Syuting di Bogor (Part IV)
- Caecilia Sherina
- 9 Des 2013
- 5 menit membaca
Kisah sebelumnya: gue dan astrada 1 saling maaf-maafan dan tertidur di kamar, sementara si sutradara main game sepak bola di laptop.
Jam 5 sore gue bangun, kamar mulai agak gelap, hujan masih turun membasahi Bogor. Ternyata yang tidur di sebelah gue bukan lagi astrada 1, melainkan astrada 2. Kaget gue. Hahaha... Gue langsung bangun dan pergi ke luar. Banyak orang sedang tertidur di lantai, kursi, atau pun duduk mengobrol santai.
Tiba-tiba HP gue berdering, gue angkat, ada suara astrada 1 di telepon.
Astrada 1 : Ce, gue ambil kertas catetan lo pas tidur tadi, sorry ya. Gue pinjem dulu ya.
Gue : (berpikir sejenak...) Oh iya ya, pantas hilang. Ya udah. Lo di mana?
Astrada 1 : Gue udah di Gunung Salak. Boleh tolong bawain HP gue yang lagi dicharge nggak nanti? Sama tolong cariin kertas-kertas gue yah. Gue lupa taruh di mana.
Setelah telepon itu, banyak orang perlahan bangun dan merapikan raut wajahnya. Semua orang nampak kelelahan dan mulai bertanya-tanya, "Kapan kita ke gunung? Kapan kita mulai syuting lagi?" Namun tak ada yang bisa menjawab.
Tiba-tiba salah seorang telko (talent coordinator) menghampiri gue, "Ce, di mana talent gua???" Dan gua yang baru bangun itu juga bingung mau jawab apa. Tapi kalau dilihat-lihat memang semua talent, kecuali talent prajurit sudah hilang. Mungkin mereka sudah ke gunung bersama telko satunya, pikir kami. Sore itu benar-benar terasa ajaib. Ya, ajaib. Kamu tidur dan tiba-tiba HAP! Berbagai orang lenyap begitu saja.
Sutradara, astrada 1, talent dan beberapa jajaran atas sudah pergi ke Gunung Salak tanpa berpamit pada kami semua. Bahkan produser, astrada 2 dan gue pun tidak diberi tahu. Yang gue lebih sebelin lagi, kenapa talent prajurit ditinggal? Padahal peran mereka juga banyak di gunung nanti.
Saat itu gue bener-bener pengen pulang karena udah nggak betah lagi. Gue benci ketidakpastian. Gue benci tidur di kasur busuk yang tidak beralaskan sprei. Gue lelah, ingin tidur, ingin pulang ke kos. Tapi, gue nggak tahu caranya pulang dari Cilendek. Dan pulang artinya lo lemah. Gue mengalami dilema hebat.
Jam 5.30 sore kami diberi makan. Gue ngumpul sama beberapa kawan bergosip ria dan berevaluasi. Ya, gue sebagai anak cecunguk angkatan 2012 pasti bertanya-tanya, "Syuting ideal itu seperti apa sih? Sebenarnya job desc. saya itu apa sih?" Pertanyaan-pertanyaan ini gue ajukan ke senior, dan mereka menjawab menurut versinya masing-masing.
Sekitar jam 6.30, mobil tronton datang. Hampir semua crew dipepet-pepetin biar muat di dalam mobil itu. Segala properti seperti sepeda, dan boks-boks besar juga dipepetin. Gue nggak terbayang yang duduk di dalamnya... Apakah bisa bernapas? Apakah bisa bertahan naik gunung dengan mobil tronton begitu? Apakah hujan akan berhenti mengguyur kami?
Untungnya gue diselamatkan Kak T, gue ditawari duduk di mobil jeep. Meskipun gue hampir mau muntah juga di mobil itu, tapi seenggaknya suasana di mobil jeep jauh lebih manusiawi daripada di mobil tronton. Bebas air hujan, nggak terlalu sempit, pakai AC dan... bisa ngobrol santai!
Sayangnya, yang nyetir mobil nggak inget jalan dan kami sempat nyasar sana-sini. Kami stop dulu di minimarket untuk membeli makanan. Gue so pasti beli Biskuat cokelat. Gue cinta biskuit ini.
Jam 8 malam, kami tiba di Gunung Salak.
Mobil tronton belum juga tiba, dan gue semakin kasihan membayangkan mereka melewati jalan terbal sambil memeluk tas, sepeda onthel dan boks besar. Entah kenapa gue bersyukur banget diizinkan Tuhan naik mobil jeep dan boleh beli Biskuat cokelat.
Setelah turun dari mobil, gue langsung meletakkan tas gue di kamar talent. Sebenernya ada tenda khusus buat crew, tapi gue baru tau tenda itu eksis setelah besok pagi. Malam itu Gunung Salak sangat gelap dan penerangan hanyalah dari pondok bambu, tempat para talent berkumpul.

Jam 8 lewat, hujan deras, gua masih mual karena perjalanan terjal tadi, jadi gue pesen teh manis hangat. Ini adalah obat ampuh untuk menangkis masuk angin. Sayang, rasa tehnya agak aneh, tapi yaudalah. Gue langsung menuju ke lokasi syuting di hutan naik motor sama Bang B. Dalam perjalanan, ada percakapan bodoh di antara kami.
Bang B : Sil, lo jadi apa sih? Telko?
Gue : Bukan, Bang, saya asisten astrada 2.
Bang B : Oh.
Sunyi. Hanya terdengar deru motor dan senyapnya hutan belantara.
Bang B : Sil, lo takut nggak kalau gue tinggalin di sini?
Gue terdiam. Gue lihat sekeliling hutan, tentu gelap gulita. Hujan rintik-rintik. Penerangan cuma dari lampu motor dan udara begitu dingin.
Gue : Jangan, Bang. Saya takut...
Bang B : Gue tinggal yah?
Gue : Bang....
Jujur aja ye, gue baru kenalan sama si Bang B di gunung itu, pas lagi naik motor. Kedua, gue nggak pernah liat mukanya saking gelepnya. Ketiga, pikiran gue melayang-layang ngawur, "Jangan-jangan Bang B ini... syaiton?!" Untungnya sih dia cuma bercanda dan gue nggak ditinggalin.
Jam 9.30 sesampainya di lokasi, gue melihat banyak crew dari mobil tronton sudah tiba dan sedang mempersiapkan lighting dll. Lewat radio HT, gue berkomunikasi dengan astrada 1. Gue ditugaskan menjaga para talent di warung, sementara astrada 1 dan 2 mempersiapkan lokasi syuting yang jaraknya agak jauh.
Ketika gue baru saja dikenalkan dengan para talent ibu-ibu dan anaknya, tiba-tiba astrada 1 memberikan aba-aba, "All crew standby, jam 10 syuting dimulai." Spontan, banyak crew menggerutu, "Gila apa dia? Ini aja udah jam 9 lewat, orang baru nyampe langsung syuting." Bagi gue, keputusan astrada 1 ini memang tidak bijaksana sama sekali. HARUSNYA ADA BRIEFING DULUUU!!!
Lo bayangin deh yang baru naik mobil tronton empet-empetan, tiba-tiba langsung disuruh syuting. Taruh tas aja nggak tau di mana, mau kencing di mana? Simpen properti di mana? Tiba-tiba disuruh standby syuting. Oh ya, tambahan, hujan masih turun rintik-rintik.
Sempet ngaco pula soal jumlah talent yang dibutuhkan. Talent yang tersedia ada 12 ibu-ibu dan 12 anak-anak, ternyata yang butuh syuting hanyalah 12 ibu-ibu dan 3 anak. Dan lo tau mereka udah standby dari jam berapa? Jam 7 pagi. Anak-anak kecil itu bolos sekolah demi syuting hari ini. Sia-sia bingiiittsss yang dipanggil cuma 3 anak kecil! Menangis. TT_TT
Salutnya, para warga Gunung Salak ini, terutama ibu-ibunya sangat antusias untuk syuting. Mereka rela nungguin sampai selesai (sekitar jam 3 pagi). Anak-anaknya nggak ada yang sedih atau pun rewel meskipun namanya nggak dipanggil untuk syuting (syukurlah!).
Tapi malam itu gue kerja dobel: jadi telko dan astrada 2. Gue yang mempersiapkan talent, meneruskan perintah dari atasan ke departemen lain, mengarahkan blocking, memanggil talent, mengantar talent, mengucapkan terima kasih, dan seterusnya. Soalnya kami kekurangan telko. Seriously, kalau talent lo ada lebih dari 10, lo butuh lebih dari 2 telko.
Hal apa sih yang membuat talent dan extras bahagia selain honor/gaji? Tentunya selain wajah dia masuk kamera dan dapet makan gratis, ada kelegaan ketika diucapkan terima kasih. Hal ini yang gue nggak lihat dari sang sutradaranya. Dia cuma pikirin talent utama. Sementara extras dia terbengkalai total. At least he should say, "Thank you." Tanpa extras, film dia nggak akan jadi apa-apa.
Jam 3 pagi syuting selesai dan semua orang kembali ke pondok. Pak sutradara nggak ada sama sekali menghampiri extras dia untuk say thanks. Dia langsung pergi entah ke mana. Hujan semakin deras dan mobil tidak mampu membawa semua orang. Jadi gue dan beberapa crew tertinggal di warung. Penerangan menjadi gelap gulita tanpa peralatan lighting tadi. Suasana semakin sunyi senyap karena para extras ibu & anak sudah pulang ke rumahnya.
Kemudian bapak-bapak genset menghampiri kami di warung untuk meminjam uang. Dia bilang bensin mobilnya habis dan dia mau beli bensin curah di dekat sini. Saat itu nggak ada yang mau pinjemin dia uang. Gue sebenernya punya uang, tapi apakah bapak ini benar-benar pinjam untuk bayar bensin atau untuk menipu kami?
Bersambung ke Syuting Bogor Part V!
Comments