top of page

Search Results

174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Review Acara INAFEd: Flash Back

    INAFEd (Indonesian Film Editors) adalah sebuah asosiasi editor film Indonesia yang pada hari Jumat, 27 Maret lalu mengadakan sebuah diskusi mengenai teknologi editing film dari masa ke masa. Acara ini diberi judul Flash Back, dan berlokasi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki pada pukul 7 malam dengan narasumbernya, para editor Indonesia: George Kamarullah, Norman Benny, Sentot Sahid, Sastha Sunu, Dewi S. Alibasah, Andhy Pulung, dan Ryan Purwoko. Sayangnya malam itu George Kamarullah dan Dewi S. Alibasah berhalangan untuk hadir, sehingga diskusi semi-formal yang dimoderatori oleh Cesa David Lukmansyah pun berlangsung hanya bersama 5 editor saja. Diskusi dibuka dengan pengantar sejarah editing singkat dari Norman Benny, selaku editor paling senior di antara kelimanya. Ia telah memulai karir sejak tahun 80an, di mana pada masa itu film Indonesia masih hitam-putih. Kemudian secara bergilir, perkembangan teknologi editing ini dilanjutkan melalui cerita Sentot Sahid, Sastha Sunu, Andhy Pulung, dan diakhiri oleh Ryan Purwoko yang telah memasuki era digital secara keseluruhan. Di antara diskusi tersebut, di belakang para narasumber juga disediakan sebuah layar besar untuk menampilkan foto-foto mesin editing dan pemutaran film dokumentasi pendek buatan Dwi Koencoro yang berjudul Old School Movie Editing (1987). Sehingga percakapan mengenai teknologi masa lalu ini menjadi lebih jelas di benak penonton, yang pada umumnya belum pernah menyentuh alat editing analog. Mendekati akhir acara, Cesa memberikan pertanyaan kepada para narasumbernya, “Apa yang perlu dipersiapkan saat mengedit baik secara mental maupun raga?” dan pertanyaan itu pun disambut dengan penuh senyuman dari narasumber. “Persiapan sama, dari jaman masih hitam-putih hingga sekarang. Bagaimana cara melihat materi lapangan, membaca shot dari lapangan, editorial thinking , semuanya sama, kecuali saat era penggunaan dubbing system , agak kacau,” jawab Norman Benny menjelaskan bahwa pada saat dubbing system , editor mengedit film tanpa suara. Sehingga sangat susah untuk menentukan titik potong yang tepat dengan dialog yang diucapkan di gambar. Pekerjaan ini tentu dibantu oleh pencatat skrip yang bertugas mencatat dialog-dialog saat syuting berlangsung. Celakanya, seringkali pencatat skrip kehilangan beberapa kata karena improvisasi aktor yang terlalu banyak. “Dari dulu, musuh editor adalah pencatat skrip,” tambah Sentot Sahid dengan gelak tawa. “Bahkan sampai sekarang pun masih, Mas. Mungkin perlu kita adakan acara rekonsiliasi?” canda Cesa David, dan para peserta diskusi pun semakin terbalut dalam tawa meski malam semakin larut. Kembali ke topik, Sentot Sahid menambahkan bahwa pada zaman dulu, selain harus memanjangkan kuku jempol agar dapat dengan mudah mengupas selotip dari ujung seluloid yang ditempel ke ujung lainnya, juga perlu siap menerima kenyataan bahwa tangan seorang editor tidak akan pernah halus. “Di luar negeri, seharusnya pakai sarung tangan agar tidak terbeset pinggiran seluloid yang dalam kecepatan tinggi jadi seperti pisau. Tapi karena kita mau cepat, jadi ya saya langsung pegang pakai tangan, jadi sering sekali berdarah di mana-mana,” ujar Sastha Sunu diiringi tepuk tangan para peserta diskusi. Pada akhirnya, diskusi ini ditutup dengan kesimpulan dari Sastha mengenai perkembangan teknologi yang semakin pesat, “Semua teknologi memiliki fungsi yang sama, yakni memudahkan kita dan membuat kita nyaman bekerja. Tapi, sayangnya rentan membuat kita kurang disiplin, dan rentan dalam pengarsipan. Coba kalau film disimpan dalam external hard disk saja? Kena air sedikit, data corrupted . Kalau dalam seluloid kan kena air, ya tinggal dikeringin dengan hati-hati. Jadi menurut saya, teknologi analog dan seluloid film tetap penting dipertahankan, selain sebagai pilihan dalam film style , juga terutama untuk pengarsipan.”

  • Galau Mau Kuliah di IKJ?

    Hey, semua! Apa kabar? Gue baru selesai syuting nih, lagi ngedit, tapi tertunda karena materi editan belum lengkap. Gue mau cerita soal kampus akhir-akhir ini. Beberapa waktu lalu seorang dosen menghampiri gue dan bilang, "Sil, angkatan 2013 pada nge-fans sama kamu tuh. Katanya mereka baca blog kamu tentang IKJ dan menjadi lebih termotivasi." Wah, gila, gue langsung sumringah dengernya. Senyum nggak karuan gitu deh. Di satu sisi gue seneng karena tulisan gue memotivasi orang, di sisi lain gue baru sadar kalau blog ini sudah dibaca buanyak orang dan gue masih aja hobi nulis sesuatu yang privacy -nya tingkat tinggi. (Ngakak sambil ngapusin post-post berbahaya.) Nah, kawan-kawan budiman sekalian, mohon maaf ya kalau gue sering menulis hal personal. Gue emang "agak" suka cari sensasi gitu, sembari melepas penat. Jadi tolong dimaklumi saja. Baru-baru ini gue membantu syutingan kawan gue sebagai talent . Assiiikkk... Seru kan? Jarang-jarang nih gue jadi talent . Gue dapet peran sebagai seorang gadis yang menanti kekasihnya datang. Tugasnya susah gitu, mesti menangis. Tapi sialan bangetlah si sutradaranya, sengaja milih gue karena gue abis putus. Hahaha... Jadi biar gue nangis, semua crew pada nginget-ngingetin gue akan si mantan. Dasar kawan-kawan sialan! Tapi mereka memang berhasil sih... (-_-) Oh ya, menjelang UAS, kerjaan gue bertumpuk-tumpuk nih. Agak malas gitu ngerjainnya, makanya gue malah nge-blog. Tugasnya tuh bikin makalah soal tarian Sumatera Barat sama film tentang sejarah bakso di Indonesia. Terus ditambah job-job kecil yang gue ambil dari kampus maupun dari luar kampus. Duuhh... Lelah sendiri deh terima kebanyakan. Habis ditolak sayang! Ada yang prospeknya bagus, ada pula yang uangnya bagus. Contoh prospek bagus itu kalau gue diajak kerja sama dosen. Meskipun nggak dibayar, tapi dosen gue pasti ngenalin gue ke orang hebat lainnya, which is good kalau gue bisa maintain a good impression . Atau ada project yang honornya kecil banget, tapi kalau ditaro di portfolio , orang bakal manggut-manggut lihat pengalaman gue. Jadi kesimpulannya: kuliah di IKJ itu bisa disambi kerja. Lantas, apakah modal passion saja cukup untuk masuk FFTV IKJ? Jawabannya menurut gue ya jelas, cukup. FFTV IKJ itu apa sih? Sekolah kan? Sekolah itu fungsinya apa? Mendidik kan? Yaaa... namanya kuliah, tujuan utamanya adalah belajar. Jadi kalau belum ada pengalaman ya nggak masalah. Justru masuk IKJ untuk mendapatkan pengalaman dan pelajaran. Kalau lo ngelamarnya ke tempat kerja, misalnya stasiun televisi, baru passion aja nggak cukup. Karena di tempat kerja, mereka butuh pengalaman dan keahlian lo; nggak cuma passion . Nah, kalau di sekolah ya passion aja nggak apa-apa. Nggak passion juga nggak apa, cuman nanti jadi berat jalaninnya karena nggak suka. Ada pertanyaan sulit buat gue dan lucunya kerap kali ditanyakan para pembaca. Tapi gue akan mencoba untuk memaparkan apa yang gue tahu dan gue rasakan. Jadi, semoga opini gue bisa membantu para pembaca yang galau dalam membuat keputusan yang tepat. Ada seorang gadis yang curhat, dia bilang orang tuanya khawatir karena dia adalah seorang wanita, dan pergaulan di IKJ, "..bakal berat banget." Begitu kurang lebih katanya. Menurut gue IKJ nggak seseram yang orang bayangkan. Mungkin dulu seram, karena ada ospek yang gila-gilaan. Tapi sekarang ospek itu udah nggak ada lagi dan senioritas sudah mulai berkurang. Tetep ada senior yang dingin dan ingin dihormati, tapi ada juga senior yang sangat humble. So, I think you don't have to be afraid. Perihal kamu adalah seorang wanita, itu adalah alasan yang lebih nggak penting lagi. Ke mana pun kamu pergi, bahaya akan selalu ada. Maksud gue adalah, IKJ dan universitas lainnya ya sama aja. Meskipun kamu masuk sekolah yang isinya wanita semua, bahayanya tuh sama aja. Orang jahat akan selalu ada, dan nggak perlu ditakuti. Yang penting, iktikad lu baik, lo nggak jahatin orang, dan lo waspada. Gua rasa lo akan aman. Buktinya? Buktinya ya gue. Gue cewek, gue kuliah di IKJ dan semuanya baik-baik saja. Gue udah dua tahun kuliah di sini sejak tahun 2012. Gue kasih gambarannya ya, di sini wanita itu minoritas. Agama Katolik juga minoritas. Orang Indonesia berdarah Tionghoa lebih minoritas lagi. Gue berada di posisi yang benar-benar minoritas dan semuanya baik-baik saja. "Baik" dalam arti, gue nggak terluka secara fisik maupun psikis, gue nggak merasa didiskriminasi, dan gue mendapatkan hak yang setara dengan kawan-kawan lainnya. Jangan dikira orang tua gue nggak takut masukin gue ke IKJ. Mereka khawatir kok. Tapi waktu itu gue bilang ke bokap, kira-kira seperti ini, "Erin mau jadi sutradara, Pap. Mau sekolah di IKJ. IKJ itu sekolah film pertama di Indonesia. Erin nggak mau kuliah di B, di sana dosennya pun lulusan IKJ. Mending Erin sekolah di IKJ aja. Biaya kuliahnya juga nggak semahal di B." Bokap gue balik bertanya, "Kamu bisa dapat pekerjaan yang baik setelah lulus dari IKJ?" Gue jawab pertanyaan bokap gue dengan lugunya, "Erin udah tanya banyak orang. Katanya, malah kebanyakan mahasiswa IKJ itu nggak lulus karena keenakan kerja." Dan hal yang gue katakan ini memang benar. Sudah gue rasakan kenikmatan bekerja dan dibayar. Selama dua tahun ini, setiap ada waktu bertemu, bokap pasti nanya, "Gimana kuliah? Ada yang rasis nggak? Ada yang ngatain kamu? Jangan mau diajak syuting nggak jelas, naik mobil sembarangan, apalagi kalau kamu nggak kenal seniormu. Pokoknya kalau syuting harus ada perempuannya!" Gue tentu jawab apa adanya. Gue nurut dengan wejangan ayah gue, karena semuanya baik dan benar. Hasilnya, hidup gue baik-baik saja. Jadi begitulah cara gue meyakinkan orang tua. Gue jelaskan keinginan gue baik-baik, dengan bukti nyata bahwa ini bukan sekadar mimpi di siang bolong, dan gue yakinkan bahwa masa depan gue aman. Pertanyaan berikutnya dari si gadis di atas adalah, "Aku bakal survive atau nggak dengan lingkungan yang sangat berbeda?" Waktu itu, IKJ juga merupakan tempat yang asing buat gue. Bayangin aja, gue lulusan sekolah internasional. Setiap hari ngomong pakai Bahasa Inggris, berpikir seperti orang Barat, dan terbiasa tepat waktu. Tiba-tiba gue dihadapkan dengan kawan-kawan yang nggak ngerti Inggris, nggak suka on time , dan you know lah . Intinya beda. Gue ngerasain culture shock waktu itu, dan berusaha keras menyesuaikan diri. Ada saat di mana gue desperate , tapi.. gue nggak mungkin terus-terusan seperti ini. This is either you accept it or change yourself. Pada akhirnya gue memilih, accept it. Artinya, gue berhenti mengeluh dan menerima keadaan sebagaimana adanya. Gue mencoba memahami cara bergaul di sini, tanpa mengubah diri gue atau diri sesiapapun. Yang penting gue ngerti cara bergaulnya, jadi gue tau sampai di mana batas kebebasan gue menjadi diri sendiri. Lama kelamaan, orang lain malah menyesuaikan dirinya dengan gue. Mereka mulai ngerti kalau sama Cecil, harus menghargai waktu. Hehe... Sekarang gue sudah terbiasa dan nyaman dengan lingkungan yang baru ini. Gue yakin siapapun pasti bisa survive di lingkungan yang asing, asal itu tadi, pilih: accept it or change yourself. Kalau kamu mau change yourself , ya ubah dirimu menjadi tipikal mereka. Misalnya mereka suka lagu Slank, ya kamu coba dengarkan lagu Slank juga. Misalnya mereka suka main sampai pagi buta, ya kamu coba ikutin pola hidup mereka, semampumu dan senyamanmu. Pada akhirnya pertanyaan mau kuliah di mana, cuma bisa dijawab oleh dirimu sendiri (dan kemampuan finansialmu). Hehe. Cari lebih banyak informasi untuk meyakinkan atau sebaliknya mematahkan prasangkamu terhadap suatu tempat. Atau, jadilah Cecil yang bodo amat dengan apa kata orang dan ketika ingin sesuatu, fokus dan gas aja sampai nyampe di tempat tujuan.

  • Mengundurkan Diri dari SENDAL

    Mendadak gue memutuskan untuk keluar dari SENDAL. Well , gue punya alasan untuk ini dan akan gue bahas. Tapi sebelumnya gue ingin mengucapkan maaf dan terima kasih buat teman-teman seperjuangan dan para mentor yang sudah mendidik kami. Maaf sekali, pada akhirnya gue mengundurkan diri. Jadi begini, pendidikan untuk caang dimulai sejak tanggal 11 Februari dan baru akan berakhir tanggal 31 Maret. Sementara gue sudah mengundurkan diri sejak tanggal 5 Maret. Gue belum sempat naik gunung ataupun melengkapi kebutuhan naik gunung. Buat gue ini keputusan yang bijaksana, sebelum gue terlanjur terlalu siap dan semua menjadi lebih sia-sia lagi. Jadi gue nothing to lose . Temen-temen gue juga rasa-rasanya nggak rugi besar kok. Gue sudah melunasi apa yang harus gue bayar atas kepergian gue. Kalau mereka merasa rugi, menurut gue tidak secara materi (setidaknya). Jadi kita nothing to lose , ya? Alasan gue keluar yang pertama adalah: Ternyata, gue nggak segitu cintanya pengen naik gunung ataupun diving, caving, rafting, etc . Iya, gue emang suka jalan-jalan apalagi a la backpacker , tapi ternyata bukan kegiatan alamnya yang bikin gue tertarik. Jadi gue sama sekali nggak super excited dengan pendidikan dasar untuk naik gunung. Gue malah lebih excited ngurusin design t-shirt dan sticker buat cari dana. (-_-) Istilahnya gue lebih tertarik seni -nya daripada alam -nya. Kan ini jadi menyalahi tujuan utama gue ikut UKM SENDAL (Seni Dan Alam). Kalau gue cuma mau berkesenian, bukan di sini tempat yang tepat. Alasan yang berikutnya adalah: Prioritas. Gue lebih memprioritaskan les gue (yang selalu bentrok dengan jadwal pendidikan), kuliah gue (yang juga akan tersita ketika naik gunung), dan kesehatan gue (you know lah, gue masih jerawatan parah). Jadi alasan-alasan ini yang juga mendorong gue untuk segera mengundurkan diri. Sebelumnya gue sempat berdiskusi dengan beberapa teman dan ada satu orang yang menampar gue dengan kata-katanya, "Menurut gue, lo nggak cocok sama lingkungannya." Wow, really? Gue paham sih gue berasal dari lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan di sini, tapi I did try my best to cooperate; to adapt . Apakah gue sungguh-sungguh gagal beradaptasi? Atau gue benar-benar nggak mungkin berhasil beradaptasi? Sakit dengernya dan sekaligus sadar, yeah what am I trying to force anyway? Why should I change myself for something I don't really like? Lagipula ikut atau tidak, nggak berpengaruh besar untuk kelangsungan cita-cita gue. Jadi apa sih yang gue perjuangkan di sini? Uhm , buat yang agak lost track , baiklah saya akan jelaskan maksud dari "lingkungan yang berbeda". Kalau orang lihat gue sepintas, mereka akan bilang: anak China, princess , tajir, bersih, manja. Jadi nggak mungkinlah orang macam gue naik gunung, tidur di tanah, makan seadanya, etc . Meskipun sebenernya mungkin-mungkin aja sih. Jadi lingkungan yang tepat untuk penggambaran gue pastilah: mall , rumah, yah tipikal tempat bersih deh. Sementara sekretariat SENDAL jauh dari gambaran itu, apalagi gunung. Tampang gue juga nggak ada sangar-sangarnya, jadi orang pasti menganggap gue lemah di fisik. Dengan tampang ini juga orang akan selalu menilai gue sebagai anak yang baik, polos, dan innocent . Gue tampang orang yang tidak mungkin mabok-mabokkan, pulang jam 2 pagi, nginep di kosan temen, nggak mandi, makan seadanya, dsb. Menurut gue, sepertinya itu yang dimaksudkan teman gue dengan, "Lo nggak cocok sama lingkungannya." karena lingkungannya ya seperti itu! Harus mau kotor, harus sederhana, harus down to earth banget, bahkan sampe kadang nggak mandi-mandi, baju juga nggak ganti-ganti. Gue males menegaskan soal: gue bukan orang seperti itu, atau gue bukan orang seperti ini. Karena gue melihat bahwa apapun yang gue lakukan, toh gue juga nggak cinta-cinta amat naik gunung, jadi yaudalah kenapa gue harus memperdebatkannya? ...  Krik Krik Krik ... Jadi, kalo kata Try, "End story!" Hahaha... Semoga kawan-kawanku sukses naik gunungnya ya!

  • Stase / Magang di Super 8mm Studio

    Selama sebulan ini gue sibuk magang + kuliah. Gue jadinya magang sebagai assistant colorist di Super 8mm Studio, Fatmawati di bawah bimbingan Mas Andhy Pulung, daaann... super melelahkan. Selain karena tempatnya sangat jauh dan sulit ditempuh, juga karena jadwal kerja yang cukup padat. Gue sampai bener-bener nggak ada tenaga lagi buat nulis blog. Weekend tuh beneran gua pakai buat ngerjain tugas, tidur sepuasnya dan leha-leha. Berikut ini hasil copy-paste dari laporan Stase gue di tahun 2015. Mohon diketahui bahwa karya tulis di bawah ini merupakan buah pemikiran saya saat masih berusia 20 tahun, dan mungkin sudah tidak relevan lagi karena saya sudah tidak mengikuti perkembangan perusahaan terkait. Waktu Pelaksanaan Program praktek kerja lapangan dimulai pada pertengahan bulan April 2015 dan berakhir pada Mei 2015 dengan jangka waktu selama 1 bulan. Lebih detilnya lagi telah ditentukan bersama Post-Production Director saat briefing tanggal 10 April 2015, bahwa saya harus masuk bekerja selama 20 hari, dari hari Senin-Kamis setiap minggunya.  Tempat Stase Super 8mm Studio adalah sebuah studio pasca-produksi yang menerima pengerjaan restorasi film, film/video editing, color grading, dan special effect . Projek-projek yang diterima tidak hanya film layar lebar, namun juga film layar kaca, television commercial (TVC), music video , film dokumenter, dan public service announcement (PSA).  Studio ini diprakarsai oleh Andhy Pulung, alumnus Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi yang telah memulai karir pribadinya sebagai film editor sejak tahun 2000. Hasil Karya Perusahaan Film layar lebar  Pizza Man (2015) disutradarai oleh Ceppy Gober;  Midnight Show (2015) disutradarai oleh Ginanti Rona;  Toba Dreams (2015) disutradarai oleh Benni Setiawan;  Another Trip to The Moon (2015) disutradarai oleh Ismail Basbeth;  Jokowi Adalah Kita (2014) disutradarai oleh Rony Mepet;  7/24 “7 Hari 24 Jam” (2014) disutradarai oleh Fajar Nugros;  Madre (2013) disutradarai oleh Benni Setiawan;  Soegija (2012) disutradarai oleh Garin Nugroho;  Opera Jawa (2006) disutradarai oleh Garin Nugroho;  Denias: Senandung di Atas Awan (2006) disutradarai oleh John De Rantau;  Obama Anak Menteng (2010) disutradarai oleh John De Rantau;  dan masih banyak lagi.  Dokumenter  Au Lorun (2015) disutradarai oleh Dodi Wijanarko;  Wakatobi;  Generasi Biru (2009) disutradarai oleh Garin Nugroho, dkk.;  Kamera Rakyat;  dan masih banyak lagi.  Serial Televisi  BIMA Satria Garuda (2013); dan  BIMA-X Satria Garuda (2015).  Selain itu terdapat pula Television Commercial (TVC), Public Service Announcement (PSA), Music Video (MV) dan Film Televisi (FTV) yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Tahapan Kerja Sebagai asisten colorist , saya masuk dalam bidang online editing di bawah arahan Andhy Pulung dan Alex Sadewo. Dalam bidang ini, terdapat 5 tahapan yang harus dilakukan berurutan:  Data conforming Data setup Color balancing Color match-up Color grading Data conforming adalah tahapan di mana data film/video dipersiapkan untuk dipindahkan dari Final Cut Pro ke DaVinci Resolve. Dalam contoh kasus BIMA-X Satria Garuda (2015), data video yang telah diberikan sentuhan animasi seringkali dalam bentuk gelondongan atau per sequence . Berhubung tahap coloring harus spesifik per shot , maka gelondongan tersebut perlu dicacah kembali di meja editing. Selain itu data audio juga harus di- delete karena tidak akan dipakai di meja coloring . Setelah selesai, barulah projek di- save ke .xml dan siap dibuka di DaVinci Resolve. Namun proses ini belum berakhir sampai di situ saja. Setelah projek dibuka di DaVinci Resolve, setiap shot harus di- link kembali pada file mentahannya yang disimpan di hard disk eksternal.  Berikutnya data set up merupakan tahapan di mana metadata projek disesuaikan terlebih dahulu dengan jenis kamera dan hasil akhir yang diinginkan. Tahapan ini juga sangat penting dan harus dikerjakan di awal karena akan mempengaruhi warna film saat diputar di layar tertentu. Apabila dalam satu projek menggunakan berbagai jenis kamera, maka set up harus dilakukan per shot .  Tahap ketiga, color balancing , merupakan tahapan di mana seluruh shot dikembalikan dulu ke warna dan titik terang netral. Pengerjaan ini harus dilakukan spesifik per shot .  Tahap keempat, color matching , sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan color balancing . Fungsinya hanya sebagai pelengkap untuk memastikan bahwa setiap shot dalam satu scene memiliki suhu warna yang sama dan tingkat keterangan yang sesuai dengan konsep. Agar saat di- grading nanti tidak terjadi perbedaan antar shot untuk menjaga logika cerita.  Tahap terakhir, color grading merupakan tahapan di mana film telah diatur warnanya sesuai konsep film. Entah diubah menjadi kemerahan, kekuningan, atau kebiruan, tahapan ini harus dilakukan paling akhir untuk memastikan semua warna shot dalam keadaan sejajar.  Meskipun proses coloring seharusnya hanya bersifat membetulkan suhu warna dan tingkat terang-gelap suatu gambar, namun sering pula colorist harus membetulkan gerakan kamera yang terlalu shaky , menghilangkan atau menambahkan satu elemen dalam gambar, dll.  Semua hal tersebut memang merupakan fitur pelengkap dalam software DaVinci Resolve. Oleh sebab itu colorist tidak perlu berpindah-pindah software dan dapat melakukannya sendiri. Namun revisi semacam itu juga tergantung pada permintaan client . Kadang ada client yang tidak begitu menghiraukan kecacatan kecil pada gambarnya, sehingga colorist tidak perlu mengerjakan hal tersebut.  Pengalaman Stase Pengalaman pertama saya bekerja di Super 8mm Studio dimulai pada tanggal 14 April 2015 pukul 19.00 WIB. Sesuai hasil diskusi sebelumnya dengan produser studio, saya akan bekerja setiap jam 7 malam hingga selesai dari hari Senin hingga Kamis. Hari itu saya belajar tahap conforming bersama Mas Eko. Film yang kami kerjakan adalah BIMA-X Satria Garuda episode 32.  Di studio, semua perangkat kerasnya menggunakan produk Apple dengan pilihan software Final Cut Pro, Adobe After Effects dan DaVinci Resolve. Berhubung saya adalah seorang Windows user , maka saya sangat memanfaatkan kesempatan ini untuk memperdalam pengetahuan saya tentang produk Apple.  Melalui Mas Eko, saya mengetahui bahwa film BIMA-X membutuhkan banyak sekali CGI dan hasilnya berupa gelondongan. Oleh sebab itu saya harus memilah-milahnya kembali agar saat coloring dapat dilakukan per shot , kecuali ketika satu shot ke shot lainnya memiliki transisi seperti dissolve , atau dip in white . Apabila terdapat transisi seperti itu, maka gelondongan tersebut tidak perlu di- cut .  Pada hari berikutnya, saya datang kembali pada pukul 7 malam, namun sedang tidak ada yang perlu dilakukan sehingga saya diajak Mas David, salah satu editor BIMA-X untuk melihatnya bekerja. Hari itu Mas David tinggal menempelkan hasil CGI yang telah dikerjakan tim special effects . Di hari lain, nantinya saya akan berkenalan dengan Ryan Harahap, sang CGI artist BIMA-X . Selain itu saya juga diajarkan manajemen data oleh Mas David.  Pertemuan-pertemuan berikutnya kegiatan saya masih sama saja, yaitu memperhatikan Mas David dan Mas Eko mengerjakan BIMA-X. Saya belum masuk ke tahap coloring karena biasanya tahapan itu dikerjakan pada pagi buta—sekitar jam 12 malam hingga jam 2 pagi—saat di mana saya sudah pulang dari kantor.  Pada tanggal 22 April, saya beruntung karena Mas Alex Sadewo berkenan mengerjakan coloring pada jam 7 malam, sehingga saya dapat ikut serta. Bersama mas yang murah senyum ini saya diajarkan cara menggunakan DaVinci Resolve untuk pertama kali dengan seperangkat hardware -nya yang bermerk Tangent Wave Studio. Menurut pengalaman Mas Alex, warna di televisi pada umumnya lebih bluish dan high contrast . Oleh sebab itu saya harus mempersiapkan warna BIMA-X lebih low contrast . Setelah diberikan tutorial singkat oleh Mas Alex, saya dipersilakan mengerjakan episode tersebut sendirian, namun tetap diawasi oleh Mas David di belakang, sementara Mas Alex pergi mengerjakan hal yang lain.  Sambil saya mengerjakan, saya menemui beberapa kesulitan mengangkat warna film BIMA-X karena materi saat itu sudah gelap dan grainy . Kalau saya paksakan untuk terang, nanti gambar filmnya akan pecah.  “Karena ini film untuk anak-anak, maka warnanya harus terang. Kalau kamu bikinnya gelap-gelap nanti anak-anak akan kesulitan membedakan para tokohnya,” ujar Mas David yang duduk di belakang saya. Berhubung saya kebingungan harus mengambil langkah apa, akhirnya saya memanggil Mas Alex dan menanyakan solusi beliau. Mas Alex pun mengutak-atik kembali shot-shot tersebut dan menyadari bahwa shot itu memang sudah pecah sejak awal, sehingga tidak bisa dipaksakan untuk menjadi terang.  Setelah merasakan coloring film BIMA-X , saya pun diizinkan Mas Pulung untuk mengerjakan projek yang lain. Saat itu ada dua anak magang lainnya yang mau menjadi colorist : yang satu berasal dari Institut Seni Indonesia Jogjakarta, sementara yang satu lagi dari SAE Sydney. Mereka berdua adalah senior saya, sehingga mereka yang nantinya akan membimbing saya secara langsung.  Hari itu, tanggal 23 April, saya berniat menginap di kantor agar dapat melihat seluruh proses coloring . Kebetulan ada projek yang harus dikerjakan, yakni film layar lebar Midnight Show . Awalnya Mas Pulung duluan yang mengerjakan dan membimbing kami bertiga. Setelah itu baru dikerjakan oleh para anak magang.  Berdasarkan permintaan sutradara, produser, dan sinematografernya, film Midnight Show ingin dibuat vintage dan mencekam pada adegan-adegan pembunuhannya. Mereka menggunakan referensi film The Shining (1980) karya Stanley Kubrick dengan mengaplikasikan warna kemerahan pada setiap adegan pembunuh inframe .  Malam itu, saya belajar lebih dalam lagi akan coloring dengan DaVinci Resolve, karena kebutuhan coloring dalam film layar lebar lebih banyak daripada film televisi. Saya belajar tentang sistem nodes , dan tombol-tombol baru pada hardware yang lebih besar dan advanced . Saya juga baru tahu kalau proses coloring umum dilakukan per reel . Biasanya setiap reel sekitar 20-30 menit, jadi satu film layar lebar akan memiliki 4 hingga 5 reel . Pembagian reel ini dilakukan agar komputer tidak perlu menahan beban terlalu berat saat menjalankan proses coloring .  Hari-hari berikutnya pekerjaan saya masih sama, namun proyeknya saja yang bertambah. Ada trailer film layar lebar yang berjudul Move On , dan sang sutradara ingin sekali warna filmnya memberikan kesan London (sementara lokasi syutingnya di Malaysia). Setelah diberikan permintaan seperti itu, Mas Pulung mencoba mewarnai film itu lebih kecokelatan dan mengangkat warna merahnya agar lebih merah, termasuk warna kulit para aktornya di- select secara khusus untuk dirubah menjadi lebih pinkish . Lucunya sang pemeran utama wajahnya berjerawat banyak sekali, sehingga Mas Pulung juga harus menghaluskan wajah tersebut sehalus mungkin.  Begitu pula ketika harus mengerjakan projek PSA, Mas Pulung dan Mas Alex harus menghaluskan kerutan-kerutan di wajah Maudy Koesnaedi agar terlihat lebih muda. Kerutannya tidak tanggung-tanggung, dari mata, hidung, mulut, hingga leher. Begitu pula dengan rambut dan giginya harus dibuat menawan. Sama halnya ketika bintang dalam PSA tersebut adalah Menteri Perhubungan RI, Ignasius Jonan. Skin tone , gigi, dan segala unsur fisiologis beliau harus terlihat menawan.  Memasuki bulan Mei, saya juga ikut mengerjakan film Pizza Man . Untuk film ini, request -nya adalah membuat warna kekuningan dan kemerahan, namun juga harus disesuaikan dengan situasi pada cerita.  Saya juga ikut preview setiap karya bersama sutradara dan produsernya, sehingga saya dapat belajar bagaimana cara menghadapi client dan memahami apa yang biasanya mereka inginkan. Bersama para senior-senior magang, saya juga belajar cara membuat credits title di Adobe Photoshop.  Suatu hari ada kejadian lucu saat mengerjakan Pizza Man . Tidak disangka salah satu shot di rumah sakit menampilkan penampakan sesosok putih. Kami yang mengerjakan jadi ketakutan semua, namun mencoba positive thinking dengan menganggap bahwa sesosok putih itu adalah bagian dari film. (Catatan: film Pizza Man bukan film horor, melainkan film komedi-romantis.)  Setelah melakukan preview dengan sang produser—Gandhi Fernando—di ruang tamu, beliau mengiyakan bahwa sesosok putih itu bukanlah bagian dari film. Bahkan mereka tidak tahu ada sesosok putih saat sedang syuting.  “Saya sih tidak percaya dengan hal-hal semacam itu. Tapi memang saat syuting saya tidak lihat apa-apa dan semua extras sedang berada di ruang extras ,” ungkap Gandhi saat saya tanya komentarnya akan sesosok itu.  Setelah melakukan preview , kebetulan juga sudah larut malam, hampir semua orang berkumpul di meja teras. Sementara di ruang tamu tadi hanya ada saya dan para senior magang dengan televisi masih menampilkan film Pizza Man yang sudah di- pause . Tiba-tiba film itu ter- rewind sendiri dan membuat kami panik. Padahal tadi sudah di- pause dan posisi remote berada di atas televisi, tanpa ada yang menyentuh. Kak Ningsih cepat-cepat mengambil remote dan menekan tombol pause , tak disangka terhenti tepat di adegan sebelum sesosok makhluk putih itu muncul. Kami langsung melihat satu sama lain dan lari mengibrit ke luar studio, ke tempat yang ramai.  Peran Posisi Kerja Terhadap Pekerjaan Lainnya  Tahap coloring pada umumnya dihitung selama satu bulan dan dapat diselesaikan lebih cepat dari jadwalnya, namun hal ini juga bergantung pada tingkat kesulitan setiap film. Ada film yang tidak banyak kesalahan warna, ada pula film yang membutuhkan treatment lebih dalam pewarnaannya. Setelah tahapan ini selesai, maka film akan memasuki tahap mastering dan siap dirilis.  Tahap coloring juga merupakan tahap penentu yang memperkuat emosi, nuansa, dan kualitas visual film. Apabila colorist gagal dalam mengeluarkan nuansa yang seharusnya terproyeksikan, maka film tersebut dapat memberikan impresi yang salah kepada penonton. Warna film yang baik juga akan membuat film terlihat lebih berkualitas dan mewah. Oleh sebab itu, seorang colorist harus berdiskusi dengan sutradara, produser, director of pohotography (DP) dan film editor agar memiliki visi yang sama.  Analisis Stase Berdasarkan hasil percakapan, diskusi, bekerja dan menonton para senior bekerja, saya telah mempelajari banyak hal—tidak hanya mengenai coloring —tapi juga mengenai pasca-produksi, khususnya di Super 8mm Studio.  Di sana, saya menyadari betul bahwa manajemen data sangatlah penting dan harus rapi. Pernah ada kejadian, Mas Alex berusaha mencari projek credits title karena ada revisi nama dan logo dan projek tersebut tidak dapat ditemukan. Beliau sudah membuka folder sana-sini hingga ke berbagai hard disk eksternal, dan rupanya projek tersebut ada, namun masih dalam format yang lama, yang belum direvisi sehingga ada beberapa komponen yang hilang. Karena manajemen data yang buruk ini, Mas Alex jadi harus membuat ulang projek credits title di Adobe Photoshop.  Saya juga belajar betapa pentingnya seorang editor untuk bisa fleksibel waktu dan bergurau saat menghadapi permintaan client yang aneh-aneh. Kadang, sutradara memiliki gambaran di otaknya, namun tidak dapat menjelaskannya dengan kata-kata yang tepat. Di sana, saya melihat betapa Mas David dan Mas Ryan berjuang keras menginterpretasikan hal tersebut untuk divisualisasikan. Apalagi ketika sutradaranya orang Jepang dan menggunakan pihak lain untuk mengartikan imajinasi yang ia maksud.  Sama halnya dengan coloring , kadang permintaan sutradara tidak terucapkan dalam kata-kata visual, sehingga seorang colorist harus kreatif dan berwawasan dalam mencari referensi warna.  Pernah suatu ketika seorang sutradara kerap kali mengatakan, “Biru,” namun tidak begitu jelas apakah persepsi yang ada di otak kami sama dengan yang ada di otaknya. Akhirnya dia menyebutkan referensi video, dan saya langsung mengunduh video tersebut untuk dijadikan referensi mewarnai. Sayangnya, kendala berikutnya adalah saat menyamakan skin tone , hal tersebut mustahil dilakukan karena referensi videonya menggunakan talent Kaukasia, sementara video yang kami kerjakan menggunakan orang Asia.  Dari berbagai kejadian tersebut saya menyadari bahwa ada keterbatasan yang bisa dilakukan oleh seorang colorist dan software -nya dalam membetulkan warna sebuah film. Oleh sebab itu sinematografer juga harus bisa mengatur white balance dan brightness yang tepat saat ia mengambil gambar.  Selain itu, saya melihat bahwa industri perfilman Indonesia belum begitu siap untuk mengikuti standar internasional. Sebab masih melewati beberapa hal yang seharusnya ada untuk memastikan semuanya tepat dan akurat, seperti contoh penggunaan digital slate untuk sinkronisasi by timecode , juga penggunaan color chart untuk acuan colorist melakukan color balancing otomatis.  Mohon diketahui bahwa karya tulis di atas merupakan buah pemikiran saya saat masih berusia 20 tahun, dan mungkin sudah tidak relevan lagi karena saya sudah tidak mengikuti perkembangan perusahaan terkait.

  • Patah Hati Berujung Camping di Cisarua

    Beberapa hari ini gue tenggelam dalam kesedihan, lantaran habis putus sama pacar. Sesaat setelah gue ngabarin Maning kalau gue putus, gadis asal Banyuwangi ini langsung ngajakin gue jalan-jalan. Dia dan Try arranged everything . Mereka yang siapin tenda, jadwal, peralatan memasak, dll. sementara gue tinggal siapin badan doang dan uang IDR 60,000. Kami berencana kumpul di kosan Ghifar jam 5 sore di hari Sabtu (05/17), dan ternyata ngaret sampai jam 7 malam karena beberapa kawan masih sibuk dengan kegiatannya. Maklum deh, soalnya ngabarinnya juga mendadak banget. Setelah gue putus di hari Jumat, kami langsung kumpulin temen di hari Sabtu dan berangkat Sabtu malem. Mendadak banget kan? Tapi gue seneng. Hehehe... Gue sendiri sih udah standby dari jam 5 sama Ghifar. Kita packing bareng-bareng. Gue seneng banget bisa backpacker -an lagi. Gue pakai tas ransel seadanya, dan membawa kebutuhan minim banget. Jadi gue mesti pinjem sana-sini, gara-gara gue totally nggak siap. Perjalanan dimulai dari Sentiong ke Kampung Rambutan naik bus Transjakarta. Sepanjang perjalanan itu gue desperate abis. Tapi temen-temen gue kocak banget dan terus ngelawak, ngebikin gue lupa gua abis putus. Kita sempat lelah (padahal baru mulai), dan itu jadi bercandaan, kayak gini : Konteks: bus baru saja melewati halte Kramat Jati. Gue : Aduh, gue capek. Ghifar : Nah, nah, nah, Cecil level Kramat Jati. Bus ngelewatin halte berikutnya. Try : (Mengeluarkan minyak kayu putih.) Gue : Nah, nah, nah, Try level Rumah Sakit Ibunda. Jadilah ngakak semua karena satu persatu mulai tumbang. Akhirnya kami tiba di terminal bus untuk mencari Bus Doa Ibu. Kira-kira udah jam 11 malem. Laper, capek, ngantuk. Tapi semua tetep semangat dan solid. Kalau ada kata lelah, itu cuma bercanda aja. Lamaaaa banget kami nyari bus itu. Masalahnya udah malem, makanya dia udah jarang lewat. Untung ada satu yang lewat. Si Maning dengan aktifnya langsung nawar dan maksa. Sumpah temen cewek gue ini pemberani dan strong abis. Wkwkwk... Naik bus itu, kami duduk dan tidur. Sayangnya gue nggak bisa tidur. You know the reason lah yaaa... Haha... Yah gitu deh, jadi gue ngeliatin jalan aja terus. Sambil jalan gue dengerin seorang penjual buah menjajakan jualannya. Dia ngomong kayak begini berjam-jam: Ayo, Pak dibeli buahnya, buat makan malem-malem kan enak sambil minum kopi. Nggak bakal deh harga buahnya lebih mahal dari yang di pasar. Saya kalau jual di mobil itu justru lebih murah. Nggak nipu. Kalau Bapak ada rezeki sih, apa salahnya, Pak dipakai untuk membeli buah. Mungkin istri dan anak di rumah seneng mendapatkannya. Setiap dia lewatin gue, gue langsung buang muka ke jendela. Terus dia nyeletuk, "Ayo nih adek-adek yang bacpacker -an, beli buahnya buat di tenda nanti. Enak." Kira-kira jam 1 pagi kami tiba di Pos 1 Cisarua. Dari situ lapor dulu ke hansip dan beli tiket seharga IDR 3,000 baru deh boleh jalan kaki ke atas. Perkiraan tiba di lokasi kemah tuh 2 jam. Tapi gara-gara tersesat jadi 3 jam. Gue seneng banget sih bisa nyasar. Seru, lucu. Gelep-gelepan pakai senter seadanya, saling tolong menolong, dan ngobrol, menurut gue seru banget. Oh ya ditambah becek, jadi mesti waspada jalan di situ. Akhirnya jam 3 pagi, kami tiba di sebuah gazebo. Di situ Maning langsung mendirikan tenda, bersama gue dan Gill. Sementara yang lain mempersiapkan makan malam. Eh, maksudnya, makan pagi. Menu makanan saat itu adalah mie kuah campur sayur-sayuran segar yang dibeli di pasar di deket Pos 1. Berhubung kami nggak bawa piring, jadi makannya rame-rame dari frying pan . Nah, supaya nggak tabrakan dan berebutan, kami makan cuma pakai satu garpu dan dioper satu persatu. Jadi yang kelaparan itu biasanya teriak-teriak nyuruh temennya buruan balikin garpu ke frying pan . Hahaha.. Sumpah ini seru banget dan bikin kita makin solid. :) Setelah makan, kami tidur empet-empetan dan kedinginan. Kami janjian bangun besok sore. Kami tidur sekitar jam 4 pagi tuh dan karena udah capek banget, jadi ya langsung tepar semua. Sayangnya, karena gue selalu bangun jam 7 pagi, jadilah gue bangun jam segitu dan tidak tidur lagi. Gue kebelet pipis dan di situ nggak ada toilet. Gila ini pengalaman pertama gue pipis di alam terbuka. Gue takut ada orang lewat! Setelah cuci muka dan pipis, gue kembali ke tenda untuk tidur. Tapi susah sih mau tidur. Masalahnya si Maning itu pantatnya ke mana-mana, belum lagi si Sam juga ngegencet gue. Alhasil gue stuck di antara mereka berdua. Astagaaa... Akhirnya sekitar jam 10 pagi, temen-temen gue bangun dan kami masak laagiiii... Menu kali ini bihun dan sayur mayur! Dessert -nya? Stroberi lezaattt... Tapi banyak yang busuk juga, jadi nanti pas turun bukit, kami mau protes ke penjualnya. Abis makan, beberapa tidur lagi, sementara beberapa lainnya ke sungai untuk sikat gigi. Nah, di sungai gue nemu berbagai hewan aneh nih! Gila, baru pertama kali! Terus Ghifar mulai gelisah pengen boker; dia bingung mau boker di mana. Akhirnya Maning si ketua perjalanan ngasih Ghifar sebuah parang untuk menggali lobang. Wkwkwkwk... Gue juga kepengen boker, tapi malu... Nggak enak juga. Padahal si Ghifar udah semangat banget pengen galiin lobang buat gue. Ih, gila pokoknya seru banget ini berasa anak alam banget (soalnya gue anak rumahan, maklum jadi katrok). Setelah puas ketawa-ketawa dan foto-foto, kami pun makan lagiii~ Menu kali ini mi goreng dan sayur. Pokoknya nggak ada nasi. Mau minum air aja kami minum air sungai secara langsung. Harusnya dimasak dulu sih, cuman karena gas cuma ada 1 jadi nggak bisa disia-siakan. Nah, dessert kali ini adalah kentang goreng. Sambil hujan makan kentang goreng dan minum kopi hangat. Lezaattt... Untung hujan cepat reda, kami segera membereskan segala peralatan dan sampah. Semua harus dibawa pulang ke bawah dan nggak boleh ditinggalkan di situ. Sayang banget, gue liat banyak plastik kosong dan sampah kertas di jalanan. Bikin jelek aja deh sumpah. Pengen gue bersihin tapi gue males, abis bukan sampah gue :p Nah, perjalanan turun memakan waktu 2 jam lagi. Hari sudah gelap dan kami harus menyalakan senter seadanya. Kocak gitu jalan bareng sambil memperingatkan satu sama lain akan genangan air di bawah. Terus harus saling mendukung supaya tetep semangat dan nggak nyerah untuk berjalan. Akhirnya kami pun tiba di Pos 1. Kami beli beberapa sayur lagi sambil ngomel-ngomel ke penjualnya karena stroberinya busuk. Yang berani ngomel cuma Ghifar dan Try. Gila, dua kawan gua ini PD banget. Hahaha... Untung abangnya nggak marah. Si Ghifar emang bisa Bahasa Sunda sih, jadi nyambung, terus dia berani banget kayak preman nawar harga sayur. Kalau abangnya nggak mau kasih harga segitu, si Ghifar ambil sayurnya dan bungkus sendiri terus dia kasih duit seadanya dan kabur. Hahahaha... Parah abiiisss!!! Sepulang dari sana gue nginep di kosan Ghifar, besoknya kami bolos kuliah gara-gara capek. Beberapa masih menguatkan diri untuk masuk sih. Tapi gue bolos ajah... Hati gue saat itu masih acakadut! Di saat gue acakadut begitu, kira-kira jam 10 pagi, gue baru aja keluar kosan Ghifar dan membuang sampah plastik kosong ke tempat sampah tetangga seberang kostan. Tiba-tiba yang punya rumah, seorang ibu-ibu nongol ngomel-ngomel. Ibu : "Eh, kamu! Kamu buang sampah di tempat sampah saya ya tadi?!" Gue : (Kaget.) "Iya, Bu." Ibu : "Kamu gimana sih punya tempat sampah sendiri masih aja buang di rumah orang lain. Bla bla bla..." Gue : "Maaf, Bu." (Langsung ngambil sampah gue lagi di tempat sampah itu.) Ibu : "Bukan itu masalahnya, masalahnya cara hidup kamu itu ngawur!!! Bla bla bla..." Ya ampun, ini ibuuu... Yang bener aja deh, gua nggak ngotorin rumahnya, lebay banget itu marah-marah. Sampe ngatain cara hidup gue ngawur pula. Padahal gue buang sampah tuh ke tempat sampah juga, bukan ke teras rumahnya... Tempat sampah si ibu juga terletak di jalan umum, bukan di dalam teras rumahnya. Jadi kayak... Yaudah deh, sekian kisah tentang Cisarua!

  • Tragedi Orgy di Rumah Nenek

    Jadi ceritanya gue dkk. ngontrak sebuah rumah di Matraman. Kita namain rumah itu "Rumah Nenek" karena kita pengen kontrakan ini terasa homey seperti saat pulang ke rumah nenek kita masing-masing. Nah, di kontrakan ini kita nggak tinggal sendiri, jadi rumahnya 1 blok dibagi untuk 2 penyewa. Jadi kami tinggal di alamat yang sama, tapi rumahnya dibagi dua dan terpisahkan oleh tembok, sementara halaman rumah tergabung. Tetangga kami ini adalah sebuah keluarga muda dengan anak kecil satu. Tujuan kami ngontrak adalah supaya lebih irit pengeluaran dan mudah dalam mengerjakan tugas. You know lah kalau ngekos itu mahal, banyak aturannya, dan sempit banget. Jadi dengan ngontrak rumah ini maksudnya kita bisa lebih leluasa bawa temen kerja kelompok, serta leluasa soal waktu juga. Eh, ternyata ekspektasi kami salah, Bro. Di Rumah Nenek ini kami ngontrak ber-5, cewek-cewek semua. Terus tadi malem temen kelompok Praktika gue dateng buat kerja bareng. Jumlahnya hanya 2 orang dan salah satunya adalah cowok. Mereka dateng jam 9 malam setelah selesai bimbingan praktika sama para pembimbing di kampus. Sesampainya mereka di sini, kami langsung rapat dan lanjutin tugas. Otomatislah ya selesainya subuh dan semua langsung tepar tidur di mana-mana. Gue juga lebih prefer mereka tidur di Rumah Nenek daripada pulang pagi buta, kan bahaya, Bro, naik motor pas ngantuk. Terus FYI aja nih, deadline kami adalah hari Senin! Tinggal 2 hari lagi sementara pekerjaan yang harus diselesaikan masih banyak. Bukannya kita lelet atau nggak pinter organisasiin waktu, cuman memang workload -nya lebih besar daripada waktu yang tersedia, jadi mau nggak mau harus kerja sampai malam setiap hari. Belum lagi, kita masih punya PR dari mata kuliah lain. Kami nggak punya pilihan waktu selain kerjain tugas di malam hari ke subuh setiap hari. Paginya, jam 10an, pintu rumah digedor-gedor sama Bu RT. Ibu itu datang marah-marah karena ada cowok menginap di rumah kami. Dia bilang begini, "Ada cowok menginap ya di sini? Kamu bukannya udah saya bilangin ya kalau ada tamu harus lapor Pak RT? Kan kalian ngekos di sini." Terus gue panas gitu denger kata ngekos . Oh, Man , kita nggak ngekos kali. Kita ngontrak rumah ini satu tahun! Kalau saya ngekos, tetangga sebelah saya juga ngekos berarti! Tapi ya gue cuma mengumpat dalam hati aja. Faktanya gue diem dulu dengerin si Ibu RT. Tak lama setelah diomeli, Pak RT ikut datang marah-marah, "Mana cowok itu? Suruh dia keluar! KELUAR SEKARANG!!! KELUAR! KELUAR!!!" Suaranya yang besar dan tegas cukup membuat gue lemes dan langsung masuk memanggil kawan gue untuk keluar dari rumah, menghadap Pak RT. Kemudian si Pak RT menegur kawan gue itu dengan agak lebih lembut. "Kamu mahasiswa kan? Punya otak kan? Punya agama kan? Kamu tau kan berkunjung ke rumah perempuan di atas jam 11 malam itu salah?" "Iya, Pak, saya mahasiswa dan punya agama." "Agama kamu apa?!" "Kristen, Pak." "Emang di Kristen boleh kamu berkunjung ke rumah cewek di atas jam 11 malam?" "Nggak, Pak." "Kenapa kamu harus datang malam-malam?" "Maaf, Pak, kami semalam kerja kelompok dan belum selesai." "Kenapa harus malam-malam? Nggak bisa siang-siang aja?" Nggak mau cari ribut, temen gue diem. Gue juga diem. Pokoknya kita nggak mau cari ribut sementara si Bu RT ikut menceramahi, "Kalian kan mahasiswa, kenapa nggak kerja di kampus aja? Atau kerja di mall sana, di coffee shop atau di manalah." Temen gue yang tomboy abis dan baru bangun tidur pun datang karena ribut sekali di depan. Doi nggak mau diem aja diceramahin, dan langsung menjawab, "Pak, kita ini baru tidur pagi-pagi. Semuanya sibuk ngerjain tugas. Kita nggak bisa kerjain tugasnya di coffee shop karena mahal." Setelah itu doi pun langsung didamprat lagi oleh Ibu dan Bapak RT. Menurut gue, temen gue agak kurang lengkap ngejelasinnya. Bukan cuma karena mahal untuk nongkrong di coffee shop , tapi juga karena nggak nyaman dan mereka nggak buka 24 jam! Ditambah lagi kami sudah punya rumah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Inget alasan kami keluar dari kosan? Karena kami butuh menghemat pengeluaran dan mendapatkan kebebasan lebih. Tentunya kebebasan ini juga kami pakai dengan bertanggung jawab. Kami adalah kaum terpelajar, Saudara-saudara sekalian... Kami tidak berzinah atau pun punya keinginan berzinah! "Coba ya, kamu bayangkan," lanjut Ibu RT, "Kalau ada sebuah benda dilihat oleh 5 orang. Pasti pendapat masing-masing orang berbeda kan? Ya sama dengan hal ini, Dek. Meskipun kalian nggak berbuat atau berbuat, semua orang akan melihat kalian dengan cara yang berbeda-beda. Tetangga sini ngelihatnya kalian berbuat." Rasanya gue pengen elus-elus dada. Gue tinggal berlima loh. Rumah kami kecil banget, cuma ada 1 kamar tidur untuk 5 orang tidur bareng dan malam itu jumlah wanita ada 6 sementara pria ada 1 orang. Kami kerjain tugas sampai subuh dan langsung tepar. Siapa sih yang mau berbuat zina di sini?! Masak ada 6 cewek menyerang 1 cowok? Duh, mungkin otak-otak Bapak-Ibu sekalian ini yang kotor, membayangkan kami orgy di dalam. (-_-) Terus ketauanlah, bahwa ternyata yang melaporkan kami adalah tetangga sebelah. Si Pak RT memanggil tetangga sebelah kami agar ikut bergabung dalam penceramahan pagi itu, "Ibu, coba ke sini sebentar. Bagaimana kalau lain kali, anak-anak ini ada tamu, mereka mengabari ibu dulu saja. Apalagi kalau ada yang sampai menginap." Terus gue dalem hati mikir, ya ampun, rumah juga rumah gue, kok gue mesti ngelapor ke tetangga kalau bawa tamu? Terus tetangga gue kalau bawa tamu kok nggak perlu ngelapor ke gue? Nggak adil dan aneh banget. Emangnya gue anak kecil banget ya? Umur gue udah kepala dua loh, meskipun tubuh tidak memperlihatkan. Gue berpendidikan juga kok. Ya kali sih, Bro, gue mau berbuat orgy ??? Sakit loh dituduh berbuat zinah. Padahal kita nggak tidur sama temen cowok itu... Padahal kami semua sedang fokus dengan tugas kuliah!!! Terus tetangga konyol itu menambahkan, "Iya, Dek, saya pernah dengar suara cowok datang jam 2 pagi parkir motor di halaman rumah. Terus paginya buru-buru kabur." Nah, ini nih gue benci banget ketika dia mulai memanas-manaskan suasana dengan fitnah tanpa bukti. Gue hapal betul siapa yang datang ke rumah karena akhir-akhir ini gue tidur subuh-subuh. Gue selalu panggil temen gue dateng malem-malem, bukan pagi buta, dan memang betul dia menginap tapi kita juga nggak BURU-BURU KABUR. Kita biasa aja kok berangkat ke kampus soalnya kita memang nggak berbuat salah! Mungkin suara motor yang dia denger itu suara motor si temen gue. Dia emang sering pulang jam 2 pagi karena habis bimbingan sama pembimbing praktikanya di Tebet, tapi dia itu cewek!!! Sexist! Yaudahlah yah I know , percuma gue jelasin panjang lebar. Intinya gue akan tetap dihakimi para tetangga ini. Cukup tau aja sih gue dengan si tetangga yang suka ikut campur urusan orang. Tapi ternyata dia belum puas memanaskan suasana, dia tambah lagi, "Saya punya anak-anak kecil, Dek. Kalau kalian berbuat dosa, 7 rumah di samping kanan, kiri, belakang, dan depan semuanya ikut kena dosa. Yang punya rumah ini dulu seorang Ibu Haji loh. Jangan berbuat macam-macam kamu di sini." Sakit banget telinga gue denger si tetangga ini komentar kayak begitu. Pertama, udah jelas woy, ini ada 6 cewek di rumah dan cowoknya cuma 1. Kedua, ketika mereka gedor-gedor rumah kami, kita semua lagi pada ngerjain PR. Nggak ada satupun yang lagi pegang-pegangan atau bermesraan. Lo bisa bedain lah mana suasana hectic kerja dan suasana love is in the air! Terus si Pak RT bilang, "Meskipun ketika saya pergokin, kalian lagi main laptop. Bisa aja kalian pura-pura." Astaga, Bapak, suudzon mantep bener. Kaget gue dengernya. Secara nggak langsung mereka maksain prasangka buruknya supaya terdengar nyata dan benar kan? Fitnah nggak sih ini namanya? Akhirnya gue pun menjawab, "Bu, Pak, kita bener-bener nggak ngapa-ngapain. Kita udah terlalu pusing dengan tugas yang terlalu banyak itu." Langsunglah saya dibalas, "Masalah berbuat atau nggak berbuat itu jadi urusan pribadi kamu. Pokoknya nggak ada lagi deh cowok dibawa nginep di sini." Lah? Kan ente yang nuduh kita zina??? Akhirnya Bapak dan Ibu RT serta tetangga itu kembali ke rumahnya masing-masing. Terus tetangga kami dari depan rumah datang dan bilang, "Saya juga pernah jadi mahasiswa dan saya tau rasanya kerja kelompok. Lain kali kalau kamu mau kerja kelompok, kerja di rumah saya aja. Malam-malam juga boleh, nanti saya yang tanggung jawab. Tenang aja yah, orang-orang sini emang kayak begitu. Yang kumpul kebo dibiarin, yang kerja kelompok malah dimarahin!" Terima kasih, ternyata masih ada orang baik di Jakarta yang keras nan jenaka ini.

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page