Stase / Magang di Super 8mm Studio
- Caecilia Sherina
- 20 Mei 2015
- 9 menit membaca
Selama sebulan ini gue sibuk magangĀ + kuliah. Gue jadinya magang sebagai assistant colorist di Super 8mm Studio, Fatmawati di bawah bimbingan Mas Andhy Pulung, daaann... super melelahkan. Selain karena tempatnya sangat jauh dan sulit ditempuh, juga karena jadwal kerja yang cukup padat. Gue sampai bener-bener nggak ada tenaga lagi buat nulis blog. Weekend tuh beneran gua pakai buat ngerjain tugas, tidur sepuasnya dan leha-leha.

Berikut ini hasil copy-paste dari laporan Stase gue di tahun 2015.
Mohon diketahui bahwa karya tulis di bawah ini merupakan buah pemikiran saya saat masih berusia 20 tahun, dan mungkin sudah tidak relevan lagi karena saya sudah tidak mengikuti perkembangan perusahaan terkait.
Waktu Pelaksanaan
Program praktek kerja lapangan dimulai pada pertengahan bulan April 2015 dan berakhir pada Mei 2015 dengan jangka waktu selama 1 bulan. Lebih detilnya lagi telah ditentukan bersama Post-Production Director saat briefing tanggal 10 April 2015, bahwa saya harus masuk bekerja selama 20 hari, dari hari Senin-Kamis setiap minggunya.Ā
Tempat Stase
Super 8mm Studio adalah sebuah studio pasca-produksi yang menerima pengerjaan restorasi film, film/video editing, color grading, dan special effect. Projek-projek yang diterima tidak hanya film layar lebar, namun juga film layar kaca, television commercial (TVC), music video, film dokumenter, dan public service announcement (PSA).Ā
Studio ini diprakarsai oleh Andhy Pulung, alumnus Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi yang telah memulai karir pribadinya sebagai film editor sejak tahun 2000.
Hasil Karya Perusahaan
Film layar lebarĀ
Pizza Man (2015) disutradarai oleh Ceppy Gober;Ā
Midnight Show (2015) disutradarai oleh Ginanti Rona;Ā
Toba Dreams (2015) disutradarai oleh Benni Setiawan;Ā
Another Trip to The Moon (2015) disutradarai oleh Ismail Basbeth;Ā
Jokowi Adalah Kita (2014) disutradarai oleh Rony Mepet;Ā
7/24 ā7 Hari 24 Jamā (2014) disutradarai oleh Fajar Nugros;Ā
Madre (2013) disutradarai oleh Benni Setiawan;Ā
Soegija (2012) disutradarai oleh Garin Nugroho;Ā
Opera Jawa (2006) disutradarai oleh Garin Nugroho;Ā
Denias: Senandung di Atas Awan (2006) disutradarai oleh John De Rantau;Ā
Obama Anak Menteng (2010) disutradarai oleh John De Rantau;Ā
dan masih banyak lagi.Ā
DokumenterĀ
Au Lorun (2015) disutradarai oleh Dodi Wijanarko;Ā
Wakatobi;Ā
Generasi Biru (2009) disutradarai oleh Garin Nugroho, dkk.;Ā
Kamera Rakyat;Ā
dan masih banyak lagi.Ā
Serial TelevisiĀ
BIMA Satria Garuda (2013); danĀ
BIMA-X Satria Garuda (2015).Ā
Selain itu terdapat pula Television Commercial (TVC), Public Service Announcement (PSA), Music Video (MV) dan Film Televisi (FTV) yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini.
Tahapan Kerja
Sebagai asisten colorist, saya masuk dalam bidang online editing di bawah arahan Andhy Pulung dan Alex Sadewo. Dalam bidang ini, terdapat 5 tahapan yang harus dilakukan berurutan:Ā
Data conforming
Data setup
Color balancing
Color match-up
Color grading
Data conforming adalah tahapan di mana data film/video dipersiapkan untuk dipindahkan dari Final Cut Pro ke DaVinci Resolve. Dalam contoh kasus BIMA-X Satria Garuda (2015), data video yang telah diberikan sentuhan animasi seringkali dalam bentuk gelondongan atau per sequence. Berhubung tahap coloring harus spesifik per shot, maka gelondongan tersebut perlu dicacah kembali di meja editing. Selain itu data audio juga harus di-delete karena tidak akan dipakai di meja coloring. Setelah selesai, barulah projek di-save ke .xml dan siap dibuka di DaVinci Resolve. Namun proses ini belum berakhir sampai di situ saja. Setelah projek dibuka di DaVinci Resolve, setiap shot harus di-link kembali pada file mentahannya yang disimpan di hard disk eksternal.Ā
Berikutnya data set up merupakan tahapan di mana metadata projek disesuaikan terlebih dahulu dengan jenis kamera dan hasil akhir yang diinginkan. Tahapan ini juga sangat penting dan harus dikerjakan di awal karena akan mempengaruhi warna film saat diputar di layar tertentu. Apabila dalam satu projek menggunakan berbagai jenis kamera, maka set up harus dilakukan per shot.Ā
Tahap ketiga, color balancing, merupakan tahapan di mana seluruh shot dikembalikan dulu ke warna dan titik terang netral. Pengerjaan ini harus dilakukan spesifik per shot.Ā
Tahap keempat, color matching, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan color balancing. Fungsinya hanya sebagai pelengkap untuk memastikan bahwa setiap shot dalam satu scene memiliki suhu warna yang sama dan tingkat keterangan yang sesuai dengan konsep. Agar saat di-grading nanti tidak terjadi perbedaan antar shot untuk menjaga logika cerita.Ā
Tahap terakhir, color grading merupakan tahapan di mana film telah diatur warnanya sesuai konsep film. Entah diubah menjadi kemerahan, kekuningan, atau kebiruan, tahapan ini harus dilakukan paling akhir untuk memastikan semua warna shot dalam keadaan sejajar.Ā
Meskipun proses coloring seharusnya hanya bersifat membetulkan suhu warna dan tingkat terang-gelap suatu gambar, namun sering pula colorist harus membetulkanĀ gerakan kamera yang terlalu shaky, menghilangkan atau menambahkan satu elemen dalam gambar, dll.Ā
Semua hal tersebut memang merupakan fitur pelengkap dalam software DaVinci Resolve. Oleh sebab itu colorist tidak perlu berpindah-pindah software dan dapat melakukannya sendiri. Namun revisi semacam itu juga tergantung pada permintaan client. Kadang ada client yang tidak begitu menghiraukan kecacatan kecil pada gambarnya, sehingga colorist tidak perlu mengerjakan hal tersebut.Ā
Pengalaman Stase
Pengalaman pertama saya bekerja di Super 8mm Studio dimulai pada tanggal 14 April 2015 pukul 19.00 WIB. Sesuai hasil diskusi sebelumnya dengan produser studio, saya akan bekerja setiap jam 7 malam hingga selesai dari hari Senin hingga Kamis. Hari itu saya belajar tahap conforming bersama Mas Eko. Film yang kami kerjakan adalah BIMA-X Satria Garuda episode 32.Ā
Di studio, semua perangkat kerasnya menggunakan produk Apple dengan pilihan software Final Cut Pro, Adobe After Effects dan DaVinci Resolve. Berhubung saya adalah seorang Windows user, maka saya sangat memanfaatkan kesempatan ini untuk memperdalam pengetahuan saya tentang produk Apple.Ā
Melalui Mas Eko, saya mengetahui bahwa film BIMA-X membutuhkan banyak sekali CGI dan hasilnya berupa gelondongan. Oleh sebab itu saya harus memilah-milahnya kembali agar saat coloring dapat dilakukan per shot, kecuali ketika satu shot ke shot lainnya memiliki transisi seperti dissolve, atau dip in white. Apabila terdapat transisi seperti itu, maka gelondongan tersebut tidak perlu di-cut.Ā
Pada hari berikutnya, saya datang kembali pada pukul 7 malam, namun sedang tidak ada yang perlu dilakukan sehingga saya diajak Mas David, salah satu editor BIMA-X untuk melihatnya bekerja. Hari itu Mas David tinggal menempelkan hasil CGI yang telah dikerjakan tim special effects. Di hari lain, nantinya saya akan berkenalan dengan Ryan Harahap, sang CGI artist BIMA-X. Selain itu saya juga diajarkan manajemen data oleh Mas David.Ā
Pertemuan-pertemuan berikutnya kegiatan saya masih sama saja, yaitu memperhatikan Mas David dan Mas Eko mengerjakan BIMA-X. Saya belumĀ masuk ke tahap coloring karena biasanya tahapan itu dikerjakan pada pagi butaāsekitar jam 12 malam hingga jam 2 pagiāsaat di mana saya sudah pulang dari kantor.Ā
Pada tanggal 22 April, saya beruntung karena Mas Alex Sadewo berkenan mengerjakan coloring pada jam 7 malam, sehingga saya dapat ikut serta. Bersama mas yang murah senyum ini saya diajarkan cara menggunakan DaVinci Resolve untuk pertama kali dengan seperangkat hardware-nya yang bermerk Tangent Wave Studio. Menurut pengalaman Mas Alex, warna di televisi pada umumnya lebih bluish dan high contrast. Oleh sebab itu saya harus mempersiapkan warna BIMA-X lebih low contrast. Setelah diberikan tutorial singkat oleh Mas Alex, saya dipersilakan mengerjakan episode tersebut sendirian, namun tetap diawasi oleh Mas David di belakang, sementara Mas Alex pergi mengerjakan hal yang lain.Ā
Sambil saya mengerjakan, saya menemui beberapa kesulitan mengangkat warna film BIMA-X karena materi saat itu sudah gelap dan grainy. Kalau saya paksakan untuk terang, nanti gambar filmnya akan pecah.Ā
āKarena ini film untuk anak-anak, maka warnanya harus terang. Kalau kamu bikinnya gelap-gelap nanti anak-anak akan kesulitan membedakan para tokohnya,ā ujar Mas David yang duduk di belakang saya. Berhubung saya kebingungan harus mengambil langkah apa, akhirnya saya memanggil Mas Alex dan menanyakan solusi beliau. Mas Alex pun mengutak-atik kembali shot-shot tersebut dan menyadari bahwa shot itu memang sudah pecah sejak awal, sehingga tidak bisa dipaksakan untuk menjadi terang.Ā
Setelah merasakan coloring film BIMA-X, saya pun diizinkan Mas Pulung untuk mengerjakan projek yang lain. Saat itu ada dua anak magang lainnya yang mau menjadi colorist: yang satu berasal dari Institut Seni Indonesia Jogjakarta, sementara yang satu lagi dari SAE Sydney. Mereka berdua adalah senior saya, sehingga mereka yang nantinya akan membimbing saya secara langsung.Ā
Hari itu, tanggal 23 April, saya berniat menginap di kantor agar dapat melihat seluruh proses coloring. Kebetulan ada projek yang harus dikerjakan, yakni filmĀ layar lebar Midnight Show. Awalnya Mas Pulung duluan yang mengerjakan dan membimbing kami bertiga. Setelah itu baru dikerjakan oleh para anak magang.Ā
Berdasarkan permintaan sutradara, produser, dan sinematografernya, film Midnight Show ingin dibuat vintage dan mencekam pada adegan-adegan pembunuhannya. Mereka menggunakan referensi film The Shining (1980) karya Stanley Kubrick dengan mengaplikasikan warna kemerahan pada setiap adegan pembunuh inframe.Ā
Malam itu, saya belajar lebih dalam lagi akan coloring dengan DaVinci Resolve, karena kebutuhan coloring dalam film layar lebar lebih banyak daripada film televisi. Saya belajar tentang sistem nodes, dan tombol-tombol baru pada hardware yang lebih besar dan advanced. Saya juga baru tahu kalau proses coloring umum dilakukan per reel. Biasanya setiap reel sekitar 20-30 menit, jadi satu film layar lebar akan memiliki 4 hingga 5 reel. Pembagian reel ini dilakukan agar komputer tidak perlu menahan beban terlalu berat saat menjalankan proses coloring.Ā
Hari-hari berikutnya pekerjaan saya masih sama, namun proyeknya saja yang bertambah. Ada trailer film layar lebar yang berjudul Move On, dan sang sutradara ingin sekali warna filmnya memberikan kesan London (sementara lokasi syutingnya di Malaysia). Setelah diberikan permintaan seperti itu, Mas Pulung mencoba mewarnai film itu lebih kecokelatan dan mengangkat warna merahnya agar lebih merah, termasuk warna kulit para aktornya di-select secara khusus untuk dirubah menjadi lebih pinkish. Lucunya sang pemeran utama wajahnya berjerawat banyak sekali, sehingga Mas Pulung juga harus menghaluskan wajah tersebut sehalus mungkin.Ā
Begitu pula ketika harus mengerjakan projek PSA, Mas Pulung dan Mas Alex harus menghaluskan kerutan-kerutan di wajah Maudy Koesnaedi agar terlihat lebih muda. Kerutannya tidak tanggung-tanggung, dari mata, hidung, mulut, hingga leher. Begitu pula dengan rambut dan giginya harus dibuat menawan. Sama halnya ketika bintang dalam PSA tersebut adalah Menteri Perhubungan RI, Ignasius Jonan. Skin tone, gigi, dan segala unsur fisiologis beliau harus terlihat menawan.Ā
Memasuki bulan Mei, saya juga ikut mengerjakan film Pizza Man. Untuk film ini, request-nya adalah membuat warna kekuningan dan kemerahan, namun juga harus disesuaikan dengan situasi pada cerita.Ā
Saya juga ikut preview setiap karya bersama sutradara dan produsernya, sehingga saya dapat belajar bagaimana cara menghadapi client dan memahami apa yang biasanya mereka inginkan. Bersama para senior-senior magang, saya juga belajar cara membuat credits title di Adobe Photoshop.Ā
Suatu hari ada kejadian lucu saat mengerjakan Pizza Man. Tidak disangka salah satu shot di rumah sakit menampilkan penampakan sesosok putih. Kami yang mengerjakan jadi ketakutan semua, namun mencoba positive thinking dengan menganggap bahwa sesosok putih itu adalah bagian dari film. (Catatan: film Pizza Man bukan film horor, melainkan film komedi-romantis.)Ā
Setelah melakukan preview dengan sang produserāGandhi Fernandoādi ruang tamu, beliau mengiyakan bahwa sesosok putih itu bukanlah bagian dari film. Bahkan mereka tidak tahu ada sesosok putih saat sedang syuting.Ā
āSaya sih tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Tapi memang saat syuting saya tidak lihat apa-apa dan semua extras sedang berada di ruang extras,ā ungkap Gandhi saat saya tanya komentarnya akan sesosok itu.Ā
Setelah melakukan preview, kebetulan juga sudah larut malam, hampir semua orang berkumpul di meja teras. Sementara di ruang tamu tadi hanya ada saya dan para senior magang dengan televisi masih menampilkan film Pizza Man yang sudah di-pause. Tiba-tiba film itu ter-rewind sendiri dan membuat kami panik. Padahal tadi sudah di-pause dan posisi remote berada di atas televisi, tanpa ada yang menyentuh. Kak Ningsih cepat-cepat mengambil remote dan menekan tombol pause, tak disangka terhenti tepat di adegan sebelum sesosok makhluk putih itu muncul. Kami langsung melihat satu sama lain dan lari mengibrit ke luar studio, ke tempat yang ramai.Ā
Peran Posisi Kerja Terhadap Pekerjaan LainnyaĀ
Tahap coloring pada umumnya dihitung selama satu bulan dan dapat diselesaikan lebih cepat dari jadwalnya, namun hal ini juga bergantung pada tingkat kesulitan setiap film. Ada film yang tidak banyak kesalahan warna, ada pula film yang membutuhkan treatment lebih dalam pewarnaannya. Setelah tahapan ini selesai, maka film akan memasuki tahap mastering dan siap dirilis.Ā
Tahap coloring juga merupakan tahap penentu yang memperkuat emosi, nuansa, dan kualitas visual film. Apabila colorist gagal dalam mengeluarkan nuansa yang seharusnya terproyeksikan, maka film tersebut dapat memberikan impresi yang salah kepada penonton. Warna film yang baik juga akan membuat film terlihat lebih berkualitas dan mewah. Oleh sebab itu, seorang colorist harus berdiskusi dengan sutradara, produser, director of pohotography (DP) dan film editor agar memiliki visi yang sama.Ā
Analisis Stase
Berdasarkan hasil percakapan, diskusi, bekerja dan menonton para senior bekerja, saya telah mempelajari banyak halātidak hanya mengenai coloringātapi juga mengenai pasca-produksi, khususnya di Super 8mm Studio.Ā
Di sana, saya menyadari betul bahwa manajemen data sangatlah penting dan harus rapi. Pernah ada kejadian, Mas Alex berusaha mencari projek credits title karena ada revisi nama dan logo dan projek tersebut tidak dapat ditemukan. Beliau sudah membuka folder sana-sini hingga ke berbagai hard disk eksternal, dan rupanya projek tersebut ada, namun masih dalam format yang lama, yang belum direvisiĀ sehingga ada beberapa komponen yang hilang. Karena manajemen data yang buruk ini, Mas Alex jadi harus membuat ulang projek credits title di Adobe Photoshop.Ā
Saya juga belajar betapa pentingnya seorang editor untuk bisa fleksibel waktu dan bergurau saat menghadapi permintaan client yang aneh-aneh. Kadang, sutradara memiliki gambaran di otaknya, namun tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata yang tepat. Di sana, saya melihat betapa Mas David dan Mas Ryan berjuang keras menginterpretasikan hal tersebut untuk divisualisasikan. Apalagi ketika sutradaranya orang Jepang dan menggunakan pihak lain untuk mengartikan imajinasi yang ia maksud.Ā
Sama halnya dengan coloring, kadang permintaan sutradara tidak terucapkan dalam kata-kata visual, sehingga seorang colorist harus kreatif dan berwawasan dalam mencari referensi warna.Ā
Pernah suatu ketika seorang sutradara kerap kali mengatakan, āBiru,ā namun tidak begitu jelas apakah persepsi yang ada di otak kami sama dengan yang ada di otaknya. Akhirnya dia menyebutkan referensi video, dan saya langsung mengunduh video tersebut untuk dijadikan referensi mewarnai. Sayangnya, kendala berikutnya adalah saat menyamakan skin tone, hal tersebut mustahil dilakukan karena referensi videonya menggunakan talent Kaukasia, sementara video yang kami kerjakan menggunakan orang Asia.Ā
Dari berbagai kejadian tersebut saya menyadari bahwa ada keterbatasan yang bisa dilakukan oleh seorang colorist dan software-nya dalam membetulkan warna sebuah film. Oleh sebab itu sinematografer juga harus bisa mengatur white balance dan brightness yang tepat saat ia mengambil gambar.Ā
Selain itu, saya melihat bahwa industri perfilman Indonesia belum begitu siap untuk mengikuti standar internasional. Sebab masih melewati beberapa hal yang seharusnya ada untuk memastikan semuanya tepat dan akurat, seperti contoh penggunaan digital slate untuk sinkronisasi by timecode, juga penggunaan color chart untuk acuan colorist melakukan color balancing otomatis.Ā
Mohon diketahui bahwa karya tulis di atas merupakan buah pemikiran saya saat masih berusia 20 tahun, dan mungkin sudah tidak relevan lagi karena saya sudah tidak mengikuti perkembangan perusahaan terkait.
Comments