Pidato HUT IKJ Ke-45
- Caecilia Sherina
- 25 Jun 2015
- 7 menit membaca
Diperbarui: 3 Jan
Beberapa waktu lalu gue dan beberapa mahasiswa dipanggil ke rektorat. Rupanya sebagai perwakilan mahasiswa terpilih, kami diminta membuat sebuah pidato untuk disampaikan di hari ulang tahun (HUT) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang ke-45. Tapi dari semua mahasiswa yang terpilih, hanya akan ada satu yang berhak membacakan hasil pidatonya di depan semua orang. Untuk itu kami diharuskan mengikuti audisi. Sayangnya tepat pada hari audisi, gue jatuh sakit sampai nggak bisa ngapa-ngapain selain meringis sakit di atas kasur. Meskipun begitu, gue sudah mempersiapkan pidato yang ingin gue bacakan. Daripada sia-sia sudah dibuat, lebih baik gue share saja di blog ini. Hehe... Selamat membaca!

PIDATO HUT IKJ KE-45
āTiga Masaā
Selamat pagi kepada yang terhormat Bapak Rektor Dr. Wagiono Sunarto; para Wakil Rektor; para Dekan dan Wakil Dekan dari Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Film dan Televisi; serta para hadirin sekalian yang saya hormati.
Tidak terasa, sudah tiga tahun saya berkuliah di Institut Kesenian Jakarta. Rasanya baru kemarinātahun 2012āsaya ambil brosur FFTV dari Mbak Asih di ruang akademik. Tiba-tiba sudah tahun 2015; tiba-tiba sebentar lagi harus mempersiapkan rancangan tugas akhir; dan tiba-tiba IKJ sudah berumur 45 tahun.
Pada hari yang berbahagia ini, mari kita panjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa, karena telah memberkati Institut Kesenian Jakarta. Juga kepada para almarhum pendiri LPKJ dan penerusnya yang telah mengurus institusi ini hingga sedemikian rupa, sampai pada titik di mana saya dan mahasiswa lainnya dapat mengenyam pendidikan tinggi dengan nyaman dan aman.
Selamat ulang tahun yang ke-45, kampus tercinta! We are here today to honor our past, celebrate our present and build our future. Hari ini kita semua berkumpul, untuk menghormati masa lalu, merayakan masa kini, dan membangun masa depan.
Masa Lalu
Tiga tahun yang lalu, saat saya menerima kabar bahwa saya diterima di FFTV IKJ, saya tanya ke ayah saya, āPap, yakin aku masuk IKJ?ā dan ayah saya menjawab dengan santai, āYakinlah, kamu yakin nggak?ā
āYakin!ā meskipun saya belum tahu alasannya bila ditanya kenapa. Pokoknya yakin dulu! Ternyata seminggu saya berkuliah di sini, saya syok. Sebulan berikutnya saya stres berat. Sebulan setengah, saya mulai penyakitan dan di bulan kedua, saya merenung: mau keluar atau bertahan?
Sejak kecil saya terbiasa dididik dengan cara militeris. Semuanya terstruktur, terjadwal, teratur, dan tidak bisa disanggah atau ditanya kenapa begini dan begitu. Tiba-tiba di IKJ, BAM! Culture shock! Saya dihadapkan pada sebuah kebudayaan baru. Di kampus ini, hampir semua orang tidak pernah tepat waktu, baik pengajar maupun pelajar; lalu di kampus ini, materi kuliahnya banyak yang abstrak, sampai silabusnya tidak bisa ditebak; dan hal yang paling menarik dari kampus ini adalah hampir semua hal serba mendadak!
Mendadak dosen nggak masuk, mendadak di-calling syuting, mendadak kuliah over-time, mendadak nilai akhir E padahal sudah kumpulin tugas, dan berbagai hal mendadak lainnya. Tapi pada akhirnya, para hadirin yang saya hormati, saya memutuskan untuk bertahan. Alasan saya satu: saya telah jatuh cinta pada IKJ.
Masa Kini
Kampus ini memang kampus ajaib. Di saat semua orang berusaha mengikuti tren, orang IKJ malah cuek bebek. Tidak ada yang menghakimi, mengejek, atau pun mendiskriminasi orang-orang yang berbeda, atau orang-orang yang bergaya di luar tren. Justru di sini, perbedaan dijunjung tinggi, terutama dalam penciptaan karya; haram hukumnya menjiplak. Begitu pula dengan masalah-masalah yang lebih kompleks seperti agama dan ras. Biasanya di kampus akan terjadi pengelompokkan secara natural; misalnya yang agama Islam kumpul sama yang agama Islam, dan yang ras Cina mainnya sama yang Cina saja. Menariknya, hal ini tidak terjadi di IKJ. Di kampus ini, tidak ada yang peduli kamu punya agama atau tidak, atau pun apa ras dan bahasa ibumu; yang kita pedulikan adalah apa fakultasmu dan apa mayormu! (Soalnya kalau cocok, mau di-calling syutingā¦)
Kemudian, persaudaraan di IKJ juga sangat berbeda dengan kampus-kampus lainnya. Selama tiga tahun saya berkuliah di sini, saya dapat merasakan bahwa persahabatan kita tidak berjarak. Antara dosen dan mahasiswa, antara senior dan junior, maupun antara mahasiswa dan staf, dan seterusnya. Semua orang, tua atau muda boleh dipanggil abang, mas atau mbak. Coba bayangkan kalau ini di Universitas Indonesia, mungkin saya sudah dijitak oleh bapak dosen karena memanggilnya dengan sebutan Bang.
Suatu waktu teman saya dari universitas lain curhat, dia sedang resah dalam menentukan skripsinya. Jadi saya bilang, āCoba diskusikan dengan pembimbing di kampus, atau dosen yang lebih paham dengan persoalanmu.ā Soalnya saya dan teman saya itu berbeda jurusan, dia peternakan, sementara saya perfilman. Kemudian teman saya menjawab, āYa betul sih, tapi susah mau ketemu. Harus bikin janji dulu.ā Spontan, saya kaget mendengarnya. Seumur hidup saya kuliah di sini, tidak pernah saya membuat janji untuk berdiskusi. Kemudian saya pikir hanya kampus dia saja yang seperti itu, tapi ternyata di kampus lain juga sama: menemui seorang dosen secara privat itu tidak mudah, harus bikin janji dari jauh hari.
Sejak itu saya semakin merasa bersyukur. Di IKJ, jangankan dosen, bahkan para dekan dan wakil dekan pun bisa ditemui hampir setiap hari. Meskipun memang tidak selalu ada untuk diajak berdiskusi, tapi paling tidak, tidak sampai harus membuat janji formal. Hubungan di antara kita benar-benar tidak berjarak, walaupun saya sebagai mahasiswa tetap menghormati posisi beliau sebagai seorang dosen.
Demikian pula hubungan antara senior dan junior. Awalnya memang, terasa ada jarak karena pada tahun itu ospek Mata Seni belum lama ditiadakan dan beberapa pihak belum bisa menerima keputusan tersebut. Beberapa kali saya dan teman seangkatan mendengar kalimat seperti, āLo nggak ikut Matsen, berarti lo bukan keluarga besar IKJ.ā
Namun seiring waktu berjalan, seperti kata pepatah, āTak kenal maka tak sayang,ā begitu pula dengan hubungan antara saya dengan senior dan junior di IKJ. Awalnya dingin, namun ketika sudah kenal, kita mulai akrab dan tidak lagi berjarak. Kita lupakan mindset kuno tadi. Ikut Matsen atau tidak, kami tetap menjadi bagian dalam keluarga besar IKJ. Baju almamater yang kami miliki ini adalah buktinya, dan kami ikut berjuang, bekerja keras dalam meningkatkan mutu kualitas kesenian nusantara atas nama Institut Kesenian Jakarta. Kini saya dengan mahasiswa lainnya bersahabat, tanpa pandang umur, ras, agama, atau hal apapun. Kita saling berbagi ilmu, tolong-menolong, dan menguatkan satu sama lain. Kita sama-sama membawa nama besar IKJ.
Kedekatan ini adalah salah satu alasan yang membuat saya sangat betah berkuliah di IKJ. Saya merasa telah menemukan sebuah keluarga baru dan sebuah rumah kedua.
Masa Depan
Pada umurnya yang ke-45, Institut Kesenian Jakarta telah mengalami berbagai perubahan. Mulai dari yang paling terlihat oleh mata, yakni gedung, wajah baru para dosen dan asisten dosen, hingga perubahan sistem analog ke digital, dan seterusnya. Perubahan ini tentu ada yang membawa konflik, ada pula yang tidak; ada yang bersifat positif, ada pula yang tidak. Apapun itu, perubahan seharusnya dilihat dengan pikiran terbuka. Bila kita menolak perubahan, maka kita juga menolak kemajuan, sebab kemajuan tidak akan pernah terjadi tanpa ada perubahan.
Sebagai perwakilan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, izinkan saya menyampaikan harapan serta aspirasi para mahasiswa. Tentunya harapan kami adalah wish you all the best. Tapi rasanya tidak terdengar kreatif karena seperti template siap pakai ya? Kalau begitu, saya akan memaparkan cukup panjang, hal-hal the best apa saja yang kami harapkan untuk IKJ yang lebih baik!
Pertama, kami berharap IKJ agar lebih āhijauā ke depannya. Dalam kesempatan berkunjung ke Festival Kesenian Indonesia di Jogjakarta sebelumnya, saya dapat merasakan betapa asri dan sejuk lingkungan kampus yang dipenuhi berbagai pohon, bunga, dan rerumputan. Sangat kontras dengan keadaan IKJ yang saat ini gersang. Sayang sekali saya melihat banyak spot untuk menanam tumbuhan berakhir menjadi tempat sampah massal. Gerakan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Jadi semua elemen harus saling berkontribusi. Mungkin mahasiswa yang mengeksekusi sementara pihak kampus mengakomodasi, atau bagaimana pun caranya, semoga tidak menjadi wacana belaka.
Kedua, kami mendoakan agar ketiga fakultas IKJ ke depannya dapat semakin bersinergi dan saling melengkapi. Misalnya ketika mahasiswa film membutuhkan music scoring, bisa bekerja sama dengan mahasiswa musik, atau ketika mahasiswa seni rupa membutuhkan fotografer, bisa minta tolong mahasiswa fotografi, dan seterusnya saling berhubungan simbiosis mutualisme. Meskipun sudah tidak ada ospek, semoga kita, bersama Senat Mahasiswa dapat terus meningkatkan kebersamaan lewat program-program kolaboratif yang menyenangkan dan bermanfaat bagi mahasiswa dan lingkungan sekitar. Layaknya ranting-ranting pohon, tentu akan lebih mudah bila dipatahkan satu persatu. Tapi ketika ranting-ranting ini dikumpulkan dan diikat, tidak akan bisa dipatahkan begitu saja. Sama halnya dengan hubungan antar fakultas, tidak sepatutnya dilihat sebagai persaingan, melainkan sebagai persahabatan yang perlu dibangun untuk menuju Institut Kesenian Jakarta yang lebih kokoh. Bersatu kita maju, bercerai kita runtuh.
Berikutnya, yang juga sangat penting, kami mendoakan agar semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas para pengajar serta fasilitas di IKJ. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan in a blink of an eye, atau dalam sekejap. Perlahan, namun pasti, menjadi agenda kita bersama untuk terus meningkatkan standar kualitas. Jangan hanyut dalam kejayaan, dan jangan menyerah pada keadaan.
Perlu diingat bahwa Institut Kesenian Jakarta kini bukan lagi satu-satunya sekolah kesenian di Indonesia, atau pun satu-satunya sekolah perfilman di Jakarta. Seiring waktu berjalan, berbagai sekolah film bermunculan, dan persaingan semakin ketat. Mengutip dari sebuah artikel di Majalah AKSI Edisi 3 No. 2 yang terbit bulan Juni ini, āKabar baik: sekarang semua orang bisa bikin film. Kabar buruk: sekarang semua orang bisa bikin film.ā Kalimat ini tentu tidak hanya berlaku untuk orang film, namun juga berlaku untuk divisi kesenian lainnya. Sekarang zaman sudah canggih, sudah modern. Membuat musik bisa tanpa alat musik, dan membuat lukisan bisa tanpa keahlian melukis (tinggal mengikuti panduan, atau urutan nomor warna).
Sebagai pelajar yang berpendidikan tinggi, jangan sampai ilmu kita tidak ada bedanya dengan yang belajar otodidak. Pelajar otodidak bisa menjadi praktisi lewat tutorial Youtube, tapi kita pelajar yang belajar di institusi formal mendapatkan akses lebih besar pada ilmu pengetahuan. Jangan hanya menjadi praktisi, namun juga menjadi akademisi. Demikian pula jangan hanya menjadi akademisi, namun juga menjadi seorang praktisi. Dengan begitu Institut Kesenian Jakarta tidak hanya meluluskan sumber tenaga kerja, tetapi juga sumber tenaga ahli.
Biaya kuliah di sini telah meningkat drastis, jadikan hal ini sebagai pecutan untuk memotivasi diri. Bukankah kita benar-benar mencintai kesenian maka kita bertahan dan hadir pada acara hari ini? Demikian harapan-harapan kami, semoga IKJ terus berjaya, bersinar, dan menjadi panutan orang-orang kreatif di Indonesia. Terima kasih atas waktunya, dan semoga hari kita semua menyenangkan.








Komentar