
Search Results
174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menikmati Taipei Film Festival 2016
Tanggal 4 Juli lalu, gue sempet janjian sama orang Taiwan untuk nonton bareng dalam rangka Taipei Film Festival 2016. Yeay! Gue excited banget karena ini pertama kalinya gue dateng ke festival film di luar Indonesia. Gue sengaja pilih film yang kelihatannya nggak bakal muncul di internet dan jadwal yang memungkinkan untuk bertemu langsung dengan filmmaker -nya. Waktu itu terpilihlah hari Senin jam 21:20 di Shin Kong Cineplex dengan film berjudul The Wounded Angel (2016). Singkat saja, film ini merupakan film drama fiksi dari Kazakhstan dan disutradarai oleh Emir Baigazin. Film ini menceritakan perjuangan beberapa remaja di Kazakhstan tahun 90an, yang harus menghancurkan "sayapnya" untuk mencari tempat di dunia nyata. Sekitar jam 7 malam, temen gue dateng pake kemeja pink , sepatu kulit cokelat dan wajah cemberut lantaran doi salah nebak rumah gue. Yah, yaudah deh eke minta maap kalau lokasinya meleset dikit. Terus kita langsung jalan naik scooter -nya ke Ximen. Harga tiket untuk umum adalah 200 NT, sementara pelajar 180 NT. Yeeaayyy lagi karena gue sekolah bahasa di sini, jadi dapet kartu pelajar dan boleh claim diskonnya. Abis itu kita keluar dulu makan lu rou fan (滷肉飯), beli bubble tea dan siap-siap nonton :) Filmnya punya editing pace yang super lambat, minimalis, dan tenang. Pas sama lokasi ceritanya yang kebanyakan simpel, open-space , dan juga minimalis. Tapi ceritanya sih nggak simpel sama sekali. It's a heartbreaking story yang disampaikan dengan cara yang obscene, silly , dan ironis. Selesai film diputar, keluarlah Emir bersama translator dan MC. Gue kira mereka bakal bicara dalam Bahasa Inggris karena banyak juga non-Chinese yang nonton, ternyata oh ternyata.. Emir bicara Bahasa Rusia dan MC serta penerjemahnya bicara Bahasa Mandarin. Goodbyeee! Gue nggak ngerti apapun! Eh gue lupa gue bawa anak Taiwan asli. Gue perdayakanlah temen Taiwan ini untuk translate . Tapi yaaa Inggris dia juga nggak bagus-bagus amat, jadi gue tetep nggak ngerti. Paling gue cuma nangkep kalau aktor-aktor dalam film ini semuanya amatir, tapi aktingnya bagus banget. Terus udah deh, selebihnya gue lupa dan nggak ngerti temen gue nyerocos apaan. Gue ngangguk-ngangguk aja, males kalau nanya, dia makin jelasin makin nggak jelas. Hahaha... Kesempatan berikutnya gue mau nonton film drama Jepang (masih dalam festival yang sama), tapi tiketnya sold out . Akhirnya festival pun berakhir dan saya nggak sempet nonton film lain :")
- Ketika Realitas Menamparmu
Sebelum saya tiba di Taiwan, saya berangan-angan... Nanti mau rajin jogging ah, nanti mau vlogging tiap minggu ah, nanti mau jalan-jalan sendiri ah, nanti mau belajar Mandarin yang rajin ah, nanti mau isi Instagram tiap hari ah, nanti mau bikin Snapchat ah, dan ah-ah lainnya yang.. tidak terlaksanakan :"D Yah, ternyata kenyataan berkata lain. Senin pertama di Taiwan, saya langsung dapat kerja part-time dari kakak saya sendiri. Kerjaannya simpel tapi banyak banget. Kemudian pulang kerja saya harus jalan cepat ke sekolah sejauh 1,2 km dari stasiun kereta bawah tanah. Pulang sekolah saya jalan kaki lagi 1,2 km ke kosan. Istirahat sebentar, lalu lanjut lagi kerjain projek Axioo sampai tidur. Besoknya ulang lagi, terus sampai hari Jumat. Kira-kira jadwal saya seperti ini: 09.00 - 13.00 : kerja sama kakak 13.00 - 14.00 : perjalanan ke sekolah 14.10 - 17.00 : belajar Mandarin 17.00 - 17.30 : ngobrol dan makan 17.30 - 18.00 : perjalanan pulang 18.00 - 19.00 : mandi dan lenggang kangkung 19.00 - 22.00 : kerjain Axioo 22.00 - 07.30 : istirahat Semua rencana jogging , vlogging , snepcetan , dan instagraman tiap hari itu tinggal kenangan di awan dan rintik hujan yang sering menerpa Taiwan. Saya udah rekam beberapa hal yang terjadi belakangan ini, tapi saya nggak sanggup ngeditnya. Otak saya keburu keperas kerjaan bertubi-tubi setiap hari. Weekend kedua saya di Taiwan habis di kosan saja. Saya belum sempat ke mana-mana, bahkan ke Taipei 101 yang tinggal jalan kaki pun belum! Sempat sih saya menghadiri wisudanya teman kakak dan ke gereja. Tapi ya itu cuma hitungan 1-2 jam, setelah itu saya pasti langsung pulang dan kerja. Saya harap Agustus nanti kerjaan saya berkurang. Saya sedih ke Taiwan hanya mengulang tragedi Jakarta (baca: kerja nonstop). Ah, memang sulit menolak uang. Seandainya saja ada pekerjaan mudah dengan gaji tinggi, tolong panggil saya.
- Kursus Bahasa Mandarin di Taiwan
Selamat datang di bulan Juni 2016! Maaf, sudah lama tidak posting mengenai perfilman. Sebenarnya selain sibuk (sekali) bekerja di Axioo Photography and Videography , aku juga sedang mempersiapkan keberangkatanku ke Taiwan! Yeay! Kali ini jadi bombastis karena aku akan stay selama 3 bulan untuk kursus Bahasa Mandarin. Yay, Caecilia akan mengerti bahasa nenek moyangnya! Yok, aku bahas cara mengurus itu semua! Hal pertama yang kulakukan sebenarnya simpel. Daftar ke Mandarin Learning Center Chinese Culture University atau juga disebut Wenhua. (Berhubung gue goblok banget, sudahlah nggak perlu ambil placement test . Langsung akuin aja bego dan ambil kelas intensif Bahasa Mandarin level 1.) Kelasnya 15 jam per minggu, artinya 3 jam per hari dari Senin-Jumat. Ada berbagai pilihan jam: pagi, siang, dan malam. Tapi khusus kelas malam hanya terbuka bagi pemegang working permit dan dapat menunjukkan surat dia bekerja. Kalau cuma kayak aku yang bahkan student visa pun nggak eligible , nggak boleh ambil kelas malam. FYI, kursus 3 bulan di Taiwan tidak akan memberikanmu student visa . Kalau kamu ambil kelas di atas 6 bulan, barulah bisa applying for student visa , yang artinya punya hak kerja part-time . Lanjut, setelah daftar dan bayar sebesar NTD 23,000, kita akan dikirimkan admission letter ke rumah buat mengurus visa. Jangan lupa dikenakan biaya pengiriman ekspres sebesar NTD 300 dan surat akan tiba dalam 3 hari. Kenapa pilih Taiwan? Karena Bahasa Mandarinnya paling dekat sama yang kita pelajari di sekolah Indonesia, dan kebetulan kakakku sudah tinggal di sana. Bagaimana dengan pekerjaanmu di Jakarta? Oh, bos aku baik banget. Beliau dengan santainya bilang begini, "Ya nggak apa pergi aja. Nanti kalau udah balik hubungin saya lagi. Jangan lupa nanti ganti rekening BCA, saya males urusin kamu Mandiri beda sendiri." Kurang ganteng apa lagi ah punya bos kayak gitu. Kenapa pilih Wenhua? Waktu itu saya membandingkan Wenhua dan Taiwan Chinese Academy . Jujur aja website Wenhua memusingkan dan bikin gila. Beda sama TCA yang sangat rapi, bersih, dan mudah dinavigasikan. Saya bener-bener kepincut sama TCA, tapi tentu harga kursusnya berbeda. Biaya kursus di Wenhua jauh lebih murah dan paling dekat dengan tempat tinggal kakak saya di Taipei. Alhasil saya harus berjuang menelusuri website yang meresahkan itu. Kenapa hanya 3 bulan? Oh, alasan ini berhubungan dengan dana yang saya miliki. Biaya kursus Wenhua sekalipun paling murah tetep aja mahal buat saya. Selain itu saya juga masih pakai kawat gigi, saya jadi nggak bisa check up ke dokter kan kalau begini. Tapi rest assured , buat kalian yang tertarik kursus Bahasa Taiwan secara gratis, pemerintah bagi-bagi beasiswa buat anak Indonesia! Sayang banget waktu saya tau ada beasiswa, pendaftaran udah tutup, sementara kakak saya udah maksa untuk dateng bulan Juni ini. Next post saya bakal jelasin cara mengurus visa. Stay reading my blog! *Bagi yang tertarik mencari informasi mengenai beasiswa kursus Bahasa Mandarin di Taipei, saya sudah tidak tahu updatenya saat ini. Silakan Google sendiri.
- Virgin Atau Nggak Virgin Nggak Masalah
Berikut ini adalah tulisan lama saya di OA LINE "Perspektif" yang sempat membawa rekor view terbanyak. Virgin atau perawan adalah perempuan yang belum mengalami hubungan intim. Tanda hilangnya keperawanan selama ini diukur dari robeknya selaput dara (selanjutnya saya sebut hymen), sebuah sekat rongga yang terletak di sekitar vagina. Umumnya, setiap perempuan memiliki hymen tipis dengan satu lubang utama di tengah. Namun karena setiap manusia berbeda dan unik, tidak semua perempuan lahir dengan hymen, atau pun memiliki ciri-ciri hymen yang sama. Mengatakan sebuah hymen berbentuk normal hanyalah sebuah indikasi bahwa bentuk tersebut adalah bentuk yang paling umum ditemukan, tanpa berusaha mendiskreditkan maupun mengingkari bentuk-bentuk lainnya. Sayangnya, miskonsepsi mengenai keperawanan masih terus diajarkan tanpa diperbaiki di sekolah-sekolah (tidak hanya di Indonesia), sehingga banyak sekali orang masih percaya bahwa perempuan yang perawan, pasti: Memiliki hymen berbentuk normal. Berdarah saat hubungan intim yang pertama. Apabila perempuan yang dinikahi terbukti tidak memiliki hymen ataupun berdarah, perempuan tersebut langsung dicap tidak terhormat, tidak murni dan tidak suci lagi. Di Arab, beberapa perempuan bahkan rela menghabiskan uang 2000 Euro demi memastikan malam pertamanya berdarah. Mereka pergi pada seorang dokter di Paris yang akan mengoperasi bentuk hymennya menjadi ‘sempurna’. Di Indonesia, operasi hymenoplasty mungkin masih terdengar asing, namun perlakuan masyarakat terhadap kehormatan perempuan masih sama. Pada tahap terekstrem, perempuan yang dianggap tidak perawan dilarang bergabung dalam angkatan militer dan kepolisian Indonesia. Para pembuat peraturan ini beralasan, “Bagaimana kamu menjaga kehormatan bangsamu apabila kamu sendiri tidak bisa menjaga kehormatanmu?” Padahal, kehormatan pribadi dan kehormatan bangsa tidak ada hubungannya, dan kehormatan pribadi perempuan tidak dapat diukur hanya dari robekan hymen pada tubuhnya. Mengatakan bahwa perempuan tidak lagi terhormat hanyak karena bentuk hymen yang tidak normal sama saja dengan mendegradasi nilai kemanusiaan pada dirinya. Sebenarnya pengecekan hymen pada perempuan juga tidak sepantasnya dilakukan dan tidak dapat dijadikan sumber akurat untuk menentukan keperawanannya. Mengapa? 1. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bentuk hymen setiap perempuan unik. Untuk mengetahui apakah ia baru saja mendapatkan sexual abuse atau tidak, pengecek harus tahu terlebih dahulu bentuk awal hymen perempuan tersebut. (Siapa tahu dari awal memang sudah begitu bentuknya.) 2. Meminta perempuan membuka celana dalamnya hanya untuk dicek hymen robek atau tidak adalah sebuah tindakan yang tidak etis, membuat malu, dan bahkan dapat berakibat trauma pada pasien. (Kasihan juga sama pengeceknya dapet kerjaan nggak penting, baca: ngecekin selangkangan.) 3. Hymen bersifat seperti karet gelang. Ia elastis dan bentuknya dapat kembali ke semula seiring waktu berjalan (meski tidak seelastis karet gelang!). Tingkat keelastisan hymen setiap wanita berbeda. Ada yang sangat elastis sehingga ia tidak akan berdarah di hubungan intim pertama, ada pula yang terlalu kencang sehingga vaginanya berdarah. Karena hymen bersifat mirip seperti karet, apabila ia terus-menerus diregangkan dan ditarik, maka tingkat keelastisannya juga dapat berkurang. Terutama ketika tarikannya begitu dahsyat seperti saat melahirkan bayi. Namun, seiring waktu berjalan, hymen memiliki kemungkinan untuk kembali mengecil, dan kemungkinan lagi tidak, karena semuanya lagi-lagi tergantung pada individu tersebut. 4. Tes keperawanan ini sangat sexist karena hanya perempuan yang dicek, sementara pria dengan enaknya boleh ‘tusuk’ ke mana saja tanpa dianggap kehilangan kehormatannya. Berdasarkan keempat alasan di atas, saya berharap Perspekter lebih terbuka lagi dalam menilai kehormatan perempuan. (Khususnya para pria) coba Anda bayangkan, mana yang lebih baik, memiliki istri yang hymennya robek tapi kepribadiannya mandiri dan dapat diandalkan; atau memiliki istri yang hymennya sempurna tapi tidak bisa diandalkan dan hanya bisa mempercantik penampilan? Well, jawabannya memang menjadi hak Anda, tapi perempuan pun memiliki hak untuk dihormati dan dinilai lebih dari sekadar robekan selaput daranya! Sumber Referensi: Anonim. 2014. Types of Hymens. Sumber: http://youngwomenshealth.org/2013/07/10/hymens/ (diakses 19 Desember 2015). Guharaj, P.V. dan M.R. Chandran. 2003. Forensic Medicine 2nd Edition. India: Orient Longman. Kwok, Yenni. 19 Mei 2015. Indonesia’s ‘Virginity Tests’ Obsession Highlights Its Truly Rotten Armed Forces. Sumber: http://time.com/3883558/indonesia-virginity-tests/ (diakses 19 Desember 2015). Mehri, Najlaa Abou dan Linda Sills. 24 April 2010. The Virginity Industry. Sumber: http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/8641099.stm (diakses 19 Desember 2015). Nagoski, Emily, Ph.D. 2015. Come As You Are: The Surprising New Science That Will Transform Your Sex Life. New York: Simon & Schuster Paperbacks.
- Mata Kuliah Semester 7
Basically , semester 7 adalah puncak pembunuhan jasmani dan rohani. Eh, kok kedengarannya seram sekali? Nggak deng, bercanda. Semester 7 itu saatnya membuktikan apa saja yang sudah lo pelajari di kampus. Sebelum gue mulai me- review kuliah yang nggak berasa kayak kuliah, ada baiknya kita ucapkan selamat dulu kali ya? Akhirnya gue lulus S1 dalam 3.5 tahun dengan IPK yang bagus banget loh. Yeay, congrats to myself! Tadinya gue mau cek jadwal di website FFTV, tapi ternyata saya sudah didepak. Yaudah, maafkan ya kali ini nggak ada keterangan waktu. Gue udah lupa banget kelasnya hari apa, tapi gue inget kok mata kuliahnya cuma ada 4, yaitu: 1. Program TV Non Drama Ini kelas nggak penting dan nggak jelas. Mungkin beberapa tahun yang lalu jelas. Tapi sekarang sih lebih terdengar seperti kelas yang maksain lo untuk produktif aja. Jadi tiap minggu kita dikasih tugas dengan tema tertentu. Format tugasnya sama: bikin 1 video, kadang berkelompok, kadang pribadi. Tapi temanya agak tricky karena ditentuin sama dosen. Yang bikin kelas ini nggak jelas adalah karena hasil karya yang kita bikin... nggak diapa-apain. Penilaiannya cuma dari lo bikin apa nggak. Kalau bikin dapet nilai, kalau nggak ya nggak. Terus syarat film lo dianggap layak cuma 2: sesuai tema dan ada muka lo nampang di video. Sounds simple kan? Tapi bete karena gue nggak begitu suka divideoin. Mungkin dari kelas ini salah satu hal yang bisa gue kenang adalah music video kocak yang gue bikin bareng Dede dan Mpi. Editing V Ini dia episode terakhir dari film editing! Dalam episode kali ini, kita akan belajar caranya menjadi editor yang objektif. Skill yang satu ini penting banget dan benar-benar melengkapi seluruh skill yang dibutuhkan untuk menjadi editor kece. Sayang, di hari terakhir, gue nggak masuk karena kecapekan syuting. Padahal anak-anak editing punya tradisi makan kue Cheese Cake di hari terakhir kuliah. Hiks... Seminar Tugas Karya Akhir Ini kelas paling... malesin. Males ke kampus cuma buat duduk terus nggak tau mau ngapain. Ini bukan mata kuliah. Ini cuma sarana buat ketemu koordinator seminar TA. Jadi sebelum lu masuk tahap produksi (syuting), seluruh persiapan dalam pra-produksi harus di-ACC sama koordinator seminar. Doi bakal gelar script conference mini di rumahnya yang berlokasi jauh banget. Terus kalau udah di-ACC, baru deh kita bisa syuting dan maju ke kelas TKA! Tugas Karya Akhir Dalam kelas ini kita harus melakukan bimbingan per mayor untuk mendapatkan izin syuting. Jadi sambil kelas Seminar jalan, kelas TKA juga jalan. Kebetulan gue double job as director dan editor, jadi gue bimbingan ke 2 dosen. Selain itu gue juga harus bimbingan penulisan Pengantar Karya Tugas Akhir ke dosen lain. Jadi totalnya 3 dosen. Sumpah, capek banget. Beberapa kali kuliah bolos demi ngejer bimbingan di Cempaka Putih, UI Salemba, dan Taman Ismail Marzuki. Meskipun tanggung jawab gue cuma kepada 3 dosen itu aja, kadang dosen-dosen lain juga pengen semua crew ngumpul. Jadilah gue harus ikut bimbingan temen gue ke Cibubur, PIM, dll. Hadeehh... Ini nih yg gue maksud pembunuhan jasmani dan rohani. Belum lagi, saat itu gue masih kerja freelance (buat danain TKA). Kebayang kan susahnya bagi waktu? Untung gue kuat nggak jatuh sakit. Cuma jadi kurus aja (hilang 2 kg!). Setelah bimbingan berakhir dan semua di-ACC untuk syuting, mulailah gue syuting. Gue sekelompok sama produser, penulis skenario, dan sinematografer. Jadi lumayan, dananya bisa bagi ber-4. Setelah syuting, kita mulai lagi bimbingan pasca-produksi sama dosen-dosen bersangkutan. Terus kita minjem fasilitas coloring dan sound mixing di Super 8mm Studio dan Synchronize Sound Studio. Begitu semua tahap telah dilalui dan revisi dilakukan, film pun masuk dalam tahap Sidang Akhir! Yeay! Sidang! Nomophobia (judul film gue) kedapatan sidang hari Jumat, 26 Februari 2016. Kita semua wajib pakai kemeja batik dan bawahan hitam. Urutan acaranya film diputer dulu, terus sidang sinematografi, editing, skenario, dan barulah produksi. Gila gue deg-degan banget sampai jawabannya bego. Blank . Tapi mendekati akhir udah agak tenang dan cukup mampu menangkis jebakan-jebakan ke-5 dosen penguji. Akhirnya gue dinyatakan lulus dan akan melakukan graduasi di bulan Desember 2016. Sebentar lagi nama gue jadi ada akhiran S.Sn . deh :)
- Saving Naru, Anjingku Part 2
Kisah sebelumnya: anjing gue (Naru) muntah darah jam 1 pagi. Gue langsung bangunin bokap gue. TRIGGER WARNING Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu. TOK. TOK. TOK. "Apa?" tanya bokap dengan nada lelah. "Pap.. Naru.. Muntah darah... Bisa ke dokter sekarang nggak?" pinta gue sambil sesenggukan nangis nggak karuan. Jam menunjukkan pukul 1.30 pagi di hari Senin (29/2). Bokap gue keluar dari kamar dan langsung cuci muka. Gue balik lagi ke kamar buat ngecekin Naru. Di sana, dia masih diam dengan darah berceceran, menatap kosong. Gue lari lagi ke bokap yang masih belum keluar dari toilet. Waktu terasa berjalan lambat sekali. Akhirnya bokap gue keluar dari toilet dan dia tanya, "Kenapa?" Dengan banjir air mata, gue mencoba mengulang penjelasan, "Pap, Naru muntah darah. Kita ke dokter sekarang ya?" "INI TUH MASIH PAGI. MANA ADA DOKTER YANG BUKA JAM SEGINI?!" Gue kaget. Lok? Kok dia marah? Totally kaget like WTF? Reaksi macam apa itu? Bukankah seharusnya dia langsung anterin gue ke dokter? Gue langsung jawab, "Ada, Pap, aku udah cek," dan bokap gue menjawab pula dengan tegas, "KE DOKTER BESOK. TUNGGU BESOK." Oke, guys, kesabaran gue udah maksimal banget. Gue nggak tahan lagi. "IYA, TUNGGU BESOK PAS ANJINGNYA UDAH MATI YA BARU BAWA KE DOKTER?!" "KAMU BISA NGGAK DIKASIH TAU TUNGGU BESOK!" Terus bokap balik ke kamar dan tidur dengan dinginnya. Sehingga akhirnya gue harus kreatif nyolong duit di rumah dan buru-buru pesen GrabCar. (Sumpah, gue bersyukur banget udah ada teknologi GrabCar pada saat itu.) Sementara itu, gue terus-menerus mencoba menghubungi nyokap yang masih di Dubai, kakak kedua di Taiwan, dan kakak pertama di Jakarta Barat. Sayang seribu sayang, none of them answered my phone. Gue pusing tujuh keliling. Setiap kali gue lihat muka Naru, dia kayak mau bilang, "I'm quite okay right now, just a few blood. Don't mind me but I'm actually dying." Damn. Never been in this kind of situation. Jam 2.30 pagi, gue udah packing kertas buat alas, kain lap, segepok tissue , duit, dompet, minuman, dst. Gue ready buat ke Pluit pagi itu. Tiba-tiba bokap gue bangun lagi dan keluar dari kamarnya. "Kamu mau ke mana?" Nggak gue jawab. Biar! (Buru-buru jalan ke kamar.) "Kamu mau ke mana?!" Biaaarrr!!! (Tetep jalan dalam diam.) "KAMU MAU KE MANA?! MASIH BISA DIAJAK NGOMONG NGGAK?!" Bodoo amaaaattt!!! (Melangkah lebih cepet lagi.) "KAMU MASIH BISA NGOMONG NGGAK!" Gue terpojok di kamar. Akhirnya mau nggak mau gue jawab, "Ke dokter. Mau ke mana lagi?" Terus doi makin ngamuk dong, "KAMU BISA NGGAK SIH NURUT ORANG TUA?! TUNGGU BESOK. PAGI-PAGI BEGINI PESEN TAKSI? GILA KAMU YA? KALAU DIAPA-APAIN ORANG DI JALAN GIMANA?!" "YA MAKANYA ANTERIN. MAU ANTERIN APA NGGAK?!" "BESOK KAMU PERGI SAMA SUPIR. TUNGGU BESOK!" "Pap, lihat itu Naru udah muntah darah. Tunggu apa lagi? Tunggu dia muntahin organnya baru dibawa ke rumah sakit?!" "Kalau muntah darah mah dari kemarin juga Papi sudah tahu!" Mata gue langsung membelalak. "Apa? APA?! PAPI TAHU DAN NGGAK BILANG APA-APA?!" "Ya bukannya nggak mau bilang, tapi... dia emang udah nggak kuat. Tunggu aja besok. Lagian kamu sih ngerawat nggak bener. Selama ini kan dia nggak apa-apa. Sejak kamu bawa ke dokter (buat perawatan jamur dan kutu), dia jadi muntah-muntah. Ini pasti gara-gara dokter itu. Obatnya nggak cocok. Sekarang kamu bawa ke rumah sakit juga palingan dikasih obat doang, terus dia muntahin lagi." "TERUS? TERUS APA? TERUS BIARIN AJA DIA MUNTAH DARAH DI SINI SAMPAI MATI?" "YA BUKAN BEGITU. KAMU JAWAB LAGI SEPERTI ITU PAPI TONJOK MUKAMU." "TONJOK SINI, TONJOK SAMPAI MATI, YANG PENTING ANJING INI SAMPAI DI RUMAH SAKIT." Akhirnya dia diam dan pergi, kembali ke kamarnya sambil banting pintu. Syukurlah, gue pikir gue bakal ditonjok ternyata enggak. Gue pun pergi naik GrabCar jam 3 pagi ke Pluit dengan HP yang udah nggak ada pulsanya. Panik, cemas, sedih. I really needed someone to hold on, but all I had was me and Naru, dan bapak pengemudi GrabCar baik hati yang mau mengangkut kami . Bersyukur banget Naru sangat kooperatif. Meskipun udah lemes, dia masih mau jalan dan ikutin arahan gue. Dia juga nggak muntah di mobil si bapak GrabCar. Syukurlah! Setelah gue mendaftar, kami berdua naik lift ke lantai 2. Pertama-tama Naru ditimbang, dan hasilnya 21,5 kg. Terus dia digendong ke atas meja stainless steel . Di sana ada dokter dan asistennya siap mendiagnosis. Lidahnya Naru udah nggak bisa dimasukin lagi dan berwarna kehitaman di ujung "Anjing kamu harus dirawat inap dan diinfus. Karena dia belum bisa makan, semua obatnya akan diinjeksi. Biaya pengobatannya kira-kira sekian, kamu bersedia?" tanya si dokter dengan tenang. Muka gue sembab banget, tatapan kosong, gue inget-inget isi dompet. Tak lama kemudian gue mengangguk, "Ya, Dok, nggak apa. Saya bayar untuk 1 malam dulu." Setelah dijelaskan lebih lanjut, dokter L memulai pemasangan infus. Ini cukup ribet gara-gara anjing gue udah 10 tahun dan dagingnya alot. Ada sekitar 6 kali si dokter cabut-pasang jarum. Poor Naru... Akhirnya infus pun terpasang dan semua obat langsung diinjeksikan. Naru nampak tenang, aman, dan damai. Dia mulai tertidur di atas kasur sementaranya. Terus gue bersama sang asisten membawa Naru ke ruang inap anjing. Di situ dia ditempatkan dalam sebuah kandang dengan selimut putih nan cantik. Pas kita pindahin dia ke kandang sementaranya, dia bingung gitu. Tegang dikelilingi auman anjing sana-sini. Gue suruh duduk nggak mau. Akhirnya gue tonton dari luar ruangan. Si Naru pipis (mungkin buat nandain kepemilikan, dia suka gitu) dan pup. Well , pipis dan pup itu biasa aja. Yang luar biasa adalah pupnya ternyata darah kentel hitam super bau di atas selimut putih yang cantik! Gue panik banget langsung lari masuk dan manggil dokter. Akhirnya mereka menjalankan tes virus, takut-takut doi kena Parvo atau Corona. Ternyata hasilnya negatif. Jadi dokter bilang dia bakal cek lagi besok. Kalau muntah darah lagi, dia bakal melakukan tes darah. Setelah gue menyelesaikan pembayaran, sekitar jam 6 pagi gue jalan kaki nyari orang jual pulsa. Shit , jauh banget. Terus sambil jalan kaki, gue merenung. WHAT THE HELL IS HAPPENING HERE?! IS THIS A DREAM?! WHAT HAPPENED TO MY DOG?! Gue berasa kesepian banget. WHERE IS MY FAMILY?! But then, tiba-tiba ada bapak-bapak di jalan menyapa, "Pagi-pagi harus tetap semangat ya!" dan gue terdiam, berbalik, lalu tersenyum. Hidup harus terus berjalan. Sampai di klinik, gue langsung naik lagi ke lantai 2 dan ENG-ING-ENG semua orang lagi pada bobo. Yaudah gue nonton Naru bentar di CCTV terus ikutan tidur sampai jam 7 pagi. Tak lama setelah itu gue pesen GrabBike dan pulang ke Manggarai. Gue pikir, lumayan, istirahat sebentar. *** Jam 9.30 HP gue bergetar dan berbunyi. Ada telepon masuk dari nomor tidak dikenal. Jantung gue dag-dig-dug. Gue berharap bukan berita buruk yang akan gue dengar. "Halo, selamat pagi?" "Halo, betul dengan Mbak Ceaecilia?" "Ya, betul." "Kami dari Vitapet mau mengabarkan kalau Naru muntah darah lagi dan banyak sekali sampai semangkok, Mbak. Bagaimana ya apa mau tes darah?" "Ya, tes aja, Mas. Kalau tes virus sudah dilakukan sekali lagi belum ya?" "Sudah, Mbak dan hasilnya negatif. Ini bukan karena virus. Sementara kami tes darah dulu. Kalau Mbak bersedia, mungkin tes organ juga tapi biayanya sekitar sejutaan." ... Sejuta. Again? Jujur. Dompet. Udah. Kosong. TRIGGER WARNING Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu. "Gimana Mbak?" tanya si masnya. "Tes darah dulu aja, Mas. Saya nyampe di sana 2 jam lagi." Gue langsung manggil supir nyokap buat jemput, dan chat kakak-kakak gue yang udah pada bangun. Gue suruh mereka transfer duit saat itu juga. Beruntung respon mereka cepat. Jam 11 siang, mobil gue dateng dan kita langsung cabs ke Pluit lagi. Karena gue bego soal jalanan, kita nyasar-nyasar dan baru nyampe jam 12.30 siang. Gue langsung ngibrit ke lantai 4 buat ngecek si Naru. Sampai di depan kandangnya, badan gue lemes. Air mata gue netes nggak berhenti. Darah berwarna terang berceceran di mana-mana sampai ke lantai. Selimut putihnya yang cantik udah jadi busuk berbercak merah tua, dan di atas itu seekor anjing Golden Retriever terkapar bersama buster collar penuh gumpalan darah yang masih fresh . Pemandangan itu bikin gue terduduk di lantai dan gue nangis di depan kandang Naru. Tak lama setelah itu seorang dokter muda datang menghampiri gue dengan ramahnya, "Selamat siang, saya yang tadi menelepon. Saya sudah melakukan tes darah, Mbak, dan hasilnya Naru terinfeksi bakteri." Gue cepat-cepat berdiri dan mengusap air mata. Agak segan menangis di depan orang asing. Lalu gue pura-pura tegar dan bertanya sambil masih sesenggukan, "So is there any way to save her?" " We'll try our best . Tapi kalau Naru masih muntah darah sebanyak ini, sepertinya it won't make it till tomorrow or the next day. Dia anemia parah, Mbak. Dia butuh transfusi darah dari anjing lain, yang ukurannya juga besar dan sehat." Okay, I can find another dog, pikir gue. "Tapi anjingnya harus banyak, nggak bisa cuma satu aja. Soalnya anjing kamu gede banget." ... This started to sound impossible. Gue cuma bisa diam membisu. Otak udah berusaha muter cari cara, tapi nggak ada solusi. "Saya sarankan kita tes organ juga, Biayanya 700 ribu. Biar lebih tau mengenai infeksi bakterinya. Soalnya... bla bla bla." Mendadak omongan si dokter ini nggak masuk lagi ke otak gue. Pusing. Gue pusing banget. Dari tadi pagi belum makan dan sekarang harus membuat another hard decision?! "Dok, kalau saya kasih tes organ, berapa banyak kemungkinan dia sembuh?" I know this was not a nice question and sounded pretty dumb. But I needed to know! "We'll try our best." Hening. Gue berusaha berpikir keras, tapi nggak bisa. Otak gue mentok. Anjing gue udah 10 tahun. Artinya proses pemulihan akan berjalan lebih lambat. Time is money. Biaya pengobatannya bisa membengkak sampai 7 juta dalam 1 minggu. I don't have that money. Gue juga nggak tau harus cari anjing-anjing transfusi di mana dalam waktu sesingkat ini. Anjing gue bakal mati besok, dan tes organ ini nggak bisa memastikan dia tetap hidup. Akhirnya air mata gue tumpah sekali lagi. Kali ini benar-benar deras sampai gue kesulitan berbicara. Gue coba pelan-pelan mengucapkannya, "Dok, suntik mati aja... nggak apa." dan satu detik setelah gue mengatakan itu, gue nangis sejadi-jadinya karena gue merasa bersalah. Gue bilang ke Naru, "I'm sorry." Apa mau dikata. Gue lebih nggak tega lihat wajah Naru babak belur lebih lama lagi. "Baiklah kalau begitu, kamu ikut saya ke lantai 2 ya. Ada kertas yang harus kamu tanda tangani," ujar sang dokter seraya meninggalkan ruangan. Tertinggallah gue dan Naru, bersama anjing-anjing sakit lainnya di situ. Gue menangis sampai ingus ke mana-mana. Gue belai kepalanya dan bulunya copot semua. Lalu gue berdiri, hendak pamit pada Naru. Mendadak Naru ikut berdiri dan berjalan mendekati pintu kandang. Dia seakan pengen keluar, tapi langkahnya terhenti di depan pintu. Tali infus mengekangnya. Akhirnya dia duduk dengan wajah menjulur ke luar pintu, minta dibelai lebih lama lagi. Mungkin dia bilang, "Jangan pergi dulu. Sebentar lagi, sebentar saja. Tolong lepaskan pengikat ini." Siang itu gue tanda-tangani surat yang menyatakan bahwa gue mengizinkan proses euthanasia. Lalu bersama sang dokter, gue saksikan sahabat gue tertidur untuk selamanya. *** Dan lo tahu apa yang terjadi sepulang gue dari rumah sakit? Bokap gue bilang gue adalah pembunuh. "Anjingnya mati karena kelalaian kamu mengurusnya. Kamu pembunuhnya" Mind you , Naru dibeliin bokap atas permintaan kakak pertama gue, sekitar 10 tahun lalu di tahun 2006 waktu gue baru mau masuk SMP. Kalian expect apa dari anak SMP? Bahkan kuliah aja gua masih pakai duit bokap + beasiswa + kerja siang-malam dan itu aja udah pas-pasan banget. Atas dasar apa, menuduh kematian anjing ini sebagai kelalaian gua seorang diri? Di mana ibu dan kedua kakak gua di saat seperti ini? Kenapa gua sendirian menanggung beban ini, ketika gua bahkan nggak menyalahkan siapapun. Sejak hari itu, tumbuh sebuah trauma dan suatu perasaan pilu yang nggak bisa gue selesaikan hingga hari ini. Hubungan gue dan bokap pasang-surut. Gue nggak mampu membencinya, tapi juga nggak mampu mencintainya. Kosong aja gitu. Maka sejak hari itu, gue bikin janji sama diri sendiri: Gue bakal treat hewan lebih baik. Nggak boleh ada kisah Naru kedua. Gua nggak boleh miskin sampai ngutang sana-sini. Waktu itu gue sempet ngutangin Raynard juga lantaran duit gua habis buat biaya kremasi Naru. Gua harus berdaya, supaya gua bisa mengandalkan diri sendiri. Janji itu gue pegang sampai hari ini. Terima kasih dan maafin gue ya, Nar. Semoga bahagia di surga.
- Saving Naru, Anjingku Part 1
Setelah melewati sidang akhir dan gue dinyatakan lulus sebagai Sarjana Seni, gue pun pulang ke Tangerang untuk menjenguk anjing gue yang katanya sakit. Katanya, beberapa hari terakhir ini, Naru memuntahkan semua makanan yang diberikan. TRIGGER WARNING Kisah ini mengandung darah, child abuse, trauma dan kematian. Bahkan gue yang menulis pun nggak pernah nggak nangis setiap membaca kembali kisah ini meski 10 tahun telah berlalu. Nah, pas gue pulang, gue lihat anjing gue (namanya Naru) tampak lesu. Super lesu. Dieeemm aja duduk ngeliatin gue. Nggak ada kibasan ekor maupun gonggongan khas. Matanya merah membengkak sampai kayak mau copot. Beleknya sejuta menjijikkan. Mulutnya terlihat agak membengkak dan bau muntahan. Bulunya rontok semua begitu disentuh. Lebih ngerinya lagi, I saw few red bumps di perut dia. Gue pencet-pencet, kok keras kayak daging. "Jangan-jangan tumor," kata gue ke bokap yang duduk tak jauh dari Naru. "Nggaklah, nggak tumor. Mungkin alergi aja sama obat kulit yang kamu kasih kemaren-maren." Tapi gue tetep ngotot dalam hati, "Ini pasti tumor, or something even worse. Nggak lucu ah alergi sama obat sampe segininya." Sejak beberapa bulan terakhir gue emang lagi ngebasmi jamur dan kutu ( tick ) dari kulitnya. Awalnya sih oke-oke aja. Lama-kelamaan jadi muntah-muntah, ya gue stoplah itu obat. Tapi dia terus muntah. Gue ganti dog food dengan nasi, dia tetep muntahin juga. Fix to the max gue harus ke rumah sakit. "Halo, Ries, rumah sakit hewan ada di mana aja ya?" tanya gue pada seorang kawan. "Ke Vitapet aja, 24 jam di Pluit." Terus gue galau gitu. Gue tanya ke bokap, "Pap, bawa sekarang aja gimana? Ada RS 24 jam." Tapi bokap gue bilang, "Besok ajalah. Yang penting dia masih mau makan deh." Hmmm... Well pada hari itu Sabtu (27/2) si Naru masih mau makan dan mendadak bisa berdiri ngibasin ekor buat deketin gue. Jadi gue pikir, " Things are gonna be fine! Besok aja deh ke rumah sakit." Malam itu, karena gue capek bersihin muntahannya, gue suruh Naru tidur di luar kamar. Minggu (28/2), gue bangun pagi dan bilang ke bokap, "Pap, yuk ke dokter." "Emang ada rumah sakit buka hari Minggu? Tunggu ajalah Senen." "Ya ada laaah..." "Di mana?" "Di Sunter." "APA?! JAUH BANGET. Besok aja deh kamu sama supir pergi ke sana. Lagipula mana ada sih rumah sakit yang buka hari Minggu." "Ada, Pap. Udah dicek." "Besok aja. Yang penting Naru masih mau makan. Kamu jangan kasih obatnya lagi. Itu pasti sakit gara-gara obat yang kemaren." Anjir, udah dibilangin kalau gue sudah stop obat itu dari lama, masih juga ngeyel. Naik pitam gue ngadepin doi. Akhirnya gue rawat Naru seadanya. Minggu siang, dia masih makan dan muntahin makanannya lagi. Gue mulai browsing how to treat your dog dan semua website mengatakan SEGERA BAWA KE DOKTER. Minggu malam, bokap gue terlihat ngelapin lantai. Dia bilang ke gue, "Si Naru muntah lagi. Kamu masih ngasih dia obatnya ya?!" ( For fucksake enggak! ) Tapi gue diem aja, karena percuma ngomong apapun nggak bakal didengeri, jadi gue langsung ikut bersihin lantai. Malas berdebat lagi. Tapi jujur, malam itu feeling gue nggak enak. Mata anjing gue jeleeeekkk banget. Dia lihatin muka gue memelas, kayak mau bilang, "I'm dying." Jadi gue bilang ke Naru, " Please , sabar, besok gue bawa lo ke dokter. Janji." Gue giring Naru ke kamar dan gue selimutin doi. Lalu gue matikan lampu dan tidur. Beberapa menit kemudian, Naru terdengar mau muntah lagi. Gue langsung bangun dan nyalain lampu. Gue tungguin. Dia liatin gue. Dia nggak jadi muntah. Gue elus palanya, lalu gue matiin lampu. Nggak lama, Naru bangun lagi. Gue tontonin dalam kegelapan. Dia ternyata berjalan mendekati gue, tidur persis di samping kasur gue. Ini kejadian pertama kali banget. Biasanya Naru nggak pernah mau tidur terlalu dekat. Dia selalu tidur di pojok, nggak pernah di deket gue. Feeling gue makin nggak enak. Tapi gue coba untuk tidur. Jam 1 pagi, Naru bangun dan berjalan ke cermin. Dia mengeluarkan suara lembut seperti mengaing. Lembut banget dengan nada penuh kesedihan. Gue bangun dan nyalain lampu. Gue tanya, "Kamu kenapa, Nar?" Dia tatap mata gue dari pantulan cermin. Terus dia berbalik dan badannya berkontraksi. Persis seperti tanda dia mau muntah selama ini. Gue nggak tau harus ngapain dulu, dan tiba-tiba Naru muntahin darah banyak banget. Darahnya kentel merah tua dengan beberapa lendir kekuningan. Gue shock dan langsung nangis dong. Gua lari ambil lap, kertas, tissue , ember, air, apapun. Gue nggak tau mesti ngapain dulu: peluk dulu, bersihin dulu, atau langsung ke dokter. GUE NGGAK TAU HARUS NGAPAIN. Ujung-ujungnya gue bersihin dulu. Terus gue suruh Naru tiduran karena dia tegang banget. Dia kayak takut dimarahin habis ngotorin kamar, tapi dia nggak punya kekuatan buat kabur. Dia cuma tatap gue seadanya, pasrah kalau harus digampar (padahal ya nggak mungkin gue gampar lah ya). Sambil nangis-nangis gue paksa dia tiduran, terus gue bersihin muntahan yang banyak banget itu. Bersihinnya lama sampe gue nyerah. Akhirnya gue buru-buru ambil HP dan cari alamat Vitapet Clinic, terus lari ke kamar bokap. Bersambung.
- Sidang Akhir Nomophobia
FINALLY! Film yang gue buat dengan penuh darah dan doa bersama kawan-kawan akan diputar dan disidangkan tanggal 26 Februari 2016! Dengan demikian perkuliahan gue akan berakhir dan gue akan mendapatkan gelar Sarjana Seni (S.Sn.) Terima kasih pada Mas Pulung dari Super 8mm Studio yang telah mengizinkan kami numpang color grading di sana. Terima kasih pada Andree Sascha yang rela begadang buat bikinin GFX dalam film ini di 7-11 tanpa dibayar!!! Terima kasih pada Bang Ole dan segenap keluarga Synchronize yang mengizinkan kami memaksa Bang Ole untuk kerja semalam suntuk memperbaiki sound film ini. Dan pada akhirnya, terima kasih pada para pembimbing dan penguji yang telah meluluskan kami dengan film yang unik bin ajaib ini! Akhirnya kita lulus juga!!! Filmnya bisa kamu saksikan di YouTube. Nggak bagus-bagus amat sih, tapi bikinnya perjuangan setengah mati. Selamat menikmati!
- Tugas Karya Akhir
"Kalau kuliah film, skripsinya apa sih?" tanya semua orang sambil mengernyitkan dahi. Jurusan film itu emang aneh. Ketika semua orang mau jadi dokter, ilmuwan, dan profesi lainnya yang 'gagah' dan sangat beneficial untuk negara, gue malah memilih mempelajari film. Jurusan apaan nih? Gimana standard penilaiannya? (Sampai saat tulisan ini dibuat, gue belum lulus. Tapi sudah dalam proses menuju kelulusan.) Dalam jurusan film, kampus gue menilai kelulusan mahasiswa dari tugas karya akhirnya, (biasanya kami singkat menjadi TA). TA memiliki berbagai bentuk: bisa film fiksi, film non-fiksi, film animasi, program televisi, dan bisa juga karya penelitian ilmiah yang topiknya seputar perfilman. Bentuk-bentuk film ini juga tidak harus berdurasi panjang. Boleh juga membuat film pendek, asalkan sesuai kriteria durasi yang tertulis dalam buku panduan kampus. Contoh dari pengalaman pribadi, gue mengambil mayor film editing. Gue memutuskan untuk membuat TA film fiksi pendek berdurasi 15 menit. Dalam pembuatan film ini, gue bekerja sama dengan 3 mahasiswa lainnya dari mayor yang berbeda. Ada produser, director of photography (DP), dan penulis skenario. Kami berempat menanggung seluruh biaya pembuatan film ini dan menggunakan karya yang sama untuk sidang akhir. Penilai karya kami adalah para pembimbing (dosen) yang telah kami pilih sendiri. Para pembimbing ini yang akan membantu kami menciptakan karya akhir yang baik dan sesuai kriteria kampus. Saat sidang akhir, mereka akan menilai filmnya berdasarkan mayor yang kami pilih. Karena gue mayor editing, maka yang dinilai dari film pendek tersebut adalah editingnya saja. Kemudian ada laporan Pengantar Karya yang membantu para juri dalam melakukan penilaian editing. Pengantar karya ini adalah karya tulis ilmiah yang sebelas-dua belas sama skripsi. Isinya menjelaskan masalah apa yang dibahas dalam film, kenapa dibahas, dan bagaimana merealisasikannya ke dalam bentuk film. Gue bilang sebelas-dua belas karena isinya nggak serumit bikin proper skripsi. Proses pelaksanaan TA akan berbeda apabila mayor gue adalah kajian sinema. Berhubung mayor ini tidak mempelajari penciptaan film, maka hasil TA-nya tidak dituntut berbentuk film. Mahasiswa jurusan ini berkewajiban membuat skripsi dan penelitian seperti mahasiswa pada umumnya, dan tetap dalam konteks perfilman. Misalnya, meneliti identitas sinema nasional. Nah, semester 7 ini, gue sudah memenuhi semua standard kampus untuk mengambil kelas TA. Harapannya sih bisa lulus lebih cepat, sekitar 3,5 tahun. Waktu gue ambil kelas TA, gue pikir gue sudah siap membuat film yang jauh lebih "bener" dari sebelumnya. Ternyata, oh, ternyata, pemirsa... Proses pembimbingan selama beberapa bulan ini membuat gue sadar bahwa masih banyak hal yang gue lewatkan! Banyak sekali hal yang luput gue pelajari, entah mau nyalahin dosennya, mata kuliahnya, silabusnya, atau salahin ajalah guanya. Intinya, somewhat gue jadi belajar lagi dari awal, dan gue nggak bahagia dengan fakta tersebut. Makanya ada beberapa hal yang ingin kukritisi, tapi mungkin belum saatnya menuliskan hal tersebut.
- Sisi Buruk Dunia Perfilman Wkwk Land
Beberapa waktu lalu kawan gue bahagiaaaaa banget. Dia bilang dia baru aja ditawarin job film layar lebar oleh seorang sutradara muda yang reputasinya sedang naik daun. Selain itu, syutingnya juga akan dilakukan di Afrika selama 2 minggu (yang artinya dia juga dapet jalan-jalan gratis). Kurang keren apa lagi coba? Bener-bener rezeki anak soleha, gua pikir! Sebelum dia berangkat, gue cuma bilang, "Have a safe flight, Bro." Sebulan berlalu dan gue lupa sama dia, tiba-tiba dia ngabarin udah di Jakarta dan ngajak jalan. Maka jalanlah kami berdua, dengan agenda seperti biasa: nonton film Indonesia, lalu ngerumpi sampe pagi. "Bro, gimana syutingannya?!" tanya gue antusias begitu ketemu. Temen gue yang satu ini ternyata nggak langsung merespon. Dia malah sibuk ngomentarin baju kita yang kebetulan sama-sama warna merah. "Kok lu pake baju ini juga sih. Anjrit kita kayak abis pulang kerja dari pabrik yang sama!" dan gue pun hanya tertawa kecil, karena dalam hati gue, kita lebih mirip couple yang ngerayain Natal ketimbang buruh pabrik. Oh, maafkan my chick flick fantasy . Skip cerita, setelah nonton dan makan, kita mulai mencari tempat yang sepi untuk berbicara. Gue sih udah nggak sabar banget dengerin pengalaman dia, tapi daritadi dia nunda mulu. Penuh suspense banget! Setelah akhirnya ketemu lokasi yang oke, JDYAR! Temen gue langsung "tumpah". Gue nggak nyangka pengalaman syuting dia benar-benar penuh darah dan doa! *** Dengan wajah datarnya temen gue mulai curhat, "Hari pertama, lu taulah ya syutingan suka ngaret. Dan emang udah tugas gue kan sebagai astrada 1 untuk ingetin waktu mereka. Makanya waktu mereka udah ngaret banget, gue ingetin, ' Guys , waktu kita tinggal 1 jam lagi, ayo hurry up ya.' Terus ternyata semua orang kesel banget sama gue, Cil. Director gua langsung manggil gue dan bilang, 'Kamu tuh kalau kerja jangan maksain orang buru-buru. Santai aja. Kreativitas nggak bisa diburu waktu. Lagipula kalau film ini udah jadi, penonton tuh nggak peduli sama prosesnya. Yang mereka peduliin tuh hasilnya! Saya mau hasil film ini maksimal, jadi biarin aja kalau overtime!" Gue yang dengerin cuma manggut-manggut. Gue pikir, oh iya juga sih, penonton emang nggak peduli prosesnya. Tapi kan... Tapi kan... Karena ada "tapi" itu gue coba bertanya pada kawan gue, "Tapi kan mereka bikin film ada anggaran biaya? Emangnya produser izinin overtime?" You know , kalau overtime (OT) itu banyak hal bakal didenda. Mulai dari peralatan kamera, lampu, genset, lokasi, property , talent, kru, dst. Overtime is actually a big deal to consider kalau anggaran biaya film lu pas-pasan. "Iya, Sil, gue nggak ngerti kalau soal anggaran mereka gimana. Tapi yang gue tau, yang selama ini kita pelajari di kampus itu ya kalau udah bikin jadwal itu diikutin yang baik. Jadi kerja kita sehat (dapat tidur yang cukup), dan semuanya ada kejelasan serta ketepatan waktu." Gue manggut-manggut, sementara doi melanjutkan, "Terus ya, Cil, kalau gue bikin salah dikiiitt aja, ya ampun itu mulutnya pada jahat banget langsung gue dicaci-maki. Giliran mereka kerjanya lelet, nggak ada yang boleh ditegur. Lu tau nggak sih pas gue lagi ngelobi pemilik lokasi biar syuting ini lancar, ada kru lighting dengan entengnya bilang gini ke gue, 'Enak ya kerja lu, cuma ngomong doang.'" (Tiba-tiba temen gue diem dan tarik napas. Dia coba untuk melanjutkan kata-katanya, tapi tidak ada suara yang keluar. Akhirnya dia diam sebentar.) "Emang job desc. gue itu mostly 'ngomong'. Terus dia kira 'ngomong' itu gampang? Coba mereka yang disuruh ngomong. Pas ada masalah dateng aja semuanya mental chicken , nggak ada yang berani speak up , malah pada cuci tangan. Mereka pikir siapa yang nenangin semua talent ketika talent disuruh nunggu 6 jam atau disuruh akting bahagia jam 1 pagi? Apa mereka bisa nenanginnya? Kalau gue gagal ngomong sama para talent itu, apa mereka bisa lanjutin bikin filmnya? Gue merasa nggak dihargain banget sebagai astrada, dan director gue nggak mencoba melakukan apapun. Gue dibiar-biarin aja diinjek sama kru lain." I felt like I can relate to his experience. Gue udah pernah ngerasain dalam skala yang kecil, dan juga sering denger keluhan temen yang lain, hanya saja so far , pengalaman temen yang satu ini adalah yang paling kacrut yang pernah gue denger. Menurut gue, ada beberapa kebiasaan buruk dan aneh yang udah mengakar sejak kita masih kuliah dan terbawa hingga ke dunia profesional. Sebelum gue kuliah dan bekerja di dunia film, gue kira bikin film itu pasti seru banget! Ya gue tau pasti ada capeknya, tapi tetep terdengar seru. Ngebayangin kerja bareng pecinta film, berjuang bersama mereka, patungan duit buat bikin film yang kece badai, tapi ternyata oh ternyata, setelah gua kuliah dan terjun ke beberapa proyek film, bikin film nggak seindah yang gue bayangkan. 1. Etos Kerja Kita telaah dulu ya beberapa argumen di bawah ini: Sebagian mahasiswa film bukan pecinta film. Kebanyakan orang Indonesia sungkan mengutarakan pendapat pribadinya. Kebanyakan orang Indonesia suka telat berjam-jam. Kebanyakan orang tidak terima dikritik. Gue bisa saja salah, dan kalian para pembaca berhak mengkoreksi. But anyway 4 argumen di atas buat gue valid, karena memang pada faktanya banyak banget orang yang seperti itu, meski tidak semua orang seperti itu. Hal pertama yang harus lo telen ketika lo kuliah film (dan khususnya kuliah di IKJ), adalah fakta bahwa kebanyakan temen lo masuk film bukan karena passion . Kebanyakan dari mereka masuk, karena bingung mau ngapain. Lebih fucked up lagi kenalan gue yang bilang, "Gue masuk film, cuma mau cari temen." Dampaknya ya kelihatan pas bikin film bareng. Karena dari awal dia nggak niat-niat amat jadi ya pengetahuannya juga nggak niat-niat amat ditambahin. Berdampak pula pada etos kerjanya jadi kurang semangat, males-malesan, kurang persiapan, kurang inovasi, dst. Sebelnya, orang seperti ini nggak bisa dikritik! Kritik dia telat aja gue dianggap jahat/lebay/galak sama yang lain apalagi mau mengkritik kebiasaan kerjanya yang nggak sepenuh hati! Ini pula yang bikin lingkungan kerja makin nggak kondusif. Gue sering banget loh dideskripsikan sebagai orang yang galak, cuma gara-gara gue menegur temen yang datang telat. Gue menegakkan apa yang seharusnya kita tegakkan bersama, malah gue yang dianggap berperilaku negatif. Duh, bingung sama Negeri Wakanda! Akhirnya gue belajar menahan diri karena nggak mau dikucilkan sama semua orang. (Suer, gue sampe belajar caranya telat!) Kalau pas kerja sih mungkin masih bisa terkontrol ya, karena ada rasa takut gaji dipotong atau rasa takut dipecat. Tapi ya tetep aja, kok dateng telat dibudayakan dan harus diancem-ancem dulu? Kalau mau kerja ya kerjalah, jangan setengah-setengah terus. Sekali-kali sepenuh hati gitu; jangan nanggung-nanggung, mulai dari waktu, persiapan, dan seterusnya maksimalkan biar hasilnya juga memuaskan. Tapi ya kembali lagi sih ke prinsip awal, passion di film apa nggak? Kalau orangnya bilang nggak passion , apa yang nak saya perbuat, Pakcik? 2. Tidak ada Break Time Ketika mahasiswa bikin film dengan anggaran minim, kita bisa pastikan dalam 2 hari 1 malam itu kita nggak bakal punya break atau pun jam tidur yang masuk akal. Orang sini nggak terbiasa menghargai break time , bahkan ketika lu dalam dunia profesional. Pokoknya kalau udah molor, dan masih ada waktu, genjot terus syuting sampai selesai. Kenapa nggak bisa ada break time ? Menurut gue karena (1) budget dan (2) kurang meluangkan waktu untuk latihan dan persiapan, serta (3) kerjanya sendiri lelet. Kebanyakan orang endonesyah itu jalan aja lelet, apalagi kerja. Belum lagi hobi menunda dan menggampangkan pekerjaan! Hampir semua hal pasti baru dipikirkan di hari H, akibatnya perhitungan meleset, kesalahan teknis terjadi, dan BOOM! Tiba-tiba break time jadi working time . Sedihnya lagi overtime itu nggak pernah dihitung kerja lembur. Gue belum pernah denger tuh temen gue yang kerja di saat dia seharusnya sudah istirahat diberikan biaya ganti rugi. Lebih menyedihkan lagi ketika lu nggak bisa protes, karena atasan lu nggak terima kritikan dan lu juga terlalu takut untuk mengutarakannya. Urgh! 3. Temen di luar Divisi = Musuh Ini lagi yang gue nggak ngerti. Sering banget gue ngelihat orang memperlakukan temen satu timnya kayak musuh cuma karena mereka beda divisi. (Divisi yang gue maksud adalah divisi penyutradaraan, produksi, kamera, editing, dll.) Misalnya dosen gue pernah bilang ke gue, "Cil, kamu sebagai sutradara harusnya paksain ke anak produksi untuk minta tambahan waktu syuting! Tambah harinya. Minta juga property yang lebih bla bla bla... Jangan mau dikasih bla bla bla..." Buset gue yang dengerin bingung. Lah, wong ini projek pake duit gue juga, kenapa gue harus neken temen gue yang produksi? Kenapa harus ada kata "memaksa" dalam kamus kita semua? Emangnya nggak bisa ya gue bilang aja, "Bro, gue mau ini aja. Soal duit, kita patungan lebih lagi gimana? Soalnya filmnya bakal lebih bagus begininini..." Bukankah ada cara yang lebih baik dalam menyampaikan pendapat ya? Toh, kita semua sama-sama pengen filmnya bagus, kalau alasannya masuk akal, masak partner kita mau tolak? (Kecuali partner lu emang retarded dan seleranya kacrut, ya itu lain cerita sih.) Kita itu satu tim, Bro. Rusak satu ya rusak semua filmnya. Nggak lucu kan ada film dengan gambar bagus tapi suaranya bikin telinga pecah. Atau ceritanya bagus tapi gambarnya ecekepret. Semuanya harus bagus bareng-bareng, dan itu terbentuk nggak cuma dari visi sutradara aja tapi juga dari kerja-sama tim . Menurut gue, semuanya kudu klop dan menganggap temennya itu " partner ", bukan "musuh". Tapi faktanya sih... Ehem... 4. Senioritas Hal paling nggak adil di dunia ini adalah ketika lu diperlakukan kayak anjing, cuma karena status lu di situ "bukan siapa-siapa". Gua paling benci sama sutradara yang bahkan nggak mau ngobrol sama asisten astrada 2 cuma karena dia asisten astrada 2. Jadi harusnya tuh ngobrol ke astrada 2 dulu, trus ke astrada 1 baru deh nyampe ke sutradara. Ih, gila, males banget. Bos perusahaan Jepang aja nggak begitu amat. Dalam kunjungan gue ke sebuah perusahaan di Jepang, bos perusahaan itu bahkan membuka pintu kantornya lebar-lebar biar siapapun nggak segan untuk datang dan bicara padanya. Ini baru jadi sutradara film pendek aja udah banyak gaya betul! Apalagi pengalaman temen gue tadi, di mana dia dimaki-maki seenak jidat sama semua orang hanya karena dia yang paling junior. Duh, bikin suasana kerja makin nggak kondusif dan menyenangkan! Anyway , nggak semua orang menyebalkan. Gue bersyukur tempat gue kerja saat ini berisi orang-orang baik yang sangat ramah dan menyenangkan. Gue inget banget pesan dari bos gue di hari pertama bekerja, "Cecil, kalau jam istirahat, kamu harus istirahat ya. Main sama editor-editor yang lain. Jangan keasyikan kerja." Gila sih gue tepuk tangan punya bos kayak beliau. Rasanya bekerja jadi menyenangkan dan bukan demi duit semata. Kita betulan senang dengan pekerjaannya dan senang dengan lingkungan kerjanya. Males banget kan udah kerja di bidang yang lu suka, tapi lingkungannya ngeselin? Terus akhirnya lu kerja cuma demi duitnya doang. Alamak! What a waste of life!
- Apa Bedanya Produser dan Sutradara Film?
Gue baru sadar bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang selalluuuu ditanyakan semua orang, baik yang berminat menjadi mahasiswa perfilman maupun yang cuma sekadar numpang lewat. "Apa bedanya produser dan sutradara?" Pertama, kita lihat dulu definisi dari kedua profesi terkece dalam perfilman ini. FILM PRODUCER Sebuah profesi dalam bidang perfilman yang bertugas memimpin tim produksi untuk memproduksi sebuah film. FILM DIRECTOR Sebuah profesi dalam bidang perfilman yang bertugas memimpin tim produksi untuk memproduksi sebuah film. Loh, definisinya sama aja. Terus bedanya apa? Kok pemimpinnya ada dua? Let me explain, they lead in different aspects, Gaes. Film producer memimpin tim produksi dari aspek finansial; penjadwalan waktu; pengadaan kru, talent , alat, lokasi syuting, akomodasi, transportasi, dan konsumsi. Sementara film director memimpin tim produksi dari aspek kreatif, untuk menciptakan film sesuai visi dan konsepnya dalam kurun waktu yang ditentukan oleh produser , serta dengan segala ketersediaan dan kebutuhan yang telah disepakati bersama. Jadi tim yang dipimpin kedua orang ini berbeda dan kepentingannya tidak saling bertabrakan. Lo ngemeng ape sih, ane nggak paham. Uhm... Maksud gue gini. Gue kasih contoh ya. Waktu gue mau bikin film "IMPAS" buat Praktika Terpadu, gue dan kelompok gue melewati proses Development terlebih dahulu. Di situ kita cari ide cerita. Ide cerita nggak mesti dateng dari sutradara atau pun produser . Ide cerita boleh dari siapa saja asal yang punya ide setuju idenya dipakai buat jadi film. Terus kita dapet ide nih, "Gimana kalau kita bikin film tentang seorang anak yang mencuri ayam tetangganya? Kita bikin film yang menunjukkan bagaimana sebuah proses balas dendam itu kayak lingkaran setan." Nah, berangkat dari situ, sang sutradara mulai berkhayal, "Oh, gue mau filmnya kayak film Petualangan Sherina nih—drama keluarga. Terus kameranya handheld , warna filmnya agak yellowish , terus anak ini tinggal di perkampungan Betawi, di mana warganya banyak miara ayam jago." Mendengar imajinasi sang sutradara , mulailah produser membelah otaknya. Hahaha... Yak, dia mesti pikirin gimana caranya itu film jadi sesuai visi si sutradara . Dia mesti pikirin kita syuting di mana yang bisa terlihat kayak perkampungan Betawi; pikirin siapa aja kru tambahan buat bantuin kita merealisasikan visi itu; pikirin sewa steadycam di mana biar handheld kameranya lembut; terus estimasiin anggaran buat bikin film itu sampai didistribusikan; terakhir, doi kudu bikin jadwal dari meeting, casting, hunting , syuting, termasuk jadwal editing gambar dan suara serta distribusi film. Udah sedikit nangkep kan bedanya mereka berdua? Dari pengalaman gue selama bikin tugas kuliah sih, gue belajar bahwa faktor kesuksesan sebuah film yang pertama jatuh pada produser . Oke, lo dapet sutradara mantep, kru lain mantep, tapi kalau produser lo brokap. Masya Allah, man , film lo bisa brokap dan pengeluaran bisa bengkak nggak terkontrol. Terus kalau produser nya mantep, tapi sutradara nya nggak mantep, gimana dong? Film lo bisa jadi ambigu, terhimpit di antara kebrokapan dan ketidakbrokapan. Eh, bentar, brokap itu apaan sih? Uhm, gini, brokap adalah sebuah kata sifat tidak baku yang berasal dari Bahasa Inggris broke up , atau broken . Brokap digunakan untuk menyatakan sesuatu yang hancur, tidak benar, atau menyedihkan. Contohnya lo lagi kena musibah: diputusin pacar, nilai kuliah anjlok, tawaran kerja seret, maka lo bisa bilang, "Gue lagi brokap nih." Mari kembali ke topik, kalau begitu sutradara dan produser sama pentingnya dong? Nggak, Bro, masalahnya meskipun lo dapet sutradara bagus, kalau produser nya nggak bener, filmnya bisa hancur. Anyway, this happened to my friends. Their team used to be great. Gue ngiranya kesuksesan mereka berkat kecerdasan sang sutradara . Ternyata setelah grupnya dipecah, (masing-masing kerja sama tim yang lain) yang sukses dapet nilai A cuma 1 orang, dan dia adalah sang produser . Sejak itu gue semakin yakin kalau dapet produser yang berkualitas sangaaatt membantu kesuksesan sebuah film, khususnya dalam skala perkuliahan di mana anak-anak masih baru belajar dan coba-coba. Sekian deh post saya. Oh iya, this post was dedicated for Ricky, anak sialan yang bilang muka gue kayak anak SMA, yeay! It was fun to have a Q&A session with him. Semoga lulus UN ya!
- Summer Fling
Uuu yeah, akhirnya liburan juga. Segala ujian sudah kelar, beberapa pekerjaan tertunda, dan saya siap berpetualang kembali! Kali ini destinasi gue adalah Bali dan Lombok selama 8 hari. Gue dari Jakarta ke Bali-nya sendirian, tapi di sana sudah ada kawan lama menanti. Kangeeenn.... Nggak sabar ketemu mereka. Terus ke Lomboknya juga sendiri dan di sana sudah ada Try yang bakal menampung gue selama 2 malam. Pokoknya gue udah excited parah, udah packing nih, udah ready banget. Everything is gonna be all right and fun! Ngomong-ngomong soal random nih; gue baru sadar, hal yang paling bikin gue bahagia dulu tuh buku komik. Tapi sekarang udah nggak lagi. Sekarang jalan-jalan yang bikin gue bahagia banget. Ngurusin jadwal perjalanan, ngebayangin jalan-jalannya, ngebayangin gue tersesat atau ada kejadian lucu... So exciting! Dulu pas gue ke Jepang ada kejadian lucu yang agak terlupakan dan baru-baru ini gue inget. Ceritanya gue lagi nunggu bus datang, cuman gue takut gue nunggu di tempat yang salah. Maka gue nanya ke seorang cowok apakah dia menunggu bus yang sama dengan gue. Eh, ujung-ujungnya kita malah ngobrol. Hahaha... Dia nanya nama gua, muji-muji gua, terus cerita soal kampung halaman dia (yang sayangnya gua agak nggak paham karena kosakata Jepang gue sedikit), terus dia ngasih gue kipasnya dengan tanda tangan plus email. LOL Geli banget! Terus udah deh kami berpisah saat bus telah datang. Kemarin gue habis nemuin kipas itu lagi, makanya jadi inget. What's the best advice for moving on? Find a new love. That's what people had been telling me over the past months, and I should thank my pals for making it happen—I guess. Last weekend, I went to Bali with them; they came up with this crazy idea: setting me up with a total stranger. Crazy enough, right? FYI, here's what you need to have a blind date in the digital era: A smartphone A Tinder app Voila! You are ready to find a new love—hopefully. But in my case, I didn't have a smartphone. Well, yeah, my Blackberry was smart, but not smart enough to have Tinder. So my friend had to lend me his iPad, and they worked together to set up my profile on Tinder. They picked the best photos from my Facebook, arranged them, did everything—even choosing guys. I almost screamed when they passed on someone I was really interested in, "Hey, guys! It should be my preferences!!!" But they ignored me. LOL, my pals. The funny thing was, I got matched with almost 60 guys in town, and only about 15 of them messaged me back. I thought, "What happened to the rest?" But never mind. In the end, I had really good conversations with only two people since some guys turned out to be escorts (and they mentioned it proudly!) while some were uninteresting. Amazing experience, I thought (FYI, gue baru pertama kali pakai Tinder di tahun 2014 itu). While I chatted with these guys, my pals kept track of me and sometimes did the chatting instead of me. (I guess I was that lame at chatting.) One time, a guy sent me an emoticon like this "XD" and my friend freaked out, "Dammit, he's as Japanese as you!" But I actually liked it. I guess using "XD" won't harm you, will it? After all, he asked me to meet him, and I said, "Why not?" So was he the one? XD The Preparation My friends were all happy about it. It was as if their mission to Bali was successful. They helped me with advice and picking the right outfit for that night. It was hilarious because I didn't bring too many clothes and most of them were not really pretty. So we had to go shopping. Shopping with two guys who knew fashion way better than me was an epic experience. They were really helpful (and yes, they were the ones who did the chatting and stuff for the past few days). We went to this cute little shop called Somewhere at Jalan Seminyak. I really loooveeeed this shop and I wished I had more money because all the clothes were damn pretty and expensive! But I did buy a dress and shoes, which cost me around 60 bucks in USD—and somehow I didn't regret spending that much. :3 I tried on three dresses, and it was funny when I had to go out of the changing room to show my friends. They asked me to turn around and the clerk was looking at me. Hahaha... That sensation felt exactly like in a movie. Seriously, ma vie est un film (my life is a movie). Uh oh, time was ticking. It was almost time to meet that guy and I felt nervous. We went to that place by car and I had to calm myself with Two Door Cinema Club's song "Next Year" before we really arrived. All of my friends said they would keep an eye on me in case this guy was harmful or something. Hahaha... I just hoped he would not be. The Blind Date "YEAH! YOU'RE SO GONNA GET LAID TONIGHT!!!" screamed my friend with joy, scaring the hell outta me. Please, I'm not ready for anything like this. I just wanted to have a nice conversation. I am so not ready. Should I just open the door and run away? For real, I was that nervous and wished I had canceled the date, but... I didn't. "Look, there he is!" my friend pointed to a tall guy in a black polo shirt, not far from us. Oh, so it was him. He didn't really look like his photo, but uh, okay, I should say hi to him. Uh oh, I was so nervous... That guy, let's just call him L, waved his hands, looked surprised, and smiled. Probably because of the dress I bought, which made me look like a whore. (I asked my friends several times about that dress and they were really sure it was okay.) But I guess it was not. A lot of people stared at me. I don't know if it was the dress or the guy I was with. Hmmm... I guess next time I go on a date, I shouldn't ask my friends for suggestions again. It was a trap! Anyway, the date turned out alright. We had a really nice conversation, jokes, and surprisingly attracted more strangers to join us. (I guess he really had that charisma to attract people effortlessly.) We had conversations with the waiter, the bar owner, a random man, aanndd it was fun. Hahaha... First time in my life! Next time I came back from the toilet, he already had a sexy woman sitting beside him, and I was like, "WTF?" I stepped back because I was shocked. But then I decided to walk towards him, raised my eyebrow, and asked, "What the hell?" He just smiled, actually laughing a bit, "No, please sit down here. I don't know that woman!" and I was like, "Uh, okay... Maybe he was right?" Then he took several minutes to explain what was really happening. He said, "That woman just came here and said, 'Can I sit here?' and she sat without even waiting for my answer! Then she tried to get closer, I guess she wanted something from me. I'm really sure of it." Simply put, that woman had to be a hooker. Well, no wonder she was around the town since it was already her time to rise. I was so surprised this man would experience that. Maybe he was that hot, or maybe it was only because he was a foreigner. I don't really care. Anyway, we ended the date nicely and... Love ends as the changing of the seasons start. Maybe someday You'll be somewhere Talking to me As if you knew me Fast forward to 2018, L and I meet again in Berlin, as friends.















