Menjadi Orang Tua Yang Kuharapkan
- Caecilia Sherina
- 17 Apr 2017
- 4 menit membaca
Ketika kamu berkeluarga,
kamu ingin menjadi orang tua yang seperti apa?
Catatan: tulisan ini dibuat pada bulan April 2017, saat saya masih berusia 23 tahun.
First of all, aku nggak tergila-gila ingin berkeluarga. Beberapa temanku merasa sangat penting untuk menentukan kapan ingin menikah, seperti misalnya di umur 23, 25, atau 27. Sementara aku nggak punya target sespesifik itu. (Aku bahkan nggak masalah kalau nggak menikah.)
Meskipun demikian, tetap penting buatku untuk menentukan aku ingin menjadi orang yang seperti apa di masa depan. Bila menjadi wanita karir, karir seperti apa yang ideal? Bila nanti berkesempatan menjadi ibu, ibu seperti apa yang ideal?
Aku belajar parenting (pola asuh) pertama kali dari mengobservasi ibuku sendiri, dan selanjutnya dari orang tua teman-temanku, buku serta internet. Dari hasil pengamatanku, ada beberapa mindsetĀ yang belum bisa diterima orang tua Indonesia pada umumnya, yakni:
Anak bukan properti
Anak sejatinya tidak berutang budi apapun pada orang tua
Yang muda belum tentu lebih bodoh dari yang tua
Berbuat salah itu tidak apa-apa
Anak Bukan Properti
Banyak orang tua melihat anak-anak sebagai properti atau investasi. Ya, beberapa orang tua mendanai sekolah dan menghidupi anak-anaknya dengan sengaja untuk meminta mereka menjadi alat penghasil uang dan pemuas hasrat pribadi di kemudian hari. (Aku serius soal ini!)
Teman-teman aku banyak yang hidupnya disetir dari kecil sampai besar. Nggak peduli dia suka atau nggak, ibu atau ayahnya akan memilihkan garis hidupnya. Mulai dari makan apa, sekolah di mana, kuliah apa, kerja di mana, sampai bercinta dengan siapa.
Lucunya, orang tua yang melakukan ini akan menyangkal mati-matian ketika dikritik. Mereka biasanya berdalih, "Saya menentukan ini untuk masa depan anak saya yang lebih baik." Hmm... Lebih baik? Parameternya apa nih? Baik kan nilainya relatif. Bisa jadi baik untuk dia, tapi tidak baik untuk yang menjalankan.
Kerap kali orang tua seperti ini akan berdalih, "Tapi saya orang tuanya, anak-anak ini milik saya dan saya berhak mengarahkan mereka. Saya yang tahu apa yang terbaik untuk mereka."
Ya, anak-anak mereka menjadi tidak lebih dari properti rumah, alat investasi, mesin pencetak uang dan pemuas hasrat pribadi.
If I were to have a child, aku nggak akan pernah 'memiliki' mereka seperti aku membeli sebuah rumah dan mengatas-namakannya dengan namaku. Mereka bukan barang dan aku nggak pantas menyetir hidupnya.
Tugasku adalah membimbing dengan memberi tahu konsekuensi dari setiap pilihan, dan membiarkan keputusan tetap di tangan anak itu sendiri. Aku ingin dia jatuh, bangkit, dan belajar dari semua pilihannya. Aku nggak mau dia cuma tahu kenikmatan dunia, dia juga harus tahu pedihnya terluka, disakiti dan menyakiti. Biar dia nikmati masa hidupnya yang cuma satu kali ini dengan bertanggung jawab.
Anak Tidak Berutang Budi
Aku juga nggak ngerti kenapa banyak orang mengatakan bahwa anak-anak seharusnya bersyukur, mengucapkan terima kasih karena sudah dibesarkan dengan baik, dan membalas budi orang tua. Yes, I'm asking why for real. Why?
Anak-anak tidak lahir atas keputusan mereka sendiri. Tidak satupun dari kita minta dilahirkan, jadi kenapa kita tiba-tiba jadi.. berutang budi pada yang melahirkan?
If I were to have a child, aku nggak akan minta anakku balas budi dengan tinggal bareng aku dan hidupin aku di hari tua. I'm gonna be fine on my own. Dia mau tinggal sama istri/suaminya kek, mau hidup di luar negeri kek, terserah. Yang penting dia sudah bisa menghidupi dirinya sendiri, dan selesailah tugasku membimbingnya. Dia nggak ada utang apapun sama aku.
Bila aku memutuskan untuk punya anak, adalah karena aku ingin melihat sebagian dari aku dan seseorang yang kucintai nanti lahir, tumbuh, dan berkesempatan hidup layak. Dan aku nggak akan minta dia bayar apapun karena sudah ngerepotin aku selama belasan tahun. It was my own decision, not her or him to make.

Umur Hanyalah Angka
Salah satu hal yang juga harus ditekankan adalah orang tua belum tentu selalu benar. Aku nggak suka dengan orang tua yang memegang kekuasaan absolut, merasa diri paling cerdas dan hebat, hingga mengabaikan pendapat anak yang bisa jadi brilian.
Dalam pengalamanku, aku pernah bertemu anak SD yang sangat bijaksana dan bapak-bapak yang bertingkah seperti anak SD. Intinya, umur hanyalah angka. Umur tidak bisa dijadikan faktor utama untuk menentukan tingkat kecerdasan maupun kedewasaan seseorang.
If I were to have a child, aku ingin kita bisa berdiskusi dan berdemokrasi dengan baik, sopan dan menyenangkan. Anak-anak bebas berpendapat, bertanya dan mengkritik pendapatku. Aku ingin mereka menjadi orang-orang yang kritis, jangan mau menuruti peraturan yang tidak jelas. Bila aku salah, katakan di mana yang salah dan bagaimana memperbaikinya. Kita tidak belajar untuk saling menyalahkan. Kita belajar untuk saling menyempurnakan.
Berbuat Salah itu Wajib
Dan yang buatku tak kalah pentingnya: berbuat salah. Banyak orang tua terlalu takut dan over-protective pada anak-anaknya. Mereka menjauhkan anaknya sejauh-jauhnya dari narkoba, pornografi dan segala hal yang mereka anggap buruk.
If I were to have a child, aku akan biarkan mereka paham tentang segala yang baik dan buruk. Dan aku akan selalu beritahu konsekuensi dari pilihan mereka.
Daripada mati-matian menjauhkan mereka dari narkoba, lebih baik mereka tahu bentuknya seperti apa, akibatnya apa, dan bagaimana cara menghindari serta mengatasi apabila terlanjur tergoda. Aku nggak mau jadi orang tua yang muluk-muluk. Kalau mereka jatuh, setidaknya mereka tahu apakah perbuatannya salah atau benar, dan tahu apakah itu perlu dihentikan atau diteruskan.
Begitu pula dengan pornografi. Nggak perlu aku tutup-tutupi. Lebih baik sejak dini mereka paham apa itu pornografi, bahayanya, dan bagaimana cara melakukannya dengan bertanggung jawab. Sehingga ketika mereka sudah siap dan ingin berhubungan seksual, mereka juga tahu bagaimana caranya menghargai pasangan (ini yang kurang diajarkan orang tua).
Aku ingin anak-anak terbuka dan berani berdiskusi denganku, bukan karena aku paling pintar, tapi karena aku tahu lebih dulu. Aku nggak akan judgeĀ dan ngatain mereka aneh-aneh. Everybody makes a mistake. Aku juga pernah berbuat kesalahan dan kenakalan saat muda, jadi tidak etis kalau aku menghina mereka yang baru belajar.
Ditambah lagi, berbuat kesalahan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari situ mereka belajar, maju membuat perubahan, dan menjadi orang yang lebih dewasa serta bijaksana.
Sebab kedewasaan bukan bergantung pada jumlah pengalaman, namun pada kualitas pengalaman itu sendiri. Misalnya, meskipun seseorang telah melewati 50 tahun, ia tidak akan belajar banyak hal bila selalu dilindungi dari yang negatif. Anak-anak tidak akan pernah belajar menantang dirinya, bila orang tua selalu mempermudah jalannya.
Tugas orang tua adalah membimbing, berbagi pengalaman, dan bukan menyetir.
Dan seperti inilah pola asuh yang ingin aku terapkan.
Semoga menginspirasi.
(Gambarnya memang agak nggak nyambung, tapi tetap dipakai karena menghibur.)
Comments