Syuting di Bogor (Part II)
- Caecilia Sherina
- 17 Nov 2013
- 7 menit membaca
Atas ketidaknyamanan tidur terkekspos (bisa dilihatin orang yang mondar-mandir) akhirnya gue bangun dengan sendirinya jam 5 pagi. Jam segitu masih banyak yang tidur, meskipun banyak pula yang bangun. Gue balik tidur lagi, karena nggak tahu mau ngapain dan kawan-kawan seangkatan gue entah di mana.
Terus si Rapa BBM gue:
Rapa : Ci, lo kalo udah bangun, liat-liatin tuh udah mau mulai syuting apa belum ya!
Gue : Iya.
Sebentar, sebenernya gue agak heran, kenapa sih semua orang suka manggil gue cici, cece, atau nci? Gue jujur saja tidak suka, karena gue bukan kakak mereka. Gue kan seumuran dengan mereka, ngapain mereka manggil gue kakak? (Dalam Bahasa Mandarin: jie jie dibaca cye cye dan artinya kakak.) Coba deh, lo mau nggak gue panggil mbak atau mbok padahal seumuran?
Anyway, sekitar jam 6 pagi akhirnya gue bangun dan mandi. Beberapa crew mulai dibangunin. Setelah mandi gue ngelatih Sam reading, soalnya dia jadi salah satu tokoh Jepang dalam film ini.
Jam 7 pagi gue dan beberapa kawan ngobrol nggak jelas.
Jam 8 pagi makan nasi pakai tempe dan telur dadar. Terus gue catet ulang rundown dari astrada 1. Gue cuma catet jadwal syuting para tokoh Jepang gue.
Jam 9 pagi gue ngeliatin anak-anak kamera lagi ngerakit kamera mereka: kamera 5D dengan monitor kecil di atasnya dan lensa yang gede banget. Mereka nampak kesulitan merakitnya.
Jam 10 pagi gue dipanggil senior untuk menemui pengganti Hiro: seorang bapak keturunan Tionghoa yang mukanya jauh banget dari wajah orang Jepang. Gue disuruh ngelatih bapak ini script reading. Damn! Dia beneran nggak bisa ganti intonasi dan logatnya. Bener-bener China tulen! Denger-denger sih dia baru ditemukan pagi ini setelah senior gue berkunjung door to door buat cari pengganti Hiro.
Jam 11 pagi gue selesai latihan reading dengan Pak Fe ini. Berhubung scene dia baru akan syuting jam 5 sore nanti (berdasarkan rundown yang gue colong dari astrada), jadi gue suruh dia pulang dan balik lagi ke lokasi syuting jam 4 sore.
Jam 12 siang talent-talent dari hotel bersama Rapa datang dengan mobil Avanza. Beberapa langsung makeup sementara beberapa duduk di sofa pendopo yang berantakan itu. Gue sempet melirik sutradara gue, berharap dia ngasih tau gue yang mana Kitamura. Soalnya kan semalam dia bilang mau ditemenin ngobrol sama Kitamura. Tapi ternyata sutradara gue asyik duduk di kursi panasnya, jadi gue dicuekin.
Jam 1 siang gue sudah mulai akrab dengan para talent Jepang gue yang emang orang Jepang asli. Mereka bisa Bahasa Indonesia dan mereka banyak mengkoreksi script film ini karena Bahasa Jepang yang gue gunakan terlalu baku. Gue agak ngerasa malu gitu deh karena banyak salahnya.

Oh iya setelah itu syuting (akhirnya) dimulai dan sutradara mengatakan pada semua crew, "Bla bla bla Mohon kerja samanya." dan hopla! syuting pun dimulai begitu saja tanpa ada doa maupun kata sambutan yang lebih bermakna.
Jam 2 siang talent Jepang gue mulai bosan dan dia lihat jadwal yang gue catat, ternyata kami sudah ngaret berjam-jam. Dia terkejut. Jangankan dia, gue juga terkejut dan sumpah bosen banget. Gue sampe ketiduran di kursi sakingnya nggak tahu mau ngapain.
FYI, job desc. gua sebagai asisten astrada 2 adalah mengatur speaking Jepang para talent dan memastikan akting mereka sebagai orang Jepang benar dan sesuai.

Jam 3 sore, gue dipanggil senior lagi karena extras (extras adalah pemain pendukung/figuran) yang jadi tentara Jepang sudah datang dan mereka perlu dilatih reading. Bersama astrada 2, kami ngelatih mereka baris-berbaris dan berbicara seperti orang Jepang. Yang terpilih jadi tentara ini adalah anak-anak SMA Bogor. Lucunya, gue sempet denger senior gue ngedumel karena dia bawa extras lebih banyak dari yang dibutuhkan. Jadi beberapa dipulangkan dan akan dipanggil lagi besok.
Jam 4 sore... Hujan deras mengguyur Cilendek. Gue sempet main-main ke lokasi syuting yang naudzubilah panas banget gara-gara ruangannya kecil dan lampu yang digunakan banyak banget. Terus gue sempet kumpul-kumpul informasi dari yang kru yang lain, kabarnya syuting hari ini harusnya mulai jam 7 pagi, tapi ngaret karena peralatan lampu dll. baru datang dari Jakarta.
Oh iya! Karena keasikan ngurusin extras dan tidur, gue lupa kasih kabar ke Pak Fe kalau jadwal syutingnya molor. Gue buru-buru BBM dia, dan ternyata nggak ada sinyal (Anyway, seharusnya yang menghubungi talent itu telko, bukan gue!) Akhirnya gue telepon dia, tapi nggak diangkat... Dan dia sudah keburu tiba di lokasi syuting. Jadi senior langsung manggil-manggil gue, "Sil, Jepang lo dateng tuh!"
Gue : Pak Fe, maaf ya, saya telat ngasih taunya. Syutingnya agak terhambat, jadi adegan bapak baru dimulai jam 7 malam. Bapak mungkin bisa balik atau nunggu lagi sampai jam 6 sore di sini.
Pak Fe : Waduh, janjinya tadi pagi, terus sore, sekarang malam. Saya nggak bisa nih. Saya banyak kerjaan.
Gue : Bentar ya, Pak, saya tanya atasan saya dulu deh.
Gue karena belum paham hierarki dan siapa yang bertanggung jawab di sini, mencoba mendatangi sutradar dan astrada 1. Si astrada 1-nya lagi sibuk gitu, dan nggak bisa kasih kepastian jadwal syuting. Tiba-tiba ada senior yang lain nimbrung dengan nada tinggi, "Sil, gue nggak mau tau, pokoknya lo nggak boleh kehilangan Pak Fe! Gue yang udah capek-capek cari dia dari rumah ke rumah! Gue nggak mau cari lagi pengganti dia!"
Anjir, kali ini mood gue beneran nggak bisa disemangatin lagi. Gue down. Gue stress. Gue kesel. Apa-apaan sih??? Kok gue yang disalahin? Bukan urusan gue dong kalau talent-nya nggak mau main film. Kok jadi tanggung jawab gue?
Ya, sebenernya itu yang ada di otak gue, tapi berhubung gue pengecut dan takut sama senior, jadi gue iyain dan gue langsung balik ke Pak Fe minta maaf.
Gue : Pak, syutingnya jam 7 malem dan kami nggak bisa cari pengganti lain. Gimana yah, Pak?
Pak Fe : Duh, gimana yah... Yaudah deh saya usahain.
Gue : Terima kasih ya, Pak. Nanti saya hubungi lagi kok sebelumnya. Saya janji nggak bakal telat kasih taunya.
Akhirnya Pak Fe pulang hujan-hujanan...
Jam 5 sore talent mulai mati kebosanan... Extras Jepang gue juga mulai bertanya-tanya, "Kapan saya syutingnya, Kak?" tapi karena mereka rame-rame dan saling kenal jadi suasana masih agak cair dan penuh tawa.
Jam 6 sore, gue pastiin ke astrada 2 kapan syuting para Jejepangan gue. Dia bilang bentar lagi. Gila nggak sih? Nggak ada yang bisa kasih kepastian! Gue tuh butuh jam yang pasti bukan kata-kata ambigu macam, "Sebentar lagi," atau, "Nanti," atau, "Tunggu." Haish.
Akhirnya gue bilang lagi, "Bang, talentnya mesti pulang jam 8 malam soalnya rumah dia di Depok." Baru deh setelah itu si astrada 2 bergerak, "Oke, Sil ini gue suruh mereka cut deh scene yang ini. Udah langsung pindah set aja ke scene si Jepang." Tapi sayangnya sutradara dan astrada 1 mana mau tiba-tiba di-cut kayak begitu.
Mereka cuma bisa tawarin pilihan set markas Jepang sudah standby lighting-nya. Jadi setelah syuting yang ini selesai, kamera langsung pindah set dan Jepang-Jepang bisa syuting. Tapi gue yakin, seyakin-yakinnya syuting Jepang nggak bakal mulai jam 7 malam. Pasti ngaret lagi.
Jadi gue tanya ke astrada 1, "Tinggal berapa scene di set yang ini?"
Astrada 1 : Tinggal sedikit kok.
Gue : Berapa shot?
Astrada 1 : Satu shot.
Gue nggak percaya sama jawaban dia. Jadi gue baca sendiri skenario dan mencoba menerka-nerka kira-kira scene mana aja sih yang bakal syuting di set ini. Lalu gue coba tanyain lagi ke astrada 1.
Gue : Scene ini udah disyutingin?
Astrada 1 : Belum.
JDYAR! Udah deh cukup tau aja. Gue yakin syuting nggak bakal selesai cepat. Akhirnya gue bersama astrada 2 meyakinkan diri bahwa scene markas Jepang pasti baru mulai jam 11 malam. Jahatnya kami, ada percakapan seperti ini:
Astrada 2 : Sil, lo bilang aja ke talent. Suruh mereka siap-siap, syuting jam 09:30 malam.
Gue : Yakin, Bang?
Astrada 2 : Udah, nggak apa-apa. Bilang aja gitu, biar mereka nggak pulang.
Gue : Jadi gue bohongin mereka, Bang?
Astrada 2 : Buruan.
Sebagai junior yang nurut dan bersikap nggak tahu apa-apa, gue kasih tau ke semua talent dan extras kalau mereka syuting jam 09:30, terus Pak Fe juga demikian. Ketika Pak Fe datang, langsung gue bawa ke ruang makeup, terus anak yang mau pulang ke Depok itu pun pulang tapi dia minta temennya dateng gantiin dia. Nama dia Kejo dan dia bener-bener cowok yang bertanggung jawab yah, karena dia masih mau cariin pengganti buat kami syuting. (Yang nantinya setelah gue ketahui, nggak ada pengganti pun nggak apa-apa karena memang kelebihan extras. Jadi agak sia-sia dia suruh temennya datang.)
Karena gue pengecut dan gue takut berinteraksi lebih lanjut dengan para talent dan extras yang kesel menunggu, gue kabur ke lokasi syuting. Gue nongkrong aja deh di situ meskipun nggak ada kerjaan juga. Gue sempet lihat tuh pas lagi syuting, mendadak talent yang masih umur 5 tahun nangis minta pulang sama mamanya. Terus beberapa crew berusaha menenangkan, tapi malah bikin situasi makin runyam. Akhirnya semua orang yang nggak penting disuruh keluar karena bikin si anak kecil makin stress. (Ya iyalah ya masih kecil udah disuruh kerja dari jam 12 siang sampe jam 10 malem.)
Setelah anak itu mau dibujuk syuting lagi, masalah berikutnya adalah menenangkan talent dan extras Jepang yang kepengen pulang dan capek menunggu. Bayangin mereka duduk di tempat yang berantakan, nggak nyaman, nggak ada kerjaan, nggak ada hiburan dan tiba-tiba mati lampu!
Gue sangat paham kok perasaan mereka. Tapi apa yang harus gue perbuat? Bukan gue yang bertugas mengatur jadwal dan ditambah lagi: gue apa sih di sini? Gue cuma anak bawang yang kebetulan bisa Bahasa Jepang dan bisa bantuin translate. Kalau gue nggak bisa Bahasa Jepang, gue yakin gue nggak bakal diajak syuting.
Akhirnya syuting di markas Jepang dimulai jam 11 malam dan tetep ngaret lagi karena anak artistik baru ngedekor ruangan tersebut. Tapi meskipun para aktor dan crew awalnya ngantuk, kami langsung terbangun dan terpesona oleh akting Suzuki-san saat rehearsal di ruangan.
Sebelum keterpesonaan itu, gue sempet panik karena astrada 2 mendadak nyuruh gue mengatur blocking semua extras dan talent Jepang (Sebenarnya emang itu jadi tugas astrada 2 dan asistennya, cuman gue nggak dikasih floor plan. Jadi gimana cara gue tau ngatur blocking?) Tapi sekalipun banyak hal mendadak yang mereka minta gue kerjain, gue tetep kerjain tugas gue dengan semaksimal dan sedetil mungkin.
Malam itu syuting terus berlangsung sampai pagi. Bener-bener semua kekuatan crew dan talent dikerahkan semaksimal mungkin. Gue sampe heran sendiri, kami ini nggak dibayar loh, kok sutradara nggak ada sih cuap-cuap atau basa-basi sedikit bilang, "Semuanya, kita syuting terus ya, maaf ya. Gue mohon bantuan kalian, karena bla bla bla..."
Gue berasa romusha. Berasa tenaga gue nggak berharga oleh si sutradara. Gue berani bilang loh jadi sutradara macam dia itu enak bener. Tinggal duduk depan TV terus bilang action sama cut. Lo bandingin tuh sama yang mesti ngangkut kamera, lighting, yang mesti ngecat, dll. Itu kerjanya dahsyat capeknya. Nggak bisakah dia bilang terima kasih?
The Next Day
Jam 7 pagi gue give up dan kabur cari kasur. Gue nggak peduli lagi. Gue juga kan nggak dibayar, jadi kenapa gue harus bertahan kerja 24 jam? Gue ngerti banget kalau semua orang kelelahan dan beberapa sudah tertidur di lokasi syuting. Eh, gue jadi inget ada Yudi yang ketiduran di sofa dan ngorok kayak kodok. HAHAHAHA... Anak-anak pada ngerjain dia, sakingnya dia nyenyak banget tidur! Jadi mulutnya dilakban hitam dan pipinya digambar penis. Herannya, Yudi tetep awet tidur ngorok!
Oh ya, gue nemuin kamar dengan kasur tanpa sprei gitu. Karena di kamar itu gue lihat ada 2 temen akrab gue, jadi gue ikutan tidur di situ. Terus udah deh, dengan demikian berakhirlah kisah syuting Bogor day 1!
Baca post berikutnya buat tahu kelanjutan syuting di Bogor!







Komentar