Lulusan Perfilman Jadi Apa?
- Caecilia Sherina
- 6 Nov 2016
- 4 menit membaca
Banyak sekali orang tua yang mengkhawatirkan masa depan anaknya bila masuk perfilman. Ada yang takut anaknya tidak dapat pekerjaan, takut pekerjaan anaknya tidak jelas, takut anaknya tidak punya penghasilan yang baik, takut anaknya tidak bisa jadi orang kaya, takut anaknya kena narkoba, dan takut-takut lainnya.
Oleh sebab itu sebagai mantan mahasiswa perfilman dan pekerja film, ada beberapa hal yang ingin saya luruskan, sesuai pengetahuan saya selama ini.

Apakah setelah lulus, gampang mencari kerja di bidang perfilman?
Tergantung. Tergantung mau jadi apa di perfilman? Sutradara? Produser? Editor? Profesi dalam perfilman itu ada banyak. Berikut saya urutkan berdasarkan permintaan lapangan pekerjaan yang paling besar (menurut pengalaman pribadi di tahun 2016):
Visual effect artist (apalagi kalau bisa 3D)
Motion graphic artist
Tim editing (video editor, loader, colorist)
Tim suara (sound designer, sound mixer, boom operator, sound recordist, dll.)
Tim produksi (asisten produser, produser pasca-produksi, casting director, manajer lokasi/alat/dll.)
Tim artistik (propertyman, set designer, dll.)
Tim kamera (asisten DP, asisten gaffer, dan semacamnya)
Asisten sutradara
Sutradara
Yup, posisi asisten sutradara adalah profesi yang paling sulit didapatkan (setahu saya), tapi bukan berarti nggak bisa.Ā Dan posisi sutradara biasanya butuh pengalaman lebih banyak. Hampir tidak mungkin dipercayakan pada fresh graduate.
Saya sih orangnya optimis saja. Selama kita memberikan hasil yang baik dan bersikap yang baik, saya yakin buahnya juga akan baik, dan pasti bisa mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Pasti. Bisa. Tidak ada kata 'nggak bisa' dalam kamus hidup saya. Yang ada cuma belum, atau tidak mau mencoba.
Kalau sampai ada yang menganggur, itu alasannya apa ya?
Banyak alasan. Biasanya adalah karena tidak cocok bekerja dengan tim bersangkutan. Bekerja dalam film seringkali lebih mementingkan chemistry antar kru ketimbang prestasi dan nilai akademik. Kasarnya sih, bahkan orang bego pun bisa dapet kerjaan kalau dia pinter menangin hati bosnya. (Soalnya, kita percaya bahwa ngajarin orang bego itu lebih mudah ketimbang mengubah sifat orang yang menyebalkan.)
Makanya selama berkuliah, kita seringkali diingatkan, jangan cuma mengembangkan kemampuan akademik, tapi juga soft skill seperti komunikasi dengan atasan, sesama, dan bawahan. Siapa sih yang mau nolak orang pintar dan menyenangkan? Ya nggak?
Gajinya berapa ya?
Tergantung kamu kerja apa? Kerja di televisi? Agensi? Production house (PH)? Kalau di televisi biasanya dibayar per bulan, sekitar UMR setempat.
Sementara kalau di agensi dan PH, tergantung kebijakan pemilik. Kebanyakan sih bayarnya per project. Jadi kalau projeknya sudah selesai, sekitar 1-3 bulan kemudian gajinya baru turun. Tapi ada juga yang bisa bayar langsung setelah serah-terima project. Besar-kecilnya gaji juga tergantung projeknya apa dan posisi kamu apa. Untuk film layar lebar biasanya belasan sampai puluhan juta, dan gajinya dibayar berkala.
Ada juga yang kerjanya bersifat inhouse (di kantor) dan dibayar per bulan. Gajinya di atas UMR dan bisa dinegosiasikan dengan pemilik kantor tersebut.
Jadi filmmaker itu bisa tajir nggak sih?
Kalau kamu cuma mengandalkan satu pekerjaan dan jadi bawahan saja, nggak. Forever in your life you will never get any better.
Cara menjadi tajir tentu ada banyak.
Biasanya para director of photography (DP), selain bekerja sebagai DP, mereka juga buka studio rental alat. Lalu video editor buka studio editing, dan sound designer buka studio suara. Demikian pula dengan profesi lainnya juga harus cerdik.
Saya rasa ini juga berlaku ke jurusan lainnya. Kalau mau tajir ya either you become the boss and run the business well, or have more than one job.
Saya sih suka dengan pemikiran, there is a job that you love, and there is a job that you need the money. Tinggal pinter-pinternya kita aja mengatur waktu agar dua-duanya dapat kita kerjakan bersamaan. Jadi finansial membaik tanpa harus membuang passion.
Soalnya job that you love, seringkali bukan job that makes a lot of money. Padahal kita harus realistis juga bahwa kita butuh uang. :")
Jadi apakah kuliah film memiliki prospek yang baik?
Ya, tapi tergantung bagaimana kamu memanfaatkannya. Film sangat dibutuhkan dalam menghibur, mendidik, hingga presentasi ide. Film nggak hanya muncul di layar lebar, tapi juga di televisi, internet, bahkan di kantor! Bentuknya nggak hanya film fiksi yang menghibur, tapi juga non-fiksi yang menginspirasi, iklan yang persuasif, hingga film presentasi yang meyakinkan. Ke depannya pula film bisa beralih ke hologram 3D dan bentuk-bentuk menakjubkan lainnya.

Tapi bagaimana cara saya meyakinkan orang tua saya?
Kamu harus mengerti dulu apa yang diinginkan dan dikhawatirkan orang tuamu. Dan pastinya kamu nggak bisa menjawab itu semua hanya dengan kata-kata manis.
Kalau saya sih dulu melilhat bahwa yang orang tua saya inginkan itu prestige dan kepastian finansial. Jadi saya mulai dari membuat film pendek di sekolah sampai dipuji para guru (prestige), sampai para orang tua murid ikut memuji (again, prestige), lalu saya menang beberapa kompetisi film pendek (and again, prestige). Setelah lulus SMA saya melamar magang ke salah satu stasiun televisi dan waktu itu gaji saya wow banget buat anak yang ijazah SMA-nya aja belom keluar. (now, financial).
Baru kemudian saya bilang saya mau kuliah film.
Jadi saya bukan tiba-tiba ngemeng, "Pap, saya mau kuliah film." Ya pasti saya juga digampar kalau mendadak ngomong kayak begitu. Apalagi kuliah seni sampai hari ini masih dipandang sebelah mata.
Sejak itu barulah ayah saya mau beliin saya kamera DSLR dan laptop. Yup, gaes, saya selama SMA berkarya pakai kamera temen (big thanks to Tifanny, Zahrah, and Talenna) dan belajar sendiri caranya mengedit dari asal pencet (waktu itu YouTube belum super ngetren, jadi tidak mudah mencari tutorial). Kemudian saya belajar lebih banyak lagi hal teknis saat bekerja di stasiun televisi dan saat kuliah.
Saya paling males kalau denger ada anak yang mengeluh, "Tapi, kak, saya nggak punya kamera," atau, "Kak, orang tua saya nggak mampu menyediakan alatnya," atau, "Kak, saya nggak ngerti cara pakainya."
Stop making excuses. Find a way to make it work. Start doing it. And doing it again until you make it. Good luck with y'all future!
Comments