Kenapa Saya Masuk FFTV IKJ
- Caecilia Sherina
- 8 Jul 2014
- 5 menit membaca
Diperbarui: 14 Jun 2024
Wah, akhirnya gue buka kartu nih.
Awalnya gue mau kuliah di Canada loh, jurusan film juga. Cuman nilai listening TOEFL gue kurang gitu, terus ditolak. Hahaha... Cuma perkara listening kurang dua poin! Kesel parah. Tapi kalau pun diterima juga percuma sih, karena tepat setelah itu bokap gue bangkrut. Jadi sama juga bohong, tetep aja gue nggak bakal kuliah di Canada.
Akhirnya gue melamar kerja sebagai admin di PT Televisi Anak Spacetoon, tapi sama Ibu HRD, gue disuruh pindah ke tim produksi. Yaudah, gue sih seneng-seneng aja disuruh kerja macem-macem nggak jelas sampai akhirnya dapet jabatan tetap sebagai video editor.
Sambil kerja, gue sambil mikir mau kuliah apa nggak. Soalnya gue juga bingung mau kuliah apaan. Gue bisanya gambar dan desain, harusnya gue masuk DKV kan? Tapi gue males disuruh gambar. Gue gambar karena gue mau gambar, bukan karena disuruh-suruh.
Terus nyokap gue nyuruh gue masuk jurusan hubungan internasional, simply karena Inggris gue outstanding for her. Hahaha... Ini lagi, gue nggak ngerti itu kuliah HI ngapain. Nyokap gue pengen banget gue kerja di kedutaan, sementara bokap menyarankan gue untuk kuliah animasi. Tapi gue males bingits disuruh gambar hal yang sama berulang-ulang. Dulu gue taunya bikin animasi itu ya dari gambar frame per frame. Gue nggak tahu kalau ada software 3D dll. Jadi yaaahh... gitu deh. Gue nggak mau kuliah animasi.
Kemudian selama gue bekerja di kantor, gue menyadari bahwa gue itu tolol banget. Gue nggak ngerti segala bahasa perfilman yang mereka gunakan kayak bumper, OBB, dll. Tapi bagaimanapun juga, gue yakin gue bisa lebih hebat dari senior-senior gue, cumannyah gue harus belajar; gue harus kuliah. Tapi di mana?
Gue tanya sana-sini, hingga akhirnya gue yakin banget nggak ada sekolah yang lebih tepat untuk gue, dan terpilihlah IKJ.

KENAPA IKJ?!
Pertama, karena IKJ adalah sekolah film pertama di Indonesia. Dia sekolah khusus seni, dia terkenal, dia berada di Jakarta, dan dia.. murah (pada saat saya mendaftar).
Gue harus mengakui, pada saat itu keluarga gue sedang bangkit dari reruntuhan, jadi gue harus mempertimbangkan biaya kuliah dan biaya hidup. Waktu gue daftar, biaya masuk dan biaya kuliah S1 selama satu tahun harganya Rp27.000.000,00 dengan harga per semester berikutnya Rp7.500.000,00. Biaya ini termasuk biaya kuliah film yang sangat murah dibandingkan universitas mana pun di Jakarta (tolong jangan dibandingkan sama jurusan broadcasting. Film production dan broadcasting are slightly different.) Orang tua gue bilang mampu, jadi yaudah gue maju.
FYI, gue cuma mendaftar ke IKJ dan gue pikir kalau gue nggak diterima, yaudah, gue nggak kuliah, kerja aja di Spacetoon. Gitu.
Gue sih nggak kepengen banget masuk FFTV IKJ, secara gue maunya kuliah film di Canada. LOL. Tapi gue pikir-pikir, gue sangat ingin berteman dengan orang-orang yang berjiwa seniābebas dan merdekaādan gue rasa hal semacam itu cuma ada di sekolah khusus seni, yaitu IKJ.
Terakhir, gue pilih IKJ karena dia terletak di Jakarta (namanya juga Institut Jakarta). Alasannya simpel sih: karena Jakarta adalah pusat Indonesia. Semua event menarik dan berkualitas itu diawali di Jakarta. Gue merasa lebih secured aja tinggal di Jakarta, daripada Tangerang. It feels like I'm not gonna miss any chance here.
Okay, jadi itulah sejarah gue masuk FFTV IKJ.
Sekarang sih, gue bahagia kuliah di sini. Meskipun juga ada berbagai kekecewaan, tapi sisi baiknya juga banyak sekali, dan gue nggak akan menjadi gue hari ini kalau gue nggak masuk IKJ. Jadi, yeay, I'm proud jadi mahasiswa Ikajeh!
Random sikit, ini video ulang tahun IKJ yang ke-44.
Anyway, gue mau cerita soal malam ini yang agak sedikit berhubungan dengan alasan memilih IKJ.
Gue baru saja bertemu dengan seorang sahabat lama. Dia adalah kawan gue dari SMP dan sekarang kuliah di Universitas Tarumanagara jurusan teknik sipil. Gue seneng banget bisa bertemu lagi. Lega gitu akhirnya jadwal kami cocok. Terus doi cerita banyak deh soal kuliahnya yang bikin gue... ngg... gimana yah, prihatin. Mungkin masalahnya adalah doi terlambat menyadari passion-nya sendiri. Dia bilang bahwa dia baru sadar kalau dia nggak suka belajar teknik sipil.
"Bokap gue bilang ke gue, Cil, 'Kamu boleh pindah jurusan, tapi jurusan apa? Dan kalau pindah harus dapet nilai bagus dan lulus cepet di jurusan itu.' Nah, masalahnya gue juga nggak tahu mau jurusan apa!" kata temen gue, setengah histeris.
Dia cerita, dulu dia pilih teknik sipil karena nilai dia bagus bangetādia memang anak berprestasi di sekolahādan orang tuanya menganjurkan dia masuk jurusan itu. Terus dia rasa jadi engineer itu keren, karena sounds smart, dan lagipula dia juga nggak tahu mau kuliah apa. Sekarang begini deh jadinya.
Saat ini doi masih stuck di teknik sipil dengan IPK 2 koma sekian. Itu pun udah ngos-ngosan ngejaga angkanya stabil, karena mata kuliahnya totally out of control. Dia bilang kuliahnya padat banget sampai she has no time to socialize. Gue aware sih soal itu, makanya gue lega akhirnya dia punya waktu buat jalan sama gua.
Terus gue jadi mikir, "Ya Allah, kawan gue sebegini stresnya kuliah, kok gue... Hahaha..."
Jadi gue mau bilang buat yang lagi galau milih jurusan kuliah (kalau udah yakin sih yaudah yakin aja). Coba deh, riset dulu jurusan yang lo mau; selengkap-lengkapnya. Jangan berakhir seperti kawan gue. Itu nyiksa banget loh 4 tahun belajar hal yang lo nggak suka tapi lo harus suka dan survive.
Ada beberapa pertanyaan gue yang (mungkin) bisa membantu lo untuk mempertimbangkan sebuah jurusan kuliah :
Apakah Anda tahu apa saja yang dipelajari di jurusan ini?
Apakah Anda menyukai apa saja yang dipelajari di jurusan ini?
Apakah Anda mau capek untuk menjadi mahasiswa terbaik di jurusan ini?
Apakah Anda mampu membiayai segala kebutuhan perkuliahan di jurusan ini?
Menurut gue, sebaiknya, cari tahu lebih dalam apa saja yang diajarkan di jurusan tersebut. Terus coba bayangin, lo bakal suka atau nggak. Lo nggak harus suka semuanya, tapi at least porsi suka lebih banyak dari nggak suka. Lo bisa cari informasi dari guru, kawan, senior, atau gue. Hahaha... Atau internet. Ayolah, Google (dan chatgpt) pasti punya jawabannya!
Terus pertimbangkan apakah lo mau capek untuk menjadi yang terbaik. Terbaik dalam arti paling mengerti dan paling bisa, di mana untuk mengerti dan bisa ya harus capek belajar. Soalnya kalau lo nggak rela, ada kemungkinan lo nggak niat-niat amat di bidang itu. Pada akhirnya bukan gua suruh lo harus jadi mahasiswa terbaik. Cuman kalau menjadi "baik" saja sudah terdengar melelahkan, ya mungkin lo ga suka-suka amat sama jurusannya.
Kemudian, soal finansial nih. Jangan dikira, masalah uang selesai di saat pendaftaran. Justru itu baru awal. Karena setelah lo masuk kuliah, lo masih harus bayar biaya ngeprint dan fotokopi berkali-kali, beli buku bejibun, biaya internet, laptop, biaya bikin tugas kelompok, biaya tugas ini-itu, biaya study tour, biaya seragam, daaannn biaya transportasi serta konsumsi selama ngampus. Kalau orang tua lo tajir sih santai aja; tapi kalau nggak well, you better start to consider that.
Tapi kalau sudah terlanjur, menurut gue jangan menyesal dengan keputusan apa pun yang sudah lo buat. Coba dijalani aja dengan tegar, pasti ada hikmahnya kalau lo mau anggap ada hikmahnya. Soalnya kalau dijadiin penyesalan, ya buat apa? Kan udah terjadi.
Comments