top of page

Apa Itu Seni?

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 2 Agu 2015
  • 3 menit membaca

Seni adalah segala sesuatu yang memiliki nilai estetika. Estetika adalah keindahan. Artinya seni adalah segala sesuatu yang memiliki nilai keindahan. Sekilas, definisi ini benar dan masuk akal hingga abad ke-19, namun memasuki abad ke-20, definisi ini tidak lagi sahih.


ree

Lukisan Prasejarah, sekitar 30.000 tahun yang lalu


Pada awalnya, sekitar 60.000 tahun yang lalu, seni, bagi manusia purba adalah suatu ungkapan akan kekagumannya pada alam. Kekaguman ini tidak semerta-merta karena alam itu indah, namun, ā€œā€¦karena alam itu ada,ā€ (Hartoko 1984, hlm. 21). Hasrat berkesenian ini, sekalipun hanya sebuah goresan garis juga merupakan suatu usaha, ā€œLeaving footprints in the sand of time.ā€ Misalnya dengan membuat proyeksi kaki manusia di sebuah batu, dll.


Selain itu, manusia juga memiliki kemampuan berimajinasi akan apa yang mungkin terjadi di waktu mendatang, atau kemampuan mengantisipasi dan bermimpi. Baik manusia maupun binatang, sama-sama dapat bermimpi, namun hanya manusia yang akan mengingat mimpinya. Dengan kemampuan semacam itu, ada sebuah hasrat untuk mengkomunikasikannya dengan manusia lain. Bentuk komunikasi ini awalnya sulit melalui ucapan karena belum ada standarisasi bahasa. Maka manusia purba pun mencoba alternatif lain melalui warna, gerakan, dan gambar.


Seiring waktu berjalan, seni mengisi fungsi lain selain pembebasan diri, tapi juga sebagai ekspresi keindahan yang difungsikan sebagai hiburan bagi para penikmatnya. Seni mencoba meniru alam yang indah, ke dalam bentuk-bentuk lain, seperti lukisan, pahatan, dll. Ini adalah awal mula dari teori mimetik Plato (mimesis: meniru). Apabila penikmat menilai sebuah karya seni dengan pandangan mimetik, maka sang penikmat akan mempertanyakan apabila ada bentuk-bentuk yang irasional, atau tidak sesuai dengan kenyataan.


Melalui pengaruh Aristoteles yang beranggapan bahwa takaran irasionalitas hendaknya memperkuat rasionalitas, maka pandangan ini mengizinkan adanya bentuk-bentuk tambahan yang tidak serupa dengan kenyataan, dengan tujuan menambah nilai estetika pada sang karya seni. Misalnya pemanjangan kaki dari patung manusia agar terlihat lebih tinggi dan menarik.


Semua konvensi karya seni ini kemudian dipatahkan di zaman romantik (sekitar abad ke-18) yang dipelopori oleh Jean-Jacques Rousseau dan disebarkan oleh FranƧois-RenƩ de Chateaubriand, seorang bangsawan Prancis. Dalam era ini, estetika romantik mengarahkan perhatiannya kepada diri si seniman dan proses kreatifnya (Hartoko 1984, hlm. 39). Kritik sastra dilihat dengan pendekatan pada riwayat hidup sang seniman, hingga hakekat sang seniman menjadi lebih penting daripada karya seninya sendiri. Pada era ini pula, karya seni begitu jujur mengekspresikan emosi atau pun aspirasi para senimannya. Tidak seperti pada era-era sebelumnya, yang sangat terpaku pada peraturan-peraturan baku estetika yang telah ditentukan oleh seniman besar dan para kritikus.


ā€œDalam teori seni yang klasik terdapat tiga unsur: sang seniman, karyanya dan si penikmat. Kemudian si penikmat dipersilakan keluar dan tinggallah sang seniman dengan karyanya. Dan akhir-akhir ini sang seniman pun dipersilakan turun dari panggung, sehingga tinggallah karya seni itu sendiri.ā€

(Hartoko 1984, hlm. 40)


Dengan demikian, dari beberapa era yang telah terjadi ini, terdapat empat cara pendekatan untuk mengkritisasi sebuah karya seni:


  • Pendekatan mimetik, di mana karya seni dikaitkan dengan kenyataan yang ada.

  • Pendekatan ekspresif, di mana karya seni dinilai berdasarkan sejauh mana karya itu mengungkapkan isi hati sang pencipta.

  • Pendekatan strukturalis, di mana karya seni dinilai berdasarkan sejauh mana karya itu merupakan suatu kesatuan yang bulat dengan strukturnya sendiri.

  • Pendekatan semiotik, di mana karya seni dinilai berdasarkan bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat melalui tanda dan lambang.


Sampai di sini, demikianlah definisi seni, segala sesuatu yang memiliki nilai estetika. Namun memasuki abad ke-20, definisi ini terpatahkan. Para seniman modern tidak lagi tertarik oleh keindahan, keharmonisan, maupun kesedapan, melainkan oleh sesuatu yang menggemparkan dan merisaukan hati. Yang dalam kesenian tradisional, disinggung saja atau disublimir, diabstrakkan, atau dilapisi cahaya keindahan; kini ditonjolkan secara blak-blakkan, kasar, dan serba menantang.


Dengan demikian seni menjadi sesuatu yang sangat subjektif. Seni tidak harus indah, dan seni tidak memiliki bentuk konvensional. Apa yang kita anggap seni, boleh jadi ditentang oleh orang lain, dan hal tersebut sah-sah saja. Seni telah menjadi suatu bentuk ekspresi yang subjektif dan baik-buruknya seni harus dinilai berdasarkan pendekatan-pendekatan budaya-psikologi-sosiologi yang tepat, agar makna dari karya seni tersebut tidak menjadi bias.


Post ini merupakan hasil rangkuman dari bab 7-10 buku:

Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

Komentar


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page