari Indonesia kami didampingi 1 supervisor bernama Dr. Vee. Bagi pecinta manga, mungkin tau nama beliau soalnya pernah masuk TV sebagai mangaka Indonesia pertama yang karyanya terbit di Jepang. Wah ternyata orang aslinya lebih cantik lagi daripada di televisi.

Anyway, di bus gue duduk bersama Raisa, senior IKJ Fakultas Seni Rupa. Kami berdua mewakili IKJ untuk nyicipin indahnya Jepang. Rasanya senang sekali bisa merasakan kehangatan heater di bus sambil melihat pemandangan pohon tandus... Yah, Jepang baru saja memasuki musim semi, jadi belum semua pohon bersemi. Kebanyakan masih tandus. Kalau diperhatikan, sekeliling jalanan jadi didominasi warna cokelat. Cantik deh, meskipun tandus.
Tiba di hotel Nikko, gue agak kaget. Desain luar bangunannya tua, nggak semegah Hotel Nikko Jakarta. Kamar hotelnya juga cukup kecil, khas kamar Jepang yang memang biasa sempit-sempit. Sebelum memasuki hotel, kami berkenalan terlebih dahulu dengan Takagi-san, koordinator yang akan menemani selama 9 hari ke depan. Beliau orang yang sangat luuuccuuuu..!!! Meskipun orang Jepang, beliau mampu Berbahasa Indonesia dengan fasih dan gaul, tapi tetap dengan aksen Jepang. Jadi kocak banget.

Nah, sekarang ada waktu bebas 2 jam. Gue dan teman sekamar gue, Gaby memutuskan untuk mandi-makan-pergi. Yes, gue udah nggak sabar menjejakkan kaki di luar. Buru-buru gue buka kantong plastik isi makan siang, astaga gue terkejut. Kok makanannya sebegini menyedihkan. Gue coba positive thinking dan tetap menyeduh ramen itu dengan air panas. Pas gue makan, bah! Rasa macam apa itu? Nggak enak. Gue coba makan pisangnya deh, JDYAR! Belum mateng! Asem! Gue coba makan makanan yang lain, aduh nggak ada yang sesuai lidah. Untungnya masih ada sandwich stroberi buat ngeganjel perut. Lalu gue tinggalin semua makanan itu dan cabs with Gaby.

Dan ternyata, eng-ing-eng... Di luar hotel dinginnya super parah meskipun tidak hujan. Sepanjang jalan Gaby mengeluh suara kertakan gigi gua yang berisik. Haduh maklum, baju gua terlalu tipis untuk menghadapi suhu ini. Tapi dengan hati riang gembira, gue tetep muter-muter lihat sepinya daerah ini. Lama-kelamaan karena nggak ada apa-apa dan agak membosankan akhirnya kami memutuskan pulang untuk tidur siang. (-_-)
Jam 2 siang, acara orientasi dipimpin oleh dua orang Jepang yang berbicara Bahasa Jepang. Kerennya di acara ini kita dipinjamkan alat bantu dengar, yang terhubung dengan koordinator kita tadi. Jadi ketika si pembicara cas-cis-cus Bahasa Jepang, koordinator akan mengartikan ke Bahasa Indonesia, dan kami akan mendengarnya lewat earset sebelah kiri telinga.


Presentasi sore itu menjelaskan latar belakang acara, tujuan, jadwal, dll. Dalam acara ini gue bisa melihat orang Filipina, Kamboja dan Vietnam. Beberapa dari mereka melakukan cosplay, dan sangat atraktif. Oh iya, tau sendiri nih orang Indonesia suka telat. Saat berkumpul tadi ada 3 orang Indonesia yang tidak kunjung datang. Kira-kira terlambat 1 jam lebih. Gue denger dari yang lain sih 3 orang ini nekat ke Akihabara dan tersesat di jalan. Gila, dalam hati gue. Akihabara itu di Tokyo, sementara kami masih di Chiba. Bisa dibilang beda provinsi kali ya? Intinya jauh. Jauh banget. Meskipun naik kereta juga tetep aja jauh! Nekat sekali tiga orang ini.
Akhirnya sih ketiga orang ini datang dan langsung minta maaf ke koordinator. Oh iya, koordinator Indonesia nambah satu lagi namanya Fukase-san. Beliau juga fasih berbahasa Indonesia dengan aksen Jepang. Nah, Fukase-san ini lebih blak-blakkan daripada Takagi-san. Ketika ada 3 orang menghilang, beliau langsung bilang, "Kalian tolong jaga kekompakang ya. Kalau mau pergi ke Akihabara, tunggu besok saja. Nanti kita akan ada kunjungan ke sana, jadi tidak usah pergi sendiri-sendiri ya? Itu apa namanya... Tolong dibuka halamang tiga puruh..." Begitu kira-kira aksen Indonesia-Jepangnya.
Seusai pengenalan akan program JENESYS 2.0, Kami dipersilakan mengukur suhu tubuh dan OH MY GOD! Suhu tubuh gue cuma 34°C! (Suhu normal manusia itu 36°C-37°C.) Fukase-san langsung menyeka kening gue dan bertanya, "Kamu tidak apa-apa kan?" Karena takut dideportasi, gue langsung menjawab dengan semangat, "Saya sehat loh Fukase-san!" dan kawan-kawan pun tertawa mendengarnya. Salah satu teman lalu menjuluki gue si ketek beku (karena mengukur suhunya dari ketiak dan suhu gue di bawah normal).


Makan malam di Hotel Nikko Narita terasa sangat mewah dan menyenangkan. Gue kalap. Semua jenis makanan gue lahap. Senangnya tidak punya pantangan dalam makan. Jadi gue bisa makan apapun. Saking banyaknya piring yang gue ambil, temen gue sampe bilang, "Lo kecil-kecil banyak juga ya makannya. Udah ronde ke berapa ini?" dan gue pun tertawa bahagia. Jarang-jarang bisa makan mewah sepuasnya. Ini balas dendam dari makan siang yang menyedihkan!
Setelah makan malam, gue bermain kartu dengan teman-teman sampai jam 11 malam. Pas di restoran hotel tadi gue berkenalan dengan beberapa cowok Kamboja. Tapi baru kenalan doang. Kami nggak ada kesempatan mengobrol karena meja selalu dipisahkan per negara. Alasannya Takagi-san sih, "Takut ada sengketa. Nanti kalau berkelahi, susah melerainya karena perbedaan bahasa." Ah, menurut gue ini alasan yang tidak pantas. Namanya juga program pertukaran, masa tidak dicampur. Bagaimana mau bertukar kalau masing-masing diberi dinding pembatas?
Anyway, sekian post pertama, tunggu episode berikutnya!
Comments