top of page

Honest Review Semester 2 di IKJ

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 1 Agu 2013
  • 5 menit membaca

Pertama-tama sebelum gue menuliskan kisah yang nggak enak selama kuliah di semester 2, gue minta siapapun yang baca ini harap membaca dan menanggapinya dengan bijaksana. Bagi siapapun yang merasa dirinya dibahas di sini, gue nggak ada niat menghina. Tolong terima ini sebagai kritik dan masukan yang konstruktif. Hanya ingin mengutarakan dan berharap ini bisa jadi motivasi buat kita semua menjadi lebih baik.


Persoalan Pertama

Tentunya di manapun dan siapapun pasti nggak sempurna. Sehebat apapun, pasti ada cacatnya. Nah, berdasarkan pengamatan gue berkuliah 2 semester ini, dosen gue banyak banget yang suka dateng telat.


Gue tahu, gue harusnya lapor aja ke siapa gitu yang berwewenang di kampus buat menanggulangi soal keterlambatan ini. Tapi jujur, gue nggak tahu mesti lapor ke siapa. Dan lo tahu banget kan orang Indonesia itu kayak apa? Alih-alih didengarkan, biasanya gue malah dianggap banyak cincong: dosen telat aja dimasalahin; nnggak nyantai banget; ribet. Padahal, ini masalah besar.


Ya, besar.


Coba lo bayangin setiap harinya mesti nunggu dosen lo dateng antara 30-60 menit. Padahal dalam kurun waktu segitu, lo bisa tidur dulu, leha-leha, ataupun (kalau rajin) belajar! Sekarang dalam sehari lo punya 2-3 kelas. Berarti kira-kira berapa jam waktu lo terbuang untuk menunggu? Bisa sampai 2 jam! Dua jam itu lama loh. Dalam 2 jam itu lo bisa belajar 2 SKS. Terbukti kan betapa ruginya kita gara-gara orang penting telat dateng?


Gue baru bahas soal rugi waktu. Gue belum sampai ke rugi secara finansial. Sebagian besar mahasiswa emang dibiayain kuliahnya sama orang tua. Gue juga dibiayain. Tapi gue nggak lepas tangan begitu aja. Setiap jam yang terbuang gara-gara nunggu dosen itu sebenernya rugi banget buat orang tua kita. Seharusnya lo peduli soal itu, kalau lo tahu susahnya cari uang. Kita udah bayar jasa dia mengajar, tapi yang kita dapet cuma apa? Nggak ada. Waktu kebuang, duit kita juga jadi sia-sia.


Persoalan Kedua

Menurut gue dosen-dosen di kampus gue itu hebat-hebat. Sayangnya beberapa sudah terlalu tua untuk mengajar, sehingga suaranya sulit didengar, dan jadi suka temperamen. Gue nggak yakin sih yang temperamen itu karena memang sudah tua atau memang strategi mengajarnya seperti itu. Tapi menurut gue, apapun alasannya, being a temperament doesn't help in teaching.


Memang jadi dosen itu nggak gampang coy. Gue nggak bisa menyalahkan negara gue karena kekurangan tenaga ahli untuk menjadi dosen berkualitas, soalnya jadi dosen itu susah! Pertama lo (seharusnya) minimal S2 dan harus siap dengan gaji yang tidak memuaskan. Tapi ngomongin gaji, kayaknya semua orang dari bidang apapun nggak akan ada yang bilang puas. Iya nggak sih?


Nah, gue cukup kecewa karena beberapa dosen, menurut gue nggak kompeten mengajar. Di semester 2 ini, banyak dosen hebat yang sibuk, jadi kami lebih sering dididik sama asisten dosennya. Gue jujur aja nggak masalah, soalnya asdos kan lebih muda, jadi lebih lincah, suara juga masih lantang, masih enak dengerinnya (btw, ada juga sih dosen yang meskipun tua tapi masih lantang suaranya). Tapi kalo asdosnya ajaib juga... Aduuhh...


Lo bisa bilang gue grammar nazi, dan ada satu asdos yang gue gemes banget pengen benerin pronunciation sama spelling-nya karena dia sembarangan banget! Hey, seriously this is an institution!Ā Masak pake Bahasa Inggris seenak jidat!


Udah gitu, gue suka bertanya karena pelajarannya terasa nggak jelas buat gue. Ya, gue butuh kejelasan makanya gue bertanya. Tapi ketika bertanya, gue sering dijawab dengan ketus.


Jadi waktu itu gue nanya, "Pak, apakah modelnya sama seperti X?" Lalu beliau menjawab, "Siapa yang bilang seperti itu? Kamu tau itu dari mana? Kasih tau saya siapa yang bilang seperti itu."


WOW! Gimana gue nggak merinding tiba-tiba gue disuruh mempertanggungjawabkan pertanyaan gue sumbernya dari mana. Ya, gue bertanya karena tidak paham, jangan gue disuruh mempertanggungjawabkannya dong. Kalau temen sebelah gue tau jawabannya juga gue pasti tanya temen gue. Masalahnya tak satupun temen gue yang menjawab dengan yakin, makanya gue tanya si dosen.


Berikutnya ya, ada lagi dosen yang selama 1 semester itu dia cuma kasih kita 2 tugas, dan tugas itu yang menjadi pelajaran kita selama 1 semester. Gue sangat kecewa sih. Oh, c'mon I only need a month to finish it. Sisa 5 bulan mau diapain? Berasa sia-sia gua bayar kuliah.


Gue sangat berharap si dosen berbagi pengalamannya saat bekerja. Gue berharap dia menjelaskan bidang ini ngapain, bidang ini kayak apa, bidang ini di Indonesia prospeknya gimana? Bidang ini butuh apa? Dan gue nggak pernah bisa jawab pertanyaan itu sampai akhirnya si dosen kasih kertas fotokopi dari buku Bahasa Inggris. Dia minta kita translate tulisan itu dan pelajari, karena soal UAS keluar dari situ. Dan dia nggak jelasin apapun. Murni, kita disuruh baca secara mandiri.


Bersyukurlah gue karena bisa Bahasa Inggris. Jadi gue nggak ada kendala men-translate-nya. Terus gimana temen gue yang nggak bisa Bahasa Inggris? Buat gue ini konyol. Kenapa nggak si dosen memanfaatkanĀ at least 1 month from that wasted 5 months to explain that paper?Ā Kenapa sih selama 6 bulan itu cuma dihabisin buat dapetin ACC (accoord atau persetujuan) tugas?


Setiap hari gue datang, gue cuma minta ACC untuk lanjutin tugas gue. Berhubung tugas gue selesainya cepet, sisa-sisa hari gue cuma dateng nontonin temen gue dimarahin karena tugasnya salah. Hari-hari berikutnya gue juga kena marah karena dianggap egois, tidak mau menolong teman-teman kuliah. Lah? Dosennya bilang bahwa kami harus kompak dan saling tolong menolong.


Sedih banget gue sama persoalan ini. Kenapa ini jadi tanggung jawab gua? Gua aja kerjain tugas nggak ditolongin siapa-siapa dan nggak marah ke siapapun. Kenapa gua jadi harus menolong orang yang bahkan tidak minta pertolongan gua? Kalau mereka minta tolong diajarin, gue mau bantu kok. Tapi tak satupun dari mereka yang minta tolong. Emang rata-rata hobinya ngerjain pas udah mepet waktu.


Kalau harus gue yang proactive menawarkan bantuan, wah gue sangat tidak setuju. Yang butuh nilai kan dia, bukan gue. Harusnya dia yang aktif minta bantuan dong, bukan gua. Masak dia yang kuliah, gue yang kena marah dosennya.


Tapi namanya bicara sama orang yang lebih hebat, kita yang kecil pasti salah dan nggak pernah benar. Yaudah gue cuma bisa tulis di sini.


Jadi senior gue sempet bilang, "Kalau mau belajar, jangan mengharapkan kampus, Dek. Kampus itu cuma sekian persenlah."


Hmm... Dia sangat benar soal itu. Ada sih dosen dan asdos yang ngajarnya bagus banget. Mereka ada. Namun mereka hanya hitungan jari dari total pengajar. Kebanyakan emang lo harus belajar sendiri dari buku, dari bantuin senior, atau dari lain-lain deh. Keberadaan dosen di sini fungsinya kurang signifikan.


Kesimpulan

At the ed of the day, gue cuma berharap generasi berikutnya lebih bisa menghargai waktu dan profesi. Lebih bijaksana. Gue nggak merasa punya kuasa untuk menegur mereka langsung, jadi cuma bisa tulis di sini. Ya udah, sekian unek-unek semester 2 saya. Tak ada satupun hal yang sempurna. Jadi mari kita tanggapi post ini juga dengan bijaksana ya.


Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 1 Agustus 2013 saat saya masih berusia 19 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut.

Komentar


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page