top of page

Search Results

174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Legalisir Ijazah Di Kedutaan Belgia

    Bulan November lalu kabar gembira datang, program beasiswa S2 yang lama kuimpikan kembali dibuka dan aku tidak ingin melewatinya. Program S2 ini berjudul DOC NOMADS course , bekerja sama dengan Erasmus Mundus Joint Master Programme, mengambil tempat di 3 negara Eropa dalam periode studi 2 tahun lamanya. Artinya dalam 2 tahun, aku bisa mengenyam pendidikan di 3 universitas dan 3 negara berbeda, secara berurutan sesuai kurikulum program. Tiga negara yang terlibat adalah Belgia, Portugal, dan Hungaria. Sedap. Sayangnya, ada satu syarat yang cukup memberatkan. Selain diharuskan menerjemahkan ijazah S1, aku juga harus melegalisir dokumen tersebut di Kedutaan Belgia. Akhirnya aku browsing ke sana-ke mari, membaca blog siapa saja, serta membuka website resmi Departemen Hukum, Departemen Luar Negeri, dan mengutak-atik blog Kedutaan Belgia yang semuanya.. minim informasi. Banyak artikel yang menawarkan calo, legalisir dokumen nikah, dan hal lain-lain yang tidak relevan. Ternyata sulit sekali mencari informasi detil dan resmi untuk pengurusan ini. Akhirnya kuputuskan untuk menerjang langsung saja. Prosedur legalisir untuk kuliah ke luar negeri pada tahun 2017 adalah sebagai berikut: Universitas yang menerbitkan ijazah Menerjemahkan ijazah ke Bahasa Inggris lewat penerjemah tersumpah Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Kementerian Hukum dan HAM Kementerian Luar Negeri Kedutaan Belgia 1. Universitas yang menerbitkan ijazah Fotokopi ijazah harus dilegalisir terlebih dahulu oleh universitas yang menerbitkan ijazah. Proses ini bisa memakan waktu 2-3 hari sendiri. Untungnya waktu aku lulus, sudah disediakan fotokopi dan legalisir langsung dari kampus. Jadi tidak perlu mengurusnya lagi. 2. Menerjemahkan ijazah ke Bahasa Inggris lewat penerjemah tersumpah Penting diketahui bahwa penerjemahan ijazah harus dilakukan oleh penerjemah tersumpah DAN penerjemah ini diakui kedutaan asing atau tergabung dalam Himpunan Penerjemah Indonesia. Kenapa begitu? Alasannya adalah agar saat di tahap 3 dan seterusnya, tidak diminta untuk menyertakan spesimen tanda tangan, dan tidak bikin ribet di kemudian hari. Waktu itu aku mempercayakan ijazahku kepada salah satu penerjemah yang informasinya dirilis oleh Kedutaan Amerika Serikat. Tatang Hadiono Email: mjb25@centrin.net.id No. telepon: +62 816 977 465, +62 815 8550 4478, +62 851 0223 5870 Biaya: Rp75.000,00 per halaman hasil dengan biaya minimum Rp150.000,00 Hasil alih bahasa disampaikan dalam format A4, 2 spasi, Bookman Old Style Font 12 Total biaya yang kukeluarkan adalah Rp175.000,00 Prosedur: kirim naskah melalui email dalam format A4 penuh. Waktu pengerjaan bergantung pada bobot kerja yang diberikan (tidak termasuk Sabtu, Minggu dan Hari libur resmi/fakultatif). Hasil alih bahasa ( hardcopy ) akan dikirim melalui JNE atas tanggungan penerima. Pembayaran dilakukan di muka ke rekening BCA. Berikan nama lengkap, alamat dan nomor telepon untuk keperluan pengiriman. Setelah aku kirim hasil scan ijazah asli lewat email , sorenya langsung dibalas, aku transfer di muka dan hasil terjemahan dikirim keesokan harinya. Dua hari kemudian tiba di rumahku dengan nomor resi JNE yang bisa dipantau. Sayangnya pengiriman kertas ini tidak disertai map atau benda keras lainnya sehingga kertas terjemahan tiba di rumah dalam keadaan super lecek. Berhubung aku tidak punya waktu banyak, aku tidak sempat menegur Bpk. Tatang dan langsung maju ke tahap berikutnya. Kusarankan tahap 2 dan tahap 3 dikerjakan bersamaan untuk menghemat waktu. 3. Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Sepertinya untuk semua lulusan universitas swasta, perlu melegalisir di KEMRISTEKDIKTI terlebih dahulu, sebelum maju ke tahap 4. Persyaratan untuk legalisir di sini cukup rumit: Membuat surat permohonan dari yang bersangkutan ditujukan kepada Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, cantumkan maksud dan tujuan keperluan legalisir. Surat keterangan dari universitas yang menerangkan bahwa yang bersangkutan adalah benar lulusan dari universitas tersebut (surat asli). Fotokopi ijazah dan transkrip nilai Bahasa Indonesia yang sudah dilegalisir oleh universitas. Print out rekaman akademik dari data PDPT Berikut adalah contoh surat permohonan, silakan disalin dan disesuaikan dengan keperluan: Untuk surat keterangan dari universitas boleh dilewati. Cukup perlihatkan kartu pelajar kalau petugasnya tidak percaya. Selanjutnya persiapkan ijazah dan transkrip nilai Bahasa Indonesia (yang terjemahan tidak perlu). Terakhir, print hasil rekaman akademik PDPT dengan cara masuk ke halaman  https://forlap.ristekdikti.go.id/ Klik Pencarian Data Klik Profil Mahasiswa Kemudian isi profil dirimu (perguruan tinggi, NIM, kode pengaman) dan klik tombol Cari mahasiswa Setelah hasil rekaman akademik muncul, print semuanya. Kumpulkan semua dokumen ini dalam amplop yang rapi. Amplop atau map bebas, tujuannya hanya melindungi agar tidak tercecer. Kumpulkan dokumen ini ke bagian Legalisir Ijazah Dalam Negeri ke Luar Negeri. Proses legalisir memakan waktu 5-7 hari dan biayanya gratis. Kusarankan tahap 2 dan 3 dilakukan bersamaan untuk menghemat waktu. Kantor KEMRISTEKDIKTI Jl. Pintu Satu Senayan, RT.1/RW.3, Senayan, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270 (gedungnya berwarna biru, di sebelah gedung Mall FX) 4. Kementerian Hukum dan HAM Waktu itu aku ada drama nih, aku datang ke kantornya yang di Kuningan, ternyata sudah pindah ke Cikini. Pas aku ke Cikini, ternyata ijazahku harus dilegalisir dulu di KEMRISTEKDIKTI. Dan waktu aku ke KEMRISTEKDIKTI, ternyata harus ada surat permohonan dll. Alhasil aku pulang dulu ke rumah membuat surat itu dan buang ongkos banyak sekali untuk bolak-balik. Setelah selesai dengan KEMRISTEKDIKTI, bawa ijazah dan terjemahannya ke KEMENKUMHAM. Persyaratan sebagai berikut: Fotokopi KTP 1 lembar Fotokopi ijazah yang sudah dilegalisir KEMRISTEKDIKTI Hasil terjemahan asli oleh penerjemah tersumpah Materai Rp6.000,00 sesuai jumlah dokumen yang mau dilegalisir Pakai map atau amplop terserah (warna bebas), yang penting rapi. Untungnya kertasku yang lecek itu tidak jadi masalah. Kalau dokumenmu harus diwakilkan orang lain, tidak perlu surat kuasa , yang penting sedia fotokopi KTP. Proses legalisir memakan waktu 5 hari. Biaya yang kukeluarkan untuk tahap 4 adalah Rp25.000,00 Kantor KEMENKUMHAM Gedung Cik's di Jl. Cikini Raya, RT. 14 RW. 5 No.84-86, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330 (sisi kanan jalan, di antara stasiun kereta Cikini dan bioskop Metropole) 5. Kementerian Luar Negeri Sekarang dokumen yang sudah dilegalisir KEMENKUMHAM dimajukan ke KEMENLU. Waktu itu aku menitip ke seorang teman untuk mengurusnya dan katanya proses ini simpel banget. Hanya memberikan kedua kertas ijazah dan terjemahan; tanpa amplop/map, fotokopi KTP, maupun materai.  Surat kuasa juga tidak terpakai. Proses legalisir memakan waktu 2-3 hari. Biaya yang kukeluarkan untuk tahap ini adalah Rp50.000,00 Kantor KEMENLU Jl. Taman Pejambon No. 6 RT. 9 RW. 5, Senen, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110 (di sebelah Gedung Pancasila) 6. Kedutaan Belgia Paginya mengambil di KEMENLU, siangnya langsung ke Kedutaan Belgia. Untuk proses ini persyaratannya juga sederhana. Hanya menyerahkan dokumen tadi, tanpa map, materai, dll. Tapi untuk legalisir yang satu ini biayanya jauh lebih tinggi. Pengambilan dokumen boleh diwakilkan tanpa surat kuasa, yang penting bawa slip pembayaran. Prosesnya 5 hari. Biaya yang kukeluarkan untuk tahap 6 adalah EUR 40 atau Rp644.000,00 Kantor Kedutaan Belgia Deutsche Bank Building, Jl. Imam Bonjol No. 80 RT. 1 RW. 5, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10310 (pintu masuk seberang Hotel Mandarin) Selesai sudah perjuangan legalisir yang memakan waktu 1,5 bulan! Selain uang lumayan terkuras, juga waktu dan tenaga. Kalau ditotal biaya legalisir ijazah dan terjemahanku ini sekitar: Biaya legalisir: Rp894,000,00 Biaya transportasi: dengan ojek dan taksi online sekitar Rp400.000,00 karena rumah saya jauh Bagi yang galau mau pakai jasa calo atau tidak, silakan menimbang-nimbang waktu dan ongkos perjalanan. Pakai calo tentu lebih mahal, tapi kalau memang sibuk dan tidak mau ribet, sangat lebih nyaman menitipkan ke orang lain. Website yang perlu diperhatikan Kedutaan Belgia:  http://indonesia.diplomatie.belgium.be/en/legalisation-documents Kementerian Luar Negeri: https://www.kemlu.go.id/id/Pelayanan-Kekonsuleran/Pages/pelayanan-legalisasi-dokumen.aspx Kementerian Riset Teknologi Dan Pendidikan Tinggi: https://forlap.ristekdikti.go.id/mahasiswa Catatan: Sekarang sudah ada jasa Apostille, jadi tidak harus legalisir sebanyak dan semahal ini. Pengalamanku di tahu 2017 mungkin sudah tidak relevan saat ini. Tapi beasiswa DOC NOMADS Erasmus masih berlangsung. Pantau websitenya langsung untuk tahu jadwal pendaftaran berikutnya.

  • Sundance Film Forward 2014

    Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Selasa (9/9), Sundance Institute bekerja-sama dengan US Embassy mengadakan Film Forward di Institut Kesenian Jakarta sebagai bagian dari serangkaian acaranya di Indonesia. Tujuan acaranya adalah memudahkan penyampaian topik-topik kemanusiaan melalui media film dan pengenalan Sundance Institute itu sendiri ke mahasiswa perfilman Indonesia. Susunan acara hari itu dimulai dengan perkenalan dengan para petinggi Sundance Film Forward dan dua filmmakers dari Serbia serta Amerika Serikat: Srdan Golubovic dengan filmnya yang berjudul Circles (2013), kemudian editor film Twenty Feet From Stardom (2013), Douglas Blush . Acara pun dilanjutkan dengan pemutaran filmnya Douglas dan diskusi, lalu pemutaran film Lemantun , sebuah karya Tugas Akhir-nya anak IKJ yang lagi hits bingits (dan akan diputar di Goethe Haus juga kabarnya). Setelah itu para filmmakers diminta mengkomentari film Lemantun dan acara pun ditutup dengan simpel karena para tamu-tamu epic ini harus segera menghadiri acara lainnya di US Embassy. Hari itu gue bertugas sebagai moderator diskusi, ditemani mahasiswa baru FFTV 2014, namanya Julius. Lucu banget dia tau gue dari blog ini. Terus kita kenalan deh, terus jadi kocak gitu tiap gue mau cerita apa dia suka bilang, "Oh iya, gue udah tau dari blog lo." Omaigad. Back to the topic , kedua film yang diputar hari itu sama-sama film dokumenter. Film pertama, Twenty Feet From Stardom (2013) menceritakan perjuangan para penyanyi latar untuk tampil di depan dan diakui khalayak luas sebagai penyanyi utama. Ketika sebuah lagu menjadi hits, banyak orang melupakan jasa mereka dan hanya menghitung penyanyi utamanya saja. Padahal suara mereka jugalah yang memberikan jiwa dalam lagu tersebut (dan kalau lu nonton filmnya, suara mereka bener-bener bikin merinding saking bagusnya!). Ditambah lagi perkembangan teknologi musik yang semakin canggih, posisi backup singer jadi semakin tergusur. Seru gitu deh topiknya. Film kedua, Circles (2013), termasuk dalam doku-drama; menceritakan efek dari perbuatan heroik Marco—seorang tentara yang dibunuh karena menyelamatkan seorang Muslim—kepada orang-orang di sekitarnya. Film ini menganalogikan perbuatan Marco seperti melempar batu ke dalam sungai, yang akan membentuk ripples , dan semakin lama lingkaran ripples itu akan membesar; memberikan dampak terhadap semua orang. Gue ngefans banget sama Doug. Soalnya filmnya make motion graphic yang inovatif gitu. Gue nggak pernah lihat orang bikin template nama beda-beda untuk setiap cast . Ini menarik sekali soalnya interviewee dia emang banyak banget dan agak membingungkan kalau template -nya sama semua. Lo ngerti yang gue omongin nggak? Haha... Gue sempet wawancara Doug soal itu dan dia jawab dengan sangat low profile , " I did design the motion graphic. Tapi yang ngerjainnya orang lain yang lebih jago. Haha... Soalnya saya nggak jago-jago banget. Tapi dulu saya kerja jadi animator di Disney." Untuk soal editing sih, Doug menyusunnya dengan agak nggak biasa. Umumnya ketika lo punya banyak cast , lo bakal parallel edit mereka berselang-seling dengan intensi yang sama. Misalnya cast A menemukan konflik, cast B juga dapet konflik, terus ketika cast A berhasil mengatasi konflik, cast B juga udah klimaks. Kalau filmnya si Doug beda. Setiap cast diselesaikan dulu konflik ke klimaksnya, baru cut ke yang lain. Emang rumit sih karena dia punya 5 atau 6 cast gitu ( gue lupa ) serta puluhan narasumber. Tapi anyway, ending dan opening -nya so interesting . Banyak sih komen gue soal editingnya, cuman gue males ketiknya and you won't probably understand cause you haven't watched the movie. Sooo... Lanjut, filmnya Srdan juga bagus banget. Sayangnya pas diputer, Srdan-nya udah mesti cabut. Terus doi juga duh gila deh pemikirannya! Bisa banget dia mengolah sebuah kisah nyata menjadi drama yang soooooo meaningful. Parah banget. Gue jadi berapi-api gitu deh buat bikin film bagus next time. Penting untuk dicatat ya, ketika lo udah lelah, bosen, atau pun galau sama jurusan yang lo pilih, sebaiknya lo buruan cari acara diskusi atau masterclass dengan orang-orang sukses di bidang itu. Tujuannya supaya lebih termotivasi. Kalau nggak termotivasi lagi ya berarti emang lo nggak niat kali di situ. Sekian deh liputan acaranya. Gue mau cerita hal lain lagi soalnya.

  • Mata Kuliah Semester 2

    Semester 2 memiliki 11 mata kuliah wajib yang masing-masing berbobot 2 SKS. Berarti totalnya 22 SKS. Sisa 2 SKS lagi boleh lo pakai, boleh enggak. Gue tentu pakai sampai maksimal, karena gue mau cepat lulus. Jadi gue pilih mata kuliah yang tidak tabrakan dengan jadwal matkul lainnya. Berikut jadwal gue setiap minggu beserta honest review gue mengenai setiap mata kuliah: Salah satu grafiti di tembok IKJ yang nggak ada hubungannya dengan post ini SENIN Editing I (10.00 - 11.40) Tentang : sejarah editing, faktor yang mempengaruhi editing, teknik editing, dsb. Kata gue : dosennya baik hati soal nilai dan dia tepat waktu*! Pelajarannya jelas. Mau tanya boleh dan pasti diladenin sampe puas. Berhubung gue emang pengen ambil mayor editing, jadi gue tertarik sih belajarnya. *Gue highlight masalah ketepatan waktu karena dosen-dosen di sini banyak yang suka datang telat. Dokumenter I (13.00 - 14.40) Tentang : dasar dari film dokumenter, sejarah film dokumenter, cara membuat film dokumenter. Kata gue : kok rasanya susah banget ya untuk paham. Apakah gue yang terlalu bodoh? SELASA Produksi I (08.00 - 09.40) Tentang : cakupan kerja produser dan tim produksi, tahapan kerja di bidang produksi, strategi produksi dan marketing, dll. Kata gue : gue suka pelajaran ini dan jadi galau, "Mau mayor editing atau produksi ya?" Soalnya selain karena dosennya yang seru, jelas, tepat waktu, dan enak ditanya, pelajarannya tuh emang gue suka. Jadi yah seru deh. Meskipun pagi-pagi masih ngantuk, terus tugasnya agak ngeselin yang terakhir ini. Hehe... Animasi I (10.00 - 11.40) Tentang : sejarah animasi, teknik animasi, dan dasar animasi. Kata gue : awal masuk kelas, bagi gue kelas ini absurd. Kayak nggak jelas gitu. Penting nggak penting. Mungkin karena kurang ter- organized kali ya? Jadi pelajarannya berasa nggak nyambung antara satu sama lain. Gue ngerasa pelajaran ini cukup baca buku aja. Soalnya kurang diterangkan oleh si dosen. Kalau pun mau tanya, mau tanya apa bingung. Terus selalu nggak tepat waktu mulainya. Padahal tugas animasi itu paling asik loh bikin flipbook , thaurmatrope , sama bikin animasi langsung di roll filmnya. Gue sempet galau pengen mayor ini juga tapi melihat pembawaan materinya seperti ini, jadi ragu. Kamera I (13.00 - 14.40) Tentang : dasar sinematografi, mekanisme kamera film ( seperti misalnya Bolex ), mekanisme kamera video, dll. Kata gue : gue nggak pernah nggak ketiduran di kelas ini. RABU Artistik I (08.00 - 09.40) Tentang : arti dari art director , dan uhm... mungkin nanti setelah UAS gue akan mengerti. Kata gue : entah kenapa di mata kuliah ini tidak memberikan gue banyak pengetahuan. Rasanya seperti tidak mempelajari apapun... Penyutradaraan I (13.00 - 14.40) Tentang : belajar menjadi sutradara yang baik dan benar. Kata gue : gue jadi nggak minat sama bidang ini. Repot banget ternyata. Skenario I (15.00 - 16.40) Tentang : dasar penulisan skenario dari tahap awal hingga akhir. Kata gue : mata kuliah yang paling terorganisir dengan buku khusus buatan dosen (disebut diktat ). TOP-lah ini pelajaran. Perfekto. Gue pernah diusir sama dosennya dari kelas, gara-gara ketahuan ngobrol sama mahasiswa lain. Ngakak. KAMIS Suara I (08.00 - 09.40) Tentang : dasar sound design , teori-teori sound , peralatan sound , dll. Kata gue :  sulit. Huhuhuhu... padahal sebagai editor, gue harus jago mata kuliah ini juga. Sejarah Fotografi, Film dan Televisi II (13.00 - 14.40) Tentang : sejarah dunia dan dampaknya terhadap perkembangan fotografi, film dan TV. Kata gue : menarik. Penuh konspirasi dan politik. Seru banget. Gue suka pinjem DVD original si dosen. JUMAT Interdisipliner A (08.00 - 09.40) - Mata Kuliah Pilihan Tentang : hanya melukis dan tidak ada yang dipelajari secara khusus. Kata gue : gue harus jujur bahwa kelas ini nggak mendidik gue secara signifikan. Dari awal masuk sampai hari ini, kerjaan gue cuma gambar pake pensil, arang dan cat minyak. Emang kelas ini semacam seni rupa gitu, jadi ya tugas lo melukis. Cuman yah, kalau cuma gambar aja, gue juga bisa kerjain sendiri di rumah. Gue rada berharap diajarin suatu teknik yang tidak bisa gue Google begitu saja. Jadi agak sebel karena nggak belajar apa-apa. Fotografi II (10.00 - 11.40) Tentang :  teknik fotografi. Kata gue : gue nggak minat fotografi. Terima kasih. KESIMPULAN Itu dia 12 mata kuliah gue yang bertotal 24 SKS. Dosennya orang ahli semua, cuman yah namanya orang Indonesia pasti sukanya ngaret-ngaret gitu. Ngaretnya nggak tanggung-tanggung pula, kadang 1 jam dan lo mesti sabar. Tapi di samping itu, di semester 2 ini lo bakal banyak belajar (kalau) lo bantuin Tugas Praktika atau Tugas Akhir senior. Di semester 2 ini gue juga mulai terbiasa dengan lingkungan kampus. Sudah mulai nyaman dan cukup bisa menyesuaikan diri. Gue juga kenalan sama banyak orang baru dan jadi tambah wawasan baru :) Mau tau nggak enaknya? Tunggu post berikutnya! Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 25 Mei 2013 saat saya masih berusia 19 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut.

  • Mata Kuliah Semester 1

    Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 4 Oktober 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut. Bagi yang belum pernah kuliah atau yang berminat kuliah jurusan perfilman, gue mau sharing soal mata kuliah gue nih. Catatan: Gue adalah mahasiswi S1 angkatan 2012 kelas A. Di Institut Kesenian Jakarta, untuk tahun 2012 ini jurusan film digabung dengan fotografi dan televisi. Jadi meskipun lo maunya kerja di film, lo tetep harus belajar fotografi dan televisi. Ini kebijakan baru dan herannya nama fakultas berubah menjadi Fakultas Film dan Televisi (FFTV) di mana fotografi tidak disebut-sebut, padahal pelajarannya ada. Kuliah dimulai dari hari Senin-Sabtu dan dibagi dalam 3 kelas: A, B, dan C. Kelas A itu masuknya pagi, B siang, sedangkan C sore. Dalam kasus gue, sebagian mata kuliah gue di kelas A dan sebagian di B. Ngaruhnya ke apa? Ke kerja kelompok. SENIN Hari Senin itu cukup membahagiakan karena cuma ada 1 kelas yang berjumlah 2 SKS, yaitu kelas Bahasa Rupa. Ini cara menghitungnya 1 SKS = 50 menit, maka 2 SKS x 50 menit = 100 menit. Dari jam 10.00 - 11.40 kita akan membahas Bahasa Visual; suatu bahasa universal yang tidak perlu diucapkan secara verbal. Matkul ini cukup abstrak buat gue yang selama ini belajar science . Tapi tak apa, nggak membosankan kok. Dengan memahami Bahasa Visual, diharapkan lo bisa menginterpretasikan naskah dengan tepat dan membuat karya yang universal (bisa dipahami orang dari negara manapun). SELASA Hari Selasa menurut gue cukup seru juga. Kali ini ada 2 kelas, Komputer Terapan dan Dasar Seni Film. Dua-duanya bernilai 2 SKS, atau berdurasi 100 menit. Sayangnya jumlah komputer nggak memenuhi kuota, jadi kelas terpaksa dibagi 2. Gue masuk gelombang ke-2, masuk jam 9 pagi dan cuma belajar 50 menit. Kompensasi 50 menit yang hilang diberikan dengan cara mahasiswa boleh menggunakan ruangan komputer di luar jam pelajaran (tapi tetep izin dulu). Faktanya sih gue nggak pernah memakai komputer di luar jam pelajaran, dan alasannya karena sibuk dan males minta izinnya. Terus Dasar Seni Film (DSF) itu ya seperti nama mata kuliahnya, tentang dasar film. RABU Hari Rabu mulai membosankan karena ada Etika Berbangsa dan Berkesenian, sama Dramaturgi. Ini 2 matkul yang bikin ngantuk! Etika itu kayak pendidikan kewarganegaraan, bedanya dikaitkan dengan seni. Jadi lo belajar etika, etis, dan estetika. Menurut gue kalo yang ngajar Mas Pandji (penulis Provocative Proactive) pasti bakal lebih seru. Hehe... Soalnya gue nggak benci pelajaran PKN, tapi pengajarnya itu yang kurang “ngena” ngajarinnya. Terus Dramaturgi, ini pelajaran paling abstrak menurut gua. Susah!!! Susah memahami definisi dari term itu sendiri. Belum lagi disuruh analisis film dari sisi dramaturginya, gila gue sering ketiduran deh di kelas. Berat buat gue, Bro. KAMIS Hari Kamis nggak lebih baik dari Rabu. Masalahnya gue nggak tertarik dengan fotografi. Makanya matkul Dasar Seni Fotografi dan Sejarah Fotografi nggak membuat hari Kamis menjadi lebih baik. Memang sih perintis film adalah fotografi, jadi lo perlu tahu juga dasar-dasarnya. Di kelas Dasar Seni Fotografi, lo belajar membuat pinhole camera dan mencuci film, ke depannya baru fotografi digital. Ini dua hal yang sangat ribet buat gua. Makanya gue nggak suka. Terus Sejarah Fotografi itu sebenernya termasuk sejarah TV dan film juga, cuman dimulai dari fotografi dulu, jadi ya bosen lagi dah. JUMAT Hari Jumat seru sekali yeay! Ini adalah hari terindah dari kumpulan hari-hari melelahkan. Di hari Jumat ada matkul Workshop Visual. WV itu belajar dasar-dasar film untuk praktek. Jadi nggak banyak teorinya dan tugas-tugasnya adalah praktek membuat film, bukan analisis. Di kelas ini dosennya juga seru banget, bisa menyampaikan pelajaran dengan sangat baik, sehingga gue nggak pernah ngantuk dengerinnya. SABTU Hari Sabtu, sigh... Sabtu masuk, Bro. Dulu gue SMA mah hari Sabtu tidur-tiduran di rumah, sekarang ada 2 matkul: Dasar Seni Televisi dan Pendidikan Agama Katolik. DST itu cukup menarik karena sebelumnya gue sudah bekerja di stasiun televisi (meski tanpa pengetahuan dasar yang cukup), makanya ketika gue tahu banyak hal baru, gue bisa mengkaitkannya dengan pengalaman sebelumnya dan itu menarik. Pendidikan Agama itu... hmm... ya lo taulah. In summary, berikut adalah daftar mata kuliah yang wajib diambil di semester satu pada tahun 2012: Pendidikan agama — 3 SKS Etika Berbangsa dan Berkesenian — 3 SKS Dramaturgi — 2 SKS Workshop Visual — 2 SKS Dasar Fotografi — 2 SKS Komputer Terapan — 2 SKS Dasar Seni Film — 2 SKS Sejarah Fotografi, Film dan Televisi Dunia (I) — 2 SKS Dasar Televisi — 2 SKS Bahasa Rupa — 2 SKS Sekian mata kuliah versi gue. Semuanya wajib diambil ya gengs, nggak bisa memilih. Mungkin yang mau kuliah perfilman mulai bisa meraba-raba nih kuliahnya kayak apa. Nggak sesederhana yang lo bayangkan intinya, dan jangan pernah kuliah perfilman cuma karena mau jadi artis atau actor/actress . KALIAN SALAH JURUSAN. Kalau mau jadi artis, kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan, program studi Teater.

  • Akhir dari CinemadaMare: Nuestro Tiempo

    "Selamat tidur," sahutku pada teman-teman, hampir untuk yang terakhir kalinya. "Janji, Cil, bangunin kita sebelum pergi?" tanya Agustina dan Riccardo cemas. "Janji." Waktu menunjukkan pukul 5 pagi di perkemahan Lido, Venezia, Italia. Dalam 2 jam lagi aku harus meninggalkan pulau kecil ini dan terbang ke Amsterdam, lalu Indonesia. Jadilah aku terburu-buru mandi, membereskan koper, dan menyadari bahwa air mataku tidak berhenti sejak kupalingkan wajah dari teman-temanku. Jam 6.30 pagi barang-barangku sudah siap diseret ke halte. Aku tinggalkan tendaku terbengkalai dengan beberapa barang yang ingin kubuang. Kemudian aku lari ke tenda Viktor, bermaksud mengatakan, "Arrivederci," bersama air mata yang tak kunjung berhenti. "Viktor, wake up." Entah kenapa perpisahan ini begitu menyakitkan. Aku membayangkan pertemuan untuk kedua kalinya mungkin hanya mimpi di pagi buta, mengingat jarak Indonesia dan Eropa yang terlalu jauh dan mahal. Mungkin dua, tiga, atau lima tahun lagi baru terulang? Tak lama, Viktor bangun dengan wajah sayu, memeluk dan merebahkan wajahnya di pundakku. "Aku ingin tidur seperti ini," katanya, masih memeluk. "Tapi kamu akan membuatku ketinggalan pesawat." "Itu lebih baik." Viktor, musuh bebuyutanku dari awal perjalanan Mendengar itu, aku terdiam dan semakin menangis. Brengsek, pikirku, anak film kalau bikin dialog bagus banget ya. Tapi aku tertawa setelahnya, jadi seperti orang gila, menangis lalu tertawa, melepaskan pelukan dan mengatakan bahwa aku benar-benar harus pergi. Kemudian kuhampiri tenda Riccardo, sambil sesenggukan kupeluk erat pria paling hangat yang selalu mendengarkan keluh-kesahku. Teringat masa-masa aku sakit, kebingungan, dan kesepian. Riccardo yang selalu ada membantuku. Kuingat pula saat ia stress baru putus, lalu berubah menjadi serial tidur-satu-malam dengan berbagai wanita di festival film. (Memang dasar pria Italia, paling ahli merayu wanita.) Bagiku, Riccardo dan Viktor adalah alasan utama bertahan di CinemadaMare. Mereka yang telah membuat hari-hariku menjadi super berwarna, meski kebanyakan aku hanya di kaffe , mengedit dari pagi hingga pagi. Kalau mereka pergi, mungkin aku sudah melalang-buana ke negara Eropa lain, menikmati visa 75 hari yang telah kuperjuangkan setengah mati. Selesai berpelukan dengan semua teman-teman yang penting seperti Cecilé, Charbel, dan Agustina, aku kembali ke tenda Viktor. Aneh, ia tidak tidur. Hanya duduk termangu di atas kasur tiupnya. "Viktor, mau menemaniku ke halte bus?" "Nggak mau." "Harus mau, ayo." kutarik lengannya keluar dan ia pun menurut. Lalu ia bawa koper kecilku, keluar dari area kemah, sementara aku dengan tas carrier  60L di punggung. Kami berjalan dalam diam, tapi anehnya terasa nyaman. Aku ingat ia berjalan di depanku, dengan jaket hitam kebesarannya—jaket yang pernah kupinjam di Kota Foligno dan Potenza, jaket yang kubawa tidur karena suhu Eropa belum bersahabat dan jaket yang selalu mengotori kasurku karena banyaknya daun tembakau tersisa dalam kantungnya. Kita berdua duduk di halte, ditemani seorang bapak-bapak entah siapa, langit biru, laut Lido dan pemandangan pusat Kota Venezia di ujung, tertutup kabut tipis. "Sampai jumpa Los Angeles," kataku bercanda. Dulu sempat aku bilang pada teman-teman bahwa kota Venezia terlihat seperti LA dari jauh, dan sejak itu semua pemandangan kota yang shitty kita sebut sebagai LA. Viktor tertawa terbahak-bahak. "Semuanya aja lo anggap Amerika. Mungkin yang sudut sana seperti New York!" Tiba-tiba bus kuning yang akan membawaku ke pelabuhan Santa Maria tiba. Bapak-bapak tadi bergegas lari dan kuikuti dari belakang. Tapi tololnya, saat aku sudah di depan pintu bus, busnya menutup dan ngeloyor pergi. Aku membisu bingung, mau teriak tapi ragu akan terdengar. Alhasil hanya bisa kutatap pria tua di dalam bus yang melaju kencang. Bapak itu juga bingung, tapi tak melakukan apapun. Aku menoleh ke belakang, memberikan isyarat pada Viktor, "What the fuck is happening?"  Jantungku mulai berdegup kencang, aku takut ketinggalan pesawat. Waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Kami kembali duduk di halte, berpelukan lagi. Bersama air mataku yang tak berhenti mengalir, dan ingus dan entah apapun itu. Aku takut, pertemuan ini jadi yang benar-benar terakhir. Lama kami berpelukan, dalam senyap, hingga akhirnya bus kuning berikutnya datang. Kali ini Viktor yang bergegas mengejar duluan. Kita letakkan koper dan tas di sudut paling belakang, memastikannya aman, lalu ia menunggu di luar. Aku pikir, pintu bus akan segera menutup (belajar dari pengalaman sebelumnya). Tapi ternyata pintunya masih terbuka, sehingga insting memaksaku bergegas memeluknya, lagi, di pintu bus, seperti drama-drama Korea. Ia dari luar, sementara aku dari dalam. Kita berpelukan untuk yang terakhir kalinya. Rasanya cukup lama, dan sangat emosional. Tidak ada kata yang kita ucapkan sampai detik ini. Setelah itu pintu bus menutup dan kami melepaskan diri. Aku berhenti menangis dan melihat pohon-pohon berlalu dengan cepat. Tidak ada lagi wajahnya dari jendela. Bus melaju terlalu kencang. "I heard an unhappy ending. It sort of sounds like you leaving. I heard the piledriver waltz. It woke me up this morning." Piledriver Waltz Arctic Monkeys Dua minggu berlalu, aku kembali ke Bali, melepas rindu dengan makanan Indonesia dan sahabat-sahabat tersayang, Mega, Tante Jasthi, Daniel, Ferdy, Mpi, dll. begitu pula dengan anjing dan keluargaku. Semua orang terlihat bahagia, dan kita membicarakan lebih banyak proyek ke depannya. Semua terlihat indah. Tapi tak ada yang mengerti, kenapa malam terasa lebih berat dari biasanya. Aku menangis di malam pertama tidur sendiri. Setelah 3 bulan selalu tidur bersama teman-teman CinemadaMare, lalu tidur bersama Dhanya di Amsterdam dan Mega di Bali, kini aku melemah di kamar kosanku. Aku juga menangis mendengarkan beberapa lagu yang kerap kunyanyikan di Italia, apalagi mengkorek-korek kembali album foto dan video selama di sana. Semuanya terasa begitu berat, tapi kupikir bahwa life goes on. Aku harus kembali fokus bekerja, dan tentunya meminta maaf pada Daniel, mantanku karena perasaanku yang berubah. Sampai suatu pagi di hari Selasa, tiba-tiba HPku berbunyi. Nama Viktor muncul, menelepon setelah sekian lama tak ada kabar. "Halo?" sapaku, tapi tak ada jawaban. Aku menunggu. Mungkin ini masalah koneksi. "Hola?" tak lama terdengar suaranya yang khas. Ia terdengar ragu, tapi kemudian tertawa, "How's life?" Aku menahan tangis, lega, akhirnya kudengar lagi suaranya yang bodoh itu setelah dua minggu berlalu. "Jam berapa di sana? Di sini jam 5 pagi, dan temanku sedang mampir. Tadi aku tanya ke dia, 'Hei, mau lihat film anak cineze?' Dan kuputarkan filmmu yang itu. Dia tertawa dan menanyakan pertanyaan bodoh..." Viktor melanjutkan, "Tapi aku berpikir, sepertinya lawakanku di sana banyak yang kasar dan jahat. Jadi aku mau minta maaf. Aku benar-benar berharap kamu memaafkanku." Kok..? Apaan sih? Gue udah nggak inget-inget beginian, "I'm just glad that I could hear you, and I'm very happy for that. Lo nggak tahu seberapa gilanya gue sampai nanyain Riccardo, 'Si Viktor kenapa ya diem aja? Jangan-jangan marah sama gue?'" "Nggak, lo mesti tau juga bahwa HP gue rusak, internet juga rusak, dan gue masih nungguin HP gue dibenerin. Sekarang pun gue minjem HP temen. Dan.. gue takut kalau gue telepon lo, lo udah berubah," suaranya melemah, "Mungkin lo yang benci gue, mungkin lo jadi dingin, atau mungkin lo bakal marah." Kita berdua ngakak, sama-sama menyadari bahwa pemikiran kita bodoh. (Dan gue nggak sadar kalau gue mengartikan seluruh percakapan ini ke dialek Jakarta. Haha.. mungkin kalau dia orang Indonesia, kira-kira seperti ini kita akan berbicara.) Terakhir, Viktor menambahkan, "Mungkin Riccardo nggak cerita, hari itu saat lo pergi dengan tas besar naik bus. Gue nangis nggak karuan, tapi terus gue mikir, 'Hmm.. aku harus menjadi pria dewasa.' Jadi gue mencoba berhenti nangis, buru-buru balik ke tenda dan tidur. Gue kira habis bangun, gue bakal segar dan berhenti menangis. Ternyata nggak. Gue nggak bisa berhenti, dan Riccardo yang lihat gue nangis pertama kali." Enam puluh lima hari bersama. Dua puluh hari berlalu, dan aku masih berjuang mematikan emosi. "Badai Tuan, telah berlalu. Salahkah kumenuntut mesra? " Sampai Jadi Debu Banda Neira

  • My Blog is Back!

    Setelah sekian lama aktif menulis dan perlahan-lahan berhenti hingga blog ini totally mati, aku senang sekali karena akhirnya.. hasrat menulisku telah kembali! Jujur, ada masa di mana aku stress banget dan merasa perlu filter serta mengisolasi diri dari dunia luar. Pada saat itu, aku sedang terpuruk. Bisnisku ambruk dan keuanganku hancur lebur. Aku malu sama diriku sendiri dan merasa "gagal". Aku malu berkoar-koar di blog seperti seorang yang sok hebat, karena faktanya, after all those years, aku nggak jadi apa-apa. Sejak tahun 2019 - 2024 itu dunia juga sedang dilanda pandemi. Semua proyek cancel , jutaan orang kehilangan pekerjaan termasuk diriku. Tapi waktu itu aku tinggal di Bali, di mana biaya hidupnya tergolong rendah dan kualitas udara masih sangat baik. Sehingga aku survived all those years tanpa kena COVID sama sekali dan bisa atur keuangan dengan lebih mudah. Untungnya selama masa itu, aku beruntung dan bersyukur dapat kesempatan bikin video-video di Bali dan Indonesia Timur bersama NGO 1000 Days Fund, aku juga dipekerjakan dari Singapur untuk bikin dokumenter online (hanya syuting lewat ZOOM call!), dan berbagai proyek-proyek gila lainnya yang mengharuskan aku bolak-balik tes Antigen dan PCR yang harganya masih jutaan Rupiah kala itu. Di tahun 2021 itu pula aku kenalan dengan seorang pria dan kami menjalani hubungan yang serius hingga memutuskan untuk persiapan menikah. Aku pikir, waktu itu, "Maybe it's time." Usiaku sudah menginjak 27 tahun, rasanya sudah normal lah ya kalau aku mulai terpanggil untuk menikah. Tahun 2022, aku dapat tawaran kerja di VICE Media di Jakarta. Akhirnya di bulan Oktober aku pindah, tapi anjing kesayanganku Gin, yang kupungut dari jalan rupanya shock . Aku dapat kabar bahwa Gin kabur dari rumah kontrakanku di Bali dan menolak pulang (padahal dia hapal jalanan), tepatnya 1 hari setelah aku flight dari Bali ke Jakarta, Demikian dimulailah pencarian anjingku selama 3 bulan lewat social media, tempel poster di jalanan, bolak-balik menyusuri gang di Bali, bahkan mengontak 3 animal communicators yang katanya bisa cari hewan hilang. Tapi hasilnya nihil. Iya, selama 3 bulan aku kerja keras banting tulang sambil bolak-balik Jakarta-Bali. Aku udah nggak peduli uangku habis berapa. Aku cuma mau Gin pulang, karena aku yakin seyakin-yakinnya bahwa dia cuma lagi ngambek dan tantrum! Anjingku tuh bener-bener raja jalanan dan cerdas banget. Nggak mungkin dia lupa jalan pulang ataupun diculik orang. Nggak akan ada yang bisa culik dia kalau kecepatan larinya sampai 30 km/h. Ada beberapa orang mulai komentar di media sosial aku, "Mungkin karena lo jahat, Cil." atau, "Mungkin emang anjingnya udah nggak mau sama lo lagi. Udahlah biarin aja." Heh! Kalau Gin benci sama aku, dia udah tinggalin aku dari dulu. Rumahku kan ga ada pagernya, kalau dia mau kabur, udah dari dulu pasti kabur. Lah buktinya dia yang stay di rumah aku? Aku tuh nggak iket ataupun masukin dia ke kandang. Kalau mau kabur, dia bisa kabur dari jendela dan nggak usah pulang lagi. Hidup dia bebas mau ngapain. Dia bebas keluar-masuk rumah lewat jendela. Dia sendiri yang stay dan suka ikut naik motor jalan-jalan sama aku. ITU DIA YANG MAU! Jadi saat ini dia kabur, itu bukan karena benci aku. Lebih ke bocah lagi tantrum aja karena ditinggal mendadak. Namanya juga anjing, mana bisa lo ajak diskusi layaknya orang dewasa? Maka sudah menjadi tugasku sebagai orang dewasa lah yang jemput itu bocah tantrum! Padahal aku udah rencana bakal relokasi Gin ke Jakarta nanti di bulan Januari 2023. Tapi ternyata dia keburu hilang dari Oktober. Akhirnya cuma Apple, anjingku yang satu lagi yang bisa aku relokasi ke Jakarta. Hingga suatu malam di bulan Januari, aku bermimpi. Di mimpi itu aku lihat anjingku sedang dibawa jalan oleh seseorang. Dia lihat aku, aku lihat dia. Dan mimpinya selesai. Aku cuma feeling aja kayaknya Gin Gin udah siap untuk "ditemukan" dari tempat persembunyiannya. Besok paginya aku langsung posting lagi berharap ada orang yang melihat Gin Gin. Dua hari kemudian aku mendapatkan DM dari pria yang tidak kukenal. "Hey I saw your dog in a café. I often come there, and the dog is very sweet. Everyone knows the dog. The owner seems to love the dog very much. But I think, it's your dog." Aku nggak tahu dia siapa dan dia menolak untuk dikenal. Akhirnya aku langsung cek Instagram kafe tersebut dan meminta teman baikku, Alfin untuk mengecek langsung (posisiku masih di Jakarta). Malam itu Alfin rekam situasi kafe dan konfirmasi bahwa benar itu Gin Gin, tapi namanya udah ganti jadi Ruby. Aku nangis parah, dan langsung booking tiket pesawat ke Bali, sambil menyapa di Instagram cafe dan minta izin ingin ke sana untuk mengecek anjingku. Mereka ramah, baik banget. Owner café mau mengerti situasinya dan langsung mengamankan anjingku supaya nggak kabur ke mana-mana lagi (soalnya si Gin Gin ini dibiarkan liar di kafe, jadi bisa aja pergi lagi). Wajah Gin saat kami mencabut beberapa poster di jalanan Singkat cerita, Gin telah ditemukan di kafe, dan kabur lagi karena nggak suka sama transporter yang aku hire untuk anterin dia ke Jakarta. Habis itu Gin balik lagi ke kafe itu, dan aku datang lagi ke sana. Tapi rest assured , nggak ada paksaan sama sekali. Aku cuma dateng, minum kopi bentar dan pulang. Aku biarkan Gin memilih, mau ikut aku atau stay di kafe. Aku sengaja nggak bawa motor. Aku mau lihat dia mau ikutin aku jalan kaki atau enggak. Kalau ada motor, takutnya dia kebiasaan langsung naik. Kalau jalan kaki, dia nggak selalu ikutin aku. Tergantung mood dia. Ternyata, bukan Gin ikutin aku, melainkan dia tunjukin aku "rute" jalanan dia. Jadi aku ngintil di belakang Gin. Dia arahin aku ke sawah-sawah, ke semua tempat yang udah disebutin animal communicator -nya dulu banget. Dan Gin beneran nungguin aku. Kalau aku diem aja, dia balik lagi jemput aku. Dan ujung dari perjalanan itu adalah rumah kontrakan lama aku yang udah hampir kosong, karena aku hampir selesai pindahan. Ternyata seperti itu rute perjalanan yang Gin ambil. Habis itu aku yakin-seyakin-yakinnya bahwa kami berdua memang ditakdirkan bersama. Akhirnya aku pesan mobil Hiace buat road trip dari Bali ke Jakarta BARENG DIRIKU. Jadi Gin itu cuma mau kalau ada aku. Bener-bener nggak mau dipegang orang lain. Bener-bener harus aku yang jemput dia di Bali, baru dia mau ke Jakarta. Kisah ini aku rangkum di Instastory aku, dan sebetulnya adalah kisah yang sangat mengharukan. Terima kasih Alfin, Jeanne, Meg dan Anan! Tahun 2023 aku dilamar di Singapur. Pembicaraan keluarga mulai lebih serius. Tanggal dan tempat pernikahan pun telah kami persiapkan, dan aku sangat excited menantikan hari itu sambil menabung uang untuk perayaannya. Sayangnya di tahun yang sama, pada bulan November, aku memutuskan mundur dan membatalkan rencana pernikahan ini. Tuhan punya rencana lain. Waktu itu mataku dibukakan selebar-lebarnya tentang pasanganku, dan kisah ini sempat menjadi drama heboh karena aku share di media sosial. Maaf atas keributan yang terjadi, punten, aku shock banget dan nggak bisa berpikir jernih waktu itu. Dalam kekalutan itu, aku buru-buru ganti rencana dari menikah.. menjadi kuliah S2 di Jerman. Aku langsung hitung semua tabungan dan aset yang kumiliki. Aku pikir, this is my last chance. Aku mau coba sekali lagi untuk kuliah di luar negeri. Itu kan memang impianku sejak kecil. Sejak itu, aku ambil les Bahasa Jerman, mencoba melamar ke berbagai kampus, termasuk mencoba melamar pekerjaan langsung di Jerman. Dan tentu saja, hampir setiap bulan aku menerima email penolakan. Bayangkan rasanya patah hati, kesepian, gagal nikah + terus-menerus menerima email penolakan. Tapi masih harus belajar Bahasa Jerman setiap hari! 🤣 Rasanya amburadul, kacau banget. But hey, life isn't over! Pada postingan berikutnya aku akan share tips kuliah ke Jerman, karena akhirnya aku berhasil diterima.

  • Welcome Back to IKJ

    Sudah setahun berlalu sejak sidang akhirku untuk mendapatkan gelar S1 di Institut Kesenian Jakarta. Tidak terasa ya, blog ini pun sudah 4 tahun umurnya. Setahun berpisah dari dunia perkampusan, aku menghilang sebentar ke Taiwan, lalu kembali ke Jakarta dan memulai kehidupan baru di Selatan. Aku kini bekerja sebagai film editor di sebuah studio post-production;  dan salah satu film yang sedang kami selesaikan adalah Chrisye, film garapan Rizal Mantovani dan kawan-kawannya. Memasuki 2017, aku dipanggil sebagai asisten dosen untuk kelas Kamera dan Editing. Y up, it's official now. Aku telah resmi jadi asisten dan mulai bekerja di bulan Maret. Aku kembali ke kampus setiap hari Kamis dan Sabtu. Banyak yang telah berubah. Sistem, nama mata kuliah, dosen, asisten, gedung, dan lain-lain. Ada rasa haru ketika aku melewati setiap jalan yang dulu aku lalui. Dulu, di pohon rindang dekat teater besar, aku pernah dikejar-kejar Abas si anak aneh. Sekarang, pohon itu sudah mati ditebang, tidak lagi rindang dan menambahkan warna hijau di Taman Ismail Marzuki yang gersang. Dulu ada tangga curam yang menghubungkan Kali Pasir dan IKJ. Kini, ada pagar besar dengan satpam yang menjaga dan menyapa setiap pagi. Dulu gedung FFTV IKJ seperti gudang dengan kecoak dan jutaan bakteri. Sekarang.. cakepan dikit. Lumayan. Menjadi asisten dosen sebenarnya bukan pekerjaan wow. Kerjanya mostly hanya duduk, mencatat, dan membantu dosen menyiapkan kelas. Sangat sederhana. Menariknya, tiba-tiba dosen yang aku bantu memutuskan untuk pamit sampai tanggal yang tidak kuketahui. Aku pun sebagai asisten harus maju, menggantikan Beliau mengajar hingga ada pengganti. Jadilah setiap malam aku belajar kembali, mengulang materi, dan memastikan diriku mengerti apa yang harus kukatakan di kelas. Jujur aku gugup, dan mahasiswa yang kuhadapi bukan 10-15 orang, melainkan 20-30 orang dari berbagai umur dan daerah yang berbeda. Aku tidak bisa memposisikan diriku sebagai dosen. Terlalu berat titel tersebut. Aku hanya bisa memposisikan diriku sebagai asisten, yang mencoba membantu mahasiswa agar jangan sampai waktu dan biaya yang mereka sediakan menjadi sia-sia di kelas. Kadang aku melakukan kesalahan. Kadang aku bicara tidak jelas. Kadang aku menertawakan kebodohanku sendiri. Kadang aku pulang dan sedih karena telah mempermalukan diriku sendiri. Beberapa minggu terakhir ini hidup seperti roller-coaster . Aku kekurangan tidur, hiburan, dan waktu untuk menulis. (Meskipun akhirnya kusempatkan juga di Minggu yang mendung ini.) Bila ada mahasiswa yang membaca tulisanku, maafkan kampus kita yang belum bisa menyelesaikan persoalan mereka. Maafkan pula atas kompetensiku yang sebenarnya belum pantas menjadi dosen kalian, tapi dipaksakan untuk bisa. Aku janji, kuusahakan, kalian tetap mendapatkan ilmu yang berharga. #efekkurangtidur #sedihnontonKiminoNawa

  • The Balinese Nastar

    Minggu, 20 Mei 2018 pukul 12.00-13.00 menjadi hari bersejarah bagiku, Daniel, Ferdy dan keluarga Pak Apung. Hari itu, untuk pertama kalinya aku dan tim naik ke atas panggung, menerima penghargaan film "The Balinese Bastard and 100 Roosters" sebagai cerita terbaik dan penghargaan bagi Pak Apung sebagai pelestari budaya Bali. Awalnya aku tidak mengira filmnya bisa lolos. Apalagi kalau mengingat perjuangan pertama dalam produksi hingga pasca-produksi, di mana aku banyak membuat kesalahan. Mulai dari salah memahami cerita, salah timeline , hingga salah mengedit! Kami sempat mengikuti 2 kompetisi dan hanya sampai nominasi. Karena itu, aku putus asa, mencari-cari kesalahan dalam cerita dan diriku sendiri. Soalnya sudah 4 tahun kuliah dan 2 tahun sejak lulus, aku masih belum bisa menembus kompetisi apapun. Usahaku nggak setengah-setengah kok. Jutaan Rupiah telah mengalir, tenaga dan waktu, bahkan persahabatan telah kukorbankan (cailah). Belasan kompetisi yang sesuai juga telah kuikutkan. Kenapa belum juga berhasil? Kupikir, "Apa mungkin aku memang nggak cocok di perfilman?" "Cil, ikutin aja lomba ini, Liputan 6 Awards." Kata Daniel di suatu pagi di Sentiong. Aku menurut. Aku tarik napas dalam-dalam sebelum mengedit versi ketiga dari film dokumenter The Balinese Bastard and 100 Roosters . Kali ini, kukatakan pada diriku sendiri, "Kalau gagal lagi, berarti memang tidak bakat!" Proses riset telah kujalankan hampir 1 tahun di Bali, keluar-masuk kampung bersama Pak Apung. Aku semakin mengenal sosok Beliau, dan Beliau semakin paham kegunaanku dan film. Kami sepakat, kami berdua semakin saling membutuhkan. Proses pasca-produksi yang ketiga ini kukerjakan cepat, mengingat persyaratan kompetisi Liputan 6 Awards juga terbilang sederhana. Kurang lebih 2 hari aku memikirkan konsep baru dan mengerjakannya sendirian di kosan. Tiba-tiba, satu hari setelah mengumpulkan film, aku langsung dikabari bahwa kami lolos ke tahap berikutnya. "Hah, cepet amat? Emang dia ada berapa tahap? Kok di website nggak ada keterangan itu." tanya Daniel padaku, yang mana aku juga tidak tahu. Pokoknya ikuti saja permintaan panitia: upload ulang versi high resolution (hires). Sebulan kemudian kami dipanggil ke SCTV Tower untuk acara penganugerahan yang akan ditayangkan LIVE di TV. Aku kaget. "Ni Luh, papamu diundang ke Jakarta untuk masuk TV! Bisa datang nggak ya?" aku segera menghubungi putrinya yang kebetulan sekantor denganku. "Bisa, pas banget, Ni Luh wisuda tanggal 19, tapi papa pulang tanggal 20 Mei sore." Sip. Pas. Ni Luh wisuda di Jakarta, jadi Pak Apung dan Tante Shanti (istrinya) memang akan datang. Aku langsung menelepon keduanya untuk mengabari dan yeay! Kita berhasil!!! Terima kasih Tante Jasthi, keluargaku, orang tua Daniel dan Ferdy, The Organism , Synchronize Post Audio, panitia kompetisi serta kawan-kawan yang telah mendukung! Maafkan Cecil yang terlalu gugup saat di panggung. Senang bukan main untuk penghargaan pertama kami di Liputan 6 SCTV Awards 2018.

  • Di Balik Pembuatan "The Balinese Bastard and 100 Roosters"

    Akhirnya aku memberanikan diri membuat film lagi. Yup, mari kita garis-bawahi itu, akhirnya Cecil bikin film lagi setelah sekian lama mengerjakan film-film orang lain. Kali ini film yang kubuat adalah sebuah dokumenter tentang Bapak Apung di Bali. Namanya terdengar biasa saja, tapi bila kamu bertemu dan mengenal apa yang telah ia upayakan untuk warga Hindu Bali, kamu akan terkaget-kaget dan kagum. Plaza Semanggi, September 2017 Tepat setelah resign , aku menggandeng Ferdy sebagai soundman untuk membantu, yang disusul Daniel si videografer. Pertemuan kita di Semanggi berlangsung singkat, tapi seru. Mereka menyukai idenya, dan aku menyukai dinamisasi di antara kami. Aku sepakat untuk membiayai semua kebutuhan film ini, kecuali tiket PP mereka ke Bali. Apa yang bisa aku tawarkan hanyalah suatu kebanggaan dan kepuasan pribadi, bahwa film ini akan sangat berarti bagi subjek yang kami angkat dan warga Bali di kemudian hari. Dan aku berencana mengikutkan film ini ke Sundance Film Festival. Bagai mimpi di siang bolong. Sundance adalah festival bergengsi, yang sejauh ini baru 1-2 orang Indonesia (yang kutahu) berhasil menembusnya. Terdengar mustahil untuk lolos seleksi, tapi aku ingin mencoba. Aku akan memulai semua ini dari film pendek, masuk festival kecil, mencari mentorship dari profesional, baru setelah beberapa tahun mengumpulkan footage , akan aku masukkan ke Sundance. Jadi proses ini tidak cepat. Kali ini, untuk pembuatan film pendeknya aku masukkan ke Festival Sundance Ignite (versi lebih kecil) yang bekerja sama dengan Project 1324 dari Adobe. Festival ini dikhususkan untuk para filmmaker pemula berusia 18-24 tahun dan seleksi melalui internet. Terdengar lebih possible  kan? Setelah sepakat bersama Ferdy dan Daniel, aku mengabari Tante Jasthi yang pertama kali mengenalkanku pada Pak Apung. Rupanya beliau sangat mendukung, dan langsung booking hotel untuk kami bertiga. Kejadiannya begitu cepat, hingga aku hanya bisa duduk, termangu senang bercampur gugup. Di Bali, kami mendapatkan bantuan lagi dari para staff Sedasa Lodge dan Beli Komang. Pokoknya urusan makan dan transportasi diurus mereka bersama Tante Santhi. Tidak ada kata kelaparan maupun kehausan selama kami berpetualang di Bali. Sambil syuting itu pula, aku belajar lebih banyak tentang Bali, Bahasa Bali, dan kedua kawanku. Aku baru sadar selama ini aku tidak 'mengenal' mereka. Baru ketika kami bersama-sama selama 4 hari nonstop, aku melihat sisi yang lain dari mereka berdua. Kita sempat mengunjungi keluarga Daniel di Bali, bermain ke Kuta, dan terdampar di antah-berantah lantaran mereka jatuh sakit. Dan itu semua dilalui dengan penuh tawa. Meskipun mereka selalu membuat kegaduhan dan iseng satu sama lain, entah kenapa lucu melihatnya. Pernah suatu ketika saat malam semakin larut dan wawancara bersama istri Pak Apung masih berlangsung, Ferdy tiba-tiba kentut, "DUT!" Aku diam. Mencoba pura-pura tidak mendengar. Aku berharap suara itu hanya mimpi, karena aku malu sekali. Tapi ternyata narasumberku sadar, dan untungnya ia tertawa. Hancurlah mood wawancara yang sudah kubangun. Aku dan Daniel tidak bisa marah, kami berdua turut menertawakan Ferdy si koplak. Pernah lagi saat sedang review materi di kamar hotel, Daniel tiba-tiba melompat dari kursinya dan jatuh ke lantai. Aku kaget, "Kenapa, Nil?" terus dia tertawa, "Sepertinya sekarang aku paham kenapa orang-orang zaman dulu kaget saat menonton film kereta datangnya Lumiere." Aku bingung apa maksudnya? Ternyata dia terkejut saat menonton video ayam yang dia rekam sendiri. (Silakan ditonton di atas ini.) Aku nggak berhenti menertawakannya bahkan sampai hari ini. Memasuki tahap pasca-produksi, aku numpang mengedit di The Organism . Hanya 1 minggu waktu yang kumiliki untuk mengedit, setelah itu buru-buru coloring (1 hari) dan merapikan suara di Synchronize Studio (1 hari).  Kami sempat ditegur Mas Endi karena tidak siap dan memberikan waktu hanya 4 jam untuk pengerjaan suara. Tapi waktuku memang kebetulan mepet, dan sembari mengerjakan video, aku juga meminta tolong Gesya menggambarkan poster filmnya dan Julius merapikan Bahasa Inggrisku. Semuanya terjadi begitu cepat. Dan aku ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung dalam pembuatan maupun yang telah meluangkan waktunya untuk menonton dan memberi masukan. Aku paham bahwa film ini masih jauh dari kata bagus, namun dalam waktu yang sesingkat ini, dan semua telah bekerja sepenuh hati, aku berharap film ini tetap bisa menyampaikan kisah tentang Pak Apung, The Balinese Bastard and 100 Roosters . Disutradarai, diproduseri, diedit dan diwarnai oleh Caecilia Sherina Diambil gambar oleh Daniel Pawer Diambil suara oleh Ferdy Syahwara Dibantu beberapa video dari: I Komang Bray Bagus I Wayan Totok Swardika I Kadek Swanjaya Poster dan ayam diilustrasikan oleh Gesyada Annisa Namora Siregar Diperbaiki suaranya oleh Iqbal Kautsar dan pengawasnya, Andrew Saputro Bahasa Inggris dirapikan kembali oleh Julius Pandu Terima kasih kepada para narasumber yang telah meluangkan waktu: Ketut Apriawan I Made Sudiantano Jango Pramartha Bawati Putu Serada Anak Agung Ngurah Anom Mayun Ida Pandita Mpu Nabe Rai Istri Jaya Rekananda Juga terima kasih terbanyak kepada Tante Jasthi Dayita yang mengenalkanku pada Pak Apung, serta Papi dan Mami Caecil, Daniel, Ferdy yang mau memahami panggilan hidup kami. Terima kasih pula kepada Bapak Apung dan istrinya, Ni Komang Shanti Tri Setyasih yang telah menerima kami dengan hangat. Terima kasih atas bimbingan editing dari Bang Reynaldi Christanto, bimbingan produksi serta suara dari Mas Hadrianus Eko Sunu, pinjaman alat dari Mas Safi’i Sarim, M.Sn . Begitu pula dengan motivasi dari sahabat-sahabat sekalian, yang terus meyakinkan kami bahwa kami bisa: Ria Edra, Bintang Adi Pradana, Andry Cherry Bomb, Zinguzungguzeng, Suryadi Ken Ken dan Jati Wicaksono. Tidak ada film pendek ini tanpa kalian semua. Terima kasih! :) Kamu bisa menonton keseluruhan kisah Pak Apung di playlist berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=xC5AjoUu5Tk&list=PLaAWQRomPqO3sGX2oLhVyTgiLxRXIy4f8

  • Dikejar Deadline Majalah

    Di Fakultas Film dan Televisi saat ini cuma ada 3 organisasi yang berjalan dengan aktif. Pertama, Senat Mahasiswa , kedua Majalah AKSI , dan ketiga adalah SENDAL (Seni dan Alam). Inget kan dulu gue sempat ikut SENDAL dan mundur? Sekarang gue ikutan Majalah AKSI. Gue ngelamar ke bagian desainnya daaann... menyenangkan! Oke, sebenernya nggak menyenangkan amat sih. Cuman ya, I quite enjoy it. Paling ngeselinnya itu ketika lo dikasih waktu singkaattt banget buat ngedesain berpuluh-puluh halaman. Gue kerja bertiga, dan kami bagi halaman secara tidak merata. Hahaha... Kayak seenaknya gitu deh. Seadanya. Tapi yang paling capek tetep ketua desainnya, karena dia yang menyatukan semua halaman. Hari ini Pak Bos manggil gue dan beberapa petinggi redaksi buat ngumpul, ngerapatin hasil dummy majalah. Gue seneng gitu deh setiap kali rapat pasti ada kue-kue lucu. Hehe... Pas banget kan gue lagi laper, ada bolu, lemper, risol, duh sedaapp..! Sambil ngemil, sambil dengerin hal-hal yang perlu diperbaiki. Terus rapat berlanjut garing karena ketua desainnya belum dateng. Padahal dia yang megang file project semuanya. Jadi kerjaan terhambat gitu. Sekitar jam 4 sore, barulah dia datang padahal kampus akan segera ditutup. Akhirnya kami pindah kerjain di kantor Dewan Kesenian Jakarta, sektor Kineforum. Nah, ini nih yang seru. Dua tahun gue kuliah di IKJ, baru sekarang gue tau di mana lokasi kantor DKJ! Ternyata di sebelah kirinya XXI Taman Ismail Marzuki toh. Yaudah deh, gue ke sana bareng ketua gua. Dia emang anak Kineforum, jadinya punya privilege gunain ruangan itu. Kita ngerevisi satu majalah dari jam 5 sampe 9 malem Terus Pak Bos sempet dateng juga buat mengkontrol hasil kerja kami. Sekalian ngurusin cover yang perlu direvisi. Eh taunya pas mau direvisi, si percetakan bilang dia udah cetak cover -nya. Gila itu percetakan main cetak-cetak aja! Alasannya karena halaman cover paling lama keringnya dengan bahan kalkir, makanya mesti dicetak secepatnya. Gue perhatiin deh wajah Pak Bos melemas... Beliau nampak kuciwa sekali. Akhirnya Pak Bos pun pulang dan kami ditinggal dengan setumpuk halaman yang perlu direvisi cara penulisannya. Revisi kecil sih, sekadar membetulkan pemenggalan kata. Tapi gue kedapetan tugas ngedesain 4 halaman tambahan. Gue ngerjainnya buru-buru banget dan seadanya. Maklum, udah capek total. Sambil ngerjain, sambil dengerin semua album Taylor Swift. Hahaha... Ini si ketua desainnya Swifties banget ternyata. Tapi gue senenglah ikutan Majalah AKSI, jadi kenal orang-orang baru lagi. Terus ketua desain gue ini jago banget soal percetakan. Gue tanya-tanya soal bahan kertas dan dia pasti selalu tahu jawabannya. "Kak, ini bahan kertasnya apa?" "Itu matt paper !" "Kalau yang ini bahannya apa?" "Kalau itu biasa kami sebut fancy paper . Mahal tuh, makanya rada fancy-fancy gitu. Sok keren dia." Seru kan? Jarang-jarang temen gue bisa jawab kalau gue tanya soal beginian. Eh, nanti kalau majalahnya sudah jadi, akan gue foto dan gue upload di sini!

  • 24 Hours in Taipei

    Jujur, aku kesepian banget di Taiwan. Aku kangen banget temen-temen aku di Indonesia yang klop abis; yang kalau udah ngumpul bareng, bisa ngakak kayak orang gila. Aku udah kenalan sama banyak orang di Taiwan, tapi belum dapet yang klop. Sekalinya nemu, mereka malah pulang liburan ke Indonesia!!! Jadi aku seneng banget, tanggal 26 kemarin temen baikku dari Indonesia datang berkunjung. Aku bangun pagi banget buat jemput dia di hostelnya yang unyu seperti hotel kapsul di Jepang. Terus kita pelukan, melepas kangen setelah berbulan-bulan nggak ketemu, dan kaget karena masing-masing dari kita NGGAK ADA YANG BIKIN ITINERARY. "Jadi kita ke mana, Jul?" tanya gue. "Lo mau ke mana?" tanya Juli balik. Eh? Mampus. Meskipun sudah 2 bulan di Taipei, aku tuh hampir nggak pernah jalan-jalan. Sumpah jarang banget! Jadi aku juga nggak tau banyak soal kota ini. Aku cuma kepengen banget hiking ke bukit dekat Taipei 101. Namanya Xiangshan (gunung gajah). Katanya sih hiking-nya gampang banget karena sudah disediakan tangga. Selain itu aku nggak tau mau ngapain lagi di Taipei... "Oke deh, kita ke Taipei museum of fine arts dulu aja gimana? Terus ke Shilin Night Market, baru deh malemnya tidur di Xiangshan. Gue nggak booking hotel nih, soalnya flight gue pagi, takut rugi. Hehe..." kata si Juli terkekeh brengsek. Akhirnya kita sepakat dengan jadwal tersebut dan langsung pindahin koper-koper doi ke kosan gue, which is located at 6th floor. Mampus banget badan mau patah ngangkat koper berat pagi buta! Setelah itu kita langsung tancap ke museum yang terletak di Stasiun Yuanshan. Cuaca puanasnya bukan main, tapi untungnya si museum adem banget dan harga masuknya murah. Kalau kamu bisa tunjukin kartu pelajar, harganya jadi NT$ 15 per orang. Di dalamnya ada berbagai pameran seni yang tiap bulan diganti. Aku sama Juli belum pernah traveling bareng, dan nggak nyangka ternyata kita super klop: sama-sama tolol, sama-sama suka seni, dan sama-sama suka foto/video. Jadilah kita tuker-tukeran foto, bergaya aneh, dan ngomentarin karya seni yang dipajang sampai ngakak-ngakak dimarahin petugas. "Senang ya kalau travelmate kita tau caranya foto!" komentar Juli pas ngelihat hasil foto diri dia yang (akhirnya) lumayan. Emang nih, penderitaan para fotografer banget!!! Motoin orang bagus, pas minta temennya motoin, hancur lebur. Puas keliling di museum yang besar ini (I think it was really worth to visit), kita makan di Taipei Expo dekat museum itu. Terus lanjut ke Shilin Night Market dan makan lagi sampai perut nggak kuat! Kita nyobain: - Mango snow ice NT$ 150 (Taipei Expo Park, Yuanshan) - Shilin sweet zhu pai NT$ 70 *Sadly, post ini tidak pernah selesai dan berakhir di draft begitu saja lantaran terlalu banyak yang harus kutulis, sementara waktu itu aku sedang sibuk banget sekolah-kerja. Delapan tahun telah berlalu. Julius sekarang sudah menikah dan aku sudah lupa detail kisah perjalanan kami. But one thing I could never forget, was how we ended up so drunk and we just slept on that slide. Young and foolish, and miskin.

  • Tugas Kuliah Dasar Fotografi: Teknik PSK

    PSK. Pelabuhan Sunda Kelapa, bukan PSK yang lain yah. Di post kali ini, mari gue jelaskan teknik dasar mengambil gambar dengan kamera DSLR. Gue pakai Canon 500D dengan lensa standard Canon EF-S 18-55m. 1. PANNING Ini teknik paling baru buat gue. I spend most of my times for this one, cause it’s damn difficult! Jadi setelah lo set kamera lo, pastikan focus lo AI SERVO atau AI FOCUS , jadi dia akan mengikuti objek bergerak. Lo diem aja berdiri, tungguin objek lo mendekat, terus kenain focusnya dulu baru deh tancap foto sambil ikutin gerakan objek. ( Kamera lo arahin mengikuti objek, elo sih diem aja di tempat. ) Camera mode : Tv Shutter speed : 1/15 - 1/25 ( Pokoknya rendah deh ) Focal length : sekitar 50mm 2. MOTION BLUR Biasanya kalo panning lo gagal, jadinya motion blur . Hehehe... Tapi kalo emang niat bikinnya, caranya mudah kok. You need a tripod or anything steady. Kamera nggak boleh gerak, focus di ONE SHOT aja. Pastikan ada objek yang sedang bergerak dengan bombastis. Karena kalau nggak, hasilnya bakal kayak contoh di foto ini, nanggung. Gitu doang blurnya. Camera mode : Tv Shutter speed : rendah 3. FREEZE Ini kebalikannya motion blur . Kali ini objek bergerak harus terhenti. Camera mode : Tv Shutter speed : tinggi, di atas 1/200 kali ye, tergantung kecepatan objek 4. SILHOUETTE Yang satu ini rada susah kalau cahaya matahari lagi nggak oke. Biasanya jam 6-9 pagi itu oke, sisanya.. sudahlah menyerah saja. Jam 12 paling nggak mungkin karena matahari tepat di atas kepala, padahal teknik membutuhkan matahari di belakang objek. Menurut gue sih pake Tv aja, shutter speed rendah, ISO kecilin. Yang paling ngaruh itu letak mataharinya sih, harus di belakang objek! Jadi gue sampe jongkok-jongkok demi dapetin posisi itu. 5. HYPERFOCAL FOCUS Teknik ini mengharuskan semua objek tajam meskipun jaraknya berbeda-beda. Pake tripod aja, lebih aman. Dan cari komposisi objek yang mengisi foreground serta background supaya dapet hyperfocal -nya. Camera mode : Av Apperture : f22 ( diafragma harus tertutup, makanya angkanya tinggi ) Focal length : 18mm atau terendah 6. SELECTIVE FOCUS Teknik ini kebalikan dari hyperfocal focus . Nggak usah pake tripod. Camera mode : Av Apperture : f4.5 ( diafragma mesti kebuka, jadi sekecil mungkin angkanya ) Focal length : 55mm atau sejauh yang lensa lo bisa deh Demikian tips teknik dari gue. Jangan terlalu diseriusin. Gue kan bukan fotografer profesional; hanya sekadar MaBa yang suka sharing , kalau ada salah, maklumin yak! Tulisan ini awalnya dipublikasikan di Blog "Ma Vie est un Film" pada 22 Desember 2012 saat saya masih berusia 18 tahun. Beberapa kata yang kurang tepat / patut telah direvisi secukupnya tanpa menghilangkan keaslian cerita dan pemikiran saya di usia tersebut.

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page