New Year Chaos in Ulm: Clubbing Kedinginan Sampai Siang
- Caecilia Sherina
- 3 Jan
- 9 menit membaca
Diperbarui: 23 Jan
Awalnya sih aku nggak ada rencana ngapa-ngapain pas tahun baru, tapi tiba-tiba Devi, teman baikku di kampus, nge-chat dan bilang, “Cil, aku ulang tahun tanggal 1 Januari, dan aku udah muak banget di kamar terus. Clubbing yuk?”
Aku langsung jawab “Mau banget!” Bukan karena aku cinta clubbing, tapi aku lagi craving pengalaman baru di kota kecil ini. Momennya juga pas—tahun baru dan ulang tahun Devi.
“Boleh, Dev, aku spend time sama pacarku siang, terus malamnya kita bisa cabut ke klub. Klub mana yang kamu mau?” Devi jawab, “HTM Gleis 8 Euro, Kalau Cocomo 15 Euro.”
Aku langsung Googling alamat, jarak dan cara beli tiketnya. Pas aku cek di Instagram mereka, baik Gleis 44 maupun Cocomo, HTM-nya sama-sama 15 Euro. Bedanya apa? Gleis 44 itu rave party banget, underground vibe dengan banyak ruangan yang masing-masing punya musik berbeda. Sedangkan Cocomo (sepertinya) lebih dewasa dan chill, dengan fasilitas free Garderobe (penitipan jaket), minuman, dan makanan.


"Dev, dua-duanya 15€ loh. Mau yang mana?"
"Lah, kok 15€? Aku nemu 8€ kemarin."
"Mana? Kasih lihat sini website-nya."
Dan ternyata Devi salah lihat website. Dia malah buka Gleis 9 di kota lain, sementara kita tinggal di Ulm jadi harusnya Gleis 44.
"Oh, aku salah website. Nick bilang Gleis doang, ga ngomong nomornya. Kirain cuma ada satu Gleis di Jerman."
Tips buat yang mau clubbing di Jerman: hati-hati sama nama tempat. Kadang bisa ada yang mirip banget di kota lain! Jadi, pastikan cek dengan teliti ya.
Kembang Api New Year di Ulmer Münster
Akhirnya Devi bertugas beli tiket Gleis 44, sementara aku beli minuman buat pre-drinks. Sudah menjadi tradisi bahwa sebelum clubbing harus warming-up terlebih dahulu. Aku beli Gordon’s Pink Gin (€13,74), Rotwein murah (€3,99), dan jus apel Ja! (€0,99) buat bikin Sangria ala-ala. Rasanya manis dan perfect buat cewek-cewek yang nggak suka mabuk berat. Tapi kalau kalap, 3 gelas bakal bikin puyeng juga.

“Cil, lo ada batere AAA ga? Gue ada lampu cabe-cabean nih. Yuk kita foto-foto di kamar sambil pre-drinks. Habis itu anak-anak di apartemenku ngajak nonton kembang api di depan Gereja Ulmer Münster.”
Buat kalian yg belum tahu, Gereja Ulmer Münster adalah gereja tertinggi di dunia. Ini adalah gereja Kristen Lutheran, dan kamu bisa naik ke menaranya seharga 7€ sekitar jam 10 pagi hingga 2 siang. Begini penampakannya kalau cerah.

Jam 7.30 malam, aku gowes sepeda ke apartemen mahasiswa Devi di Ulm. Jaraknya cuma 4 km, tapi jalannya naik-turun bukit dan dingin banget. Karena dataran tinggi, daerah apartemen Devi ini sudah agak bersalju. Tapi alih-alih kedinginan, aku malah banjir keringat di tengah jalan.
“Dev, hah huh hah huh, kampret lo ga bilang rumah lo di bukit!”
“Yeee… Siapa suruh naik sepeda. Bukannya naik bus aja.”
Habis gimana yah, aku lebih suka naik sepeda daripada bus. Kalau jalanannya datar, rasanya segar. Kalau jalanannya naik-turun, ya lumayan paha kemeng. Aku sempat tersenyum saat melintasi kebun gandum, masih nggak percaya aku udah berhasil tiba di Jerman. Rasanya bangga dan lega, udah melewat berbagai shitty things dan masih survive tanpa sakit-sakitan.
Sampai di sana, Devi udah nunggu dengan heboh, “Ceciiilll!!! Ayo kita parttyyy!” Aku bergegas parkir sepeda, dan kami pun naik ke apartemen di lantai 8.

Kamarnya kecil, cuma sekitar 9m², tapi vibe apartemen mahasiswa itu seru banget! Persis di film-film amerika saat adegan ke asrama mahasiswa: ada satu kasur single, meja belajar, meja makan kecil, kloset (lemari baju) dan wastafel. Di area bersama juga ada rooftop, toilet yang relatif bersih, dapur, dan koridor penuh poster keren-keren. Kami mulai pre-drinks sambil karaoke lagu India tahun 90-an, Mandragora, gossip, dan ngakak for no reason. Harga per kamar sekitar 350an Euro.
Sekitar jam 9-an, teman-teman Devi dari kamar sebelah ngajak kami keluar buat nonton kembang api di depan Gereja Ulmer Münster. Ada tiga laki-laki dari Pakistan yang akan menemani aku dan Devi malam ini. Sialnya, aku sudah lupa nama mereka semua karena terlarut mabuk.

Aku kira kembang apinya bakal spektakuler, sialnya yang ada hanya kembang api biasa dari warga secara sukarela. Jadi seperti nonton kembang api versi kekeluargaan. Tetap seru sih, karena sudah mabuk anyway. Dan berhubung aku hanya pakai sweater tipis di hari yang dingin ini, jadilah aku dan teman-teman saling berpegangan tangan. Yup, kalian baca dengan benar, aku cuma pakai tanktop + sweater tipis di musim dingin Jerman. Itu adalah keputusan yang sangat nekat. Mohon untuk tidak mengikuti jejak kebodohanku.
Kenapa aku tidak pakai jaket winter?
Karena aku males titip jaket di klub. Pasti bakal antre lama, dan mungkin harus bayar 2€, sedangkan aku terlalu kikir untuk melakukan pengeluaran itu. Makanya aku pakai sweater tipis aja biar gampang dilepas dan ringin dibawa tangan.
Setelah puas nonton kembang api sampe jam 12-an, kita semua langsung jalan ke Gleis 44, klub paling seru di Ulm yang punya acara tahun baru dari jam 00.00 sampe 11 pagi. Bayangin, 11 pagi! Aku belum pernah liat klub dengan jam buka sampai segitunya. Di Bali dan Jakarta aja palingan cuma buka sampe jam 4 pagi, abis itu DJ-nya juga udah beres-beres mau pulang. Ngakak. Party scene di Jerman maksimal banget!

Sekitar jam 12-an, kita antre di depan Gleis 44, dan tempatnya rame banget. Bayangkan diriku yang hanya pakai baju tipis ini, harus berdiri di luar sambil menahan dinginnya malam di Ulm (sekitar -1 derajat Celsius) selama hampir 45 menit. Lebih sialnya lagi, pas udah di depan pintu masuk, bouncer-nya minta ID card.
Aku sama Devi nunjukin tiket yang udah kita beli jauh-jauh hari, tapi si mas-mas bouncer yang ganteng ini bilang, “No photo ID card, no digital. Only physical ID Card.”
“Ah, sial! Yaudah lah Dev, kita pulang dulu ambil kartu ID!”
Ternyata ketiga teman Devi juga nggak bawa kartu ID. Yaudah akhirnya kita semua pulang. Devi sama aku udah kebelet pipis parah, jadi kita berpisah dengan rombongan dan berencana buat ke stasiun kereta dulu cari toilet. Eh, namanya juga Jerman, mana ada yang buka jam 12 subuh gini? Semua tutup. Bayangin udah kedinginan, kebelet pipis, terus nggak ketemu toilet juga! Terpaksa deh aku ajak Devi naik taksi buat pulang ke apartemennya, daripada nunggu bus kelamaan (cuma ada 30 menit sekali dan harus transit sekali). Kita bayar 15€, dan beruntung supir taksinya baik gitu, ngajak ngobrol dikit pake Jerman-Inggris terbata-bata.
Setelah tiba di kamar, kita semua langsung ngibrit ke toilet. Abis itu Devi cek lagi jadwal bus buat balik ke klub. Karena bus berikutnya baru ada jam 2-an pagi, yaudah kita masih ada waktu buat minum dan… tidur!
Mendekati jadwal bus, teman-teman Devi mengetuk pintu kamar lagi. Mereka tetap mau pergi ke klub dan ngajak kita buru-buru karena busnya udah mau datang. Kami langsung lari-lari ke halte biar nggak ketinggalan. Rasanya seru banget, meski aku udah ngantuk parah wkwkwk. Aku sempat ketiduran di bus dan di jalan, teman-teman Devi selalu bangunin aku, “Caecilia, kamu tidur berdiri?!”
Iya, aku emang bisa tidur berdiri. Makanya dulu pernah kecelakaan waktu bawa motor di Bali. Waktu itu aku ngantuk banget karena perjalanan jauh (40 km), ditambah angin sepoi-sepoi, akhirnya aku ketiduran. Pas sadar, motor aku udah nabrak rumah orang dan aku terlempar ke depan. Untung nggak ada yang cedera, aku cuma lecet sedikit, tapi motorku hancur penyok di bagian depan (meski masih bisa digunakan hingga hari ini).
Anyway, balik ke cerita utama, kami tiba di depan klub sekitar jam 3 pagi DAN klubnya masih rame. Antriannya malah lebih panjang dari sebelumnya. Karena di dalam klub udah sesak banget, bouncer nggak bisa izinin orang baru masuk. Kita harus nunggu ada yang keluar dulu baru boleh masuk. Jadi, bayangin aja lebih dari 1 jam aku berdiri di luar, kedinginan dan ngantuk, nungguin orang yang mau pulang. Terus pas giliran kita tiba, si bouncer udah nggak ngecek kartu ID lagi dong?! Kita langsung disuruh masuk dan Devi dongkol banget.
“YEE… NGAPAIN GUE PULANG KALO UJUNG-UJUNGNYA ID CARD GUE GA DICEK?!”
Tapi ya udah lah, akhirnya bisa masuk juga. Klub Gleis 44 ini bentuknya kayak apartemen yang dicat hitam. Ada beberapa ruangan dengan musik dan lampu yang beda-beda, di setiap ruangan ada DJ dan crowd-nya masing-masing, jadi kamu bisa pilih mau dance di mana.
Pas pertama kali masuk, kamu harus nunjukin tiket yang udah dibeli atau bayar di tempat. Aku nggak tau biaya on the spot-nya berapa, tapi kalo nggak lagi tahun baru, mungkin HTM klub ini sekitar 10-12 Euro.
Terus, kamu bisa nitipin jaket winter di Garderobe, tapi antre panjang. Di hampir semua klub, khususnya yang murah-murah, kadang ada kasus jaket yang tertukar atau hilang. Aku nggak tahu bagaimana dengan Gleis 44, tapi ada baiknya selalu waspada. Makanya, aku sama Devi mutusin buat pakai jaket tipis supaya tidak perlu dititip, hehe.

Balik ke cerita, aku dan Devi memutuskan pisah dengan teman-teman apartemennya di sini. Setelah itu, kami nggak tahu mereka ke mana. Ruang pertama yang kami pilih adalah ruang merah dengan musik Rave 1/16 ketukan. Hahaha… Musiknya cepat dan gila banget. Crowd-nya mayoritas laki-laki Eropa berkaos atau bahkan bertelanjang dada karena klub ini panasnya luar biasa. Kadang-kadang ada beberapa perempuan juga yang pakai bikini atau baju ketat, tapi jumlah mereka sedikit banget. Aku bahkan hampir nggak nemuin orang Asia malam itu, eh pagi deng, kan udah jam 4an.
Dan kalau rasio antara laki-laki dan perempuan segitu jomplangnya, bayangin aja berapa kali aku dan Devi digerayangi sama pria-pria seksi. Ya, seksi. Badan mereka bagus banget. Tapi mengingat usiaku yang udah kepala tiga, aku udah nggak tertarik sama bocah-bocah manis ini. Hihihi…
Oh ya, area toilet perempuan ada di lantai dua, dan posisinya lega banget. Nggak ada antrean panjang, relatif bersih, dan ada sofa. Jadi kalau capek, bisa tidur-tiduran dulu.
Akhirnya, setelah pindah dari satu ruangan ke ruangan lain, aku dan Devi capek juga joget dan harus terus-menerus menghilang dari kejaran berbagai laki-laki asing. Kami memutuskan untuk pulang sekitar jam 7.40 pagi karena busnya baru akan ada jam segitu.
Duduklah kami di sofa menunggu waktu tiba, karena kaki udah pegel nggak karuan. Badan udah bau keringat dan asap rokok (Oh ya, BTW, banyak yang merokok di area DJ, termasuk DJ-nya juga merokok). Klubnya juga berasap/berkabut banget. Agak susah kalau mau foto-foto.
Tak lama kemudian, kami berdiri di pinggir halte, menunggu bus kembali ke apartemen Devi, sambil menggigil kedinginan. Mungkin suhu sekitar -2 derajat Celsius.
Kami pulang naik bus pertama dengan aman dan nyaman. Supir bus menyalakan lagu Rave Arab atau India, aku kurang tahu.
“Cil, kayaknya ini baru pertama kalinya aku denger ada musik di bus.”
“Oh iya, kamu benar. Biasanya bus nggak muter musik. Hahaha…”
Berikutnya, kami harus turun di sebuah halte dan pindah ke bus satunya lagi. Tapi sial, karena kami berdua masih asing di kota ini, Devi nggak tahu haltenya yang mana. Dan mungkin karena kita berdua udah capek, jadi otak kita agak lemot. Akhirnya kita ketinggalan bus kedua, dan terpaksa menunggu 25 menit lagi.
“25 MENIT?! DEV, NAIK TAKSI AJA YUK!”
“Ga ada taksi, Cil. Coba aja kamu lihat. Kosong melompong gini.”
“Shit, ini dingin banget. Aku nggak kuat. Kita stop aja mobil siapa gitu kek.”
“Haduh kamu berani? Nanti kita diculik. Lihat tuh ada mobil van lewat, persis mobil-mobil yang biasa dipakai buat penculikan kalau di film-film.”
“Oh siaaaalll… Ada nggak sih tempat buat sembunyi dari dinginnya pagi ini?!”
Well, at the end, kami berdua duduk di halte dan benar-benar menunggu 25 menit untuk bus berikutnya datang. Setiap kali angin dingin berhembus, kami berdua teriak ngilu bersama. Asli rasanya kayak di neraka: sakit, perih, dan super menusuk. Sesaat terlintas penyesalan dalam benakku, “Kenapa ya aku segila ini?” pikirku.
Di menit ke-15 dalam penantian bus kami, seorang pria ganteng datang menghampiri.
“Hi, studiert hier?” tanyanya, yang berarti, “Apakah kalian sekolah di sini?”
“Ja,” jawab kita singkat karena kedinginan dan capek.
“Oh, here we have a bible group at the Ulm university. I hope you guys can join and see you,” si ganteng memberikannya kami berdua secarik kertas dengan informasi tanggal dan jam pertemuan Bible Study Group di Universitas Ulm, di jam 5 pagi! Bayangkan: udah kedinginan, menderita, eh disamperin cowok ganteng buat baca Alkitab. Apa mungkin ini pertanda dari Tuhan untuk kembali ke jalan yang benar? Hahaha. JK. Kemudian si ganteng pergi dan naik bus yang berbeda.
“Mereka ini kekurangan orang Kristen atau gimana sih?” tanya Devi dengan polosnya. Ngomong-ngomong, Devi ini berasal dari India dengan agama Hindu.
“Nggak sih, mayoritas di sini Kristen.”
Memang agak lucu tinggal di Jerman. Mungkin satu atau dua kali kamu akan didekati orang asing yang ingin mengajakmu masuk ke komunitas agama mereka. Tanpa perlu bertanya agamamu apa. Kamu langsung disambar dan diundang ke acara mereka. Begitu cara kerjanya. Se-random itu.
Akhirnya, bus yang kami tunggu-tunggu datang. Kami langsung naik dan otomatis ketiduran meski masih menggigil kedinginan. Perjalanan ternyata terasa panjang dan lama sekali. Aku sudah tidak tahan ingin pipis dan pulang.
Kemudian, Devi membangunkanku dan kami berdua pun segera turun, tertawa-tawa melihat sunrise yang indah meski tidak hangat sama sekali. Kami berlari masuk ke kamar dan langsung selimutan.
“Setelah badanku hangat, aku langsung sepedaan pulang yah.”
“Ga mau makan dulu di sini? Ga apa-apa loh, aku ada Joghurt.”
“Ga usahlah, aku udah ga tahan pengen mandi.”
“LOL, gila kamu. Aku sih akan langsung tidur. Yaudah nanti kabarin kalau udah sampai rumah ya!”
“Happy birthday and happy new year 2025!”
Akhirnya, aku pulang naik sepeda sambil kedinginan. Kurang lebih total 12 jam aku di luar tanpa tidur dan bertahan dengan asupan gizi 1 botol Gin dan wine merah 750 mL. Ternyata tubuhku masih kuat. Aku cukup salut dan tentunya berterima kasih pada Tuhan YME karena aku bisa menikmati tahun baru yang indah bersama pacar yang tinggal nun jauh di Indonesia dan teman baik baru di kota sebelah.
Terima kasih sudah membaca, semoga tahun 2025 lebih baik lagi untuk kita semua!
Comentarios