AFS Workshop (Part II)
- Caecilia Sherina
- 14 Feb 2014
- 3 menit membaca
Terdapat 5 film dokumenter pendek yang akan diputar pagi ini di U.S. Embassy bersama Richard Pearce sebagai mentor. Salah satu dari film itu adalah film kelompok gue yang berjudul Pathways.
Gue belajar banyak sekali dari pengalaman menyelesaikan quest: making a film in a day with strangers ini. Pertama gue belajar menahan emosi. HAHAHA... Iya, menahan emosi kepada teman yang ngawur, dan menahan emosi ketika harus mengedit film yang nggak jelas tapi harus jadi jelas. Kemudian gue juga belajar lebih banyak lagi soal menangkap momen nyata yang nggak bisa diulang. Gue juga belajar dampak musik terhadap film itu sangat besar. Wow.
Lalu, gue belajar bangga menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta karena pendidikan teori dan prakteknya berjalan beriringan, sehingga kampus ini menciptakan mahasiswa yang nggak cuma pinter ngomong, tapi juga bisa eksekusi. Gue melihat beberapa mahasiswa dari kampus lain belum berpengalaman gitu, jadi kerjanya lebih lambat. Hehe...

Okay, quest berikutnya!
Siang itu U.S. Embassy bakal provide bus untuk ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Di sana kami harus membuat 1 film lagi yang terdiri dari 1 shot tanpa editing sama sekali, tapi harus mengandung cerita 3 babak. Durasi syuting lagi-lagi 2 jam dan DP gue hari ini nggak masuk! Kelompok gue nggak ada kamera! Alamak!!!
Setelah mencari pinjaman kamera ke sana-kemari, akhirnya kelompok gue memutuskan untuk memakai handphone si produser. Hasilnya nggak buruk sih, cuma nggak bisa diatur fokus, apperture, dan shutter speed. Tapi yasudahlah, toh hanya diputar di TV biasa...
Nah, gue mau cerita nih! Pas syuting di Pelabuhan Sunda Kelapa, gue merasa terganggu dengan kehadiran dosen dari salah satu universitas. Oh sebentar, coba saya jelaskan dulu awal mulanya.
Ada 5 universitas yang terlibat dalam workshop American Film Showcase di Jakarta, salah satunya kampus gue. Nah, setiap universitas wajib mengikutsertakan 4 mahasiswa. Lucunya ada beberapa universitas yang mengikutsertakan dosennya! Ini menarik, karena dosen-dosen ini jadi nggak ada kerjaan. Lah kan ini workshopnya mahasiswa, kenapa ada dosen ikut-ikutan? Jumlahnya juga jadi nggak genap lagi. Akan sangat curang bila satu kelompok memiliki dosenāorang yang kita anggap sudah master, ya kan?
Akhirnya para dosen ini diminta memperhatikan saja semua kelompok. Tapi ya sudah pasti nggak mungkin terjadi dong. Mana mungkin dosen ini mau memperhatikan kelompok yang nggak ada mahasiswa dia. Dia pasti meratiin anaknya doang dan hal itu terjadi di kelompok gue.
Gue sebel (agak banget sih) karena dosen ini jadi nempel di kelompok gue dan banyak ngatur, misalnya ketika kami mau berjalan ke ujung Pelabuhan Sunda Kelapa:
"Kalian ke sana buat apa? Nggak ada apa-apa lagi. Sama aja." Padahal ada banyak hal menarik kok. Gue kan udah sering ke PSK. Ingat nggak post gue yang lama tentang PSK?
Ketika kami sedang berpikir mencari subjek gambar, "Ambil aja semuanya. Jangan dipikirin terus. Jangan ditungguin. Nanti kalau udah banyak kan tinggal dipilih." Paham gue, tapi nggak gitu juga konsepnya. Sabar dulu. Ini kebanyakan ngambil shot juga mau bikin apaan?
Tugas dia itu cukup memperhatikan supaya kami nggak kenapa-napa. Jangan jadi ikut melarang dan mengatur. Gue nggak suka ketika dia mulai ikut campur menentukan arah kami berjalan.
Kedua, (ini puncak kekesalan gue) dia mengambil kamera kelompok gue dan mulai merekam apa yang menurutnya bagus. Ini super ngeselin. Hello? Ini workshop mahasiswa, kenapa jadi situ yang pegang kamera? Terus kami mau belajar apa kalau kesempatan belajarnya direbut dia? Biarkan mahasiswa berbuat kesalahan. Toh workshop ini bukan lomba, it's time for us to learn! Udah deh gue bad mood banget. MALES BANGEETTT... Rasanya pengen cepet pulang aja.

Kira-kira jam 5 sorean, bus mengantarkan kami menuju Cafe Batavia di Taman Fatahillah. Yeay! Kami akan ditraktir makan malam enak (setelah 2 hari ini cuma dikasih kebab Turki Baba Rafi).
Setelah menonton ulang film hasil syuting hari ini dan dikomentari berbagai hal, kami memulai acara makan malam dengan aba-aba, "Setiap orang dikasih budget Rp100.000,00 ya!" dan gue serta Luthfi langsung kalap. HAHAHA...
"Ayo Cil, cari yang mahal..." kata Luthfi sambil membolak-balik lembaran menu bersama gue. Gila ini gue ngakak banget. Terus akhirnya dia pesen blackpepper beef steak, sementara gue udang apaan gitu deh. Mahal banget Rp85.000,00
Belum puas memesan makanan, kami tanya ke mahasiswa di seberang kami, "Eh lo pesen apa?!" Terus dia jawab, "Kwetiau." Dan kami langsung ketawain dia seraya berkata, "Ahaha... pesenan lo payah ah. Kita dong, beef steak!" Terus mahasiswa itu cuma bisa tersenyum sepet-sepet karena gue dan Luthfi keasikan ketawa sendiri. Najong bangetlah pokoknya. Kita berdua songong nggak jelas.

Menurut gue, bagian terindah dari workshop ini adalah ketika makan malam. Di sini akhirnya kami bisa melepaskan lelah dan bersenda gurau. Nggak ada lagi panas-panasan, nggak ada lagi yang cekcok, dan nggak ada lagi yang sok hebat (kecuali gue dan Luthfi perkara makanan tadi). Semuanya ketawa bareng, bercanda, ngelucu, dan main teka-teki klasik kayak, "Apa bahasa Jepangnya gajah terbang?" dan kemudian suasana pun hening krik krik krik...
Sekian deh cerita gue mengikuti workshop lucu di masa kuliah. Sampai jumpa di post yang akan datang!








Komentar