top of page

Rahajeng Galungan di Penglipuran dan Gianyar

  • Gambar penulis: Caecilia Sherina
    Caecilia Sherina
  • 2 Nov 2017
  • 5 menit membaca

Diperbarui: 3 Jan

Kudengar dari Google, tempat terindah untuk menikmati Galungan di Bali adalah Desa Penglipuran, Bangli. Sementara pendapat dari teman-teman yang tinggal di sini variatif. Ada yang menyebut Ubud, ada yang Gianyar, dan ada pula yang bodo amat.


Ngomong-ngomong, Galungan adalah salah satu hari raya terbesar di Bali (kira-kira seperti Imlek, Natal, dan Lebaran). Saat Galungan berlangsung, kita bisa menikmati pemandangan penjor menghiasi jalanan, lengkap dengan penduduknya yang berpakaian tradisional sambil membawa banten ke pura.


Tertarik dengan hal tersebut, aku pun membuat ide gila. Bagaimana kalau aku keliling untuk merasakan Galungan di setiap pelosok Bali?



Bagi sebagian orang, ide ini mungkin terdengar biasa saja. Ya, Bali memang pulau kecil yang memungkinkan untuk ditelusuri dengan cepat. Hanya saja, dalam ide ini aku akan naik motor sendirian. Padahal aku baru bisa mengendarai motor! Jadi.. hehe.. semoga semuanya baik-baik saja.


1 November 2017 adalah hari Galungan ke-2 di tahun 2017. Galungan uniknya diadakan 2 kali dalam satu tahun. Rencana awalku adalah mengunjungi Pura Kehen dan Desa Penglipuran di Bangli, lalu ke rumah Pak Totok di Gianyar. Aku penasaran dengan desanya, siapa tahu ada acara menarik (dan makanan gratis) yang bisa dinikmati (maafkan, masih mental anak kos).


Makanan khas Galungan: babi, babi dan babi


Demikian rencana yang kubuat seenak jidat, tanpa browsing terlalu banyak. Malam sebelumnya aku baca kalau Desa Penglipuran memungut biaya Rp15.000,00 untuk turis lokal dan perlu waspada bila ditawari masuk ke rumah warga (kemungkinan dimintai uang belas kasih atau disuruh jajan macam-macam). Sementara untuk Pura Kehen, aku nggak tahu apa-apa; dan rumah Pak Totok, yaaa hanya tahu alamatnya. Nggak tahu ada apa di Gianyar.


Ternyata saat aku tiba di Pura Kehen jam 6.59 pagi, tempatnya kosong melompong. Jadi aku parkir sembarang (di depan rumah orang). Langsung masuk, langsung observasi, foto-foto, dan keluar. Pura Kehen cantik juga, I guess. Saat keluar, mulai ada ibu-ibu sembahyang, buka toko, dll. Menurut sepengalamanku, bapak dan ibu yang buka kios di sekitar Pura Kehen ini masih bisa diajak ngobrol manusiawi, mereka tidak memaksaku untuk membeli barang jajaannya. Setelah selesai basa-basi, aku pun lanjut ke Desa Penglipuran.



Kalau kata Google sih, Desa Penglipuran buka jam 8 pagi, tapi aku kan sudah terlanjur di sana dari jam 7.30, jadi yasudalah aku bablas saja. Jalanannya kosong, jadi aku sembarang masuk (lagi), cari parkir, lalu jalan kaki dan membaur dengan warga sekitar. Oh ya, lebih baik mengenakan pakaian tradisional Bali supaya dimudahkan jalannya. It works!


FYI, aku parkir di halaman Tugu Pahlawan, area PARKIR II dan di sana nggak ada siapapun. Jadi aku bisa parkir sembarangan. Kemudian aku masuk dari area Karang Memadu (bukan pintu depan), dan tak sengaja tidak dipungut bayaran alias gratis.



Sambil jalan, aku menyapa beberapa warga, dan ya, penduduk Penglipuran ramah sekali. Mungkin karena sudah sering bersapa dengan turis atau karena memang nature orang Bali ramah. Ketika aku ingin mencari toilet, ada ibu-ibu yang menawari diriku untuk ke rumahnya, tapi karena aku takut disuruh bayar mahal, jadi aku tanya toilet umum untuk turis saja. Paling kalau bayar toilet turis hanya Rp2.000,00 kan? Nyatanya saat aku ke toilet umum, aku tidak bayar sepeserpun.


Sebagai desa yang dinobatkan terbersih ketiga sedunia dan eco-friendly, aku rasa award itu perlu dikaji ulang. Di hari kedatanganku tadi, material yang mereka gunakan sudah banyak dari plastik, toilet kurang oke dan ada sampah plastik di jalan! Hiks. Padahal masih pagi loh. Tapi secara overall, look desa ini tetap bagus untuk melihat susunan penjor yang rapi.


Setelah puas merekam penjor dan anak-anak Bangli yang lucu, aku berjalan kaki ke hutan bambu di belakang Pura Penataran. Di hutan, ada pura yang lebih sederhana. Bentuknya hanya pohon dan tanah. Suer, awalnya aku kira cuma sepetak tanah biasa, ternyata warga pada sembahyang di situ. Puas melihat orang sembahyang, aku pun kembali ke parkiran motor.


TIPS: sebaiknya ke Desa Penglipuran jam 6-7 pagi atau jam 4-5 sore saat matahari sedang cantik dan pengunjung masih sepi.

Tiba-tiba Pak Totok mengirimkan pesan, “Ntar malem bakal rame banget, semua Ida Betara (barong, rangda, dll.) akan keliling desa.”


Waduh, aku berpikir, ini masih jam 9 pagi, kalau aku langsung ke Gianyar, mau ngapain di rumah Pak Totok dari pagi ya? Akhirnya aku iseng buka Gmaps, mencarispotlain yang bisa dikunjungi sebelum ke Gianyar. Jatuhlah pilihanku pada Pura Jati Batur, karena jaraknya dekat. Sekitar setengah jam dari Kabupaten Bangli. Jadi ya sudahlah, tancap gas ke sana sambil mendengarkan lagu Coldplay, Chrisye, dan Banda Neira dari HP. Sedap niaaann...



Tapi aku terhenti di perbatasan, lantaran view Gunung dan Danau Batur indah sekali. Saat aku berencana kembali jalan, eh.. Gmapsnya kehilangan sinyal. Aku pun buta arah dan nyasar ke Jl. Trunyan (jauh juga nyasarnya, Bos!). Aku panik karena jalanannya berkelok tajam, terjal, naik-turun dan di sisi kiri-kanan either hutan atau jurang. Akhirnya aku berhenti di salah satu stop area dengan pemandangan danau Batur. Di sana, salah seorang bapak menyapaku, “Hey!" katanya, "Jangan berdiri di situ! Panas!”


Aku hanya tersenyum saja. Tidak kusangka hari mulai panas. (Btw, tadi pagi sumpah dingin banget.) Dan aku tetap berdiri di bawah terik sinar matahari, mencoba mencari secercah sinyal namun gagal. Oh, sayang sekali Indosat, jangkauanmu menyedihkan di sana.


Akhirnya aku memilih jalan asal, lagi. Dan berputar-putar melewati berbagai desa kecil dengan penjor-penjor sederhana. Tiba-tiba aku kembali ke jalan besar dan berpapasan dengan si bapak tadi, “Hey! Kita berjumpa lagi!” serunya sambil melengos pergi dengan motor. Sungguh, bapak ini sangat bersemangat.



Lepas dari area Trunyan, aku masuk ke Besakih. Di area ini mulai banyak himbauan untuk mengungsi karena status Gunung Agung yang masih siaga. Aku gugup, ini bagaimana kalau gunungnya tiba-tiba meletus? Tapi berhubung aku gugup tapi cinta tantangan, akhirnya sekalianlah menerobos masuk ke dalam mencari Pura Besakih, pura terbesar di Bali.


Area Besakih saat Galungan terlihat cukup padat. Di berbagai sisi jalan meski kadang sepi, kadang pula dipenuhi bapak-bapak bersafari putih sedang nongkrong. Pikirku, mungkin mereka habis sembahyang. Sambil naik ke atas, dari jauh juga terlihat Gunung Agung yang berkabut dan berbagai plang yang melarangku untuk mendekatinya (tapi tetap saja kuhiraukan).



Setibanya di Pura Besakih, aku langsung disambut penjaja bunga yang memaksa memasangkan bunganya di telingaku. Yah, akhirnya aku terpaksa bayar. Disusul dengan fotografer lokal, pemandu, penjual postcard, dan warga random. Semuanya MAKSA. Sebel. Karena sebel, jadi nggak ada yang aku beli. Penampakan pura ini terlihat berantakan dengan berbagai himbauan di sana-sini, mulai dari dilarang masuk, dilarang berjualan, toilet, wc, dst. Sepertinya terlalu ramai dan desainnya tidak nyambung dengan arsitektur bangunan.


Pada dasarnya pura ini juga memungut biaya masuk, namun karena sedang dalam status siaga dan penduduknya masih banyak yang mengungsi, jadi loketnya tutup, alias gratis. Setelah lelah berkeliling naik-turun tangga, akhirnya aku melanjutkan perjalanan ke.. kosan! Yak, mandi dulu sebelum mengunjungi rumah Pak Totok.


Sekitar jam 4 sore aku jalan lagi dari Dalung ke Gianyar, dan nyasar. Sudah nyasar, pakai jatuh pula. Untung ada bapak-bapak baik hati membantuku menstabilkan kembali si motor.


Jam 5.30 sore, aku disambut keluarga Pak Totok dengan ramah. Mereka memberiku berbagai buah-buahan dan memaksaku untuk mengenakan kebaya Bali sebelum ke pura. Malam itu kami akan menyaksikan upacara untuk bhuta kala, agar keburukan sirna dan warganya aman tentram.



Sambil berjalan kaki menuju pura, semua warga di banjar itu memperhatikanku dengan saksama. Beberapa senyum-senyum dan berbisik, beberapa lagi memberanikan diri menyapaku, “Konbanwa!” Yak, mereka kira aku orang Jepang.


Ketika acara dimulai, aku ikut berjalan kaki keliling desa dari satu pura ke pura lainnya, mengarak-arakkan tokoh-tokoh dalam Hindu Bali tersebut. Katanya, yang membawa topeng itu sedang kerasukan. Mereka berteriak-riak dan bersikap aneh. Banyak warga ketakutan mendekat, sementara aku sebodo amat.


Gosipnya sih doi kesurupan


At the end, Pengalamanku di hari Galungan ini terasa penuh warna. Aku berhasil mengunjungi berbagai daerah dengan jarak tempuh sekitar 150km! Woohoow! Akhirnya aku tambah jago naik motor, tambah kapalan di tangan, tambah hitam dan belang nggak karuan, serta tambah hapal jalanan Bali. Cihuy! Semoga tidak jatuh sakit di kemudian hari!

Comments


Date

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page