top of page

Sisi Buruk Dunia Perfilman Wkwk Land

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 2 Jan 2016
  • 7 menit membaca

Beberapa waktu lalu kawan gue bahagiaaaaa banget. Dia bilang dia baru aja ditawarin job film layar lebar oleh seorang sutradara muda yang reputasinya sedang naik daun. Selain itu, syutingnya juga akan dilakukan di Afrika selama 2 minggu (yang artinya dia juga dapet jalan-jalan gratis). Kurang keren apa lagi coba? Bener-bener rezeki anak soleha, gua pikir!


Sebelum dia berangkat, gue cuma bilang, "Have a safe flight, Bro." Sebulan berlalu dan gue lupa sama dia, tiba-tiba dia ngabarin udah di Jakarta dan ngajak jalan. Maka jalanlah kami berdua, dengan agenda seperti biasa: nonton film Indonesia, lalu ngerumpi sampe pagi.


"Bro, gimana syutingannya?!" tanya gue antusias begitu ketemu. Temen gue yang satu ini ternyata nggak langsung merespon. Dia malah sibuk ngomentarin baju kita yang kebetulan sama-sama warna merah.


"Kok lu pake baju ini juga sih. Anjrit kita kayak abis pulang kerja dari pabrik yang sama!" dan gue pun hanya tertawa kecil, karena dalam hati gue, kita lebih mirip couple yang ngerayain Natal ketimbang buruh pabrik. Oh, maafkan my chick flick fantasy.


Skip cerita, setelah nonton dan makan, kita mulai mencari tempat yang sepi untuk berbicara. Gue sih udah nggak sabar banget dengerin pengalaman dia, tapi daritadi dia nunda mulu. Penuh suspense banget! Setelah akhirnya ketemu lokasi yang oke, JDYAR! Temen gue langsung "tumpah". Gue nggak nyangka pengalaman syuting dia benar-benar penuh darah dan doa!


***


Dengan wajah datarnya temen gue mulai curhat, "Hari pertama, lu taulah ya syutingan suka ngaret. Dan emang udah tugas gue kan sebagai astrada 1 untuk ingetin waktu mereka. Makanya waktu mereka udah ngaret banget, gue ingetin, 'Guys, waktu kita tinggal 1 jam lagi, ayo hurry up ya.' Terus ternyata semua orang kesel banget sama gue, Cil. Director gua langsung manggil gue dan bilang, 'Kamu tuh kalau kerja jangan maksain orang buru-buru. Santai aja. Kreativitas nggak bisa diburu waktu. Lagipula kalau film ini udah jadi, penonton tuh nggak peduli sama prosesnya. Yang mereka peduliin tuh hasilnya! Saya mau hasil film ini maksimal, jadi biarin aja kalau overtime!"


Gue yang dengerin cuma manggut-manggut. Gue pikir, oh iya juga sih, penonton emang nggak peduli prosesnya. Tapi kan... Tapi kan... Karena ada "tapi" itu gue coba bertanya pada kawan gue, "Tapi kan mereka bikin film ada anggaran biaya? Emangnya produser izinin overtime?" You know, kalau overtime (OT) itu banyak hal bakal didenda. Mulai dari peralatan kamera, lampu, genset, lokasi, property, talent, kru, dst. Overtime is actually a big deal to consider kalau anggaran biaya film lu pas-pasan.


"Iya, Sil, gue nggak ngerti kalau soal anggaran mereka gimana. Tapi yang gue tau, yang selama ini kita pelajari di kampus itu ya kalau udah bikin jadwal itu diikutin yang baik. Jadi kerja kita sehat (dapat tidur yang cukup), dan semuanya ada kejelasan serta ketepatan waktu."


Gue manggut-manggut, sementara doi melanjutkan, "Terus ya, Cil, kalau gue bikin salah dikiiitt aja, ya ampun itu mulutnya pada jahat banget langsung gue dicaci-maki. Giliran mereka kerjanya lelet, nggak ada yang boleh ditegur. Lu tau nggak sih pas gue lagi ngelobi pemilik lokasi biar syuting ini lancar, ada kru lighting dengan entengnya bilang gini ke gue, 'Enak ya kerja lu, cuma ngomong doang.'"


(Tiba-tiba temen gue diem dan tarik napas. Dia coba untuk melanjutkan kata-katanya, tapi tidak ada suara yang keluar. Akhirnya dia diam sebentar.)


"Emang job desc. gue itu mostly 'ngomong'. Terus dia kira 'ngomong' itu gampang? Coba mereka yang disuruh ngomong. Pas ada masalah dateng aja semuanya mental chicken, nggak ada yang berani speak up, malah pada cuci tangan. Mereka pikir siapa yang nenangin semua talent ketika talent disuruh nunggu 6 jam atau disuruh akting bahagia jam 1 pagi? Apa mereka bisa nenanginnya? Kalau gue gagal ngomong sama para talent itu, apa mereka bisa lanjutin bikin filmnya? Gue merasa nggak dihargain banget sebagai astrada, dan director gue nggak mencoba melakukan apapun. Gue dibiar-biarin aja diinjek sama kru lain."


I felt like I can relate to his experience. Gue udah pernah ngerasain dalam skala yang kecil, dan juga sering denger keluhan temen yang lain, hanya saja so far, pengalaman temen yang satu ini adalah yang paling kacrut yang pernah gue denger.


Menurut gue, ada beberapa kebiasaan buruk dan aneh yang udah mengakar sejak kita masih kuliah dan terbawa hingga ke dunia profesional. Sebelum gue kuliah dan bekerja di dunia film, gue kira bikin film itu pasti seru banget! Ya gue tau pasti ada capeknya, tapi tetep terdengar seru. Ngebayangin kerja bareng pecinta film, berjuang bersama mereka, patungan duit buat bikin film yang kece badai, tapi ternyata oh ternyata, setelah gua kuliah dan terjun ke beberapa proyek film, bikin film nggak seindah yang gue bayangkan.


1. Etos Kerja

Kita telaah dulu ya beberapa argumen di bawah ini:

  • Sebagian mahasiswa film bukan pecinta film.

  • Kebanyakan orang Indonesia sungkan mengutarakan pendapat pribadinya.

  • Kebanyakan orang Indonesia suka telat berjam-jam.

  • Kebanyakan orang tidak terima dikritik.


Gue bisa saja salah, dan kalian para pembaca berhak mengkoreksi. But anyway 4 argumen di atas buat gue valid, karena memang pada faktanya banyak banget orang yang seperti itu, meski tidak semua orang seperti itu.


Hal pertama yang harus lo telen ketika lo kuliah film (dan khususnya kuliah di IKJ), adalah fakta bahwa kebanyakan temen lo masuk film bukan karena passion. Kebanyakan dari mereka masuk, karena bingung mau ngapain. Lebih fucked up lagi kenalan gue yang bilang, "Gue masuk film, cuma mau cari temen."


ree

Dampaknya ya kelihatan pas bikin film bareng. Karena dari awal dia nggak niat-niat amat jadi ya pengetahuannya juga nggak niat-niat amat ditambahin. Berdampak pula pada etos kerjanya jadi kurang semangat, males-malesan, kurang persiapan, kurang inovasi, dst.


Sebelnya, orang seperti ini nggak bisa dikritik! Kritik dia telat aja gue dianggap jahat/lebay/galak sama yang lain apalagi mau mengkritik kebiasaan kerjanya yang nggak sepenuh hati! Ini pula yang bikin lingkungan kerja makin nggak kondusif.


Gue sering banget loh dideskripsikan sebagai orang yang galak, cuma gara-gara gue menegur temen yang datang telat. Gue menegakkan apa yang seharusnya kita tegakkan bersama, malah gue yang dianggap berperilaku negatif. Duh, bingung sama Negeri Wakanda! Akhirnya gue belajar menahan diri karena nggak mau dikucilkan sama semua orang. (Suer, gue sampe belajar caranya telat!)


Kalau pas kerja sih mungkin masih bisa terkontrol ya, karena ada rasa takut gaji dipotong atau rasa takut dipecat. Tapi ya tetep aja, kok dateng telat dibudayakan dan harus diancem-ancem dulu? Kalau mau kerja ya kerjalah, jangan setengah-setengah terus. Sekali-kali sepenuh hati gitu; jangan nanggung-nanggung, mulai dari waktu, persiapan, dan seterusnya maksimalkan biar hasilnya juga memuaskan. Tapi ya kembali lagi sih ke prinsip awal, passion di film apa nggak? Kalau orangnya bilang nggak passion, apa yang nak saya perbuat, Pakcik?


2. Tidak ada Break Time

Ketika mahasiswa bikin film dengan anggaran minim, kita bisa pastikan dalam 2 hari 1 malam itu kita nggak bakal punya break atau pun jam tidur yang masuk akal. Orang sini nggak terbiasa menghargai break time, bahkan ketika lu dalam dunia profesional. Pokoknya kalau udah molor, dan masih ada waktu, genjot terus syuting sampai selesai.


Kenapa nggak bisa ada break time? Menurut gue karena (1) budget dan (2) kurang meluangkan waktu untuk latihan dan persiapan, serta (3) kerjanya sendiri lelet. Kebanyakan orang endonesyah itu jalan aja lelet, apalagi kerja. Belum lagi hobi menunda dan menggampangkan pekerjaan! Hampir semua hal pasti baru dipikirkan di hari H, akibatnya perhitungan meleset, kesalahan teknis terjadi, dan BOOM! Tiba-tiba break time jadi working time.


Sedihnya lagi overtime itu nggak pernah dihitung kerja lembur. Gue belum pernah denger tuh temen gue yang kerja di saat dia seharusnya sudah istirahat diberikan biaya ganti rugi. Lebih menyedihkan lagi ketika lu nggak bisa protes, karena atasan lu nggak terima kritikan dan lu juga terlalu takut untuk mengutarakannya. Urgh!


3. Temen di luar Divisi = Musuh

Ini lagi yang gue nggak ngerti. Sering banget gue ngelihat orang memperlakukan temen satu timnya kayak musuh cuma karena mereka beda divisi. (Divisi yang gue maksud adalah divisi penyutradaraan, produksi, kamera, editing, dll.)


Misalnya dosen gue pernah bilang ke gue, "Cil, kamu sebagai sutradara harusnya paksain ke anak produksi untuk minta tambahan waktu syuting! Tambah harinya. Minta juga property yang lebih bla bla bla... Jangan mau dikasih bla bla bla..."


Buset gue yang dengerin bingung. Lah, wong ini projek pake duit gue juga, kenapa gue harus neken temen gue yang produksi? Kenapa harus ada kata "memaksa" dalam kamus kita semua? Emangnya nggak bisa ya gue bilang aja, "Bro, gue mau ini aja. Soal duit, kita patungan lebih lagi gimana? Soalnya filmnya bakal lebih bagus begininini..."


Bukankah ada cara yang lebih baik dalam menyampaikan pendapat ya? Toh, kita semua sama-sama pengen filmnya bagus, kalau alasannya masuk akal, masak partner kita mau tolak? (Kecuali partner lu emang retarded dan seleranya kacrut, ya itu lain cerita sih.)


Kita itu satu tim, Bro. Rusak satu ya rusak semua filmnya. Nggak lucu kan ada film dengan gambar bagus tapi suaranya bikin telinga pecah. Atau ceritanya bagus tapi gambarnya ecekepret. Semuanya harus bagus bareng-bareng, dan itu terbentuk nggak cuma dari visi sutradara aja tapi juga dari kerja-sama tim. Menurut gue, semuanya kudu klop dan menganggap temennya itu "partner", bukan "musuh". Tapi faktanya sih... Ehem...


4. Senioritas

Hal paling nggak adil di dunia ini adalah ketika lu diperlakukan kayak anjing, cuma karena status lu di situ "bukan siapa-siapa". Gua paling benci sama sutradara yang bahkan nggak mau ngobrol sama asisten astrada 2 cuma karena dia asisten astrada 2. Jadi harusnya tuh ngobrol ke astrada 2 dulu, trus ke astrada 1 baru deh nyampe ke sutradara.


Ih, gila, males banget. Bos perusahaan Jepang aja nggak begitu amat. Dalam kunjungan gue ke sebuah perusahaan di Jepang, bos perusahaan itu bahkan membuka pintu kantornya lebar-lebar biar siapapun nggak segan untuk datang dan bicara padanya. Ini baru jadi sutradara film pendek aja udah banyak gaya betul!


Apalagi pengalaman temen gue tadi, di mana dia dimaki-maki seenak jidat sama semua orang hanya karena dia yang paling junior. Duh, bikin suasana kerja makin nggak kondusif dan menyenangkan!


Anyway, nggak semua orang menyebalkan.


Gue bersyukur tempat gue kerja saat ini berisi orang-orang baik yang sangat ramah dan menyenangkan. Gue inget banget pesan dari bos gue di hari pertama bekerja, "Cecil, kalau jam istirahat, kamu harus istirahat ya. Main sama editor-editor yang lain. Jangan keasyikan kerja."


Gila sih gue tepuk tangan punya bos kayak beliau. Rasanya bekerja jadi menyenangkan dan bukan demi duit semata. Kita betulan senang dengan pekerjaannya dan senang dengan lingkungan kerjanya. Males banget kan udah kerja di bidang yang lu suka, tapi lingkungannya ngeselin? Terus akhirnya lu kerja cuma demi duitnya doang. Alamak! What a waste of life!

Komentar


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page