top of page

Nyasar di Augsburg

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 3 Apr
  • 9 menit membaca

Diperbarui: 3 Apr

Aku baru hampir terlelap di kereta regional Deutsche Bahn dari Munich menuju Ulm, tiba-tiba masinis menghentikan kereta di Augsburg. Suaranya terdengar seperti sedang membacakan berita buruk dalam Bahasa Jerman yang tentu saja tidak sepenuhnya kupahami. Hanya ada satu kata yang terdengar jelas, "aussteigen"—yang artinya, kita harus turun sekarang juga.


Awalnya aku diam, tidak bergerak, mencoba mencerna keadaan sekitar. Apa iya aku harus turun di Augsburg? Terus, lanjut naik apa ke Ulm? Ulm masih jauh banget, dan ini udah jam 21.30 malam. Apa masih ada kereta yang operasional sampai malam begini? Tapi setelah melihat orang-orang berbondong-bondong turun dari kereta, akhirnya aku ikut turun juga karena enggak ada pilihan.


Begitu turun, angin malam langsung menerjang wajahku yang tadinya hangat di dalam kereta. "Sial, dingin banget!" Buru-buru aku buka aplikasi Deutsche Bahn (DB) buat cek status kereta, tapi tidak ada informasi apa-apa di sana. Sementara itu, si masinis masih sibuk ngusir penumpang satu-satu, khususnya penumpang yang setengah mabuk dan bau ganja.


Kuputuskan mampir dulu ke kafe di stasiun kereta untuk mencari kehangatan, sekalian ngecek jadwal kereta berikutnya. Beruntung, semua roti dan kue didiskon hingga 50% karena sudah lewat jam 9 malam. Jadi aku beli croissant cokelat dan cookies hazelnut yang total harganya hanya 1.4€!


Drrttt drttt...

HPku bergetar, sebuah pesan masuk dari kawan Jermanku. Tadi sore dia sempat minta daftar film-film yang jadi inspirasi tatoku. Baru sekarang dia balas chatku.

"List kamu detail banget. BTW, rencanaku gagal hari ini, makanya aku nanya rekomendasi film dari tato kamu buat menggantikan rencanaku yang gagal. Sekalian, aku pengen tahu sebagus apa sih film-film itu sampai kamu berani taro di kulitmu."


Ingatanku kembali pada memori saat aku tinggal di Bali. Sekitar tahun 2018, ketika aku memutuskan untuk membuat tato tentang film-film yang aku suka, dan bikin janji ke diri sendiri untuk membuat tato baru setiap tahunnya. Alhasil, tato di lengan dan kakiku jadi lumayan banyak.


"Ngomong-ngomong, aku lagi nyasar di Augsburg nih."

"YA AMPUN, kamu ngapain lagi sih? Salah naik bus?!"


Sebagai konteks tambahan: aku memang sudah beberapa kali salah naik bus, dan biasanya aku cerita ke kawan Jermanku ini. Pernah pula waktu kita janjian ketemu, aku salah naik bus (lagi) sampai dia kesel dan jemput aku di titik yang lain. šŸ˜‚


Tapi kali ini bukan salahku, melainkan karena kereta DB yang mogok tengah jalan, sehingga aku terpaksa nunggu kereta berikutnya. Jadi kujelaskanlah padanya. Hanya saja, jam sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam, dan kereta yang kutunggu belum kunjung datang.


"Kabarin ya kalau harus kujemput. Aku habis minum sedikit nih, nggak 100% boleh nyetir."

Aku berhenti mengunyah rotiku dan nyengir. Agak nggak nyangka temanku yang satu ini mau berbaik hati menjemputku di Augsburg. Jarak dari Ulm ke sini kurang lebih seperti jarak dari Jakarta ke Bogor. Nggak jauh-jauh amat, tapi lumayan lah ya.. buat jemput ✨orang yang nggak penting-penting amat✨ ya terbilang jauh juga. Dan karena aku tahu diri, tentu tawaran itu kutolak dengan lawakan.


"Kereta berikutnya akan datang! Jangan khawatir. Terima kasih tawarannya, itu membuatku merasa aman. Tapi.. kalau kamu dengar berita ada anak China mati di jalan, kamu tahulah siapa orangnya... šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚ Hahaha."


"Iya, keretanya ada, tapi begitu kamu sampai stasiun Ulm pasti udah jam 12 malem, nggak bakal ada bus ke rumahmu lagi. Yaudah, aku tungguin sambil aku minum air putih dulu ya biar sober."


"Eh, keretanya datang!"


Deutsche Bahn

Sambil bolak-balik memperhatikan aplikasi DB dan layar di stasiun kereta, aku yakin betul bahwa kereta yang datang di peron 5 saat itu adalah RE9 ke Ulm yang sudah kutunggu-tunggu daritadi (tapi telat datangnya). Singkat cerita, aku buru-buru masuk bersama segerombolan warga yang terusir tadi dan berebutan mencari kursi.


Jam menunjukkan pukul 10 lewat 5 menit. Malam itu kereta penuh dengan laki-laki berselendang hijau, merah dan putih. Sepertinya baru saja ada pertandingan sepak bola regional (bundesliga) di sekitar sini. Aku duduk dengan aman dan nyaman, meski para laki-laki ini berisik bukan main.


Lalu HPku bergetar lagi, ada chat dia masuk.


"Aku akan tetap menjemputmu kalau keretamu mogok lagi. Kabarin aku ya."

"Udah tenang aja, aku bisa pulang jalan kaki."

"Kamu bisa nginep di apartemenku loh, cuma pengen nawarin aja sih. Tempatku kan lebih dekat dari stasiun."


Chat-nya terdengar biasa saja ya? Tapi mukaku langsung merah dong. Ini yang nawarin laki-laki loh bukan perempuan. šŸ˜… Pikiranku tentu meliar ke mana-mana, karena memang betul, rumahku jauh banget dari stasiun Ulm! Kebayang nggak sih jalan kaki di suhu 6°C selama 1 jam? Ya tentu lebih enak ke apartemen dia dijemput naik mobil cuma 5 menit. Tapi kan aku jadi kepikiran juga: Nanti gua tidur di mana? Numpang mandi boleh enggak ya? Apa enggak usah mandi? Ngakak, ini rambut udah lepek banget. Terus, besok paginya gimana? Anjir, gua belum seakrab itu untuk bisa memperlihatkan wajah gua yang baru bangun tidur. Gimana kalau gue ngeces di bantal??? šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚


TAPI, aku juga yakin 100% bahwa temanku ini beneran orang baik nan bermartabat ya, yang artinya nggak akan terjadi hal yang enggak-enggak. Cuma masalahnya kita belum terlalu akrab aja, jadi masih malu-malu hihi.


Alhasil kubalaslah dia, "Kamu nggak awkward ada aku di situ? Ah, enggak, sejujurnya aku yang awkward. Kayaknya kita enggak akan bisa tidur. Bakal nge-reog ini mah," sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang.


"Baguslah kita awkward berdua. Kan minus x minus = plus. Berarti awkward kita jadi cancel enggak sih?"

"Yeee!!! Ya enggak gitu juga. Intinya, enggak deh. Makasih loh udah repot-repot nawarin. Tapi nggak apa aku jalan kaki aja pulang ke rumah."


Aku berusaha cool, padahal muka udah merah banget di kereta. Saking merahnya sampai ngakak sendiri, berasa balik ke masa-masa kuliah di usia 20an ketika lagi chattingan sama orang yang kita taksir, tarik-ulur, bercandaan nggak jelas yang nggak berujung apa-apa.


Pada akhirnya, aku menyerah dan pasrah janjian ketemu di Stasiun Ulm. Dia akan jemput aku di sana dan mengantarkanku pulang ke rumahku naik mobil Hyundainya yang bisa mengeluarkan suara macam mobil kebut-kebutan layaknya film Fast & Furious.


Tapi sayangnya, seperti biasa, semesta selalu punya cara untuk membuat hidupku berwarna. Setelah hampir 45 menit aku naik kereta, aku baru sadar kalau AKU SALAH NAIK KERETAAAA!!! Alih-alih menuju Ulm, aku malah semakin menjauh.


"Mau denger cerita lucu enggak?"

"Apa lagi nih?"

"Aku salah naik kereta."

"Kamu di mana?"

"Donauwƶrth."

"Aduh, salah arah pula."

"Aku akan cari kereta balik ke Augsburg, lalu cari kereta lagi ke Ulm. Apa aku nangis dulu ya? 😭😭😭"

"Aku ragu keretanya ada. Mendingan aku jemput kamu di Augsburg atau Donauwƶrth? Sebelum kamu nyasar lagi ke Itali atau Berlin. šŸ˜‚"


Abang ini rupanya masih bisa melucu, di saat aku sedang panik, pucat, dan hampir menangis. Ya, bayangin aja, jam 11 malam di kota antah berantah yang dinginnya minta ampun dengan status student tanpa penghasilan pula. Tau nggak, harga 1 kamar hotel tuh sekitar 1,5 juta per malam! Menangis sekali kalau aku harus nginep di sana malam itu. Tapi ya namanya juga Cecil ya, meskipun stress juga pasti tetap berusaha dulu sampai titik terakhir. Jadi aku cek lagi jadwal kereta di aplikasi DB, dan disarankan balik ke Augsburg untuk ambil kereta ke Ulm. Tapi abang Jermanku ini agak enggak setuju.


"Kita ketemu di Stasiun Augsburg aja."

"Aku enggak mau ngerepotin loh. Ada kok kereta ke Ulm."

"Aku enggak apa-apa. Udah siap-siap mau jalan ini."


Ya udahlah, kupikir-pikir daripada dia kusuruh nunggu di Stasiun Ulm, yang mana aku baru akan tiba jam 1 pagi nanti. Mendingan dia naik mobil sekarang, langsung ke Augsburg. Toh, orangnya emang rada unik. Dan ya benar saja, abang satu ini langsung sigap layaknya orang Jerman yang hobi tepat waktu. Kalau mereka bilang 30 menit ya berarti 30 menit beneran. Kalau sampai lewat dari situ, dia langsung kasih kabar ada masalah apa di jalan.


Jadi lucunya, aku naik kereta kembali ke Augsburg, sementara abang ini gercep banget share live location perjalanan dia naik mobil dari Ulm. Dan aku bisa lihat betapa ngebutnya orang ini untuk menjemputku. šŸ˜‚ (Tapi aku juga tahu bahwa jalan tol di Jerman memang terkenal untuk ajang kebut-kebutan, lantaran jalannya luas, sepi dan no-limit speed. Kamu memang dituntut untuk bisa ngebut sampai 200an km/jam.)


Map

Jadi begitu aku tiba di Augsburg jam 23.40 kurang lebih 10 menit kemudian dia tiba dan parkir di depan stasiun. (Sebenarnya dia udah tiba dari tadi cuman untuk parkir di stasiun tuh agak ribet muter-muter, makanya lama.) Begitu kulihat mobil dia udah mantap parkir, aku langsung buru-buru keluar dan bbrrr... dingin banget angin malam itu, nggak kebayang aku kalau nggak dijemput, akan seperti apa nasibku diterpa angin kayak gini?


Begitu si abang lihat wajahku, dia nyengir. Aku pun demikian (tapi dalam rangka mentertawakan kebodohanku sendiri.)


"Ngantuk nggak? Mau beli kopi dulu?" tanyaku.

"Enggak, enggak usah. Yuk pulang."


Tapi si abang nggak terlihat begitu bahagia. Kayaknya dia sebenarnya capek (YA IYALAH YAAA SIAPA SIH YANG SENENG DISURUH JEMPUT SUBUH-SUBUH GINI). Jadi sepanjang perjalanan itu, si abang ngedumel terus soal jalanan Augsburg yang belok-belok dan membingungkan. Dia juga, seperti bapak-bapak pada umumnya, ngedumel terus soal pengendara mobil yang kurang kompeten, ataupun jenis-jenis mobil yang kurang oke. Ya, pokoknya saya dengerin aja lah šŸ˜… asalkan diantar pulang dengan selamat. Tapi ya ampun, Tuhan, ini orang ngebutnya luar biasa. Begitu dia lihat wajahku agak nggak nyaman di kecepatan 200 km/jam, perlahan agak dia turunkan ke 180 km/jam sambil terus ngebacot nggak berhenti.


"Kamu tau kan aku nggak bisa bawa mobil ini pelan-pelan?"

"Iya, tahu."

"Kalau aku bawa pelan, nanti kita ditabrak orang belakang."

"Iya, tahu."

"Nanti kalau jalanannya udah menyempit aku turunin kecepatanku, biar orang di depan aku enggak kaget. Terus kamu lihat itu, aku enggak boleh nyalip. Takutnya dia kaget ada mobil ngebut di belakang, tiba-tiba muncul di sampingnya."

"Iya, he'eh."


Aku mulai ngantuk, dan memperhatikan jalan tol yang rada gelap itu sedikit membawaku kembali pada ingatan masa lalu. Rasanya seperti sedang dalam perjalanan Bali-Jakarta beberapa tahun silam. Tapi cepat-cepat pikiran itu kuhilangkan, tidak ingin terbawa memori masa lalu terus menerus. Jadi aku coba alihkan dengan memandangi si abang Jerman, memperhatikan matanya yang berwarna cokelat, dengan bulu mata lentik yang sewarna dengan matanya. Terus tiba-tiba mulutku ngoceh sendiri.


"Kamu tahu, kamu kelihatan keren kalau nyetir."

Abang Jerman terdiam, bingung. Terus dia jawab, "Uhh.. OK?"


Aku yang tadinya tidak bermaksud apa-apa, jadi malu sendiri. Kenapa aku bilang dia keren ya? šŸ˜‚ Terus kenapa jawaban dia cuma OK aja? Tapi daripada aku pusing sendiri, mendingan langsung kutanyakan sambil ngakak-ngakak.


"Kenapa cuma OK?!"

"Ya abisnya aku malu! Untung udah gelep, jadi kamu enggak bisa lihat mukaku merah saat ini."


Eh? 😳 Aku jadi ikut tersipu malu. Kita berdua diam beberapa saat. Dan tak lama kemudian, kita tiba di depan rumahku. Sebenarnya pada saat itu, jantungku masih agak berdebar-debar, tapi aku berusaha tetap sok cool aja. Karena kami hanya teman, kan?


"Kabarin ya kalau udah nyampe rumah. Kamu kan capek. Aku takut kamu kenapa-napa."

"Ya, kalau kamu dengar berita ada orang Jerman meninggal, kamu taulah siapa."


Kami berdua tertawa renyah, sama-sama tahu lawakan masing-masing. Akhirnya aku masuk ke rumah dan duduk terdiam di sofa, mencoba menenangkan jantungku. Bingung rasanya. Tersipu malu akan apa sih? Sambil pula berpikir, apakah aku se-kesepian itu ya sampai hal sekecil ini saja membuatku senang? Eh, sebentar, emangnya jemput seseorang yang enggak penting dengan jarak sejauh ini termasuk hal kecil??? Ini tanda dia ada 'sesuatu' enggak sih?


Ya pokoknya pikiranku kacau lah. Terus tiba-tiba, HPku bergetar.


"Dah, di rumah. Semoga kamu menikmati perjalanan bersama Abang Travel. šŸ˜‚"

"Danke, Abang Travel. Pelayanan bintang 5 ⭐⭐⭐⭐⭐ sayang aja enggak termasuk sarapan."

"Next time, aku bawain makanan atau aku drop kamu di McD ya. Oh, atau aku ikutan Uber Eats dan gabung dengan jasa taksi."

"Tapi aku pengen pelayanannya buat aku doang. Boleh aku monopoli?"


BOOM! šŸ’„ Keluar dah tuh sisi centil Cecil. Tanganku gemeteran ngetik itu. Tapi ya udahlah ya? Nothing to lose kan? Cuma temen kan? Bercandaan aja kan?


Eh, dibales dong sama dia.


"Iya, setau aku sih, aku belum pernah jemput seseorang di suatu tempat kayak gini caranya. Ini pelayanan khusus buat Cecil aja."

DOUBLE BOOM! šŸ’„šŸ’„


Udah ah habis itu aku nggak mau bales lagi. Nanti jadi tambah panjang enggak jelas. Udah jam 1 pagi juga. Aku buru-buru tidur, meskipun enggak bisa tidur karena enggak berhenti ngakak atas kebodohanku hari itu. Kok bisa-bisanyaaaa nyasar sampai ke Donauwƶrth! Untung ada abang Jerman baik hati mau jemput. Duhileh, kalau nggak ditolong dia, enggak kebayang nasib aku gimana.


Dan tentu saja, aku pun memikirkan pula hubunganku dengan mantan sebelumnya yang sudah kandas. 🄲 Masih ada sebagian dalam diriku yang belum terima, dan masih mempertanyakan kenapa semuanya berakhir begitu saja tanpa adanya closure yang baik.


Pagi itu, dalam kebahagiaan yang bercampur dengan kesedihan, aku janji sama diriku sendiri, untuk lebih hati-hati dalam mempercayakan perasaan. Enggak tahu abang Jerman ini niatnya apa, dan belum terlalu kenal juga karakternya kayak apa.


Tapi sejauh yang aku tau sih, kita cuman temen aja.

Tapi kalau memang kita cuma teman, kenapa hari ini chat-nya jadi begini ya?


"Kamu lupa kasih tau aku kapan kita mau hangout lagi."


(Lah, padahal dia belum nanya, bagaimana bisa aku lupa? Tapi yaudahlah, males aku memperpanjang itu.)


"Weekend ini aku mau jalan-jalan. Sabtu depan aja gimana?"

"Mau ke mana? Oke, Sabtu bisa."

"Diajak temen-temenku ke Kƶnigssee. Kali ini aku tidak akan nyasar lagi!"

"Haha.. mobilku cuma muat 4 orang ya kalau kalian semua nyasar, dan aku pulang kantor jam 5 sore."


(Lah, emang dia mau jemput lagi? šŸ˜‚)


"Aku nggak bakal nyasar lagi, sial."

"Iya, iya. Aku tunggu kabar kamu hari itu."

"IDIH, KAMU DOAIN AKU NYASAR APA BENERAN KHAWATIR SIH???"


(Oke, sebenernya aku enggak chat dia dengan huruf kapital kok. Tapi jujur aja itu yang aku rasakan dalam hati. Kayaknya pengen teriak sambil ngakak, tau nggak.)


"Mungkin keduanya. Supaya aku bisa ketemu kamu tanpa nunggu minggu depan."

TRIPLE BOOM! šŸ’„šŸ’„šŸ’„


Dah, udah ah enggak mau gue bales lagi. Dah, kepanjangan. Abang Jerman bangsat, smooth banget. šŸ˜‚

Comments


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page