top of page

Search Results

170 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pidato HUT IKJ Ke-45

    Beberapa waktu lalu gue dan beberapa mahasiswa dipanggil ke rektorat. Rupanya sebagai perwakilan mahasiswa terpilih, kami diminta membuat sebuah pidato untuk disampaikan di hari ulang tahun (HUT) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang ke-45. Tapi dari semua mahasiswa yang terpilih, hanya akan ada satu yang berhak membacakan hasil pidatonya di depan semua orang. Untuk itu kami diharuskan mengikuti audisi. Sayangnya tepat pada hari audisi, gue jatuh sakit sampai nggak bisa ngapa-ngapain selain meringis sakit di atas kasur. Meskipun begitu, gue sudah mempersiapkan pidato yang ingin gue bacakan. Daripada sia-sia sudah dibuat, lebih baik gue share saja di blog ini. Hehe... Selamat membaca! PIDATO HUT IKJ KE-45 “Tiga Masa” Selamat pagi kepada yang terhormat Bapak Rektor Dr. Wagiono Sunarto; para Wakil Rektor; para Dekan dan Wakil Dekan dari Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Film dan Televisi; serta para hadirin sekalian yang saya hormati. Tidak terasa, sudah tiga tahun saya berkuliah di Institut Kesenian Jakarta. Rasanya baru kemarin—tahun 2012—saya ambil brosur FFTV dari Mbak Asih di ruang akademik. Tiba-tiba sudah tahun 2015; tiba-tiba sebentar lagi harus mempersiapkan rancangan tugas akhir; dan tiba-tiba IKJ sudah berumur 45 tahun. Pada hari yang berbahagia ini, mari kita panjatkan puji syukur pada Yang Maha Kuasa, karena telah memberkati Institut Kesenian Jakarta. Juga kepada para almarhum pendiri LPKJ dan penerusnya yang telah mengurus institusi ini hingga sedemikian rupa, sampai pada titik di mana saya dan mahasiswa lainnya dapat mengenyam pendidikan tinggi dengan nyaman dan aman. Selamat ulang tahun yang ke-45, kampus tercinta! We are here today to honor our past, celebrate our present and build our future. Hari ini kita semua berkumpul, untuk menghormati masa lalu, merayakan masa kini, dan membangun masa depan. Masa Lalu Tiga tahun yang lalu, saat saya menerima kabar bahwa saya diterima di FFTV IKJ, saya tanya ke ayah saya, “Pap, yakin aku masuk IKJ?” dan ayah saya menjawab dengan santai, “Yakinlah, kamu yakin nggak?” “Yakin!” meskipun saya belum tahu alasannya bila ditanya kenapa. Pokoknya yakin dulu! Ternyata seminggu saya berkuliah di sini, saya syok. Sebulan berikutnya saya stres berat. Sebulan setengah, saya mulai penyakitan dan di bulan kedua, saya merenung: mau keluar atau bertahan? Sejak kecil saya terbiasa dididik dengan cara militeris. Semuanya terstruktur, terjadwal, teratur, dan tidak bisa disanggah atau ditanya kenapa begini dan begitu. Tiba-tiba di IKJ, BAM! Culture shock! Saya dihadapkan pada sebuah kebudayaan baru. Di kampus ini, hampir semua orang tidak pernah tepat waktu, baik pengajar maupun pelajar; lalu di kampus ini, materi kuliahnya banyak yang abstrak, sampai silabusnya tidak bisa ditebak; dan hal yang paling menarik dari kampus ini adalah hampir semua hal serba mendadak! Mendadak dosen nggak masuk, mendadak di- calling syuting, mendadak kuliah over-time , mendadak nilai akhir E padahal sudah kumpulin tugas, dan berbagai hal mendadak lainnya. Tapi pada akhirnya, para hadirin yang saya hormati, saya memutuskan untuk bertahan. Alasan saya satu: saya telah jatuh cinta pada IKJ. Masa Kini Kampus ini memang kampus ajaib. Di saat semua orang berusaha mengikuti tren, orang IKJ malah cuek bebek. Tidak ada yang menghakimi, mengejek, atau pun mendiskriminasi orang-orang yang berbeda, atau orang-orang yang bergaya di luar tren. Justru di sini, perbedaan dijunjung tinggi, terutama dalam penciptaan karya; haram hukumnya menjiplak. Begitu pula dengan masalah-masalah yang lebih kompleks seperti agama dan ras. Biasanya di kampus akan terjadi pengelompokkan secara natural; misalnya yang agama Islam kumpul sama yang agama Islam, dan yang ras Cina mainnya sama yang Cina saja. Menariknya, hal ini tidak terjadi di IKJ. Di kampus ini, tidak ada yang peduli kamu punya agama atau tidak, atau pun apa ras dan bahasa ibumu; yang kita pedulikan adalah apa fakultasmu dan apa mayormu! (Soalnya kalau cocok, mau di- calling syuting…) Kemudian, persaudaraan di IKJ juga sangat berbeda dengan kampus-kampus lainnya. Selama tiga tahun saya berkuliah di sini, saya dapat merasakan bahwa persahabatan kita tidak berjarak. Antara dosen dan mahasiswa, antara senior dan junior, maupun antara mahasiswa dan staf, dan seterusnya. Semua orang, tua atau muda boleh dipanggil abang, mas atau mbak . Coba bayangkan kalau ini di Universitas Indonesia, mungkin saya sudah dijitak oleh bapak dosen karena memanggilnya dengan sebutan Bang . Suatu waktu teman saya dari universitas lain curhat, dia sedang resah dalam menentukan skripsinya. Jadi saya bilang, “Coba diskusikan dengan pembimbing di kampus, atau dosen yang lebih paham dengan persoalanmu.” Soalnya saya dan teman saya itu berbeda jurusan, dia peternakan, sementara saya perfilman. Kemudian teman saya menjawab, “Ya betul sih, tapi susah mau ketemu. Harus bikin janji dulu.” Spontan, saya kaget mendengarnya. Seumur hidup saya kuliah di sini, tidak pernah saya membuat janji untuk berdiskusi. Kemudian saya pikir hanya kampus dia saja yang seperti itu, tapi ternyata di kampus lain juga sama: menemui seorang dosen secara privat itu tidak mudah, harus bikin janji dari jauh hari. Sejak itu saya semakin merasa bersyukur. Di IKJ, jangankan dosen, bahkan para dekan dan wakil dekan pun bisa ditemui hampir setiap hari. Meskipun memang tidak selalu ada untuk diajak berdiskusi, tapi paling tidak, tidak sampai harus membuat janji formal. Hubungan di antara kita benar-benar tidak berjarak, walaupun saya sebagai mahasiswa tetap menghormati posisi beliau sebagai seorang dosen. Demikian pula hubungan antara senior dan junior. Awalnya memang, terasa ada jarak karena pada tahun itu ospek Mata Seni belum lama ditiadakan dan beberapa pihak belum bisa menerima keputusan tersebut. Beberapa kali saya dan teman seangkatan mendengar kalimat seperti, “Lo nggak ikut Matsen, berarti lo bukan keluarga besar IKJ.” Namun seiring waktu berjalan, seperti kata pepatah, “Tak kenal maka tak sayang,” begitu pula dengan hubungan antara saya dengan senior dan junior di IKJ. Awalnya dingin, namun ketika sudah kenal, kita mulai akrab dan tidak lagi berjarak. Kita lupakan mindset kuno tadi. Ikut Matsen atau tidak, kami tetap menjadi bagian dalam keluarga besar IKJ. Baju almamater yang kami miliki ini adalah buktinya, dan kami ikut berjuang, bekerja keras dalam meningkatkan mutu kualitas kesenian nusantara atas nama Institut Kesenian Jakarta. Kini saya dengan mahasiswa lainnya bersahabat, tanpa pandang umur, ras, agama, atau hal apapun. Kita saling berbagi ilmu, tolong-menolong, dan menguatkan satu sama lain. Kita sama-sama membawa nama besar IKJ. Kedekatan ini adalah salah satu alasan yang membuat saya sangat betah berkuliah di IKJ. Saya merasa telah menemukan sebuah keluarga baru dan sebuah rumah kedua. Masa Depan Pada umurnya yang ke-45, Institut Kesenian Jakarta telah mengalami berbagai perubahan. Mulai dari yang paling terlihat oleh mata, yakni gedung, wajah baru para dosen dan asisten dosen, hingga perubahan sistem analog ke digital, dan seterusnya. Perubahan ini tentu ada yang membawa konflik, ada pula yang tidak; ada yang bersifat positif, ada pula yang tidak. Apapun itu, perubahan seharusnya dilihat dengan pikiran terbuka. Bila kita menolak perubahan, maka kita juga menolak kemajuan, sebab kemajuan tidak akan pernah terjadi tanpa ada perubahan. Sebagai perwakilan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, izinkan saya menyampaikan harapan serta aspirasi para mahasiswa. Tentunya harapan kami adalah wish you all the best . Tapi rasanya tidak terdengar kreatif karena seperti template siap pakai ya? Kalau begitu, saya akan memaparkan cukup panjang, hal-hal the best apa saja yang kami harapkan untuk IKJ yang lebih baik! Pertama, kami berharap IKJ agar lebih “hijau” ke depannya. Dalam kesempatan berkunjung ke Festival Kesenian Indonesia di Jogjakarta sebelumnya, saya dapat merasakan betapa asri dan sejuk lingkungan kampus yang dipenuhi berbagai pohon, bunga, dan rerumputan. Sangat kontras dengan keadaan IKJ yang saat ini gersang. Sayang sekali saya melihat banyak spot untuk menanam tumbuhan berakhir menjadi tempat sampah massal. Gerakan ini tentu tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Jadi semua elemen harus saling berkontribusi. Mungkin mahasiswa yang mengeksekusi sementara pihak kampus mengakomodasi, atau bagaimana pun caranya, semoga tidak menjadi wacana belaka. Kedua, kami mendoakan agar ketiga fakultas IKJ ke depannya dapat semakin bersinergi dan saling melengkapi. Misalnya ketika mahasiswa film membutuhkan music scoring , bisa bekerja sama dengan mahasiswa musik, atau ketika mahasiswa seni rupa membutuhkan fotografer, bisa minta tolong mahasiswa fotografi, dan seterusnya saling berhubungan simbiosis mutualisme. Meskipun sudah tidak ada ospek, semoga kita, bersama Senat Mahasiswa dapat terus meningkatkan kebersamaan lewat program-program kolaboratif yang menyenangkan dan bermanfaat bagi mahasiswa dan lingkungan sekitar. Layaknya ranting-ranting pohon, tentu akan lebih mudah bila dipatahkan satu persatu. Tapi ketika ranting-ranting ini dikumpulkan dan diikat, tidak akan bisa dipatahkan begitu saja. Sama halnya dengan hubungan antar fakultas, tidak sepatutnya dilihat sebagai persaingan, melainkan sebagai persahabatan yang perlu dibangun untuk menuju Institut Kesenian Jakarta yang lebih kokoh. Bersatu kita maju, bercerai kita runtuh. Berikutnya, yang juga sangat penting, kami mendoakan agar semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas para pengajar serta fasilitas di IKJ. Tentu hal ini tidak dapat dilakukan in a blink of an eye , atau dalam sekejap. Perlahan, namun pasti, menjadi agenda kita bersama untuk terus meningkatkan standar kualitas. Jangan hanyut dalam kejayaan, dan jangan menyerah pada keadaan. Perlu diingat bahwa Institut Kesenian Jakarta kini bukan lagi satu-satunya sekolah kesenian di Indonesia, atau pun satu-satunya sekolah perfilman di Jakarta. Seiring waktu berjalan, berbagai sekolah film bermunculan, dan persaingan semakin ketat. Mengutip dari sebuah artikel di Majalah AKSI Edisi 3 No. 2 yang terbit bulan Juni ini, “Kabar baik: sekarang semua orang bisa bikin film. Kabar buruk: sekarang semua orang bisa bikin film.” Kalimat ini tentu tidak hanya berlaku untuk orang film, namun juga berlaku untuk divisi kesenian lainnya. Sekarang zaman sudah canggih, sudah modern. Membuat musik bisa tanpa alat musik, dan membuat lukisan bisa tanpa keahlian melukis (tinggal mengikuti panduan, atau urutan nomor warna). Sebagai pelajar yang berpendidikan tinggi, jangan sampai ilmu kita tidak ada bedanya dengan yang belajar otodidak. Pelajar otodidak bisa menjadi praktisi lewat tutorial Youtube, tapi kita pelajar yang belajar di institusi formal mendapatkan akses lebih besar pada ilmu pengetahuan. Jangan hanya menjadi praktisi, namun juga menjadi akademisi. Demikian pula jangan hanya menjadi akademisi, namun juga menjadi seorang praktisi. Dengan begitu Institut Kesenian Jakarta tidak hanya meluluskan sumber tenaga kerja, tetapi juga sumber tenaga ahli. Biaya kuliah di sini telah meningkat drastis, jadikan hal ini sebagai pecutan untuk memotivasi diri. Bukankah kita benar-benar mencintai kesenian maka kita bertahan dan hadir pada acara hari ini? Demikian harapan-harapan kami, semoga IKJ terus berjaya, bersinar, dan menjadi panutan orang-orang kreatif di Indonesia. Terima kasih atas waktunya, dan semoga hari kita semua menyenangkan.

  • Festival Kesenian Indonesia 2014

    Hey, lama tak bersua! Gue baru aja nemuin waktu buat nulis lagi nih. Minggu lalu tanggal 23-28 September gue dikirim dari kampus ke Jogjakarta buat meramaikan acara Festival Kesenian Indonesia yang ke-8 bersama beberapa mahasiswa lainnya naik kereta dan YEAY!!! SENENG BANGET UDAH BELASAN TAHUN NGGAK PERNAH NAIK KERETA LAGI! Anyway , foto di atas adalah cuplikan dari pertunjukan ISI Surakarta yang ada di FKI tahun 2014 ini. Mari kita bahas lebih dalam ya! Pertama, jam 7 pagi gue naik kereta dari Stasiun Senen langsung ke Stasiun Lempuyangan. Tugas gue ke Jogja adalah meramaikan sekaligus mewakili IKJ dalam acara pemutaran filmnya. Gue ke sana nggak sendirian. Ada Kak Orizon dan Fina yang juga jadi peserta pameran, terus Kak B sebagai peserta seminar mahasiswa, dan beberapa mahasiswa dari Fakultas Seni Rupa IKJ sebagai peserta mural dan seminar. Kira-kira kami ini ber-10 orang, termasuk di dalamnya perwakilan dari UKM TV Kampus: Kak Tika dan Mas S. Dapat hadiah Teh Botol karena ulang tahun kereta api Meskipun gue yakin gue udah pernah naik kereta, tapi gue bener-bener udah lupa sensasinya. Jadi nggak heranlah gue agak norak pas nyampe di stasiun. Gue sempet nyasar gitu deh, tapi untungnya gue cepet sadar kalau gue salah arah. Terus pas udah di pintu gerbang yang tepat, terjadilah conversation dengan bapak penjaga yang unyu. "KTP-nya, Mbak," kata si bapak dengan ramah. Gue pun menyerahkan KTP itu dengan senyuman. Terus si bapak mulai mencocokkan tiket kereta gue dengan si KTP. "Mbak Sherina ini artis ya?" tanya beliau. Berhubung gue udah sering banget dikait-kaitkan dengan Sherina Munaf lantaran nama belakang gue ada Sherinanya, yaaa gue jawab aja, "Iya, Pak." Maksud gue biar cepet, eh taunya si bapak malah menanggapi terlalu serius. Dia beneran natap wajah gue dan bertanya, "Mbak.. Mbak beneran artis?" YAOLOH, BAPAK! Akhirnya gue ketawa kecil doang terus langsung ambil tiket dan cabs-cabs. Siangnya, sambil bosen-bosen nggak jelas di kereta, gue dan Gesya memutuskan untuk bikin video jayus di mana kami berakting gila-gilaan dan jadi tontonan gratis masyarakat. Kocak deh, kita pura-pura jadi koboi terus main tembak-tembakkan pake sisir. Hahaha... Ini lawakannya kedengaran nggak intelek banget ya? Udah kuliah kok masih tolol mainnya? Tapi sumpah udah bosen banget dan semua mainan plus obrolan udah dibahas gitu. Kita nyanyi-nyanyi di kereta udah, ngegosipin dosen udah, ngomongin artis udah, main kartu udah, tidur juga udah, ya akhirnya main koboi-koboian deh. Sesampainya di sana, kami dijemput oleh beberapa panitia dari ISI Jogjakarta. Salah satunya adalah Willy, LO kami yang paling setia nemenin ke mana-mana. Kaget gitu gue pas liat nama dia di nametag , "Anjir, namanya persis nama mantan!" Hahaha... Jadi agak awkward mau manggil doi. Dari stasiun Lempuyangan, kami langsung dibawa pakai mobil ke Hotel Putra Jaya di Jl. Prawirotaman yang banyak bar dan bule-bulenya itu. Terus baru duduk sebentar, eh langsung naik mobil lagi ke ISI Jogjakarta. Hari itu kegiatannya adalah ormed alias orientasi medan. Anak-anak FSR mau ngelihat tempat mereka bakal bikin grafiti, sementara anak FFTV mau liat-liat ajah. Kesan pertama gue ke ISI Jogjakarta adalah... "PARAH INI KAMPUS GEDE BANGET!" Hahaha... Serius, kalau dibandingin sama IKJ yaaa... ISI Jogja gede banget, coy. Gue ngiri gitu pas lihat mereka punya lapangan basket lengkap dengan jeruji-jeruji lucu. Terus ada banyak pohon, ada banyak tempat nongkrong yang dibuat dari batu dan semen, ada banyak taman buat pacaran... Intinya, ISI Jogja itu berasa kampus banget. Kita ngelihat banyak mahasiswa lagi latihan marching band , menari, main perkusi, dll. Seru banget, pasti banyak UKM-nya di sana...Tapi, nggak apa-apa, akoh tetep sayang kampuskooh. Di ISI Jogjakarta, fakultas filmnya disebut Fakultas Seni Media Rekam (FSMR) dan fakultas ini terbagi menjadi tiga program studi: Fotografi, Televisi (TV apa film ya? Gue lupa pastinya apa), dan Animasi yang baru buka tahun 2012. Terus kalau ambil prodi TV, dari awal sampai akhir bakal belajar semua divisi gitu. Beda sama kampus gue yang punya sistem peminatan (dan baru-baru ini disebut sebagai program studi). Bedanya adalah saat mencapai semester 5, mahasiswa diharuskan memilih mau jadi sutradara, produser, atau apa. Kalau di ISI Jogja, nggak ada peminatan sespesifik itu. Terus gue sempet nanya-nanya soal biaya kuliahnya juga dan uwaw ... lebih murah daripada kampus sayah. Gue jadi inget dulu senior pernah bilang kalau biaya kuliah film di IKJ udah paling murah sedunia, eh taunya ada yang lebih murah lagi. Emezing . Sore itu, kegiatan kami ya cuma ngobrol-ngobrol (kan masih ormed nih ceritanya), terus karena udah habis topik obrolan, gue sok ide deh, "Karaoke yuk!" Gue bilang itu ke semua orang, termasuk LO gue. Temen-temen IKJ sih langsung semangat 45. Tapi LO gue kayak, "APA? KARAOKE?!" Dia kaget. Wah, gue juga jadi kaget karena dia kaget. Terus sambil jalan, gue ketemu anak IKJ lain yang udah tiba di Jogja dari tanggal 22 September. Dia ikutan workshop bikin film, makanya udah berangkat duluan. Gue sapa deh, terus gue bilang, "Hey, Muby! Ayo kita karaoke!" Muby cuma tersenyum miris, "Gue harus bikin film, Cil." Terus temen-temen workshop -nya bisik-bisik, "Eh, seriusan mereka mau karaoke?" "Iya tuh." "Wah, karaoke loh." Gue jadi heran, kenapa sih dengan karaoke? Kok kayaknya aneh banget melakukan karaoke di sini? Akhirnya gue nanya ke LO gue, dan ini jawabannya: "Jadi begini, Cil, tempat karaoke itu cuma ada di kota. Karena kampus kita itu letaknya di Selatan banget, jadinya jauh mau ke kota. Letak kita tuh desa banget. Apalagi gue kan anak kosan juga nih, lo taulah anak kostan suka ngirit. Mungkin gue terlalu perhitungan kali ya, tapi yah ke kota itu mahal. Makanya gue jarang nongkrong sampe ke sana." Ternyata itu alasan anak-anak ini pada naikin alis pas gue ajak karaoke. Aduh-aduh... Gue jadi ketawa dalam hati, kocak gitu, berasa banget gue anak Jakarta. Mungkin hiburan pas weekend di daerah lebih banyak pilihan ya? Misalnya naik bukit, ke taman ini, atau ke taman itu, sehingga mereka nggak terlalu terpikir mau karaoke. Sementara di ibukota nan sesak ini, yang seru itu cuma... Anyway , malam itu kami-kami anak Jakarta ini tetap karaoke, yaitu: gue, Kak B, Gesya dan Fina. Kami bahagia sekali bisa melampiaskan hasrat menyanyikan lagu-lagu lawas! Keesokan harinya (09/24) ada pemutaran film di area FSMR yang sedang direnovasi. Jadi gedungnya masih berantakan banget; belum dipasangin ubin. Sambil kami berjalan menaiki tangga, senior gue nanya ke LO-nya, "Ini bagian dari dekorasi FKI ya?" dan si LO pun tertawa kecil, dilanjutkan dengan tawa garing kami. Ujung-ujungnya doi malah curhat, "Kita udah mohon buat pake gedung yang lain tau, tapi dapetnya gedung ini. Katanya renovasi bakal selesai tanggal 15, eh taunya... Jadi maaf ya." (Yah, kok dia serius banget, padahal kitanya tuh bercanda.) Setibanya di ruang auditorium yang cukup cozy , acara pun dimulai dengan garing lantaran yang dateng cuma gue berempat dan 1 LO. Kita jadi nanya kan, "Lah, yang dateng cuma segini?" "Nanti juga banyak kok, soalnya masih pada kuliah." "Oh gitu..." Film yang pertama diputar rupanya bukan film melainkan sebuah music video . Gue lupa siapa yang bikin. Konsep dan gambarnya bagus; sangat artsy . Terus film dari IKJ juga diputer, sayangnya pas udah credits , listriknya mati. Jadi makin jayus deh acara... Agak lama tuh nunggu listriknya nyala. Sampe kami anak IKJ disuruh bikin diskusi mendadak sama penonton lainnya. Yaudah, gue sama Kak Orizon maju deh ke depan buat ngomong nggak jelas. Kita bener-bener bingung mau diskusi apaan, soalnya film yang barusan diputer itu bukan film karya kita dan kita juga baru nonton hari itu... (Ups!) Seusai menonton, kami jalan-jalan lagi ke sekitar area FSMR dan ketemu Muby dkk. lagi syuting. Seru gitu deh workshopnya. Jadi seluruh perwakilan dari 7 perguruan tinggi seni digabung jadi satu kelompok dan disuruh bikin film selama 4 hari. Lokasi syutingnya cuma boleh di kampus. Berhubung gue nggak ada kerjaan, ya gue nontonin mereka syuting. Terus seseorang yang nggak gue kenal tiba-tiba bertanya, "Kalian jadi karaoke kemarin?" Gue sejujur-jujurnya nggak inget dia siapa dan bagaimana dia bisa tahu kalau kemarin kami karaoke. Tapi mungkin gosip telah menyebar bahwa anak-anak Jakarta ini begitu nyampe Jogja langsung karaoke, jadi gue sok asik aja deh. Haha.. gue jawabin tuh, "Jadi lah!" "Emang ada tempat karaoke di sini? Kalian karaoke di hotel ya?" "Engga sih, orang kita karaokenya di Jogjatronik!" "Oh iya? Di sana ada tempat karaoke?" "Iya." "Kok nggak ngajak-ngajak sih?" Terus gue makin bingung... dia ini siapa sih? Hahaha... Tapi gue tetep sok asik gitu, "Oh lo mau ikut? Kok nggak bilang? Kita udah ngajakin orang-orang di sini tau. Tapi mereka semua pada kaget kayak baru pertama kali denger kata karaoke!" Akhirnya percakapan pun berakhir dan gue tetep nggak tau dia itu siapa. Baru setelah dua hari kemudian gue liat dia pakai nametag , rupanya dia LO buat anak IKJ juga. Namanya Oyom. Nama yang aneh ya? Gue selalu terbayang sayur oyong kalau lihat nametag doi. Terus udah deh kerjaan gue seharian itu cuma nonton film aja. Ada satu hal yang gue lupa ceritain di malam hari tanggal 24 September. Kala itu gue, Kak B, Fina, dan Willy sedang berjalan kaki menuju gedung concert hall . Terus Willy, liaison officer (LO) kami yang suka pakai ulos membuka topik, "Waktu gue dikasih tau kalau gue bakal jadi LO buat anak IKJ, gue sempet takut loh." "Kenapa, Will?" tanya gue. "Soalnya anak Jakarta kan biasanya lebih suka mengutamakan individualitas." "Maksud lo songong?" sahut Kak B, "Nggak usah sok-sok diperhalus, Will." "Hahaha... Iya, maksud gue songong. Gue kira anak IKJ tuh bakal susah diatur. Ternyata nggak tuh. Kalian paling kooperatif malah. Di saat kampus-kampus lain udah diundang, tapi tetep aja pada nggak dateng ke opening ceremony . Cuma kalian loh yang ikutin terus acara ini dari awal." "Emang kampus lain baru bakal dateng kapan?" "Rata-rata baru pada datang besok karena mereka bakal perform di concert hall ." Masih berjalan kaki di tengah kampus yang luas dan gelap, Willy membuka topik baru, "Emang bener ya kalau di Jakarta itu persaingannya ketat banget? Katanya pas kerja itu orang-orangnya saling berusaha menjatuhkan." Mendengar ucapannya, kami semua jadi terdiam dan merenung. Akhirnya Willy yang lagi-lagi memecahkan kesunyian, "Kalau memang benar, justru gue malah pengen banget kerja di Jakarta. Soalnya dengan keadaan kayak begitu, gue malah jadi lebih tertantang buat kerja lebih baik." Menurut gue, pendapat orang soal anak Jakarta yang individualis itu benar, soalnya Jakarta itu tempat ngumpulnya orang-orang dari berbagai daerah. Pada umumnya orang pasti temenan sama orang yang punya latar belakang yang dekat, misalnya sukunya sama. Jadi ya nggak heran orang Jakarta cenderung nggak kompak, soalnya multikultur banget dan nyatuin orang yang begitu berbeda itu ya susah! Setiap suku pasti punya adat istiadatnya sendiri, maka cara menghormati satu sama lain ya dengan tidak mengusik satu sama lain aja, alias jadi individualis (nggak mau ikut campur urusan orang lain). Eh, btw, ini pendapat pribadi gue sih, jadi belum tentu benar. Terus soal anak IKJ songong, hmm.. gue juga bingung. Tapi gue pribadi sih songong. (Ups!) Kalau soal kerjaan saling jatuh-menjatuhkan, rasanya masuk akal. Jakarta memang keras, tapi pasti masih ada orang baik selama kita berbuat baik kan? Back to story, tanggal 26 September gue dan kawan-kawan mengikuti acara Seminar Mahasiswa yang bertemakan Spirit of The Future : Seni dan Industri Kreatif. Jadi setiap institusi memasukkan satu makalah dan mendiskusikannya dalam sebuah format seminar. Sayangnya makalah-makalah yang masuk itu lebih banyak ngomongin proyek seni yang sudah mereka laksanakan. Bukannya jadi seminar, ini malah jadi ajang promosi. Gue nggak menemukan satu pun masalah yang hot topic banget buat kita debatkan dan diskusikan. Masalahnya proyek seni mereka ya bagus-bagus aja dan apa yang harus gue pertanyakan dari proyek itu? Orang proyeknya udah matang dan udah berhasil dijalankan. Jadi sayang sekali gue harus mengatakan bahwa seminar ini gagal. Gue nggak mendapatkan esensi apapun dari tema yang sebetulnya bagus banget buat dibahas. Kan cocok banget nih lagi pada hot-hot -nya ngomongin kerjasama ASEAN (yang gue agak nggak paham dan butuh banget someone buat jelasin apa yang sebenarnya akan terjadi ke anak seni kayak gue di masa depan). Menurut gue, itu yang harus kita bahas lebih dalam... Kita cari masalahnya, terus kita diskusiin jalan keluarnya. Gara-gara seminar ini, gue jadi kepikiran, kayaknya penting deh buat ngumpulin mahasiswa-mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi seni buat "rapat" setiap tahunnya. Rapatin apa? Rapatin masa depan kesenian Indonesia. Hehe. Kan nggak seru kalau semuanya kerja-kerja sendiri di setiap wilayah. Kenapa kita nggak dipertemukan aja supaya bisa saling mendukung program kerja satu sama lain? Tapi gue yah just saying . Ujung-ujungnya sih gue males ngurusin acara kayak begitu (maunya jadi peserta terima beres ajah, hehe...) Selain acara seminar, kerjaan gue di Jogjakarta adalah nonton film-film pendek dari berbagai institusi seni, ngelihat pameran seni rupa, nonton pertunjukan spektakuler dari setiap institusi, daaann... jalan-jalan.

  • Sakit Jiwa, Bikin Tato Naruto

    "Sakit jiwa lo?! Cancel appointment sekarang, atau ganti desain! NGGAK BOLEH BIKIN TATO ITU!" teriak teman serumah gue, Meg yang senantiasa menjaga dan membimbing gue agar survive di Bali lewat telepon. "Tapi, Meg, gue suka gambarnya... dan udah bayar DP." "LO GILA YA?! Aduh nggak ngerti lagi deh. Yaudah terserah kalau mau jadi perawan tua. Gue matiin teleponnya. Bye." Gue duduk termenung di Warung Pojok, Tanah Lot dengan jantung berdegup kencang. Kali ini keputusan bikin tato gue memang sangat impulsif. Pagi-pagi karena suasana hati penuh kabut, tiba-tiba ngide cari gambar lucu. Mulai dari gambar tanaman bagus-bagus, sampai ke Naruto, Inuyasha, dan Crayon Shinchan (dan ternyata mikirin tato bikin gue seneng banget). Yang menang saat itu adalah Naruto, dan gue langsung keliling Batu Bolong mencari tempat yang sepertinya affordable . Pilihan hari itu jatuh pada Beach Skin Art Tattoo . Gue masuk, tanya-tanya, eh.. langsung bikin appointment malam itu juga dan DP Rp300.000,00 "Kamu nggak mau tidur dulu dan pikirkan baik-baik? Bikin tato jangan buru-buru." ujar Andreas lembut, menenangkan, nggak kayak Meg. Tapi karena dasarnya gue bebal, nggak bisa dikasihtau, jadi nggak gue dengerin juga. Jam menunjukkan pukul 6.15 sore, gue langsung cabut dari warung ke tempat tato. Gugup, tapi nggak sabar juga punya tato baru. Tiba di sana, gue disambut hangat oleh Mas Sonny dan Mas Agus. Sambil ngobrol-ngobrol, sambil pula memulai stencil . Sekitar jam 7 sesi dimulai, nggak lama kemudian jam 8 gambar Naruto selesai. Ternyata menggunakan mesin nggak sesakit handpoke . Gue menikmati sesi ini sambil nonton peternak ayam di Amerika mencoba menetaskan ayam Cemani hitam. Absurd ya? Tapi kok gue suka? Jam 8-9 dilanjutkan dengan gambar Sasuke. Lehernya kayak rada peyot, tapi nggak apa. Detailnya cukup mengagumkan untuk gambar seukuran 10 cm x 3 cm. Di sesi ini gue nonton film semut kuning dimakan axolotl . Oke, gue super absurd . Btw, karena gambar Sasuke banyak bagian hitamnya, si Mas Agus sampai ganti ke jarum besar dan banyak biar cepet selesai. Jadi lumayan sakit banget dan berdarah-darah juga. Secara keseluruhan gue seneng banget, dan pengen bikin tato lagi pastinya. Berhubung gue sudah merasakan handpoke dan mesin, sepertinya gue prefer menggunakan mesin saja. Hehe.. Pakai mesin lebih cepat dan nggak sesakit handpoke , tapi setelah selesai lebih sakit pakai mesin daripada handpoke . Pas gue pulang ke rumah si Meg langsung tutup mata dan pergi :") Padahal gue suka banget sama Naruto, dan senang dengan hasilnya. Bayangin kalau ketemu orang baru, terus ditanya, "Sakuranya mana?" Gue udah rencana bakal nunjuk diri sendiri. Iya, gue Sakura-nya, dihimpit Naruto dan Sasuke. Berikut hasilnya setelah sudah kering.

  • Pertama Kalinya Print Buku Rekening

    Hari itu Bank Mandiri tidak ramai. Gue berdiri mengantre di salah satu loket di lantai 2 dengan gelisah. Gelisah karena gue masih bocah, dan bawannya selalu grogi ke tempat asing. "Pak, kalau mau print buku di sini kan?" tanya gue tiba-tiba pada seorang bapak di belakang. Dia kaget dan langsung menjawab, "Iya, di sini bisa." Kemudian situasi kembali hening. Gue lupa mengucapkan terima kasih dan hanya diam terpaku saking groginya. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 30 Agustus 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Ketika akhirnya tiba giliran maju, seorang teller bertanya, "Bisa dibantu, Mbak?" "Saya mau print buku rekening." "Rekening sendiri?" "Ya," jawab gue seraya menyerahkan buku tabungan kosong. Teller itu pun mengambilnya dan segera mengetikkan sesuatu di komputer, sementara gue berharap cemas menanti buku itu terisi. Tidak lama kemudian buku itu kembali ke tangan gue. Teller itu tersenyum dan gue pun mengucapkan, "Terima kasih," lalu keluar dari antrian dan duduk di salah satu kursi di pojok. Gue tersenyum sumringah. Hari ini bukan hari yang gue tunggu-tunggu, tapi hari ini adalah salah satu dari sekian hari yang begitu membahagiakan buat gue. Gue sangat bangga hari ini. Entah terdengar sombong, norak, atau apapun, tapi gue sangat bangga dengan diri gue hari ini. Gaji ketiga gue turun kemarin, jadi hari ini gue pengen lihat tabungan gue di bank sudah berapa. Syukurlah, nilainya cukup untuk hidup di Jepang selama 10 hari. Hahahaha... Ini adalah angka yang gue tunggu-tunggu dari 3 bulan yang lalu. Bangga, puas, bahagia, semua campur aduk dalam hati. Akhirnya gue menutup buku itu dan bergegas pulang. Gue ingin cepat tunjukkan ke ibu. Ibu gue yang (hampir) selalu mengizinkan apapun yang gue minta, jadi dia perlu tahu apa yang bisa gue capai atas apa yang telah dia izinkan selama ini — atas kepercayaan dia selama ini . Waktu ibu gue lihat isinya, dia tersenyum. Dia bilang tolong tabung uang ini karena sementara ayah gue belum bisa kasih uang harian. Ketika gue bilang mau beli laptop pun, ayah gue bilang pakai aja bekas dia. Tabung dulu uangnya, pakai untuk biaya hidup sementara ini. Okelah, jadi gue akan simpan uang ini untuk biaya hidup dan kosan. Cukup untuk 5 bulan kayaknya, dengan catatan: gue nggak ngapa-ngapain dan kuliah gue nggak aneh-aneh. Oh ya, gue juga pengen terima kasih ke perusahaan tempat gue bekerja dan segenap karyawannya atas 3 bulan yang sangat berharga ini. Besok hari terakhir gue kerja karena gue diterima kuliah di IKJ. Gue akan merindukan suasana keluarga di ruang produksi pastinya. Apalagi kegiatan makan malam pakai daun pisang! Nggak akan gue lupain pelajaran yang udah dikasih semua senior. Termasuk ketika gue dikerjain pakai telepon salah sambung, pas tas gue diiketin kabel data, dan pas gue dijodoh-jodohin, semuanya nggak akan gue lupain! TERIMA KASIH BANYAK!!! Catatan tahun 2024: Buat yang pengen tahu aja sih, gaji gue saat itu sekitar 2 juta per bulan, plus dapat makan 1x per hari. Durasi kerja 9 jam, masuk 5-6 kali per minggu. Tidak ada uang lembur. Tapi gue sangat bahagia pernah bekerja di sana, karena itu adalah pengalaman pertama gue bekerja. Gue sebenarnya tidak resign, tapi diberhentikan karena perusahaannya bangkrut di Agustus 2012 dan dibeli oleh stasiun televisi lain yang juga akhirnya bangkrut pada tahun 2023. Saat itu, gue ditawarkan untuk lanjut ke perusahaan yang baru, tapi karena gue mau fokus kuliah di IKJ, jadi gue tolak.

  • Kerja di Stasiun TV: Jadi Grafis Pakai Jokopring

    Akhirnya, my first live shooting! Kali ini gue berperan sebagai "grafis" , menurut gue istilahnya nggak tepat sih, tapi ya sudahlah. Jadi tugasnya adalah memunculkan template-template seperti nama host, nama narasumber, tema acara, dsb. juga bertugas menambahkan efek suara dan bumper out saat acara LIVE.  Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 3 Agustus 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Nggak ribet sih tugas gue buat acara talk show ini. Paling masalahnya cuma... GUE NGGAK PERNAH KERJA BEGINIAN! Oke, waktu gue 2 hari untuk belajar menggunakan software misterius di komputer Master Control Room (MCR), namanya: JOKOPRING. Wah, namanya kok alay banget? Hahaha... Jadi si Jokopring ini adalah software yang dipakai para "grafis" untuk memasukkan template-template atau running text dalam acara TV. Gue nggak pernah coba, tapi harus belajar. Gue juga nggak tahu kenapa namanya kayak gitu. Pada hari Sabtu, 4 Agustus 2012, datanglah gue jam 7.39 WIB dan ditegur produser karena telat (crew call jam 7 doongg) . Hahaha... Sial, padahal kemaren dia bilang dateng aja jam 7.30 nggak apa-apa, yaudah ini gue dateng jam 7.30 beneran (lewat dikit sih) . Kena deh dimarahin. Saat gue lagi deg-degan mempersiapkan template , tiba-tiba disuruh edit VT (Video Tape) dulu buat ditampilin di segmen ke-2. Acaranya kan tentang kesehatan, jadi VT-nya berisi testimoni dari salah satu pasien gitu. Kacaunya, di raw footage ada masalah karena si pasien pas lagi direkam malah benerin celana, jadi video itu harus gue timpa pakai footage yang lain. (-_-) Untung gue bisa cepet ngeditnya. Selesai edit VT, gue di- briefing ulang cara menggunakan Jokopring Character Generator . Sekalian gue benerin CT (Credit Title) dulu, mau ganti nama grafisnya jadi gue hehe... Ternyata udah dieditin sama senior, tapi nama gue ditulis "Cecil si kecil". SIALAANN!!! Karena nggak terima, jadi gue ganti lagi :3 Oke, acara live dimulai. Kesalahan pertama gue adalah lupa masukin logo LIVE di atas kanan. Auch... Sungguh gue banyak bikin kesalahan. Kesulitan kedua adalah gue pendiam! Sebagai grafis, nggak boleh diem aja pas naikin template. Harus bilang ke switcher supaya template sama gambar yang ditayangkan serasi. Jadi misal gue mau naikin nama host -nya, gue harus bilang, "Nama host naik!" Nanti switcher bakal pilih kamera yang close up ke wajah host. Switcher : Orang yang mengatur cameraman dan menentukan kamera atau gambar mana yang akan ditayangkan di layar televisi. Transisi antar gambar juga switcher yang atur. Segmen satu berakhir dengan cukup baik karena bumper out -nya sukses gue tampilkan tepat waktu! Berikutnya di segmen kedua bakal muncul VT. Gue mesti count down kalo VT-nya udah mau kelar. Timecode -nya keliatan di Jet Audio . Setelah 4 segmen berakhir, selesai sudah tugas live hari ini. :) Buat gue kesulitan yang paling berat adalah ketika harus mengetikkan nama penelepon yang gue nggak tahu ejaannya kayak apa. Tapi ya syukurlah akhirnya selesai juga. Katanya habis Lebaran gue bakal official jadi grafis buat 2 acara talk show yang gue edit selama ini. Mudah-mudahan terbiasa deh, biar nggak bikin banyak kesalahan. Catatan tahun 2024: Jika kamu tertarik mengetahui lebih lanjut mengenai aplikasi Jokopring, kamu bisa baca-baca dan download aplikasinya di sini . Aplikasi ini legit dan beneran dipakai di berbagai stasiun televisi di Indonesia pada masanya.

  • I'm Not Afraid of Rejection

    Akhirnya pengumuman SNMPTN ya? Gue sih nggak ikut, tapi gue ikut deg-degan juga mikirin temen-temen yang antusias ngebuka website -nya. Akan ada yang diterima dan ada yang enggak, alias mendapatkan rejection . Buat temen-temen yang keterima, selamat ya! Pasti seneng banget diterima di universitas kece hahaha... Buat yang dapat rejection, ya udah jangan nangis. This is not the end. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 6 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Ngomong-ngomong soal SNMPTN, gue jadi teringat ketika gue apply ke Humber College buat kuliah. Gue nggak diterima, lantaran nilai TOEFL gue khusus bagian listening kurang 2 poin. Itu rasanya sakiiiittt banget. Nyesek banget. Bayangin cuy cuma masalah kurang 2 poin gue langsung di checkmate nggak bisa kuliah di situ. Sebenernya gue bisa aja ulang lagi tes TOEFL-nya, tapi kan mahal! FYI, nilai TOEFL IBT gue pada saat itu di tanggal 26 November 2011 adalah 87 dengan rincian sebagai berikut: Reading 20 Listening 18 Speaking 24 Writing 25 Jadi yah ditolak itu memang menyakitkan. Kadang-kadang impian kita belum bisa dicapai dengan jalan yang kita mau. Mungkin kita harus puter balik, dan kembali ke persimpangan, ambil jalan yang lain. Mungkin jalannya lebih berliku-liku, lebih berlubang, lebih berbahaya, tapi mungkin kalau kita kuat dan terus berjalan, kita bisa sampai ke tujuan yang tadi kita impikan. Yang penting kita tetap mengejarnya. That's my theory. Makanya, impian gue kan sebenernya kuliah di luar negeri. Dulu gue coba jalur beasiswa AFS dan gagal, gue juga coba jalur bayar sendiri buat S1 di luar negeri juga gagal. Mungkin suatu hari nanti gue coba lagi pas S2. Kalau S2 gue juga gagal... Ya nanti gue pikirin lagi caranya gimana. Sekarang gue fokus dulu kuliah di Indonesia, berkarya di negeri sendiri dan terus berlatih. Supaya kalau suatu hari nanti, gue beneran S2 di luar negeri, gue nggak ketinggalan sama yang lain. :) It was very hard though to wake up and face the fact that I failed the test. But I know and I always believe, there will be other ways to get what I want.  Catatan tahun 2024: Hi guys, kuliah di luar negeri beneran sesusah itu untukku. Khususnya ketika kita nggak punya dukungan dana yang besar untuk bisa membiayai sendiri. Aku nggak berhenti mencoba apply beasiswa S2, dan bahkan di usiaku yang sudah mau kepala tiga ini pun aku masih berusaha. Buat kalian yang juga sedang berjuang, tetap semangat mengejar mimpi.

  • Kerja di Stasiun TV: Jokowi di Master Control Room

    Dari pertama kali gue masuk kerja, setiap jam 2 siang tiba gue pasti tergusur dari tempat duduk. Haha... Ini gara-gara senior yang shift malem udah dateng dan mau ngedit juga. Gue belum punya komputer pribadi di kantor. Katanya sih nanti juga dapet. Jadi sementara ini gue numpang ngedit di... mana-mana! Tergantung projectnya apa. Saat ini gue lagi banyak ngeditin acara musik sama talk show di stasiun TV tempat gue bekerja . Jadi gue pake 2 komputer. Nanti kalo siang gue digusur... Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 6 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Dan kalau sudah digusur, gue cuma bisa nontonin yang lain kerja. Nontonin anak grafis ngebikin animasi, nontonin senior gue ngedit, nontonin orang lewat, atau nimbrung ke Master Control Room. Tapi setiap jam 3 sore ada syuting acara kuis nih. Gue sempet ngebantuin scoring di studio, tapi akhir-akhir ini gue lebih suka bantu di MCR, lantaran jarak ke studio jauh. Hehe... Tugas gue adalah memunculkan sound effect TING dan TET TOT untuk setiap jawaban peserta. Yah lumayan seru dan butuh konsentrasi! Serunya lagi, kalau nimbrung di MCR, crew selalu dapet kue-kue tradisional. Kadang enak, kadang nggak... Hari ini gue ngambil muffin warna ungu. Gue kira warna doang, ternyata beneran RASA UBI! Gila nggak enak. Gue nggak habisin, jadi gue bawa pulang buat anjing gue di rumah. :p Catatan tahun 2024: Judul post ini "Jokowi di MCR", tapi tidak ada penjelasan sama sekali mengenai Jokowi. Saya bantu jelaskan pemikiran saya yang konyol saat masih remaja: tentunya ini bukan tentang Pak Jokowi, presiden Indonesia, namun hanyalah plesetan dari aplikasi JOKOPRING yang kami gunakan di MCR.

  • Kerja di Stasiun TV: Membuat Filler

    Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 6 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue baru aja pulang dari kantor Stasiun TV Spacetoon . Kemaren capek banget ngerjain filler pertama. Gue nggak tau tulisnya bener apa nggak tuh, cuma kayaknya senior bilang, "Filler." Jadi filler ini mirip iklan berdurasi 2 menit. Isinya macam-macam dan selalu tergantung permintaan sponsor. Kalo sponsor nggak setuju, kami para editor harus selalu merevisi sampai terjadi kesepakatan. Setelah itu filler baru bisa ditayangkan. Kali ini gue kedapetan filler tentang acara bagi-bagi hadiah. Raw footage -nya 1 jam, mesti gue sulap jadi 2 menit. Gillaakkk... Perjuangan loh nonton acara yang membosankan, terus mesti cari footage yang bagus, steady (nggak goyang), dan mesti tentuin mana yang penting dan mana yang perlu di- delete . Susahnya lagi, gue nggak dikasih informasi lengkap. Perintahnya cuma, "Tolong editin, tayang Sabtu ini." Giiillaaakkk... Ini apaan??? Setelah tanya sana-sini, baru gue ngerti ini disebut filler . Terus setelah gue tonton baik-baik, baru gue ngerti ini acara apaan. Untuk mengedit filler ini, gue diskusi sama cameraman yang shooting waktu itu. Kan dia yang dateng ke acaranya, jadi dia pasti tau mana bagian yang penting. ( Smart kan gue? Wkwk.) Si cameraman berkata, "Gue bilang ya, mendingan lo buka pake gambar produknya nih, terus kata sambutan owner , penyanyi, undian, hadiah, baru deh testimoni." Gue ngangguk. Semuanya gue kerjain sesuai yang dia mau. Abis itu gue minta raja editor (senior gue yang lain) buat kasih saran. Wah ajegile, abis ditonton master-nya 50% mesti gue revisi. Persoalannya kayak ada bagian yang terlalu lama, ada video yang nggak steady , ada yang suaranya nggak jelas dan ada transition yang nggak pas. Aduh, capek banget deh ngerjainnya. Tapi akhirnya selesai! Hari ini videonya gue tunjukin ke atasan yang berhubungan langsung dengan sponsor. Setelah dia tonton, ternyata mesti gue revisi lagi lantaran backsound -nya kurang mantep. Alamak. Melihat kesulitan gue, senior yang duduk di sebelah nyeletuk, "Susah ya? Itu belum seberapa. Liat yang saya kerjain, lebih parah lagi." Dan bener, pas gue lihat yang dia kerjakan, itu beneran ribet banget, udah gitu pake multiple camera . Pusing, pusing, pusing...

  • Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 3)

    Semangat! Gue harus lebih semangat! Jangan grogi lagi! Kali ini gue dapet tugas lain, yakni mengedit acara kesehatan di stasiun televisi ! Hahaha... Sebenarnya gue pengen banget main ke Master Control Room (MCR) dan studio (tapi masih segan sama senior) . Kerjaan gue duduk di depan komputer mulu, bosen! Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue kerja harus 9 jam. Terserah masuk jam berapa, yang penting pulangnya setelah 9 jam berlalu. Awalnya gue datang pagi, tapi lama-kelamaan tergantung jadwal syuting. Kadang gue mulai kerja sore, pulang malam. Untungnya dekat sama rumah, jadi pulang tinggal jalan kaki. Kayaknya baru setelah kerja 1 minggu, gue memberanikan diri masuk Master Control Room. Di sana ada switcher , mic , ada banyak alat yang gue nggak ngerti. Pokoknya MCR itu tempat merekam suara dan tempat mengatur kamera. Jadi kamera-kamera di studio diatur dari sana. Tempatnya super sempit (semacam 3m x 2m) dan penuh peralatan, makanya kalo gue masuk, gue cuma kebagian duduk di meja, hehehe... Setelah 1 minggu lagi berlalu, gue baru berani cobain ke studio. Di sana ruangannya dibagi 3 section, ada yang backdrop -nya buat kuis, ada yang buat acara kesehatan, dan terakhir buat musik. Waktu itu gue main ke studio nonton acara kuis. Gue tanya cameraman -nya ada nggak yang bisa gue bantu biar gue nggak nonton doang, dan akhirnya gue disuruh "scoring" . Sebutannya asik, kerjaannya enggak. Hahaha... Itu tugasnya mencetin tombol buat nambahin skor. Jadi kalau peserta kuis bisa jawab bener, gue yang rubah angka skornya. Lumayan deh kerjaan pertama di studio. Lagian emang gue nggak bisa apa-apa lagi selain itu. Akhirnya setelah 1 bulan bekerja di sini, kerjaan gue mulai bertambah. Seperti misalnya: ikut tepuk tangan meramaikan acara kuis, membantu mengangkat telepon saat ada interaksi dengan penonton di rumah (biasanya ini acara kesehatan yang LIVE), dan memberikan efek suara benar dan salah untuk acara kuis secara LIVE. Paling kocak kalau peserta kuis jawab bener, tapi gue salah pencet dan malah mengeluarkan suara, "Tet tot!" HAHAHA... Selain itu, gue juga kerja dari 1 komputer ke komputer yang lainnya, soalnya ada beberapa project yang udah terlanjur dikerjain di komputer tertentu, jadi ya cuma bisa dikerjain di situ. Project yang dikerjain mulai ribet kayak mesti tambahin template ini-itu. Ah, kadang bikin ngantuk, tapi tetap seru! :) Gue belajar banyak banget di sini. Untung banget seniornya ramah-ramah, tukang ngelawak semua. Adaaa aja lawakannya. Seru-seru! Terima kasih atas pengalamannya!

  • Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 2)

    Ini adalah hari pertama gue kerja di stasiun televisi, dan benar-benar pengalaman pertama bekerja secara profesional meski pada saat itu gue belum tahu apa artinya profesional. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Gue grogi. Gue grogi. Gue grogi. Gue belum pernah berhadapan dengan begitu banyak orang dewasa. Gue bener-bener berasa kerdil sebagai satu-satunya bocah SMA di situ. Gue takut. Gue takut. Gue takut. Gue sadar diri belum punya skill apapun, dan beruntung sekali diterima di sini. Tugas pertama gue adalah mengedit acara kuis. Sejujurnya gue nggak bener-bener tahu cara mengoperasikan Adobe Premiere Pro. Gue juga nggak tau istilah-istilah seperti SEGMENT dan BUMPER. Ini adalah bahasa asing!!! Tapi untungnya senior-senior di sana baik banget mau ngajarin gue pelan-pelan. Tapi karena terlalu grogi, gue jadi tolol. Ternyata mengedit acara TV tidak sederhana, Bro... (Ya siapa juga yang bilang gampang ya?) Pertama dari hasil rekaman yang disediakan, gue harus memotong-motongnya lagi sesuai segment . SEGMENT /ˈsɛgm(ə)nt/ : each of the parts into which something is or may be divided. Biasanya suatu acara TV punya 5 segmen lalu di antara segmen tersebut ada iklan. Tapi gue nggak tau apa-apa soal itu, secara gue adalah anak SMA jurusan IPA. Alhasil gue cuma bengong di depan komputer — di depan Adobe Premiere Pro CS5 dengan contoh project yang udah dikerjain senior gue. Gue perhatiin, ada gap di antara satu video ke video lainnya. Gue coba ikutin deh. Tiba-tiba senior gue muncul dan bilang, " Bumper -nya ambil di sini ya." Gue mencoba memberanikan diri bertanya, "Mbak, bumper itu apa ya?" BUMPER /ˈbʌmpə/ : (nggak ada di Oxford dictionary nih, jadi gue bikin sendiri) video pengantar yang menandakan pembukaan maupun penutupan suatu segment. Biasanya video pengantar ini dipakai berulang-ulang dengan musik yang sama, memberikan sebuah ciri khas pada sebuah tayangan acara. Contohnya pas lo nonton acara TV "Opera Van Java", pasti sebelum mulai ada opening kan? Itu disebut opening bumper . Pas mau iklan juga ada video pengantar dengan embel-embel OVJ kan? Itu ternyata disebut bumper out . Satu lagi bumper in , untuk pembukaan segmen berikutnya setelah iklan. Setelah proses cutting , kita harus mengedit suara. Editnya simpel: klik video, edit and render in Soundbooth. Fungsinya Adobe Soundbooth* di sini cuma untuk merapikan audio wave . Gue diajarkan untuk memakai compressor (advanced) - vocal attacker. Lalu pencet icon louder atau normalize . Nanti kalau terlalu tinggi wave -nya, kecilin aja dB-nya. *Adobe Soundbooth sudah tidak ada sekarang, digantikan oleh Adobe Audition. Kalau belum pernah pegang Soundbooth pasti bingung. Gue juga belum pernah waktu itu, tapi sejak diajarin di kantor, itu jadi makanan tiap hari. Jadi ya paham-paham sikit. Ending -nya sih gue berhasil membuat video yang sama seperti yang dibuat senior. Project pun gue render menjadi mpeg dan siap ditayangkan kalau ada re-run . Soalnya biasanya acara kuis ini live from studio . RERUN/ˌriːˈrʌn/ : to show a television programme, film, etc. again

  • Kayak Apa Sih Ujian Masuk FFTV IKJ Tahun 2012?

    Untuk tahun 2012, ada ujian tertulis dan wawancara. Semuanya dalam 1 hari yang sama. Tanggal dan tempat sudah sangat jelas dan bisa dilihat di website resminya http://www.fftv.ikj.ac.id/ bagian pendaftaran. Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. IKJ itu sepertinya milik swasta, soalnya nggak perlu ikut SNMPTN. Jadi sudah pasti ujian masuk FFTV IKJ terasa mudah dan menyenangkan. Pertama, ujian tertulisnya! Ujian tertulis ini tentang motivasi kita memilih jurusan film, televisi atau fotografi. Hanya diminta menuliskan essay 1 halaman saja. Asik kan? Ujian berikutnya adalah wawancara. Pada kesempatann ini bawa semua karya seni yang lo punya, nggak harus film. Peserta di sebelah gue yang belum pernah bikin film malah bawa foto-foto dan puisi, dan dia keterima. Jadi jangan takut. Bawa aja karya-karya lo, apa aja. Tapi gue agak heran kenapa dosennya nggak siapin laptop buat nonton film gue. Sia-sia deh gue bikin DVD... Catatan tahun 2024: Pada tahun 2012, internet dan teknologi belum secanggih hari ini ya, teman-teman! Jadi lebih umum pakai DVD untuk menonton film pada waktu itu. Tapi gue juga bawa karya dalam bentuk hardcopy . Gue bikin buku kompilasi karya-karya gue selama ini. Jadi masih ada yang bisa gue presentasikan pada hari itu. Syukurlah gue diterima dan dapat ranking 6 dari 60an peserta. :") Ngomong-ngomong soal interview , pertanyaan dosennya nggak susah. Atau mungkin dia udah laper banget mau makan siang, jadi dia buru-buru selesain sesi gue. Kelihatan sih dari matanya udah nggak fokus sama apa yang gue omongin. Tapi yang penting.. GUE DITERIMA!!! Hahaha... For the next generation who wants to enroll to IKJ , nggak usah khawatir kalau belum punya contoh film, yang penting ada kemauan dan manfaatkan internet untuk belajar sedikit sejarah film dan perfilman terkini. Pertanyaan tipikal yang selalu ditanyakan adalah: Apa film favorit kamu dan kenapa? Siapa filmmaker favorit kamu dan kenapa? Film seperti apa yang kamu suka tonton? Kamu mau jadi apa dalam industri perfilman?

  • Pertama Kalinya Kerja di Stasiun Televisi (Bagian 1)

    Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Juli 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Post kedua, gue mau cerita soal pekerjaan gue saat ini di stasiun televisi! Setelah bercengkerama dengan UN selama 1 minggu, gue menikmati hari-hari menjadi sloth selama 1 bulan, eh lebih malah... Tapi ternyata gue tidak cocok dengan lifestyle seperti itu! Setiap hari gue bangun tidur dan tidak tahu mau mengerjakan apa. Gue sampai bosen main PlayStation dan internetan; gue juga bosen nonton DVD, dan juga bosen hang-out , plus duit cekak. Berhubung sekolah gue memberikan tugas magang, maka gue pun melamar ke berbagai perusahaan, restoran, toko butik dan (randomly) sebuah stasiun televisi. Sayang, satu pun tak ada yang menjawab... (Kebanyakan menolak mungkin karena tinggi badan gue kurang banget dan nggak butuh anak SMA magang.) Hingga akhirnya 1 bulan berlalu, tiba-tiba ada stasiun televisi yang menghubungi gue, menawarkan wawancara, dan hopla! Belum.. belum.. gue nggak langsung diterima. Gue harus menjalani tiga kali interview dan prosesnya lebih rumit dari yang gue bayangkan. FIRST INTERVIEW STASIUN TELEVISI Kantor stasiun televisi ini ternyata dekat banget dari rumah gue. Tinggal jalan kaki. Di sebuah ruangan kecil dengan meja besar dan beberapa kursi (sepertinya ruang meeting ), gue duduk bersama seorang ibu HRD yang sangat ramah. "Kamu masih SMA ya?" "Iya, Bu." "Mau digaji berapa?" Waduh, pertanyaan yang sulit dijawab. Tapi di rumah, kakak gue sudah mengajarkan, kalau ditanya gaji, jawab saja, "Kalau saya mampu mengerjakan sesuai workload yang diberikan, saya berharap dibayar penuh." Meskipun waktu itu gue juga nggak tahu arti yang gue ucapkan. Jadi yang penting, gue hapalin dulu aja. Ternyata ibu itu tersenyum mendengarnya. Negosiasi pun terjadi. Tapi sebenarnya gue dipekerjakan jadi apa? Awalnya gue melamar sebagai personal assistant , tapi melihat CV gue yang menceritakan bahwa gua suka mengedit video dan menggambar, dia bilang gue sebaiknya masuk tim produksi. Ending-endingnya sih gue disuruh tunggu panggilan lagi untuk interview dengan Kepala Produksi. Karena gua sangat membutuhkan pengalaman magang dan aktivitas untuk mengisi waktu luang, jadi ya gua iya-iyain aja. SECOND INTERVIEW STASIUN TELEVISI Kali ini gue interview di kantor itu lagi dengan orang produksi, dan orang itu datangnya lamaaaaa sekali. Mungkin ada sekitar 1 jam gue menunggu dia datang dari jam janjian. "Kamu biasa ngedit pake apa?" "Corel Ulead Studio, tapi Premiere sama After Effects juga bisa, Pak." "Yaudah, tunggu panggilan lagi ya. Kamu pendiem sih, nggak bisa jadi sutradara." Gue agak tertohok, tapi juga bingung dia expect apa dari bocah SMA. Jadi ya gue jawab aja, "Haha... Saya bingung, Pak, mau bilang apa?" Demikianlah interview kedua berlangsung super singkat. Gue pulang membawa dendam, bahwa suatu hari akan gue buktikan gue bisa jadi sutradara. Emangnya sutradara mesti banyak omong ya? THIRD INTERVIEW STASIUN TELEVISI Agak berbeda dari yang lainnya, kali ini gue di- interview di Starbucks Puri Indah Mall. Assiiikk berasa kece, masuk Starbucks buat interview kerja ( mind you , waktu SMA, Starbucks itu terasa mewah sekali). Ayah gue mengantar naik mobil ke sana. Gue inget banget janjian jam 7 malam lewat SMS di HP Sony Ericsson bekas kakak gue. Gue datang tepat waktu, tapi teryata ibu ini masih interview orang lain, jadi gue duduk di pinggir menunggu. "Jadi, sudah tau gajinya berapa?" "Hah? Belum... Waktu itu kata Ibu K sih standard, Bu." "Oh, tapi belum dikasih tau angkanya ya? Nanti kamu dapat makan siang, masuk sesuai shift ya. Ada yang mau ditanyakan?" "Nggak ada, Bu. Saya sudah tanya banyak sekali sama ibu-bapak sebelumnya." "Bagus kalau begitu. Tunggu konfirmasi lagi ya dari saya." Gue lemas denger tunggu konfirmasi lagi. Tetap saja angka gaji tersebut tidak disebutkan dan ini udah interview yang ketiga, plis banget deh jangan ada interview keempat! Akhirnya setelah malam berlalu, keesokan paginya gue ditelepon ibu yang sama bahwa gue diterima kerja dan mulai masuk tanggal 11 Juni 2012! :) Yeay! Gue bahkan bukan magang, tapi resmi jadi karyawan!

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page