Galau Mau Kuliah di IKJ?
- Caecilia Sherina
- 14 Jun 2014
- 5 menit membaca
Hey, semua!
Apa kabar? Gue baru selesai syuting nih, lagi ngedit, tapi tertunda karena materi editan belum lengkap. Gue mau cerita soal kampus akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu seorang dosen menghampiri gue dan bilang,
"Sil, angkatan 2013 pada nge-fans sama kamu tuh. Katanya mereka baca blog kamu tentang IKJ dan menjadi lebih termotivasi."
Wah, gila, gue langsung sumringah dengernya. Senyum nggak karuan gitu deh.
Di satu sisi gue seneng karena tulisan gue memotivasi orang, di sisi lain gue baru sadar kalau blog ini sudah dibaca buanyak orang dan gue masih aja hobi nulis sesuatu yang privacy-nya tingkat tinggi. (Ngakak sambil ngapusin post-post berbahaya.)
Nah, kawan-kawan budiman sekalian, mohon maaf ya kalau gue sering menulis hal personal. Gue emang "agak" suka cari sensasi gitu, sembari melepas penat. Jadi tolong dimaklumi saja.
Baru-baru ini gue membantu syutingan kawan gue sebagai talent. Assiiikkk... Seru kan? Jarang-jarang nih gue jadi talent. Gue dapet peran sebagai seorang gadis yang menanti kekasihnya datang. Tugasnya susah gitu, mesti menangis. Tapi sialan bangetlah si sutradaranya, sengaja milih gue karena gue abis putus. Hahaha... Jadi biar gue nangis, semua crew pada nginget-ngingetin gue akan si mantan. Dasar kawan-kawan sialan! Tapi mereka memang berhasil sih... (-_-)
Oh ya, menjelang UAS, kerjaan gue bertumpuk-tumpuk nih. Agak malas gitu ngerjainnya, makanya gue malah nge-blog. Tugasnya tuh bikin makalah soal tarian Sumatera Barat sama film tentang sejarah bakso di Indonesia. Terus ditambah job-job kecil yang gue ambil dari kampus maupun dari luar kampus. Duuhh... Lelah sendiri deh terima kebanyakan. Habis ditolak sayang! Ada yang prospeknya bagus, ada pula yang uangnya bagus.
Contoh prospek bagus itu kalau gue diajak kerja sama dosen. Meskipun nggak dibayar, tapi dosen gue pasti ngenalin gue ke orang hebat lainnya, which is good kalau gue bisa maintain a good impression. Atau ada project yang honornya kecil banget, tapi kalau ditaro di portfolio, orang bakal manggut-manggut lihat pengalaman gue.
Jadi kesimpulannya: kuliah di IKJ itu bisa disambi kerja.

Lantas, apakah modal passion saja cukup untuk masuk FFTV IKJ?
Jawabannya menurut gue ya jelas, cukup. FFTV IKJ itu apa sih? Sekolah kan? Sekolah itu fungsinya apa? Mendidik kan? Yaaa... namanya kuliah, tujuan utamanya adalah belajar. Jadi kalau belum ada pengalaman ya nggak masalah. Justru masuk IKJ untuk mendapatkan pengalaman dan pelajaran.
Kalau lo ngelamarnya ke tempat kerja, misalnya stasiun televisi, baru passion aja nggak cukup. Karena di tempat kerja, mereka butuh pengalaman dan keahlian lo; nggak cuma passion. Nah, kalau di sekolah ya passion aja nggak apa-apa. Nggak passion juga nggak apa, cuman nanti jadi berat jalaninnya karena nggak suka.
Ada pertanyaan sulit buat gue dan lucunya kerap kali ditanyakan para pembaca. Tapi gue akan mencoba untuk memaparkan apa yang gue tahu dan gue rasakan. Jadi, semoga opini gue bisa membantu para pembaca yang galau dalam membuat keputusan yang tepat.
Ada seorang gadis yang curhat, dia bilang orang tuanya khawatir karena dia adalah seorang wanita, dan pergaulan di IKJ, "..bakal berat banget." Begitu kurang lebih katanya.
Menurut gue IKJ nggak seseram yang orang bayangkan. Mungkin dulu seram, karena ada ospek yang gila-gilaan. Tapi sekarang ospek itu udah nggak ada lagi dan senioritas sudah mulai berkurang. Tetep ada senior yang dingin dan ingin dihormati, tapi ada juga senior yang sangat humble. So, I think you don't have to be afraid.
Perihal kamu adalah seorang wanita, itu adalah alasan yang lebih nggak penting lagi. Ke mana pun kamu pergi, bahaya akan selalu ada. Maksud gue adalah, IKJ dan universitas lainnya ya sama aja. Meskipun kamu masuk sekolah yang isinya wanita semua, bahayanya tuh sama aja. Orang jahat akan selalu ada, dan nggak perlu ditakuti. Yang penting, iktikad lu baik, lo nggak jahatin orang, dan lo waspada. Gua rasa lo akan aman. Buktinya? Buktinya ya gue. Gue cewek, gue kuliah di IKJ dan semuanya baik-baik saja.
Gue udah dua tahun kuliah di sini sejak tahun 2012. Gue kasih gambarannya ya, di sini wanita itu minoritas. Agama Katolik juga minoritas. Orang Indonesia berdarah Tionghoa lebih minoritas lagi. Gue berada di posisi yang benar-benar minoritas dan semuanya baik-baik saja. "Baik" dalam arti, gue nggak terluka secara fisik maupun psikis, gue nggak merasa didiskriminasi, dan gue mendapatkan hak yang setara dengan kawan-kawan lainnya.
Jangan dikira orang tua gue nggak takut masukin gue ke IKJ. Mereka khawatir kok. Tapi waktu itu gue bilang ke bokap, kira-kira seperti ini, "Erin mau jadi sutradara, Pap. Mau sekolah di IKJ. IKJ itu sekolah film pertama di Indonesia. Erin nggak mau kuliah di B, di sana dosennya pun lulusan IKJ. Mending Erin sekolah di IKJ aja. Biaya kuliahnya juga nggak semahal di B."
Bokap gue balik bertanya, "Kamu bisa dapat pekerjaan yang baik setelah lulus dari IKJ?"
Gue jawab pertanyaan bokap gue dengan lugunya, "Erin udah tanya banyak orang. Katanya, malah kebanyakan mahasiswa IKJ itu nggak lulus karena keenakan kerja." Dan hal yang gue katakan ini memang benar. Sudah gue rasakan kenikmatan bekerja dan dibayar.
Selama dua tahun ini, setiap ada waktu bertemu, bokap pasti nanya, "Gimana kuliah? Ada yang rasis nggak? Ada yang ngatain kamu? Jangan mau diajak syuting nggak jelas, naik mobil sembarangan, apalagi kalau kamu nggak kenal seniormu. Pokoknya kalau syuting harus ada perempuannya!"
Gue tentu jawab apa adanya. Gue nurut dengan wejangan ayah gue, karena semuanya baik dan benar. Hasilnya, hidup gue baik-baik saja. Jadi begitulah cara gue meyakinkan orang tua. Gue jelaskan keinginan gue baik-baik, dengan bukti nyata bahwa ini bukan sekadar mimpi di siang bolong, dan gue yakinkan bahwa masa depan gue aman.
Pertanyaan berikutnya dari si gadis di atas adalah, "Aku bakal survive atau nggak dengan lingkungan yang sangat berbeda?"
Waktu itu, IKJ juga merupakan tempat yang asing buat gue. Bayangin aja, gue lulusan sekolah internasional. Setiap hari ngomong pakai Bahasa Inggris, berpikir seperti orang Barat, dan terbiasa tepat waktu. Tiba-tiba gue dihadapkan dengan kawan-kawan yang nggak ngerti Inggris, nggak suka on time, dan you know lah. Intinya beda.
Gue ngerasain culture shock waktu itu, dan berusaha keras menyesuaikan diri. Ada saat di mana gue desperate, tapi.. gue nggak mungkin terus-terusan seperti ini. This is either you accept it or change yourself. Pada akhirnya gue memilih, accept it. Artinya, gue berhenti mengeluh dan menerima keadaan sebagaimana adanya. Gue mencoba memahami cara bergaul di sini, tanpa mengubah diri gue atau diri sesiapapun. Yang penting gue ngerti cara bergaulnya, jadi gue tau sampai di mana batas kebebasan gue menjadi diri sendiri.
Lama kelamaan, orang lain malah menyesuaikan dirinya dengan gue. Mereka mulai ngerti kalau sama Cecil, harus menghargai waktu. Hehe... Sekarang gue sudah terbiasa dan nyaman dengan lingkungan yang baru ini. Gue yakin siapapun pasti bisa survive di lingkungan yang asing, asal itu tadi, pilih: accept it or change yourself.
Kalau kamu mau change yourself, ya ubah dirimu menjadi tipikal mereka. Misalnya mereka suka lagu Slank, ya kamu coba dengarkan lagu Slank juga. Misalnya mereka suka main sampai pagi buta, ya kamu coba ikutin pola hidup mereka, semampumu dan senyamanmu.
Pada akhirnya pertanyaan mau kuliah di mana, cuma bisa dijawab oleh dirimu sendiri (dan kemampuan finansialmu). Hehe. Cari lebih banyak informasi untuk meyakinkan atau sebaliknya mematahkan prasangkamu terhadap suatu tempat. Atau, jadilah Cecil yang bodo amat dengan apa kata orang dan ketika ingin sesuatu, fokus dan gas aja sampai nyampe di tempat tujuan.
Comments