
Search Results
174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kerja di Stasiun TV: Membuat Filler
Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 6 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue baru aja pulang dari kantor Stasiun TV Spacetoon . Kemaren capek banget ngerjain filler pertama. Gue nggak tau tulisnya bener apa nggak tuh, cuma kayaknya senior bilang, "Filler." Jadi filler ini mirip iklan berdurasi 2 menit. Isinya macam-macam dan selalu tergantung permintaan sponsor. Kalo sponsor nggak setuju, kami para editor harus selalu merevisi sampai terjadi kesepakatan. Setelah itu filler baru bisa ditayangkan. Kali ini gue kedapetan filler tentang acara bagi-bagi hadiah. Raw footage -nya 1 jam, mesti gue sulap jadi 2 menit. Gillaakkk... Perjuangan loh nonton acara yang membosankan, terus mesti cari footage yang bagus, steady (nggak goyang), dan mesti tentuin mana yang penting dan mana yang perlu di- delete . Susahnya lagi, gue nggak dikasih informasi lengkap. Perintahnya cuma, "Tolong editin, tayang Sabtu ini." Giiillaaakkk... Ini apaan??? Setelah tanya sana-sini, baru gue ngerti ini disebut filler . Terus setelah gue tonton baik-baik, baru gue ngerti ini acara apaan. Untuk mengedit filler ini, gue diskusi sama cameraman yang shooting waktu itu. Kan dia yang dateng ke acaranya, jadi dia pasti tau mana bagian yang penting. ( Smart kan gue? Wkwk.) Si cameraman berkata, "Gue bilang ya, mendingan lo buka pake gambar produknya nih, terus kata sambutan owner , penyanyi, undian, hadiah, baru deh testimoni." Gue ngangguk. Semuanya gue kerjain sesuai yang dia mau. Abis itu gue minta raja editor (senior gue yang lain) buat kasih saran. Wah ajegile, abis ditonton master-nya 50% mesti gue revisi. Persoalannya kayak ada bagian yang terlalu lama, ada video yang nggak steady , ada yang suaranya nggak jelas dan ada transition yang nggak pas. Aduh, capek banget deh ngerjainnya. Tapi akhirnya selesai! Hari ini videonya gue tunjukin ke atasan yang berhubungan langsung dengan sponsor. Setelah dia tonton, ternyata mesti gue revisi lagi lantaran backsound -nya kurang mantep. Alamak. Melihat kesulitan gue, senior yang duduk di sebelah nyeletuk, "Susah ya? Itu belum seberapa. Liat yang saya kerjain, lebih parah lagi." Dan bener, pas gue lihat yang dia kerjakan, itu beneran ribet banget, udah gitu pake multiple camera . Pusing, pusing, pusing...
- Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 3)
Semangat! Gue harus lebih semangat! Jangan grogi lagi! Kali ini gue dapet tugas lain, yakni mengedit acara kesehatan di stasiun televisi ! Hahaha... Sebenarnya gue pengen banget main ke Master Control Room (MCR) dan studio (tapi masih segan sama senior) . Kerjaan gue duduk di depan komputer mulu, bosen! Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue kerja harus 9 jam. Terserah masuk jam berapa, yang penting pulangnya setelah 9 jam berlalu. Awalnya gue datang pagi, tapi lama-kelamaan tergantung jadwal syuting. Kadang gue mulai kerja sore, pulang malam. Untungnya dekat sama rumah, jadi pulang tinggal jalan kaki. Kayaknya baru setelah kerja 1 minggu, gue memberanikan diri masuk Master Control Room. Di sana ada switcher , mic , ada banyak alat yang gue nggak ngerti. Pokoknya MCR itu tempat merekam suara dan tempat mengatur kamera. Jadi kamera-kamera di studio diatur dari sana. Tempatnya super sempit (semacam 3m x 2m) dan penuh peralatan, makanya kalo gue masuk, gue cuma kebagian duduk di meja, hehehe... Setelah 1 minggu lagi berlalu, gue baru berani cobain ke studio. Di sana ruangannya dibagi 3 section, ada yang backdrop -nya buat kuis, ada yang buat acara kesehatan, dan terakhir buat musik. Waktu itu gue main ke studio nonton acara kuis. Gue tanya cameraman -nya ada nggak yang bisa gue bantu biar gue nggak nonton doang, dan akhirnya gue disuruh "scoring" . Sebutannya asik, kerjaannya enggak. Hahaha... Itu tugasnya mencetin tombol buat nambahin skor. Jadi kalau peserta kuis bisa jawab bener, gue yang rubah angka skornya. Lumayan deh kerjaan pertama di studio. Lagian emang gue nggak bisa apa-apa lagi selain itu. Akhirnya setelah 1 bulan bekerja di sini, kerjaan gue mulai bertambah. Seperti misalnya: ikut tepuk tangan meramaikan acara kuis, membantu mengangkat telepon saat ada interaksi dengan penonton di rumah (biasanya ini acara kesehatan yang LIVE), dan memberikan efek suara benar dan salah untuk acara kuis secara LIVE. Paling kocak kalau peserta kuis jawab bener, tapi gue salah pencet dan malah mengeluarkan suara, "Tet tot!" HAHAHA... Selain itu, gue juga kerja dari 1 komputer ke komputer yang lainnya, soalnya ada beberapa project yang udah terlanjur dikerjain di komputer tertentu, jadi ya cuma bisa dikerjain di situ. Project yang dikerjain mulai ribet kayak mesti tambahin template ini-itu. Ah, kadang bikin ngantuk, tapi tetap seru! :) Gue belajar banyak banget di sini. Untung banget seniornya ramah-ramah, tukang ngelawak semua. Adaaa aja lawakannya. Seru-seru! Terima kasih atas pengalamannya!
- Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 2)
Ini adalah hari pertama gue kerja di stasiun televisi, dan benar-benar pengalaman pertama bekerja secara profesional meski pada saat itu gue belum tahu apa artinya profesional. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue grogi. Gue grogi. Gue grogi. Gue belum pernah berhadapan dengan begitu banyak orang dewasa. Gue bener-bener berasa kerdil sebagai satu-satunya bocah SMA di situ. Gue takut. Gue takut. Gue takut. Gue sadar diri belum punya skill apapun, dan beruntung sekali diterima di sini. Tugas pertama gue adalah mengedit acara kuis. Sejujurnya gue nggak bener-bener tahu cara mengoperasikan Adobe Premiere Pro. Gue juga nggak tau istilah-istilah seperti SEGMENT dan BUMPER. Ini adalah bahasa asing!!! Tapi untungnya senior-senior di sana baik banget mau ngajarin gue pelan-pelan. Tapi karena terlalu grogi, gue jadi tolol. Ternyata mengedit acara TV tidak sederhana, Bro... (Ya siapa juga yang bilang gampang ya?) Pertama dari hasil rekaman yang disediakan, gue harus memotong-motongnya lagi sesuai segment . SEGMENT /ˈsɛgm(ə)nt/ : each of the parts into which something is or may be divided. Biasanya suatu acara TV punya 5 segmen lalu di antara segmen tersebut ada iklan. Tapi gue nggak tau apa-apa soal itu, secara gue adalah anak SMA jurusan IPA. Alhasil gue cuma bengong di depan komputer — di depan Adobe Premiere Pro CS5 dengan contoh project yang udah dikerjain senior gue. Gue perhatiin, ada gap di antara satu video ke video lainnya. Gue coba ikutin deh. Tiba-tiba senior gue muncul dan bilang, " Bumper -nya ambil di sini ya." Gue mencoba memberanikan diri bertanya, "Mbak, bumper itu apa ya?" BUMPER /ˈbʌmpə/ : (nggak ada di Oxford dictionary nih, jadi gue bikin sendiri) video pengantar yang menandakan pembukaan maupun penutupan suatu segment. Biasanya video pengantar ini dipakai berulang-ulang dengan musik yang sama, memberikan sebuah ciri khas pada sebuah tayangan acara. Contohnya pas lo nonton acara TV "Opera Van Java", pasti sebelum mulai ada opening kan? Itu disebut opening bumper . Pas mau iklan juga ada video pengantar dengan embel-embel OVJ kan? Itu ternyata disebut bumper out . Satu lagi bumper in , untuk pembukaan segmen berikutnya setelah iklan. Setelah proses cutting , kita harus mengedit suara. Editnya simpel: klik video, edit and render in Soundbooth. Fungsinya Adobe Soundbooth* di sini cuma untuk merapikan audio wave . Gue diajarkan untuk memakai compressor (advanced) - vocal attacker. Lalu pencet icon louder atau normalize . Nanti kalau terlalu tinggi wave -nya, kecilin aja dB-nya. *Adobe Soundbooth sudah tidak ada sekarang, digantikan oleh Adobe Audition. Kalau belum pernah pegang Soundbooth pasti bingung. Gue juga belum pernah waktu itu, tapi sejak diajarin di kantor, itu jadi makanan tiap hari. Jadi ya paham-paham sikit. Ending -nya sih gue berhasil membuat video yang sama seperti yang dibuat senior. Project pun gue render menjadi mpeg dan siap ditayangkan kalau ada re-run . Soalnya biasanya acara kuis ini live from studio . RERUN/ˌriːˈrʌn/ : to show a television programme, film, etc. again
- Kayak Apa Sih Ujian Masuk FFTV IKJ Tahun 2012?
Untuk tahun 2012, ada ujian tertulis dan wawancara. Semuanya dalam 1 hari yang sama. Tanggal dan tempat sudah sangat jelas dan bisa dilihat di website resminya http://www.fftv.ikj.ac.id/ bagian pendaftaran. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. IKJ itu sepertinya milik swasta, soalnya nggak perlu ikut SNMPTN. Jadi sudah pasti ujian masuk FFTV IKJ terasa mudah dan menyenangkan. Pertama, ujian tertulisnya! Ujian tertulis ini tentang motivasi kita memilih jurusan film, televisi atau fotografi. Hanya diminta menuliskan essay 1 halaman saja. Asik kan? Ujian berikutnya adalah wawancara. Pada kesempatann ini bawa semua karya seni yang lo punya, nggak harus film. Peserta di sebelah gue yang belum pernah bikin film malah bawa foto-foto dan puisi, dan dia keterima. Jadi jangan takut. Bawa aja karya-karya lo, apa aja. Tapi gue agak heran kenapa dosennya nggak siapin laptop buat nonton film gue. Sia-sia deh gue bikin DVD... Catatan tahun 2024: Pada tahun 2012, internet dan teknologi belum secanggih hari ini ya, teman-teman! Jadi lebih umum pakai DVD untuk menonton film pada waktu itu. Tapi gue juga bawa karya dalam bentuk hardcopy . Gue bikin buku kompilasi karya-karya gue selama ini. Jadi masih ada yang bisa gue presentasikan pada hari itu. Syukurlah gue diterima dan dapat ranking 6 dari 60an peserta. :") Ngomong-ngomong soal interview , pertanyaan dosennya nggak susah. Atau mungkin dia udah laper banget mau makan siang, jadi dia buru-buru selesain sesi gue. Kelihatan sih dari matanya udah nggak fokus sama apa yang gue omongin. Tapi yang penting.. GUE DITERIMA!!! Hahaha... For the next generation who wants to enroll to IKJ , nggak usah khawatir kalau belum punya contoh film, yang penting ada kemauan dan manfaatkan internet untuk belajar sedikit sejarah film dan perfilman terkini. Pertanyaan tipikal yang selalu ditanyakan adalah: Apa film favorit kamu dan kenapa? Siapa filmmaker favorit kamu dan kenapa? Film seperti apa yang kamu suka tonton? Kamu mau jadi apa dalam industri perfilman?
- Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 1)
Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Post kedua, gue mau cerita soal pekerjaan gue saat ini di stasiun televisi! Setelah bercengkerama dengan UN selama 1 minggu, gue menikmati hari-hari menjadi sloth selama 1 bulan, eh lebih malah... Tapi ternyata gue tidak cocok dengan lifestyle seperti itu! Setiap hari gue bangun tidur dan tidak tahu mau mengerjakan apa. Gue sampai bosen main PlayStation dan internetan; gue juga bosen nonton DVD, dan juga bosen hang-out , plus duit cekak. Berhubung sekolah gue memberikan tugas magang, maka gue pun melamar ke berbagai perusahaan, restoran, toko butik dan (randomly) sebuah stasiun televisi. Sayang, satu pun tak ada yang menjawab... (Kebanyakan menolak mungkin karena tinggi badan gue kurang banget dan nggak butuh anak SMA magang.) Hingga akhirnya 1 bulan berlalu, tiba-tiba ada stasiun televisi yang menghubungi gue, menawarkan wawancara, dan hopla! Belum.. belum.. gue nggak langsung diterima. Gue harus menjalani tiga kali interview dan prosesnya lebih rumit dari yang gue bayangkan. FIRST INTERVIEW STASIUN TELEVISI Kantor stasiun televisi ini ternyata dekat banget dari rumah gue. Tinggal jalan kaki. Di sebuah ruangan kecil dengan meja besar dan beberapa kursi (sepertinya ruang meeting ), gue duduk bersama seorang ibu HRD yang sangat ramah. "Kamu masih SMA ya?" "Iya, Bu." "Mau digaji berapa?" Waduh, pertanyaan yang sulit dijawab. Tapi di rumah, kakak gue sudah mengajarkan, kalau ditanya gaji, jawab saja, "Kalau saya mampu mengerjakan sesuai workload yang diberikan, saya berharap dibayar penuh." Meskipun waktu itu gue juga nggak tahu arti yang gue ucapkan. Jadi yang penting, gue hapalin dulu aja. Ternyata ibu itu tersenyum mendengarnya. Negosiasi pun terjadi. Tapi sebenarnya gue dipekerjakan jadi apa? Awalnya gue melamar sebagai personal assistant , tapi melihat CV gue yang menceritakan bahwa gua suka mengedit video dan menggambar, dia bilang gue sebaiknya masuk tim produksi. Ending-endingnya sih gue disuruh tunggu panggilan lagi untuk interview dengan Kepala Produksi. Karena gua sangat membutuhkan pengalaman magang dan aktivitas untuk mengisi waktu luang, jadi ya gua iya-iyain aja. SECOND INTERVIEW STASIUN TELEVISI Kali ini gue interview di kantor itu lagi dengan orang produksi, dan orang itu datangnya lamaaaaa sekali. Mungkin ada sekitar 1 jam gue menunggu dia datang dari jam janjian. "Kamu biasa ngedit pake apa?" "Corel Ulead Studio, tapi Premiere sama After Effects juga bisa, Pak." "Yaudah, tunggu panggilan lagi ya. Kamu pendiem sih, nggak bisa jadi sutradara." Gue agak tertohok, tapi juga bingung dia expect apa dari bocah SMA. Jadi ya gue jawab aja, "Haha... Saya bingung, Pak, mau bilang apa?" Demikianlah interview kedua berlangsung super singkat. Gue pulang membawa dendam, bahwa suatu hari akan gue buktikan gue bisa jadi sutradara. Emangnya sutradara mesti banyak omong ya? THIRD INTERVIEW STASIUN TELEVISI Agak berbeda dari yang lainnya, kali ini gue di- interview di Starbucks Puri Indah Mall. Assiiikk berasa kece, masuk Starbucks buat interview kerja ( mind you , waktu SMA, Starbucks itu terasa mewah sekali). Ayah gue mengantar naik mobil ke sana. Gue inget banget janjian jam 7 malam lewat SMS di HP Sony Ericsson bekas kakak gue. Gue datang tepat waktu, tapi teryata ibu ini masih interview orang lain, jadi gue duduk di pinggir menunggu. "Jadi, sudah tau gajinya berapa?" "Hah? Belum... Waktu itu kata Ibu K sih standard, Bu." "Oh, tapi belum dikasih tau angkanya ya? Nanti kamu dapat makan siang, masuk sesuai shift ya. Ada yang mau ditanyakan?" "Nggak ada, Bu. Saya sudah tanya banyak sekali sama ibu-bapak sebelumnya." "Bagus kalau begitu. Tunggu konfirmasi lagi ya dari saya." Gue lemas denger tunggu konfirmasi lagi. Tetap saja angka gaji tersebut tidak disebutkan dan ini udah interview yang ketiga, plis banget deh jangan ada interview keempat! Akhirnya setelah malam berlalu, keesokan paginya gue ditelepon ibu yang sama bahwa gue diterima kerja dan mulai masuk tanggal 11 Juni 2012! :) Yeay! Gue bahkan bukan magang, tapi resmi jadi karyawan!
- Daftar Kuliah S1 Perfilman di IKJ
Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Saudara-saudara setanah air, akhirnya gue diterima kuliah S1 Film di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Film dan Televisi (FFTV)! Setelah penantian berbulan-bulan sejak UN berakhir... Akhirnya gue official kuliah! Gue udah kepengen banget masuk IKJ sejak SMP, tapi kalau bisa kuliah di luar negeri, tentu lebih semangat lagi. Sebelumnya gue mendaftar ke Australia dan Kanada, namun sayang-beribu-sayang bisnis keluarga gue jatuh dan masa depan gue harus berganti arah. Gue batal ke luar dan akhirnya kuliah di negara tercinta, Indonesia. Di Indonesia, pilihan gue cuma satu: Institut Kesenian Jakarta. Nggak ada yang lain. Gue tahu kok jurusan film production nggak cuma di IKJ, tapi gue cuma mau di IKJ. Kenapa Kuliah S1 Film di IKJ? Pertama , karena IKJ adalah institusi pertama yang buka jurusan film. Kedua , universitas ini khusus di bidang seni (nama kampusnya aja KESENIAN), jadi kebayang dong kalau satu kampus isinya bakal anak seni semua? Menurut gue lingkungan penting banget buat menunjang pembelajaran. Punya temen-temen yang sama-sama cinta seni gue yakini bakal bikin suasana lebih kondusif buat berekspresi. Ketiga , universitas yang lain kebanyakan fokus di bidang bisnis, meskipun namanya sama-sama film production . Gue belum mau mengutamakan bisnis. Gue tau bisnis penting, tapi fokus pada teknis berkesenian itu yang mau gue pelajari di universitas. Denger-denger dari berbagai temen, IKJ lebih condong ke arah seni. Tapi ya nggak tau juga sih karena gue belum belajar di sana beneran. Semoga aja perkiraan gue bener. Sekian post hari ini. Nanti post selanjutnya cerita tentang gue di IKJ! :) Catatan tahun 2024: Saya kurang tahu perkembangan terbaru dari IKJ saat ini. Tapi pada tahun 2012, IKJ memang lebih fokus pada seni membuat film ketimbang aspek berbisnis film, dan memiliki pendalaman yang baik pada setiap profesi perfilman. Pada saat itu, 2 tahun pertama mahasiswa akan belajar sejarah dan teori perfilman dasar. Kemudian pada tahun ketiga diharuskan memilih satu profesi, contoh: penyutradaraan, produksi, kamera, penyuntingan, dll.
- Rahajeng Galungan di Penglipuran dan Gianyar
Kudengar dari Google, tempat terindah untuk menikmati Galungan di Bali adalah Desa Penglipuran , Bangli. Sementara pendapat dari teman-teman yang tinggal di sini variatif. Ada yang menyebut Ubud, ada yang Gianyar, dan ada pula yang bodo amat. Ngomong-ngomong, Galungan adalah salah satu hari raya terbesar di Bali (kira-kira seperti Imlek, Natal, dan Lebaran). Saat Galungan berlangsung, kita bisa menikmati pemandangan penjor menghiasi jalanan, lengkap dengan penduduknya yang berpakaian tradisional sambil membawa banten ke pura. Tertarik dengan hal tersebut, aku pun membuat ide gila. Bagaimana kalau aku keliling untuk merasakan Galungan di setiap pelosok Bali? Bagi sebagian orang, ide ini mungkin terdengar biasa saja. Ya, Bali memang pulau kecil yang memungkinkan untuk ditelusuri dengan cepat. Hanya saja, dalam ide ini aku akan naik motor sendirian. Padahal aku baru bisa mengendarai motor! Jadi.. hehe.. semoga semuanya baik-baik saja. 1 November 2017 adalah hari Galungan ke-2 di tahun 2017. Galungan uniknya diadakan 2 kali dalam satu tahun. Rencana awalku adalah mengunjungi Pura Kehen dan Desa Penglipuran di Bangli, lalu ke rumah Pak Totok di Gianyar. Aku penasaran dengan desanya, siapa tahu ada acara menarik (dan makanan gratis) yang bisa dinikmati (maafkan, masih mental anak kos). Makanan khas Galungan: babi, babi dan babi Demikian rencana yang kubuat seenak jidat, tanpa browsing terlalu banyak. Malam sebelumnya aku baca kalau Desa Penglipuran memungut biaya Rp15.000,00 untuk turis lokal dan perlu waspada bila ditawari masuk ke rumah warga (kemungkinan dimintai uang belas kasih atau disuruh jajan macam-macam). Sementara untuk Pura Kehen, aku nggak tahu apa-apa; dan rumah Pak Totok, yaaa hanya tahu alamatnya. Nggak tahu ada apa di Gianyar. Ternyata saat aku tiba di Pura Kehen jam 6.59 pagi, tempatnya kosong melompong. Jadi aku parkir sembarang (di depan rumah orang). Langsung masuk, langsung observasi, foto-foto, dan keluar. Pura Kehen cantik juga, I guess. Saat keluar, mulai ada ibu-ibu sembahyang, buka toko, dll. Menurut sepengalamanku, bapak dan ibu yang buka kios di sekitar Pura Kehen ini masih bisa diajak ngobrol manusiawi, mereka tidak memaksaku untuk membeli barang jajaannya. Setelah selesai basa-basi, aku pun lanjut ke Desa Penglipuran. Kalau kata Google sih, Desa Penglipuran buka jam 8 pagi, tapi aku kan sudah terlanjur di sana dari jam 7.30, jadi yasudalah aku bablas saja. Jalanannya kosong, jadi aku sembarang masuk (lagi), cari parkir, lalu jalan kaki dan membaur dengan warga sekitar. Oh ya, lebih baik mengenakan pakaian tradisional Bali supaya dimudahkan jalannya. It works! FYI, aku parkir di halaman Tugu Pahlawan, area PARKIR II dan di sana nggak ada siapapun. Jadi aku bisa parkir sembarangan. Kemudian aku masuk dari area Karang Memadu (bukan pintu depan), dan tak sengaja tidak dipungut bayaran alias gratis. Sambil jalan, aku menyapa beberapa warga, dan ya, penduduk Penglipuran ramah sekali. Mungkin karena sudah sering bersapa dengan turis atau karena memang nature orang Bali ramah. Ketika aku ingin mencari toilet, ada ibu-ibu yang menawari diriku untuk ke rumahnya, tapi karena aku takut disuruh bayar mahal, jadi aku tanya toilet umum untuk turis saja. Paling kalau bayar toilet turis hanya Rp2.000,00 kan? Nyatanya saat aku ke toilet umum, aku tidak bayar sepeserpun. Sebagai desa yang dinobatkan terbersih ketiga sedunia dan eco-friendly , aku rasa award itu perlu dikaji ulang. Di hari kedatanganku tadi, material yang mereka gunakan sudah banyak dari plastik, toilet kurang oke dan ada sampah plastik di jalan! Hiks. Padahal masih pagi loh. Tapi secara overall, look desa ini tetap bagus untuk melihat susunan penjor yang rapi. Setelah puas merekam penjor dan anak-anak Bangli yang lucu, aku berjalan kaki ke hutan bambu di belakang Pura Penataran. Di hutan, ada pura yang lebih sederhana. Bentuknya hanya pohon dan tanah. Suer, awalnya aku kira cuma sepetak tanah biasa, ternyata warga pada sembahyang di situ. Puas melihat orang sembahyang, aku pun kembali ke parkiran motor. TIPS: sebaiknya ke Desa Penglipuran jam 6-7 pagi atau jam 4-5 sore saat matahari sedang cantik dan pengunjung masih sepi. Tiba-tiba Pak Totok mengirimkan pesan, “Ntar malem bakal rame banget, semua Ida Betara (barong, rangda, dll.) akan keliling desa.” Waduh, aku berpikir, ini masih jam 9 pagi, kalau aku langsung ke Gianyar, mau ngapain di rumah Pak Totok dari pagi ya? Akhirnya aku iseng buka Gmaps, mencari spot lain yang bisa dikunjungi sebelum ke Gianyar. Jatuhlah pilihanku pada Pura Jati Batur, karena jaraknya dekat. Sekitar setengah jam dari Kabupaten Bangli. Jadi ya sudahlah, tancap gas ke sana sambil mendengarkan lagu Coldplay, Chrisye, dan Banda Neira dari HP. Sedap niaaann... Tapi aku terhenti di perbatasan, lantaran view Gunung dan Danau Batur indah sekali. Saat aku berencana kembali jalan, eh.. Gmapsnya kehilangan sinyal. Aku pun buta arah dan nyasar ke Jl. Trunyan (jauh juga nyasarnya, Bos!). Aku panik karena jalanannya berkelok tajam, terjal, naik-turun dan di sisi kiri-kanan either hutan atau jurang. Akhirnya aku berhenti di salah satu stop area dengan pemandangan danau Batur. Di sana, salah seorang bapak menyapaku, “Hey!" katanya, "Jangan berdiri di situ! Panas!” Aku hanya tersenyum saja. Tidak kusangka hari mulai panas. (Btw, tadi pagi sumpah dingin banget.) Dan aku tetap berdiri di bawah terik sinar matahari, mencoba mencari secercah sinyal namun gagal. Oh, sayang sekali Indosat, jangkauanmu menyedihkan di sana. Akhirnya aku memilih jalan asal, lagi. Dan berputar-putar melewati berbagai desa kecil dengan penjor-penjor sederhana. Tiba-tiba aku kembali ke jalan besar dan berpapasan dengan si bapak tadi, “Hey! Kita berjumpa lagi!” serunya sambil melengos pergi dengan motor. Sungguh, bapak ini sangat bersemangat. Lepas dari area Trunyan, aku masuk ke Besakih. Di area ini mulai banyak himbauan untuk mengungsi karena status Gunung Agung yang masih siaga. Aku gugup, ini bagaimana kalau gunungnya tiba-tiba meletus? Tapi berhubung aku gugup tapi cinta tantangan, akhirnya sekalianlah menerobos masuk ke dalam mencari Pura Besakih, pura terbesar di Bali. Area Besakih saat Galungan terlihat cukup padat. Di berbagai sisi jalan meski kadang sepi, kadang pula dipenuhi bapak-bapak bersafari putih sedang nongkrong. Pikirku, mungkin mereka habis sembahyang. Sambil naik ke atas, dari jauh juga terlihat Gunung Agung yang berkabut dan berbagai plang yang melarangku untuk mendekatinya (tapi tetap saja kuhiraukan). Setibanya di Pura Besakih, aku langsung disambut penjaja bunga yang memaksa memasangkan bunganya di telingaku. Yah, akhirnya aku terpaksa bayar. Disusul dengan fotografer lokal, pemandu, penjual postcard , dan warga random . Semuanya MAKSA. Sebel. Karena sebel, jadi nggak ada yang aku beli. Penampakan pura ini terlihat berantakan dengan berbagai himbauan di sana-sini, mulai dari dilarang masuk, dilarang berjualan, toilet, wc, dst. Sepertinya terlalu ramai dan desainnya tidak nyambung dengan arsitektur bangunan. Pada dasarnya pura ini juga memungut biaya masuk, namun karena sedang dalam status siaga dan penduduknya masih banyak yang mengungsi, jadi loketnya tutup, alias gratis. Setelah lelah berkeliling naik-turun tangga, akhirnya aku melanjutkan perjalanan ke.. kosan! Yak, mandi dulu sebelum mengunjungi rumah Pak Totok. Sekitar jam 4 sore aku jalan lagi dari Dalung ke Gianyar, dan nyasar. Sudah nyasar, pakai jatuh pula. Untung ada bapak-bapak baik hati membantuku menstabilkan kembali si motor. Jam 5.30 sore, aku disambut keluarga Pak Totok dengan ramah. Mereka memberiku berbagai buah-buahan dan memaksaku untuk mengenakan kebaya Bali sebelum ke pura. Malam itu kami akan menyaksikan upacara untuk bhuta kala , agar keburukan sirna dan warganya aman tentram. Sambil berjalan kaki menuju pura, semua warga di banjar itu memperhatikanku dengan saksama. Beberapa senyum-senyum dan berbisik, beberapa lagi memberanikan diri menyapaku, “Konbanwa!” Yak, mereka kira aku orang Jepang. Ketika acara dimulai, aku ikut berjalan kaki keliling desa dari satu pura ke pura lainnya, mengarak-arakkan tokoh-tokoh dalam Hindu Bali tersebut. Katanya, yang membawa topeng itu sedang kerasukan. Mereka berteriak-riak dan bersikap aneh. Banyak warga ketakutan mendekat, sementara aku sebodo amat. Gosipnya sih doi kesurupan At the end, Pengalamanku di hari Galungan ini terasa penuh warna. Aku berhasil mengunjungi berbagai daerah dengan jarak tempuh sekitar 150km! Woohoow! Akhirnya aku tambah jago naik motor, tambah kapalan di tangan, tambah hitam dan belang nggak karuan, serta tambah hapal jalanan Bali. Cihuy! Semoga tidak jatuh sakit di kemudian hari!
- Om Swastiastu, Mari Kita Kos di Bali!
Pertama kali aku menceritakan niat untuk pindah ke Bali, beberapa teman mengernyitkan dahi. "Lo serius mau pindah ke sana? Gue ngerti Bali is fun , tapi liburan dan tinggal itu beda loh." Betul, liburan dan tinggal itu berbeda. Aku datang ke Bali dengan beberapa ekspektasi: Dapat rumah kontrakan oke dekat pantai Tinggal bareng temen Bawa Apple, anjingku ke sini Dan ternyata... Mencari kontrakan di daerah Canggu susah banget. Cari lewat internet mahal banget, sementara kalau lewat door to door rumahnya either mengerikan or dimahal-mahalin karena wajahku seperti orang Jepang. Dan ternyata anjing dilarang keluar-masuk Bali. Jadi anjingku, Apple tidak bisa masuk Bali karena tidak mendapatkan izin dari Dinas Peternakan Provinsi. BOOM! Sebel, tapi mau gimana lagi. Aku sudah berusaha (dan dibantu banyak pihak) untuk mewujudkan semua ekspektasi itu. Yaaa.. mungkin pelan-pelan bisa, atau mungkin pupus sajalah impian tersebut. Meskipun demikian, aku sangat berterima kasih kepada Tante Jasthi yang sudah seperti mama sendiri, membiayaiku menginap di Sedasa Lodge selama seminggu ini. Aku juga sangat terbantu oleh para staff Sedasa yang ramah, yang senantiasa menemaniku mencari rumah kontrakan, bahkan mengajariku cara naik motor. ( Yes, honestly speaking , gue baru bisa naik motor di Bali.) Shared space di Sedasa Lodge Dua malam pertama di Bali terasa mengerikan, lantaran aku tidak bisa apa-apa di sini. Tidak bisa panggil Gojek, tidak bisa Bahasa Bali, dan tidak punya tempat tinggal permanen. Saat mencari rumah juga bikin deg-degan karena semua warga pasti memelototiku. Aku sudah kenyang dikejar makelar rumah, anak kecil, bahkan anjing warga. Tapi karena sekarang sudah bisa naik motor, sudah ketemu Mega (teman lama di SMA) dan akhirnya ngekos bareng dia, sekarang sudah tenang. Ya, aku paham, liburan dan tinggal itu berbeda. Tapi setelah sebulan tinggal di sini, aku merasa tinggal di Bali bener-bener seru. Aku rasa keputusanku pindah ke sini tetap keputusan terbaik. Di sini ramai, tapi tidak terlalu ramai, sepi tapi juga tidak terlalu sepi, tradisional tapi tidak pula terlalu terbelakang. "Tapi kalau lo tinggal di Bali, terus bosen, liburannya ke mana? Gue sih mending di Jakarta, kalau penat langsung ke Bali." Semua orang bebas berpendapat, tapi kalau aku secara pribadi nggak suka liburan ke satu tempat yang sama berulang-kali. Jadi aku nggak masalah untuk tinggal di Bali dalam jangka panjang. Bagi kalian yang juga berminat untuk tinggal di Bali, khususnya daerah Badung, here are things to consider based on my experience in 2017: 1. AKOMODASI (KOS DI BALI) Bermimpi untuk tinggal dekat pantai? Well, actually it is possible bila kemampuan budget kalian mencapai 5 juta ke atas per bulan. Kalian bisa sewa villa atau mengontrak rumah. Rata-rata rumah kontrakan yang dekat pantai, seperti contohnya daerah Canggu Permai buka harga dari Rp25.000.000,00 sudah dapat 2-3 BR dengan garasi, toilet dan ruang tamu. Daerah ini biasanya sepi, masih dipenuhi sawah-sawah dan tetangga internasional. *Saat mencari rumah kontrakan, hati-hati didatangi calo out of nowhere . Kalau mau cari lewat OLX.com bisa, tapi belum begitu efisien. Untuk kaum realistis dan pemula dalam segi finansial, silakan merapat ke tengah kota sedikit. Sekitar 8 km dari Pantai Berawa ada perumahan Dalung. Di sini banyak kos-kosan dan rumah kontrakan. FYI, di Bali kebanyakan kosan bisa murah karena tidak dapat perabot. Jadi kalau mau yang gampang full furnished , biaya per bulannya sekitar Rp700.000,00 ke atas. Sebagai gambaran, kos aku sendiri seharga Rp1.270.000,00 dengan fasilitas full furnished , AC, air panas, dapur bersama, dan dibersihkan sebulan 2 kali. Sementara untuk rumah kontrakan di Dalung Permai dan Buduk, buka harga dari Rp12.000.000,00 (untuk penduduk non-Bali) dan ukurannya cukup besar kalau tinggal sendirian. TAPI hati-hati, rumah-rumah murah ini cepet banget lakunya. Siap-siap spare 1-2 bulan untuk mencari rumah kontrakan terbaik. Pemandangan terasering dari jendela kamar kosku di Dalung 2. TRANSPORTASI Tidak ada bus dan angkot, bahkan ojek online kadang ditolak di beberapa spot . Untuk lalu-lalang di Bali agak pelik bila tidak punya motor sendiri. Mobil online yang tersedia pun kebanyakan Uber, tapi kurang praktis karena jalanan di sini sempit dan suka macet di jam pulang kerja. Untuk menyewa motor biasanya Rp50.000,00 per hari dan Rp500.000,00 per bulan, sementara untuk menyewa mobil dengan supir bisa seharga Rp500.000,00 per hari dan Rp5.000.000,00 per bulan. Hati-hati soal bensin karena pom bensin besar sangaaaaaaaat jarang dan jauh. Kebanyakan jual pertalite curah dan Pertamini, DAN mereka mulai tutup kalau sudah jam 8 malam. 3. KONSUMSI Bagi pemakan segalanya, I think Bali is heaven. Hahaha... No kidding , makanan sini kok enak-enak dan terjangkau ya. Untuk satu nasi bungkus (dengan nasi berlimpah, ayam, babi, ini, itu, macam-macam) dihargai Rp10.000,00 Kemudian banyak juga chinese food , bakso, sate, dll. Semuanya dalam harga yang masuk akal. KECUALI kalau makan di restoran dengan Bahasa Inggris dan dekorasi yang cantik, yaaa.. udah pasti mahal. Demikian pula bila kamu ingin menjadi vegetarian , bisa banget kok mengatur nutrisi di sini. Harganya oke. Apalagi harga buah-buahan. Mangga (kalau sedang musimnya) seharga Rp14.000,00 bisa dapat 2 buah, anggur segenggam untuk porsi 1 orang Rp9.000,00 dan untuk jus buah mulai dari Rp6.000,00 Kalau lapar tengah malam, ini yang agak susah. Biasanya warung yang buka sampai pagi itu warung burger, buritto, dan sate. Tapi harganya suka mahal. Begitu pula dengan pesan makanan 24 jam lewat GoFood, pilihannya juga mahal-mahal dan hanya ada di Seminyak (yang terdekat dari Canggu). 4. INTERNET Biasanya tempat yang menawarkan wifi gratis, koneksi internetnya sucks . Termasuk wifi di kosanku saat ini. Jadi baru-baru ini aku pesan online mobile wifi (mifi) dari Smartfren. Kata temen-temen sih provider terbaik di sini ada Telkomsel, XL, dan Smartfren. Indosat sering hilang sinyal kalau aku masuk ke pedesaan di Bali. Untuk pemasangan modem di rumah, yang aku suka ( budget wise ) cuma paket Biznet, tapi cover area -nya nggak begitu luas. Sisanya Speedy dan beberapa brand lokal yang aku kurang tahu. 5. KEAMANAN DAN KESEHATAN Aman sih aman. Hampir nggak ada ada kasus pencurian, perampokan, ataupun cat-calling di jalan. Tapi tetap waspada terutama saat malam hari, karena jalanan mulai sepi dan gelap. (Gue pernah dibuntutin bapak aneh dan dikejar anjing jalanan.) Oh ya, kalau kamu mau memelihara anjing di sini, hati-hati banyak yang suka maling anjing untuk dijual lagi atau untuk dikonsumsi ( FOR REAL! ) Btw, anjingnya nggak bisa dibawa dari Jakarta. Bali sudah memperketat dan melarang jalur keluar-masuk hewan baik dari darat maupun udara. Bagi yang masih ngeyel, hati-hati hewan kesayangannya dihukum dan disuntik mati di tempat. Kemudian untuk masalah keamanan dengan orang Bali sendiri, menurut aku sih nggak ada masalah. Mereka nggak pusing mengurusi pakaian maupun perilaku orang asing di sini. Asal kamu baik, ya mereka baik. Kamu senyum, ya mereka senyum. Cuman mungkin, ada beberapa warga yang sedikit sentimen terhadap sekelompok agama tertentu sejak kasus Ahok kemarin, dan aku rasa hal ini nggak hanya terjadi di Bali ya. Hampir semua warga Indonesia memang jadi agak pecah karena isu agama dan politik kemarin. But then again, as long as you are nice, most people will be nice. Kalau mau ke dokter, rumah sakit agak jauh. Tapi apotek yang bagus banyak. 6. HIBURAN Ini yang menyenangkan dari Bali. Kebanyakan hiburannya bersifat outdoor . Misalnya clubbing di sebelah sawah, boxing di pinggir jalanan asri, yoga di pantai, ataupun nonton film sambil makan makanan vegan. Hiburan-hiburan ini cukup mahal kalau mau diikuti properly . Jadi kalau mau menghibur diri versi murah, aku biasanya... Beli miras di toko swalayan (kalau di bar mahal), setelah tipsy baru ke club Belajar yoga dari YouTube saja, pakai alas seadanya Nonton film bajakan, atau ke Cineplex di Denpasar saat weekdays Duduk-duduk saja di pinggir pantai Demikian review aku tentang tinggal di Bali pada tahun 2017. Semoga kehidupanku semakin berfaedah di sini!
- Akhirnya Eropa dengan Visa Schengen
Lama kuimpikan perjalanan ke Eropa ala backpacker dengan pengalaman yang lebih dari sekadar tur kota cantik. Meskipun beberapa kali kakakku yang tinggal di Jerman sudah mengajak datang, aku masih juga mengulur-ulur waktu, mencari tujuan dan momen terbaik untuk menghampirinya. Akhirnya kesempatan itu datang juga, aku diterima dalam sebuah program yang pas sekali dengan profesi yang kupuja-puja: keliling Italia, Eropa dengan Visa Schengen sambil bikin film dengan filmmaker seluruh dunia! Meskipun hanya berkutat di Italia, bagiku nggak masalah. Yang penting kaki ini sudah pernah menapakkan dirinya di luar Asia, dan mata ini kembali terbuka akan wawasan dan perspektif baru. Namun dalam perencanaannya kemudian sedikit berubah. Aku tidak jadi hanya keliling Italia. Keluargaku memutuskan untuk ikut menikmati momen ini, mulai dari Amsterdam, Brussels, Paris, Berlin, hingga akhirnya Roma. Bagi orang lain, mungkin hanya terlihat seperti, “Seru ya keluarga kamu bisa jalan-jalan ke Eropa.” Bagiku, perjalanan ini menandai berbagai hal. Mulai dari persiapan yang ribet, mendadak, dan banyak kesalahan minor, seenggaknya aku bangga, semua ini kupersiapkan tanpa merepotkan banyak pihak. Khususnya bagian buku tabungan, di mana aku benar-benar menggunakan tabungan sendiri, hasil jerih payah bertahun-tahun sejak kuliah hingga sekarang. Perjalanan ini juga menandai berakhirnya pertikaian antara aku dan keluargaku. Mungkin kedengarannya lucu, tapi aku punya trauma tersendiri berada (terlalu) dekat di antara mereka. Kamu boleh memanggilku aneh atau tolol, terserah. Tapi aku benar-benar mengalami waktu yang sulit untuk hidup berdampingan. Terlalu banyak hal mengubahku, tapi tak satupun kusesali. Perbedaan ini, justru yang membuat kita semua menjadi lebih kaya. Hanya aku butuh waktu, untuk beradaptasi dan bersikap lebih dewasa. Terakhir, perjalanan ini membuktikan bahwa mimpiku tidak mustahil untuk dicapai. Sebelum keberangkatan, sambil packing , aku membaca kembali buku catatan saat masih SMA dan kuliah. Membaca buku itu membuatku tersenyum.. banyak sekali mimpi yang telah kugapai, mimpi yang bisa kucentang. Aku lega, meskipun membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengusahakannya, akhirnya berhasil juga.
- Mencari Kosan di Jerman
Sudah lama kutunggu waktunya menulis post ini. Sengaja kutahan sampai aku benar-benar mendapatkan kamar kos yang kuharapkan, tentunya agar bisa kuceritakan pada kalian bahwa cara yang kulakukan telah berhasil. Sebagai calon mahasiswa jalur mandiri (tanpa beasiswa), tentunya kita juga harus mempersiapkan kamar kosan.. sendiri! Kosan dalam Bahasa Jerman disebut sebagai Wohngemeinschaft atau singkatnya WG . Kebetulan, kampus yang menerimaku adalah sebuah kampus kecil yang tidak bisa membantu soal akomodasi. Mereka punya asrama, tapi sudah penuh hingga 1-2 tahun ke depan. Dan meskipun website kampus menyediakan beberapa saran tempat, lagi-lagi semuanya sudah fully booked hingga bertahun-tahun ke depan. Alhasil, satu-satunya opsi untuk mencari kosan adalah melalui https://www.wg-gesucht.de/ Website yang lain juga sudah kucoba, tapi dalam kasusku, antara tempat yang ditawarkan terlalu mahal atau registrasi dan interface website -nya terlalu membingungkan. Jadi aku cuma pakai satu website aja yaitu WG-gesucht, dan website ini dalam Bahasa Jerman. Tapi tenang, tinggal right click dan pilih opsi Translate to Indonesian (kalau di Chrome) dan kamu nggak perlu khawatir lagi mengenai bahasa. BTW, kuliah di winter semester itu rata-rata dimulai di Oktober, jadi aku udah mulai cari kos / WG di Jerman sejak Maret. Awalnya baru lihat-lihat aja untuk ancang-ancang pengeluaran. Akhirnya di bulan Mei kuberanikan menghubungi semua kosan yang aku suka satu-persatu. Tapi ternyata zonk karena kecepetan. Hal Yang Perlu Diperhatikan Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemula (kayak aku) yang baru mau pindah ke Jerman: WG itu kosan, bisa berbentuk rumah ataupun apartemen, yang intinya menawarkan kamar-kamar untuk disewakan dengan harga murah, tapi harus sharing dapur dan toilet dengan penghuni lain. Melalui website WG-gesucht, kamu bisa mencari kamar sewa berdasarkan ukuran ruangan, harga sewa, tanggal mulai sewa, hingga detail lain-lain. Melalui website WG-gesucht pula, kamu wajib mengirim surat pendek untuk "melamar" ke penyewa atau si penghuni WG tersebut. Di dalam surat pendek itu kamu harus bercerita mengenai dirimu, kelebihanmu dan kenapa kamu ingin tinggal di WG tersebut. Biasanya para penghuni kamar akan memberikan syarat penghuni yang mereka harapkan juga. Jadi jangan lupa dibaca dulu syaratnya. Kaltmiete = istilah yang mengacu pada biaya sewa kamar dasar. Warmmiete = istilah biaya sewa kamar dasar + nebenkosten. Nebenkosten = biaya tambahan seperti listrik, air, sampah, wifi, dll. Kaution = uang deposit yang harus kamu setorkan di awal, dan bisa kamu minta kembali saat keluar. Jumlahnya selalu 2x lipat harga Kaltmiete . Pada umumnya biaya menyewa 1 kamar WG sekitar €250 - €500 per bulan. Biasanya yang posting di WG-gesucht ini penghuni kamar sebelumnya, tapi bisa juga pemilik kos langsung ataupun agensi. Umumnya kos yang disewakan kosong (unfurnished) tanpa perabot. Kapan waktu yang tepat untuk memulai mencari Kos / WG di Jerman? Sepertinya 2-3 bulan sebelum tiba adalah waktu yang pas, tapi ini tergantung seberapa kompetitif area kamu kuliah. Di desa kecil yang populasinya hanya 60 ribu penduduk, mencari WG 4 bulan sebelumnya tergolong terlalu dini. Tapi kalau mau cari yang murah, kusarankan pantengin terus websitenya setiap bulan untuk lihat jikalau ada postingan baru. Di desa aku sih rame pas bulan Juli, tapi bodohnya aku baru message mereka di Agustus. Jadi banyak yang sudah habis. Untungnya... aku nggak sial-sial amat. Nanti akan kuceritakan kenapa aku beruntung, sekarang mari kita bongkar dulu mengenai surat pendek yang kusebutkan di atas. Surat Pendeknya Isi Apa? Aku nonton 1 youtuber dari India yang ngajarin aku bahwa surat pendek ini harus singkat, jelas dan memberikan impresi positif supaya anak-anak WG mau terima kamu dalam geng kosannya. Jadilah aku bikin surat yang kurang lebih seperti ini template -nya: Hallo, nama dia. Jokes pembuka ( optional , kalau kamu anaknya ga suka ngelucu, ya ga usah). Nama, asal negara, usia, 3 kata yang mendeskripsikan dirimu. Tujuan tinggal di situ (kasih tau mau kuliah di mana, jurusan apa dan tingkatnya Bachelor atau Master). Mencari tempat yang seperti apa atau berapa lama? (Aku sih bilang mau cari tempat long term . Gitu doang.) Detail tentang hobi dan gaya hidup. Apakah kamu suka masak? main musik? olahraga? (Bakal seru kalau punya hobi yang sama kan.) Kemampuan Bahasa Jerman / Inggrismu seberapa? (Barangkali penyewa ingin bicara Bahasa Jerman denganmu.) Keterangan posisi saat ini: kamu masih di Indonesia atau sudah di Jerman? Soalnya kadang penyewa ingin mengundangmu langsung ke rumah saat weekend . Jadi kalau kamu masih di Indonesia, tanyakan apa boleh video call lewat Whatsapp. Penting! Apakah kamu ada teman atau keluarga yang sudah permanen di Jerman? Gunakan nama mereka sebagai referensi, khususnya jika Bahasa Jerman kamu masih belepotan. (Karena ini sangat menolong dalam kasus aku.) Kurang lebih itu template yang aku pakai, meski kadang aku edit-edit lagi untuk menyesuaikan persyaratan dari penyewa. Seperti misalnya, ada penyewa yang meminta kita membubuhkan kata, "Yuhuu!" di awal surat untuk membuktikan bahwa kita telah membaca deskripsi iklan dia hingga selesai. Jadi jangan lupa, baca baik-baik dulu iklan kamar kosnya ya. Jangan langsung kirim surat pendek. Kalau Nggak Fasih Bahasa Jerman Gimana? Berhubung kamu harus mengirim surat pendeknya dalam BAHASA JERMAN. Nah, cara termudah bagi kita yang belum fasih adalah memakai https://chatgpt.com/ alias pakai AI. Bagi kamu yang belum pernah pakai ChatGPT, silakan daftar dulu pakai email , baru setelah itu bisa kamu gunakan secara gratis. Cara pakainya gimana? Tinggal bikin prompt (perintah) pada ChatGPT, misalnya... Tolong translate surat ini ke Bahasa Jerman: Hallo Ali, Namaku Cil dari Indonesia, usia 30 tahun. Aku orangnya.. bla bla bla... Terima kasih. Udah sesimpel itu. Kayak ngobrol sama temen aja. Kamu bisa pakai Bahasa Indonesia di ChatGPT. Nanti ChatGPT akan balas kamu dengan hasil terjemahannya yang bisa kamu copy-paste dan pakai berkali-kali ke berbagai penyewa. Sudah Ketemu Kamar Impian, Terus Apa? Kalau kamu sudah kirim surat pendek, sudah dibalas dan diajak video call, email ataupun teleponan, ini saatnya untuk memperhatikan beberapa hal penting dalam kosanmu! Daftar berikut berdasarkan kebutuhanku pribadi: Apakah kamar kosnya kosongan (unfurnished) tanpa perabot? Apakah perabot lama dijual dengan harga miring? Apakah ada fasilitas: (contoh) wifi, mesin cuci, microwave , dan tempat parkir sepeda? Apakah orang tua boleh sesekali berkunjung dan menginap? Siapa saja penghuni lain di rumah ini? Apakah ada foto / video toilet yang lebih jelas? Dipakai berapa orang? Bagaimana jika saya ingin pindah? Kapan saya harus mengabari dan apakah ada biaya penalti? Berapa biaya-biaya tambahan yang perlu saya ketahui? Ingat, jangan pernah tanda tangan surat kontrak sewa-menyewa jika kamu belum memastikan semuanya dengan rinci. Karena takutnya kamu nggak ngeh ada aturan tersebut, terus kamu langgar, terus biaya deposit kamu diambil sama mereka secara sepihak. Makanya supaya itu tidak terjadi, ngobrol dulu yang panjang. Jangan takut menjadi orang bawel di saat seperti ini. Kebetulan dalam kasusku, aku mendapatkan kamar kos yang luaaass banget, ada jendela, teras, taman dan sudah termasuk furnitur mulai dari kasur, lemari, meja kerja, sofa hingga TV seharga 400an Euro per bulan. Ini dia "beruntungnya" diriku. Berasa dapet rezeki anak sholeha. Minusnya? Aku harus sewa selama 1 tahun penuh, nggak boleh pindah dan nggak bisa sembarangan bawa keluarga nginep karena ditakutkan akan menambah beban biaya listrik, air, dll. Daaann jarak kosan ini ke kampusku sekitar 6 km. Jadi lumayan enggak deket-deket amat, tapi enggak terlalu parah lah jauhnya. Buat orang Jerman asli kayaknya mereka bakal jalan kaki ke kampus 😂 Berhubung aku nggak punya pilihan (baca: nggak ada lagi kosan lain yang mau terima aku, dan udah berbulan-bulan aku ditolakin berbagai kosan), maka tanpa ba-bi-bu, aku langsung deal kamar itu dan tanda tangan surat kontrak lewat email. Tapi kamu juga harus tahu bahwa perjuanganku untuk diterima di kosan ini juga berat. Soalnya di bulan Agustus saat aku sudah mulai hopeless itu akhirnya aku ganti strategi template suratku menjadi: jualan nama kakakku yang sudah permanen di Berlin. Ngakak. Aku sebutkan di surat, "Aku ada kakak di Berlin yang fasih Berbahasa Jerman dan bisa mewakiliku untuk mengecek lokasi ataupun bertelepon denganmu." Dan bener dong, akhirnya suratku ada yang balas, dan dia beneran minta telepon aku, lalu kakakku untuk mengecek background kami berdua. Dan landlord aku bener-bener menekankan di email bahwa mereka mencari mahasiswa baik-baik yang tidak bikin onar, soalnya landlord aku sepasang suami-istri udah tua gitu yang tinggal di rumah sebelahnya, jadi mungkin mencari anak tenang. Double ngakak karena gua anaknya enggak tenang sama sekali 😂 Singkat cerita, aku diwajibkan bayar uang deposit 50% di muka, baru setelah itu landlord aku merilis dokumen Wohnunggeberbestätigung yang akan kubutuhkan untuk memperpanjang visaku menjadi Student Residence Permit di Ausländerbehörde terdekat. Demikian kisah perjuanganku mencari kos! Semoga kalian juga berhasil.
- Pakai Bank Vietnam di Jerman
Hari ini kita kupas tuntas konsep blocked account untuk kuliah di Jerman dan cara penarikan uang yang sudah kita timbun di akun tersebut. Apa itu blocked account? Penjelasan dasar dan lengkap sudah pernah dibahas di post: Buka Blocked Account untuk Kuliah di Jerman . Tapi aku jelasin ulang secara singkat, blocked account adalah bukti tabungan untuk tinggal di Jerman selama 1 tahun, yang dibekukan dan hanya bisa ditarik sebesar 992€ per bulan (menurut peraturan tahun 2024-2025). Kemarin aku pilih bank Vietnam di Jerman, Vietinbank karena udah sepaket sama asuransi swasta dan harganya pas buat aku yang usianya sudah di atas 30 tahun. Catatan: kalau kamu masih di bawah 29 tahun, ada banyak banget pilihan blocked acc + asuransi murah, contohnya Coracle . Nah, sekarang bagaimana aktivasi dan kelanjutan dari blocked account ini ketika kita sudah tiba di Jerman? Mari kita bahas satu-persatu. Persiapan sebelum Aktivasi Blocked Account Untuk mulai mengambil dana dari tabungan yang dibekukan, maka tabungannya harus diaktifkan dulu. Nah, cara pengaktifannya bisa beda-beda untuk setiap bank. Tapi pada umumnya selalu membutuhkan Tax ID atau Steueridentifikationsnummer . Steueridentifikationsnummer (disingkat menjadi Steuer-ID ) adalah nomor identifikasi pajak pribadi yang diberikan kepada setiap orang sejak lahir atau ketika mereka pertama kali mendaftar tinggal (Anmeldung) di Jerman. Jumlahnya 11 digit angka, dalam format penulisan 00 000 000 000 dan nomor ini bersifat unik, tetap seumur hidup, dan tidak berubah meskipun kamu pindah kota atau berganti pekerjaan. Fungsi Steuer-ID: Administrasi Pajak : Digunakan oleh kantor pajak (Finanzamt) untuk melacak kewajiban pajak kamu. Penggajian : Diberikan kepada pemberi kerja untuk memastikan pajak penghasilan (Lohnsteuer) dipotong dengan benar dari gajimu. Keperluan resmi lainnya : Misalnya, mengajukan tunjangan anak (Kindergeld) atau membuka rekening bank. Nah, untuk mahasiswa yang baru pindah seperti saya, nggak usah pusingin dulu mengenai pajak. Intinya untuk buka blocked account membutuhkan Steuer-ID . Bagaimana cara mendapatkan Steuer-ID? Pertama, punya bukti tempat tinggal. Namanya wohnungsgeberbestätigung (minta dokumen hardcopy ke penyewa). Dalam kurun waktu 14 hari sejak memiliki tempat tinggal, langsung melakukan pendaftaran di kotamu (Anmeldung) . Jangan lupa cek apakah perlu bikin appointment dulu secara online . Biasanya rada ngantri nih, jadi BURUAN bikin appointment sebelum telat. Kalau lewat dari 14 hari bisa kena denda. Selesai deh! Dalam waktu 14 hari, Steuer-ID akan otomatis dikirimkan ke alamatmu melalui surat. Jika hilang, kamu bisa memintanya lagi ke Bundeszentralamt für Steuern (Kantor Pajak Pusat) secara online atau dengan surat. Oh ya, FYI juga, S teueridentifikationsnummer seringkali disamakan dengan Steuernummer , gara-gara terjemahan Bahasa Inggrisnya mirip: sama-sama nomor pajak, namun keduanya berfungsi beda di Jerman. Bedanya dengan Steuernummer: Steuer-ID : Nomor permanen untuk setiap individu yang tinggal di Jerman. Jumlah 11 digit. Steuernummer : Nomor pajak khusus yang diberikan oleh Finanzamt untuk keperluan pelaporan pajak, biasanya digunakan oleh freelancer atau wiraswasta. Jumlah antara 10-11 digit dengan format penulisan 000/000/00000 Tiga digit pertama menunjukkan wilayah atau kantor pajak setempat (Finanzamt). Digit lainnya adalah kombinasi angka unik yang mengidentifikasi wajib pajak. Berhubung aku sudah dapat tempat tinggal sebelum tiba di Jerman, aku hitung 14 hari mundur dari tanggal kedatangan. Tapi waktu itu aku nggak paham harus bikin janji di mana, karena setiap kota punya kebijakan dan website yang beda-beda. Apalagi semua informasinya dalam Bahasa Jerman, yang jelas bikin pusing banget. Akhirnya aku tanya ke kampus, Google, YouTube, dan ke sana-sini buat cross-check informasi. Untung banget, universe baik lagi sama aku. Aku pas banget dapat appointment 14 hari setelah tiba. (Kalau lewat sehari aja, langsung kena denda!) Dan aku happy banget karena petugas di Neu-Ulm BAIKNYA LUAR BIASAA! Dia mau ngobrol dalam Bahasa Inggris dan dengan sabar ngejelasin dokumen apa aja yang dia butuhkan. Jadi semuanya lancar dan aman. Dokumen yang dibutuhkan di kota Neu-Ulm gampang banget, cuma Wohnungsgeberbestätigung dan paspor asli, sesuai info yang tertulis di website: Bürgerbüro Neu-Ulm . Tapi, aku tetap datang dengan segala jenis dokumen buat jaga-jaga—nggak mau ambil resiko dong? Eh, ternyata beneran nggak diminta dokumen tambahan sama sekali. Jangan lupa perhatikann syarat di website ya, karena ada beberapa kota yang membutuhkanmu isi formulir dulu. Oh iya, denger-denger dari teman-teman lain, kita juga bisa datang pagi-pagi langsung ke Bürgerbüro tanpa harus buat janji online dulu. Jadi, kalau kamu butuh cepat, boleh dicoba cara ini! Setelah selesai dengan registrasi kependudukan di kota, kamu akan langsung mendapatkan dokumen Meldebestätigung yang bentuknya seperti foto di bawah ini. (Bener-bener cuma selembar kertas gitu doang.) Habis itu aku dikasih goody bag yang isinya kocak banget: kalender jadwal pembuangan sampah, plastik kuning untuk sampah plastik, kupon diskon keliling kota, dan merchandise lainnya. Temen-temenku yang dari Jerman sampai ngakak, "Asli itu goody bag Jerman banget!" sambil menunjuk si plastik kuning. FYI, sampah di Jerman diklasifikasikan dalam beberapa kategori dan harus disimpan dalam plastik berwarna spesifik! (Akhirnya) Proses Aktivasi Blocked Account Proses setiap bank bisa jadi berbeda. Dalam kasusku bersama Vietinbank yang berlokasi di Berlin dan Frankfurt, aku minta izin aktivasi secara online karena nggak mungkin jalan ke dua kota tersebut (jauh gila, kayak jarak Jakarta ke Surabaya). Secara online aku harus melakukan verifikasi: Wajah dan paspor melalui video call Dokumen penting melalui kantor pos OK, to be fair, nggak online juga sih. Ada banyak dokumen yang harus dicetak dan ditanda-tangan basah. Dan harus aku kirim lewat Deutsche Post. Untungnya biaya print pertama ditanggung kampus. Jadi setiap mahasiswa baru dikasih kredit sekitar 1.5€ gitu kalau nggak salah buat ngeprin-ngeprin (dan selanjutnya berbayar, tapi harganya murah kok kayak biaya ngeprint di Indonesia). Jadi total biaya yang aku keluarkan hanya 5.75€ (sekitar IDR 98,613) buat beli amplop busa + biaya kirim ke Frankfurt. Dokumen penting ini mencakup bukti paspor, lembar tandatangan di paspor dan Steueridentifikationsnummer yang tadi kita bahas. Dan tentunya, Cecil si paling prepared mengirim lebih dari yang diminta. Aku sertakan aja semua yang penting-penting kayak misalnya bukti kuliah, Wohnungsgeberbestätigung, Meldebestätigung, dll. Karena aku nggak mau ada kesalahan sampai harus bolak-balik kirim dokumen. Mahal bro. Setelah proses verifikasi selesai, saatnya menunggu.. hampir 1 bulan untuk lanjut ke tahap berikutnya 😅 Surat cinta dari bank Vietnam di Jerman Aktivasi Online Banking Pertama Setelah semua dokumen diterima oleh pihak bank, mereka akan mengirimkan 3 surat berbeda: Surat berisi PIN Surat berisi kartu giro (salah satu turunan dari kartu debit) Surat berisi kode aktivasi sekuritas untuk akses aplikasi bank Semua surat ini bisa saja tiba di tanggal yang berbeda. Jadi cek terus kotak pos. Beruntung aku tinggal di kosan (WG) yang isinya orang-orang pendiem tapi baik banget. Jadi siapapun yang ngecek kotak pos dan menemukan sesuatu, pasti selalu bawain surat / paket masuk ke ruang tamu. Kita punya meja khusus buat taro semua paket itu. Dengan semua informasi yang sudah aku dapatkan dari ketiga surat tadi, barulah aku bisa online banking dan melihat pundi-pundi uang yang sudah lama kubekukan dalam tabungan tersebut. Jadi sistemnya: setiap tanggal 7 tabungan beku aku akan melepaskan uang sebesar 934€ ke Girokonto . Nah akun giro ini yang bisa aku gunakan untuk transaksi atau tarik cash. BTW, kenapa angka aku 934€ dan bukan 992€, karena aku masih pakai hitungan yang lama. Jadi buat kalian yang baru mau bikin, ikuti peraturan yang baru: bekukan uang sebanyak 992€ x 12 bulan ya! Selesai deh, sekarang aku harus menabung lagi untuk perpanjangan visa tahun depan!
- Haunted Back
This is a short story that I wrote for Media Production & Storytelling class. Funny, because this was based on true story. His large hands, with slender, long fingers, gripped my neck tightly. That night, I thought I would die at his hands. My vision blurred, and his face became unrecognizable. I was trapped on a small hotel bed in an obscure town in Japan. A thought crossed my mind: If I die here, I hope they can trace my body through the hotel’s CCTV. For most people, being strangled must be a terrifying experience. But strangely, it wasn’t as bad as I had imagined. You wouldn’t even have time to feel pain. In fact, I managed to smile, laughing at my own foolishness. “How did it come to this?” But I didn’t fight back. I surrendered myself to death at his hands—the hands of my fiancé, the man who was supposed to marry me six months ago. Ironically, this trip to Japan was meant to mend our broken relationship and revive the love I thought we would still have. Instead, it ended with his hands around my neck. “Hahaha…” I chuckled softly, though the sound barely escaped my throat. Suddenly, he let go. His hands dropped, and he stumbled toward the hotel room door. He slumped to the floor, screaming in frustration, no longer intent on killing me. That night, I didn’t die. Yet instead of relief, I felt disappointment. “Why didn’t I just die?” After enduring the pain of his years of infidelity, I now had to bear the knowledge that he was capable of killing me. And somehow, I was supposed to keep living, pretending everything was fine? “I…” he stammered, his voice trembling. “I’ll book a flight tonight. You can finish the trip alone.” “Yeah, go home. Our relationship is over. There’s nothing left to fix.” Normally, I would’ve begged him to stay, thrown away my pride, and pleaded for forgiveness. I would usually have cried, humiliated myself, begging him to love me even harder—as if there was any love to begin with. But this time, it was different. I was exhausted, so I let him go. And instead of leaving, he froze. He sat motionless, staring at the stained carpet beneath his feet. Perhaps he was shocked—after all, it was the first time I had ever allowed him to walk away. And in his silence, he changed his mind. He didn’t book a flight. He didn’t leave. Instead, he stayed until the end of the trip. It took me long to realize that I had been in a relationship with someone who is mentally ill. No words can fix the mess between us. After returning from that traumatic trip, I decided to disappear from his life entirely. And as I had suspected, now he’s the one haunting me.















