
Search Results
174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Akhir dari Tragedi Dharma Putra
Persis setahun yang lalu Ku dijauhkan dari yang tak ditakdirkan untukku Yang kuingat saat itu Yang kulakukan hanya menggerutu Angkuh Lebih percaya cara-caraku Pilih ragukan rencana Sang Maha Penentu Untungnya bumi masih berputar Untungnya ku tak pilih menyerah Untungnya ku bisa rasa Hal-hal baik yang datangnya belakangan "Untungnya, Hidup Harus Terus Berjalan" Bernadya Lirik lagu di atas benar-benar menggambarkan situasiku saat ini. Sudah hampir setahun berlalu sejak hubungan seriusku kandas. Awalnya berat untuk bersyukur, tapi lama-kelamaan aku sadar juga, bahwa ini adalah jalan yang terbaik. Flashback sedikit: November 2023 lalu seorang Tarot reader yang kutemukan di Instagram secara random mengatakan bahwa (mantan) calon suamiku sudah selingkuh sejak lama. Sulit dipercaya ya? Tapi ternyata ramalannya benar. Malam itu setelah kubongkar HP si mantan, kutemukan banyak chat senonoh antara mantan dengan seorang perempuan yang tidak kukenal. Ternyata mereka sudah berhubungan selama bertahun-tahun, meski sebatas online . Awalnya aku nggak bisa menerima kenyataan. Aku marah, tapi juga belum rela berpisah. Gimana ya? Waktu itu rencananya 1 bulan lagi mau lamaran di Plataran, dan 6 bulan kemudian akan menikah di New Zealand. Bagaimana caranya menerima bahwa di usiaku yang ke-30, aku gagal dan rencana hidupku harus kurombak lagi dari awal? Belum lagi pada waktu bersamaan, aku kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, dan tentunya kewarasan. Berbulan-bulan aku menangis, mengurung diri, traumatis. Dan di kala itu pula aku bolak-balik psikolog serta konseling pranikah bersama si mantan, berharap ada yang bisa diperbaiki. Meski nyatanya, tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Post ini kutulis untuk menutup chapter hidupku di Jl. Dharma Putra — kontrakanku yang lama bersama si mantan . Sebentar lagi aku akan pergi ke Jerman, dan sebelum aku pergi, aku ingin menuliskan hal-hal baik apa saja yang akhirnya bisa kupetik. Semoga sedikit berguna untuk kalian yang membaca atau mengalami hal yang serupa. Tapi sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada orang-orang baik yang ada di sekitarku di saat aku jatuh kemarin. Karena tanpa mereka, perjalanan ini akan SANGAT lebih sulit. Aku beruntung ditemani kalian! Ada Anan, yang terbang dari Bali untuk menemani hari-hariku di Jakarta yang hampa. Ada Julius dan Chacha, yang langsung datang menjemputku untuk menginap di Cikarang, sekaligus mencarikanku pekerjaan. Ada Tante Jasthi, yang sigap mencarikanku rumah sementara. Ada keluarga kandungku, yang langsung mengarahkanku untuk pergi ke Jerman. Ada Bhaskara, yang (setelah Anan pulang) setiap malam menelepon untuk mendengarkan kisah yang sama beratus-ratus kali , termasuk suara tangisku dan ketololanku. Terakhir, ada Pak Ed yang tiba-tiba muncul dalam hidupku dan memberikan penutup yang sangat manis dalam chapter ini. Tentunya masih banyak lagi orang-orang baik yang rajin menyapa, mendengarkanku dan mengajakku jalan agar aku tidak putus asa. Terima kasih banyak ya, benar-benar terima kasih. Now, let's check out my key learnings! 1. Set Your Boundaries Ini adalah pelajaran terbesar yang aku petik dari pengalaman kemarin. Aku bablas. Tapi aku nggak heran kenapa aku bablas. Pasalnya, aku memang kekurangan contoh ataupun role model yang bisa kutiru perihal boundaries atau batasan. Dan dari kecil, aku kebiasaan dididik untuk memikirkan orang lain (yang sifatnya agak ekstrem), karena katanya kalau aku membela diri = egois. Jadi aku bingung batasannya di mana yang tidak membuatku terlihat egois. Beberapa batasan penting atau red flag 🚩🚩🚩 yang aku biarkan (dalam arti aku toleransi atau maafin) antara lain: Membiarkan pasangan memaki aku di depan umum Membiarkan pasangan tidak menepati janji berkali-kali Membiarkan pasangan selalu menyelesaikan masalah dengan alasan, "Nggak kepikiran," ataupun, "Nggak tahu." Membiarkan pasangan pasif dalam segala aspek Membiarkan pasangan bermain fisik (mendorong, memukul, dll.) baik itu diarahkan pada benda mati maupun pada diriku Oke, sudah cukup 5 poin di atas saja sudah sangat keterlaluan, dan BODOHNYA aku mengira bahwa itu semua bisa diperbaiki dengan komunikasi. Enggak, beb! Cecil sayang nan lugu ini terlalu tolol untuk paham bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti itu seharusnya ditinggalkan saja. Yup, you read it right! Tinggalkan. Putus. Akhiri hubungan kalian. Kalau kalian berpikir: tapi dia minta maaf kok, tapi dia janji berubah kok, tapi dia ada sisi baik yang lain kok. Berarti fix kalian nggak punya boundaries (batasan) untuk menghargai diri kalian sendiri. Seharusnya, saat itu aku bisa berpikir lebih sehat seperti ini: Kalau gue aja orangnya nggak tegaan, nggak akan sampai hati melukai orang yang gue sayang sampai kayak gitu, maka gue pun pantas mendapatkan pasangan yang juga nggak akan tega menyakiti gue seperti itu, apapun yang terjadi. Atau kamu bisa juga berpikir: Gue aja nggak perlu dikasih tau untuk tau bahwa hal-hal di atas itu jahat banget, karena gue peduli sama perasaan dia. Masak orang ini harus komunikasi dulu untuk tahu? Berarti dia nggak peduli dong perasaan gua? Terutama untuk para wanita yang mengira bahwa, "Yah namanya juga laki-laki," then let me assure you bahwa kebaikan tidak mengenal gender . Orang tuh kalau baik ya baik aja, nggak masalah gendernya apa. Jadi kalau kamu ketemu pria yang cuek, nggak peduli perasaan kamu, dan tidak mau inisiatif cari solusi untuk menyelesaikan masalah, ya berarti dia jahat. Berarti dia nggak peduli perasaan kamu. Dan itu nggak ada urusan sama gendernya. Karakter seperti itu juga ada di beberapa wanita. Ungkapan yang lebih tepat adalah mendeskripsikan orang-orang seperti ini sebagai emotionally unavailable (tidak punya kapasitas emosional untuk berperasaan memikirkan orang lain!), ketimbang kita sebut, "Ah, namanya juga cowok!" 2. Be Firm with Your Boundaries Aku perlu mengulang hal ini kembali karena menentukan boundaries saja nyatanya tidak cukup. Meskipun aku udah tahu batasan toleransi yang bisa aku berikan, kadang aku luluh dan jatuh lagi karena ucapan-ucapan seperti: "Gini aja kok langsung ajak putus? Katanya segala sesuatu bisa dikomunikasikan?" Atau, "Aku mukul, soalnya kamu bikin aku marah. Kalau kamu nggak bikin aku marah, aku nggak akan sampai seperti ini. Aku tuh sebenernya masih sayang sama kamu, aku nggak mau putus." Hati-hati ya, gengs. Ucapan di atas akan membuatmu merasa, "Iya, juga ya? Apa gue yang lebay ya sampai minta putus perihal gini doang?" Di sinilah titik di mana kamu harus firm (tegas, yakin, kokoh) dengan pendirianmu terhadap boundaries atau batas toleransi yang bisa kamu berikan. Kalau kamu bilang main fisik itu red flag , yaudah, mundur. Mundur meskipun kamu terlihat seperti orang egois, jahat, nggak bisa diajak komunikasi, bla bla bla. Abaikan hinaan dia dan... Mundur! Ingat, bahwa orang yang beneran sayang nggak mungkin melukaimu sampai melewati batas toleransimu. Ngapain pacaran sama orang yang tega ngelukain kamu? Dan aku paham, pasti sulit berpikir rasional di saat kejadian itu sedang berlangsung. Aku paham bahwa akan ada pemikiran-pemikiran seperti, "Tapi aku masih sayang sama dia. Tapi cuma dia yang ngertiin aku," dan seterusnya. Tapi aku di sini untuk kembali mengingatkan bahwa, apa sih serunya hidup sama orang yang katanya "ngerti" kamu banget, tapi nggak bisa menjaga perasaanmu dengan menghargai batas toleransi kamu? Kalau dia ngerti dan nyambung banget, ya red flag 🚩🚩🚩 ini nggak akan terjadi. Mundurlah, sekalipun mundur pun melukai keinginanmu untuk hidup bersama dengannya. Kamu berhak bahagia bersama orang-orang baik sebagaimana kamu pun baik dengan orang sekitarmu. "Emangnya ada orang lain di luar sana yang bakal baik sama aku?" Jawabannya ADA, kalau kamu sudah bisa set your boundaries and be firm with it . Maksudnya gimana? Maksudnya adalah: kalau kamu ketemu orang-orang jahat lagi ya skip dari awal. Jangan terlalu banyak investasi waktu sama orang yang salah. Tahu salah -nya dari mana? Dari boundaries yang sudah kamu tentukan. Kalau kamu nggak punya boundaries , ya kayak pengalaman aku tadi, segalanya aku terabas dan bablas. Aku membiarkan hubungan putus-nyambung hanya dengan sebuah kali mat cliché , "Aku janji bakal berubah, maafin aku ya." Saat itu, aku nggak paham bahwa aku nggak butuh dia berubah setelah semua yang telah terjadi. Aku butuh orang yang memang sedari awal sudah sevisi mengenai cara memperlakukan pasangan dengan baik. Hal-hal seperti ini bukanlah tanggung jawabku untuk mengajarinya. Percayalah, kalau orang udah bucin, pasti dia upayakan sendiri tanpa disuruh. Nggak mungkin sampai harus kejadian dulu lalu baru belajar. Artinya, kalau sampai pasangan kita tega melukai hati kita dengan selingkuh, memukul, berbohong, atau apapun itu, ya berarti dia nggak bucin, alias nggak cinta-cinta amat sampai mau berkorban-belajar-sendiri menjaga perasaan kita. Dan kini aku percaya, orang-orang seperti itu bukanlah orang yang kita butuhkan sebagai pasangan hidup. 3. Ibunya saja Gagal, Apalagi Aku Poin terakhir yang aku petik, dan yang aku yakin sudah sering kita dengar adalah: kita nggak bisa mengubah orang lain. Jika ibunya saja tidak bisa, apalagi aku yang bukan siapa-siapa (dan jika hanya ibunya yang bisa juga tetap red flag 🚩 ya, gengs). Jika kita sampai harus mengubah seseorang untuk menjadi cocok dengan kita, sebaiknya akhiri saja hubungan itu dan cari orang lain yang memang sudah cocok sejak awal dengan kita. Kecocokan itu nggak cuma sekadar seru diajak ngobrol ya, tapi juga cara hidup, prinsip hidup, cara memandang persoalan, dan cara-cara lainnya. Sialnya, I was a strong believer that everything can be talked out through words. Mirip-mirip Viktor dari The Umbrella Academy yang selalu kasih solusi, "Aku bisa ajak dia bicara!" Karena faktanya ENGGAK. Enggak semua hal bisa diselesaikan hanya dengan komunikasi, karena enggak semua orang bisa dan MAU diajak berkomunikasi. Nyatanya, banyak orang enggak mau mendengarkan pendapatmu dan nggak peduli dengan apapun yang kamu rasakan. Meskipun di mulut dia bilang dia peduli. Jadi satu red flag 🚩 yang aku abaikan di hubunganku kemarin adalah, ketika ibunya sendiri sudah memperingatkanku bahwa anaknya ini harus di-emongin , atau dengan kata lain diurusin seperti anak bayi. Mulai dari diingatkan mandi, sikat gigi, belajar, dll. Waktu pertama kali aku dengar, aku cuma ketawa. Kirain gitu doang. Kukira orang akan dewasa pada waktunya kalau cuma persoalan mandi, sikat gigi, dll. Tapi ternyata aku salah. Itu adalah pertanda bahwa anak ini (1) nggak punya aturan hidup, (2) nggak merasa punya tanggung jawab, dan (3) kebiasaan dimanjain, sehingga bisa bersikap seenaknya. Masak udah usia 32 tahun masih nggak bisa ingat kapan makan, kapan mandi, kapan sikat gigi? Bagaimana nanti kalau berkeluarga denganku dan punya anak? Siapa yang bisa kuandalkan untuk membantuku mengatur anak-anak kicik mandi dan sikat gigi, kalau bapaknya saja masih harus kuatur juga? (Tentu saja ini hanya perumpamaan sederhana, pada faktanya yang terjadi jauh lebih besar dari sekadar mandi dan sikat gigi. Intinya, waspadalah dengan orang yang belum bisa mengurus dirinya sendiri. Kalau dengan diri sendiri saja belum beres, jangan harap bisa mengurus orang lain.) 🔶🔶🔶 Itu dia 3 hal penting yang aku petik. Tentu masih ada sejuta hal lain lagi, tapi mungkin tidak perlu diceritakan di sini. Yang pasti, aku sudah happy sekarang. Lega bisa melewati perjalanan konyolku bersama si mantan yang sukses memporak-porandakan hidupku. SYUKUR PADA ALLAH AKU NGGAK JADI NIKAH SAMA DIA. Syukur pada Allah, mataku dibukakan. Dan seperti lirik lagu Bernadya yang tadi kita baca di awal: Untungnya bumi masih berputar Untungnya ku tak pilih menyerah Untungnya ku bisa rasa Hal-hal baik yang datangnya belakangan Boundaries itu akhirnya membawaku pada orang-orang baik yang bisa berkomunikasi serta menghargai pemikiran, sikap, dan semua keanehanku tanpa prasangka, tanpa gaslighting , dan tanpa konflik yang tidak penting. Ternyata aku lebih bahagia tanpamu.
- Aku Nangis Hari Ini
Nggak ada angin, nggak ada hujan, tiba-tiba air mataku numpuk di pelupuk mata dan perlahan mengalir, membasahi pipi yang kering karena cuaca di musim dingin. Tapi rasanya juga nggak asing, tiba-tiba menangis sudah jadi ritual bulanan. Pemicunya? Memori lama yang nyelip di kepala, seolah-olah otakku menekan tombol rewind tanpa izin. Memori ketika aku merasa punya segalanya. Hidupku selama ini seperti menaiki tangga . Pelan-pelan, anak tangga demi anak tangga, meski kadang tergelincir ke bawah. Tapi aku selalu bangkit. Aku naik lagi, menghadapi tantangan semesta yang meliuk-liuk. Dalam perjalanan itu pula, aku selalu berdoa, memohon kebijaksanaan. Kalau memang jalannya bukan untukku, aku siap menerima. Walau pahit, aku telan. Tapi sekarang, hidupku beda. Rasanya seperti tangga yang dulu aku jalani buntu. Lalu aku dipaksa dan didorong, dilempar ke sebuah jurang di antah-berantah. Dan satu-satunya cara untuk survive, hanyalah membuat tangga yang baru dengan ilmu dan pengalaman yang pernah aku punya. Nggak ada lagi tangga lama yang sudah aku bangun bertahun-tahun. Semuanya hilang dan yang tertinggal hanyalah hal baru dan asing, dan itu yang kurasakan saat ini. Pindah ke luar negeri adalah mimpi lama yang terkubur. Aku nggak pernah membayangkan 2024 akan jadi tahunnya. Padahal fokusku waktu itu sederhana: menikah, membangun karier, dan memulai keluarga di Jakarta. Tapi hidup, seperti biasa, punya caranya sendiri buat bercanda. Segalanya dimulai dari telepon receh dengan seorang tarot reader. Dia bilang mantanku selingkuh. Dan awalnya aku melawan. Aku coba pertahankan hubungan itu, meski rasanya seperti memungut serpihan kaca yang tajam. Tapi semesta lebih keras kepala, rencanaku dipatahkan tanpa aba-aba, hubunganku dan si mantan dibuat kandas di tengah jalan. Efek domino dari perpisahan kami adalah: semesta juga memaksaku keluar dari rumah yang kupikir akan jadi tempatku memulai keluarga. Aku nggak sanggup bayar sewa rumahnya lagi, karena kalau sebelumnya bisa patungan sama mantan, kali ini aku harus bayar sendiri dan rasanya biaya itu nggak worth it banget untuk aku yang baru saja kehilangan pekerjaan. Iya, waktu itu, setelah kehilangan pasangan, aku harus resign dari pekerjaan tetapku lantaran aku depresi (meskipun ringan). Tapi aku SAMA SEKALI nggak bisa kerja, bagaimanapun kamu memaksaku untuk semangat menjalani hidup. Pokoknya waktu itu aku nggak bisa. Pekerjaanku memang sedang bagus-bagusnya, tapi tekanannya luar biasa tinggi. Aku nggak bisa kerja di bawah tekanan setinggi itu, di saat kehidupan pribadiku juga sedang dalam guncangan besar: mengetahui calon suami selingkuh itu ternyata benar-benar traumatis. Meskipun aku sudah pernah membahas hal seperti ini dengan teman-temanku, dan berpikir bahwa, "Ya, kalau selingkuh mah tinggalin aja lah. Nggak bisa dimaafkan." Tapi nyatanya saat kamu mengalami peristiwa itu langsung, otakmu nggak bisa jalan dengan sebegitu lancar dan logisnya. Ada perasaan yang terluka, karena ternyata selama bertahun-tahun kamu dibohongi oleh orang yang kamu percaya sehidup-semati. Dan luka itu besarnya bukan main, mengguncang semua kepercayaanmu akan dia dan hidupmu pribadi. Kamu akan mengalami keraguan tentang dirimu sendiri seperti, "Ternyata gue selama ini bodoh banget ya? Jadi selama ini gue nggak bisa menilai dia dengan baik ya? Kok gue nggak sadar ya?" Dan kamu nggak akan bisa fokus untuk berpikir logis. Bayangkan, di tengah keadaan yang kacau, kehilangan pekerjaan, dan masa sewa rumah yang habis, aku harus tetap berpikir logis agar bisa bertahan. Aku paksakan diri untuk mencari pekerjaan baru, meski perekonomian saat itu sedang sulit bagi semua orang. Banyak teman yang tanya soal pekerjaan, padahal aku sendiri juga sedang menganggur. Aku coba cari rumah kontrakan di Jakarta yang lebih terjangkau dan bisa bawa hewan peliharaan, tapi nyatanya ya susah. Hampir mission impossible. Semua terasa jatuh beruntun: pasangan, rumah, pekerjaan. Aku terpaksa ganti semua rencana hidup yang sudah aku bangun dan rangkai dengan matang. Sehingga ketika kakakku menyarankan untuk kuliah di Jerman, dengan cepat ide itu kuiyakan. Nggak pakai pikir panjang lagi, meski aku nggak pernah tertarik ke Jerman. Karena pada saat itu ya aku nggak bisa berpikir dengan jelas. Tapi secara insting, aku percaya bahwa Jerman akan menjadi satu-satunya pintu keluar dari kekacauan ini. Bertahan di Jakarta? Rasanya seperti menyiksa diri. Di kehidupan sebelumya aku punya kerjaan keren dengan gaji dua digit, rumah yang proper, dan hidup yang nyaman dengan dua anjing kesayanganku—aku nggak siap turun kelas. Apalagi kembali ke Bali, meski di sana ada kedamaian, tapi langkah itu terasa seperti kemunduran. Sekalipun aku suka banget tinggal di Bali! Aku, Gin, dan motor butut kami Makanya tanpa ba-bi-bu-be-bo, di bulan Desember 2023 aku langsung gas bikin plan baru untuk pindah ke Jerman. Aku jual mimpi lamaku demi mimpi baru yang terpaksa kurancang ulang. Tabunganku habis, mentalku teracak-acak, tapi aku tetap ngotot mencari cara untuk berangkat ke Jerman. Aku sudah coba juga cari beasiswa ke negara lain, tapi untuk kondisi usia, karir, dan prestasiku yang gitu-gitu aja, nyatanya sulit. Aku juga nggak mau sembarangan beasiswa, kuliah, dan lulus tanpa tahu mau apa. Kalau cuma untuk turun level, sepertinya tinggal di Jakarta saja sudah cukup menyebalkan. Aku nggak mau. Aku maunya pindah ke negara baru utuk peningkatan kualitas hidup yang sudah tidak bisa kudapatkan lagi di Jakarta saat itu. Dan oleh sebab itu, aku menangis hari ini. Aku merasa hidupku dirampas oleh semesta. Aku kehilangan pasangan, rumah, karir dan anjing yang aku sayang. Aku nggak diberikan pilihan yang seimbang. Dan aku terpaksa harus memilih pergi ke Jerman, demi menyelamatkan segala yang tersisa dalam diriku. Aku dipaksa untuk melepaskan dan hanya menyimpan hal yang benar-benar esensial. Aku dipaksa untuk mengkaji ulang karir yang bisa menjaga kewarasanku. Aku dipaksa untuk kembali merepotkan keluarga, mengandalkan mereka dalam pembiayaanku ke Jerman termasuk merawat kedua anjingku sementara ini sampai aku bisa berdiri lagi dengan kaki sendiri. Aku dipaksa untuk membuang harga diriku ke laut: terima fakta bahwa dalam usiaku yang ke-30, aku nggak becus mengatur hidup, aku gagal memilih pasangan, gagal menata keuangan, dan gagal menjadi perempuan yang berdaya. Semesta memaksaku untuk terima dengan tutup mata. Meski pada akhirnya indah, bahwa aku bisa ke Jerman dengan kehidupan yang relatif nyaman, tapi bukan berarti ini mudah. Seperti yang kutulis di awal, setiap bulan, ada kalanya aku menangis. Melihat foto-foto lama, mengingat hidup yang dulu kupikir sempurna, meski penuh pahitnya juga. Hari ini pula aku membuka kembali foto-foto mantanku, rindu. Aku menyadari bahwa aku sudah tidak begitu marah padanya. Aku sudah lebih lega. Aku sudah mulai bisa mendoakan semoga ia bahagia dengan hidupnya. Nggak ada lagi yang aku inginkan darinya, dan nggak ada lagi yang perlu kuucapkan padanya. Aku sudah mulai bisa membuangnya perlahan-lahan dari ruang di hatiku, meski kadang rindu masih menyelinap. Entahlah, aku tidak tahu persis bagaimana caranya mendeskripsikan perasaan rindu yang saat ini kurasakan. Aku bukan ingin kembali atau mengulang kehidupanku yang lama. Apalagi balikan dengan mantan, eww. Enggak, bukan itu. Aku hanya secara mental belum siap menerima bahwa hidupku harus berubah drastis dengan cepat. Rasanya kayak baru kemarin aku masih di Pondok Indah. Aku belum siap keluar dari rumah yang aku suka, meninggalkan pekerjaan yang kusuka, meninggalkan anjing yang kusayang, dan tiba-tiba BOOM aku di Jerman dengan segala rutinitas yang benar-benar berbeda. Dan aku nggak punya pilihan lain yang lebih ataupun sama baiknya. Jadi aku harus, dan ini adalah keputusan yang akan sangat baik untuk masa depanku. Meski aku belum siap secara mental. Tentu aku tetap bersyukur, bahwa dalam perjalanan ini aku berhasil tumbuh menjadi manusia yang bijak. Iya, semesta menempaku dengan baik. Ternyata segala yang kuminta, dan yang memang ditakdirkan untukku, benar terjadi. Meski caranya di luar nurul dan fikri. Sunset di Neu-Ulm Aku rindu hidupku yang lama. Tapi aku juga sadar betul, aku sedang membangun sesuatu yang lebih besar. Aku punya kamar cantik di Jerman, hidup yang layak, dan support system yang luar biasa baik. Jauh lebih baik dari yang aku bayangkan. Kadang aku mikir, "Do I deserve this?" Jadi jangan salah paham. Aku nggak menyesali keputusanku pindah. Aku hanya... rindu. Karena semuanya terjadi begitu cepat. Semesta melemparku ke jurang tanpa aba-aba dan merampas semua yang kukira milikku. Tapi mungkin ini caranya semesta mengabulkan doaku. Memaksaku tumbuh, merangkak lagi, membangun tangga yang baru.
- Nyasar di Augsburg
Aku baru hampir terlelap di kereta regional Deutsche Bahn dari Munich menuju Ulm, tiba-tiba masinis menghentikan kereta di Augsburg. Suaranya terdengar seperti sedang membacakan berita buruk dalam Bahasa Jerman yang tentu saja tidak sepenuhnya kupahami. Hanya ada satu kata yang terdengar jelas, "aussteigen" —yang artinya, kita harus turun sekarang juga. Awalnya aku diam, tidak bergerak, mencoba mencerna keadaan sekitar. Apa iya aku harus turun di Augsburg? Terus, lanjut naik apa ke Ulm? Ulm masih jauh banget, dan ini udah jam 21.30 malam. Apa masih ada kereta yang operasional sampai malam begini? Tapi setelah melihat orang-orang berbondong-bondong turun dari kereta, akhirnya aku ikut turun juga karena enggak ada pilihan. Begitu turun, angin malam langsung menerjang wajahku yang tadinya hangat di dalam kereta. "Sial, dingin banget!" Buru-buru aku buka aplikasi Deutsche Bahn (DB) buat cek status kereta, tapi tidak ada informasi apa-apa di sana. Sementara itu, si masinis masih sibuk ngusir penumpang satu-satu, khususnya penumpang yang setengah mabuk dan bau ganja. Kuputuskan mampir dulu ke kafe di stasiun kereta untuk mencari kehangatan, sekalian ngecek jadwal kereta berikutnya. Beruntung, semua roti dan kue didiskon hingga 50% karena sudah lewat jam 9 malam. Jadi aku beli croissant cokelat dan cookies hazelnut yang total harganya hanya 1.4€! Drrttt drttt... HPku bergetar, sebuah pesan masuk dari kawan Jermanku. Tadi sore dia sempat minta daftar film-film yang jadi inspirasi tatoku. Baru sekarang dia balas chatku. "List kamu detail banget. BTW, rencanaku gagal hari ini, makanya aku nanya rekomendasi film dari tato kamu buat menggantikan rencanaku yang gagal. Sekalian, aku pengen tahu sebagus apa sih film-film itu sampai kamu berani taro di kulitmu." Ingatanku kembali pada memori saat aku tinggal di Bali. Sekitar tahun 2018, ketika aku memutuskan untuk membuat tato tentang film-film yang aku suka, dan bikin janji ke diri sendiri untuk membuat tato baru setiap tahunnya. Alhasil, tato di lengan dan kakiku jadi lumayan banyak. "Ngomong-ngomong, aku lagi nyasar di Augsburg nih." "YA AMPUN, kamu ngapain lagi sih? Salah naik bus?!" Sebagai konteks tambahan: aku memang sudah beberapa kali salah naik bus, dan biasanya aku cerita ke kawan Jermanku ini. Pernah pula waktu kita janjian ketemu, aku salah naik bus (lagi) sampai dia kesel dan jemput aku di titik yang lain. 😂 Tapi kali ini bukan salahku, melainkan karena kereta DB yang mogok tengah jalan, sehingga aku terpaksa nunggu kereta berikutnya. Jadi kujelaskanlah padanya. Hanya saja, jam sudah hampir menunjukkan pukul 10 malam, dan kereta yang kutunggu belum kunjung datang. "Kabarin ya kalau harus kujemput. Aku habis minum sedikit nih, nggak 100% boleh nyetir." Aku berhenti mengunyah rotiku dan nyengir. Agak nggak nyangka temanku yang satu ini mau berbaik hati menjemputku di Augsburg. Jarak dari Ulm ke sini kurang lebih seperti jarak dari Jakarta ke Bogor. Nggak jauh-jauh amat, tapi lumayan lah ya.. buat jemput ✨ orang yang nggak penting-penting amat ✨ ya terbilang jauh juga. Dan karena aku tahu diri, tentu tawaran itu kutolak dengan lawakan. "Kereta berikutnya akan datang! Jangan khawatir. Terima kasih tawarannya, itu membuatku merasa aman. Tapi.. kalau kamu dengar berita ada anak China mati di jalan, kamu tahulah siapa orangnya... 😂😂😂 Hahaha." "Iya, keretanya ada, tapi begitu kamu sampai stasiun Ulm pasti udah jam 12 malem, nggak bakal ada bus ke rumahmu lagi. Yaudah, aku tungguin sambil aku minum air putih dulu ya biar sober." "Eh, keretanya datang!" Sambil bolak-balik memperhatikan aplikasi DB dan layar di stasiun kereta, aku yakin betul bahwa kereta yang datang di peron 5 saat itu adalah RE9 ke Ulm yang sudah kutunggu-tunggu daritadi (tapi telat datangnya). Singkat cerita, aku buru-buru masuk bersama segerombolan warga yang terusir tadi dan berebutan mencari kursi. Jam menunjukkan pukul 10 lewat 5 menit. Malam itu kereta penuh dengan laki-laki berselendang hijau, merah dan putih. Sepertinya baru saja ada pertandingan sepak bola regional (bundesliga) di sekitar sini. Aku duduk dengan aman dan nyaman, meski para laki-laki ini berisik bukan main. Lalu HPku bergetar lagi, ada chat dia masuk. "Aku akan tetap menjemputmu kalau keretamu mogok lagi. Kabarin aku ya." "Udah tenang aja, aku bisa pulang jalan kaki." "Kamu bisa nginep di apartemenku loh, cuma pengen nawarin aja sih. Tempatku kan lebih dekat dari stasiun." Chat -nya terdengar biasa saja ya? Tapi mukaku langsung merah dong. Ini yang nawarin laki-laki loh bukan perempuan. 😅 Pikiranku tentu meliar ke mana-mana, karena memang betul, rumahku jauh banget dari stasiun Ulm! Kebayang nggak sih jalan kaki di suhu 6°C selama 1 jam? Ya tentu lebih enak ke apartemen dia dijemput naik mobil cuma 5 menit. Tapi kan aku jadi kepikiran juga: Nanti gua tidur di mana? Numpang mandi boleh enggak ya? Apa enggak usah mandi? Ngakak, ini rambut udah lepek banget. Terus, besok paginya gimana? Anjir, gua belum seakrab itu untuk bisa memperlihatkan wajah gua yang baru bangun tidur. Gimana kalau gue ngeces di bantal??? 😂😂😂 TAPI, aku juga yakin 100% bahwa temanku ini beneran orang baik nan bermartabat ya, yang artinya nggak akan terjadi hal yang enggak-enggak. Cuma masalahnya kita belum terlalu akrab aja, jadi masih malu-malu hihi. Alhasil kubalaslah dia, "Kamu nggak awkward ada aku di situ? Ah, enggak, sejujurnya aku yang awkward. Kayaknya kita enggak akan bisa tidur. Bakal nge-reog ini mah," sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang. "Baguslah kita awkward berdua. Kan minus x minus = plus. Berarti awkward kita jadi cancel enggak sih?" "Yeee!!! Ya enggak gitu juga. Intinya, enggak deh. Makasih loh udah repot-repot nawarin. Tapi nggak apa aku jalan kaki aja pulang ke rumah." Aku berusaha cool , padahal muka udah merah banget di kereta. Saking merahnya sampai ngakak sendiri, berasa balik ke masa-masa kuliah di usia 20an ketika lagi chattingan sama orang yang kita taksir, tarik-ulur, bercandaan nggak jelas yang nggak berujung apa-apa. Pada akhirnya, aku menyerah dan pasrah janjian ketemu di Stasiun Ulm. Dia akan jemput aku di sana dan mengantarkanku pulang ke rumahku naik mobil Hyundainya yang bisa mengeluarkan suara macam mobil kebut-kebutan layaknya film Fast & Furious . Tapi sayangnya, seperti biasa, semesta selalu punya cara untuk membuat hidupku berwarna. Setelah hampir 45 menit aku naik kereta, aku baru sadar kalau AKU SALAH NAIK KERETAAAA!!! Alih-alih menuju Ulm, aku malah semakin menjauh. "Mau denger cerita lucu enggak?" "Apa lagi nih?" "Aku salah naik kereta." "Kamu di mana?" "Donauwörth." "Aduh, salah arah pula." "Aku akan cari kereta balik ke Augsburg, lalu cari kereta lagi ke Ulm. Apa aku nangis dulu ya? 😭😭😭" "Aku ragu keretanya ada. Mendingan aku jemput kamu di Augsburg atau Donauwörth? Sebelum kamu nyasar lagi ke Itali atau Berlin. 😂" Abang ini rupanya masih bisa melucu, di saat aku sedang panik, pucat, dan hampir menangis. Ya, bayangin aja, jam 11 malam di kota antah berantah yang dinginnya minta ampun dengan status student tanpa penghasilan pula. Tau nggak, harga 1 kamar hotel tuh sekitar 1,5 juta per malam! Menangis sekali kalau aku harus nginep di sana malam itu. Tapi ya namanya juga Cecil ya, meskipun stress juga pasti tetap berusaha dulu sampai titik terakhir. Jadi aku cek lagi jadwal kereta di aplikasi DB, dan disarankan balik ke Augsburg untuk ambil kereta ke Ulm. Tapi abang Jermanku ini agak enggak setuju. "Kita ketemu di Stasiun Augsburg aja." "Aku enggak mau ngerepotin loh. Ada kok kereta ke Ulm." "Aku enggak apa-apa. Udah siap-siap mau jalan ini." Ya udahlah, kupikir-pikir daripada dia kusuruh nunggu di Stasiun Ulm, yang mana aku baru akan tiba jam 1 pagi nanti. Mendingan dia naik mobil sekarang, langsung ke Augsburg. Toh, orangnya emang rada unik. Dan ya benar saja, abang satu ini langsung sigap layaknya orang Jerman yang hobi tepat waktu. Kalau mereka bilang 30 menit ya berarti 30 menit beneran. Kalau sampai lewat dari situ, dia langsung kasih kabar ada masalah apa di jalan. Jadi lucunya, aku naik kereta kembali ke Augsburg, sementara abang ini gercep banget share live location perjalanan dia naik mobil dari Ulm. Dan aku bisa lihat betapa ngebutnya orang ini untuk menjemputku. 😂 (Tapi aku juga tahu bahwa jalan tol di Jerman memang terkenal untuk ajang kebut-kebutan, lantaran jalannya luas, sepi dan no-limit speed . Kamu memang dituntut untuk bisa ngebut sampai 200an km/jam.) Jadi begitu aku tiba di Augsburg jam 23.40 kurang lebih 10 menit kemudian dia tiba dan parkir di depan stasiun. (Sebenarnya dia udah tiba dari tadi cuman untuk parkir di stasiun tuh agak ribet muter-muter, makanya lama.) Begitu kulihat mobil dia udah mantap parkir, aku langsung buru-buru keluar dan bbrrr... dingin banget angin malam itu, nggak kebayang aku kalau nggak dijemput, akan seperti apa nasibku diterpa angin kayak gini? Begitu si abang lihat wajahku, dia nyengir. Aku pun demikian (tapi dalam rangka mentertawakan kebodohanku sendiri.) "Ngantuk nggak? Mau beli kopi dulu?" tanyaku. "Enggak, enggak usah. Yuk pulang." Tapi si abang nggak terlihat begitu bahagia. Kayaknya dia sebenarnya capek (YA IYALAH YAAA SIAPA SIH YANG SENENG DISURUH JEMPUT SUBUH-SUBUH GINI). Jadi sepanjang perjalanan itu, si abang ngedumel terus soal jalanan Augsburg yang belok-belok dan membingungkan. Dia juga, seperti bapak-bapak pada umumnya, ngedumel terus soal pengendara mobil yang kurang kompeten, ataupun jenis-jenis mobil yang kurang oke. Ya, pokoknya saya dengerin aja lah 😅 asalkan diantar pulang dengan selamat. Tapi ya ampun, Tuhan, ini orang ngebutnya luar biasa. Begitu dia lihat wajahku agak nggak nyaman di kecepatan 200 km/jam, perlahan agak dia turunkan ke 180 km/jam sambil terus ngebacot nggak berhenti. "Kamu tau kan aku nggak bisa bawa mobil ini pelan-pelan?" "Iya, tahu." "Kalau aku bawa pelan, nanti kita ditabrak orang belakang." "Iya, tahu." "Nanti kalau jalanannya udah menyempit aku turunin kecepatanku, biar orang di depan aku enggak kaget. Terus kamu lihat itu, aku enggak boleh nyalip. Takutnya dia kaget ada mobil ngebut di belakang, tiba-tiba muncul di sampingnya." "Iya, he'eh." Aku mulai ngantuk, dan memperhatikan jalan tol yang rada gelap itu sedikit membawaku kembali pada ingatan masa lalu. Rasanya seperti sedang dalam perjalanan Bali-Jakarta beberapa tahun silam. Tapi cepat-cepat pikiran itu kuhilangkan, tidak ingin terbawa memori masa lalu terus menerus. Jadi aku coba alihkan dengan memandangi si abang Jerman, memperhatikan matanya yang berwarna cokelat, dengan bulu mata lentik yang sewarna dengan matanya. Terus tiba-tiba mulutku ngoceh sendiri. "Kamu tahu, kamu kelihatan keren kalau nyetir." Abang Jerman terdiam, bingung. Terus dia jawab, "Uhh.. OK?" Aku yang tadinya tidak bermaksud apa-apa, jadi malu sendiri. Kenapa aku bilang dia keren ya? 😂 Terus kenapa jawaban dia cuma OK aja? Tapi daripada aku pusing sendiri, mendingan langsung kutanyakan sambil ngakak-ngakak. "Kenapa cuma OK?!" "Ya abisnya aku malu! Untung udah gelep, jadi kamu enggak bisa lihat mukaku merah saat ini." Eh? 😳 Aku jadi ikut tersipu malu. Kita berdua diam beberapa saat. Dan tak lama kemudian, kita tiba di depan rumahku. Sebenarnya pada saat itu, jantungku masih agak berdebar-debar, tapi aku berusaha tetap sok cool aja. Karena kami hanya teman, kan? "Kabarin ya kalau udah nyampe rumah. Kamu kan capek. Aku takut kamu kenapa-napa." "Ya, kalau kamu dengar berita ada orang Jerman meninggal, kamu taulah siapa." Kami berdua tertawa renyah, sama-sama tahu lawakan masing-masing. Akhirnya aku masuk ke rumah dan duduk terdiam di sofa, mencoba menenangkan jantungku. Bingung rasanya. Tersipu malu akan apa sih? Sambil pula berpikir, apakah aku se-kesepian itu ya sampai hal sekecil ini saja membuatku senang? Eh, sebentar, emangnya jemput seseorang yang enggak penting dengan jarak sejauh ini termasuk hal kecil??? Ini tanda dia ada 'sesuatu' enggak sih? Ya pokoknya pikiranku kacau lah. Terus tiba-tiba, HPku bergetar. "Dah, di rumah. Semoga kamu menikmati perjalanan bersama Abang Travel. 😂" "Danke, Abang Travel. Pelayanan bintang 5 ⭐⭐⭐⭐⭐ sayang aja enggak termasuk sarapan." "Next time , aku bawain makanan atau aku drop kamu di McD ya. Oh, atau aku ikutan Uber Eats dan gabung dengan jasa taksi." "Tapi aku pengen pelayanannya buat aku doang. Boleh aku monopoli?" BOOM! 💥 Keluar dah tuh sisi centil Cecil. Tanganku gemeteran ngetik itu. Tapi ya udahlah ya? Nothing to lose kan? Cuma temen kan? Bercandaan aja kan? Eh, dibales dong sama dia. "Iya, setau aku sih, aku belum pernah jemput seseorang di suatu tempat kayak gini caranya. Ini pelayanan khusus buat Cecil aja." DOUBLE BOOM! 💥💥 Udah ah habis itu aku nggak mau bales lagi. Nanti jadi tambah panjang enggak jelas. Udah jam 1 pagi juga. Aku buru-buru tidur, meskipun enggak bisa tidur karena enggak berhenti ngakak atas kebodohanku hari itu. Kok bisa-bisanyaaaa nyasar sampai ke Donauwörth! Untung ada abang Jerman baik hati mau jemput. Duhileh, kalau nggak ditolong dia, enggak kebayang nasib aku gimana. Dan tentu saja, aku pun memikirkan pula hubunganku dengan mantan sebelumnya yang sudah kandas. 🥲 Masih ada sebagian dalam diriku yang belum terima, dan masih mempertanyakan kenapa semuanya berakhir begitu saja tanpa adanya closure yang baik. Pagi itu, dalam kebahagiaan yang bercampur dengan kesedihan, aku janji sama diriku sendiri, untuk lebih hati-hati dalam mempercayakan perasaan. Enggak tahu abang Jerman ini niatnya apa, dan belum terlalu kenal juga karakternya kayak apa. Tapi sejauh yang aku tau sih, kita cuman temen aja. Tapi kalau memang kita cuma teman, kenapa hari ini chat -nya jadi begini ya? "Kamu lupa kasih tau aku kapan kita mau hangout lagi." (Lah, padahal dia belum nanya, bagaimana bisa aku lupa? Tapi yaudahlah, males aku memperpanjang itu.) "Weekend ini aku mau jalan-jalan. Sabtu depan aja gimana?" "Mau ke mana? Oke, Sabtu bisa." "Diajak temen-temenku ke Königssee. Kali ini aku tidak akan nyasar lagi!" "Haha.. mobilku cuma muat 4 orang ya kalau kalian semua nyasar, dan aku pulang kantor jam 5 sore." (Lah, emang dia mau jemput lagi? 😂) "Aku nggak bakal nyasar lagi, sial." "Iya, iya. Aku tunggu kabar kamu hari itu." "IDIH, KAMU DOAIN AKU NYASAR APA BENERAN KHAWATIR SIH???" (Oke, sebenernya aku enggak chat dia dengan huruf kapital kok. Tapi jujur aja itu yang aku rasakan dalam hati. Kayaknya pengen teriak sambil ngakak, tau nggak.) "Mungkin keduanya. Supaya aku bisa ketemu kamu tanpa nunggu minggu depan." TRIPLE BOOM! 💥💥💥 Dah, udah ah enggak mau gue bales lagi. Dah, kepanjangan. Abang Jerman bangsat, smooth banget. 😂
- What My 20s Taught Me About Relationship
When I was in my 20s, I was endlessly curious about love and dating. I was this innocent girl who spent way too much time in her own head—juggling studies, internships, work (you name it), and escaping into movies. Not surprising, since I studied Film Production. I didn’t have the kind of upbringing where you could just ask your parents or older siblings.. about love, “What is love? What is dating? How do you date? What am I supposed to do?” If I did, I knew I’d be met with judgment, laughter, or answers that weren’t even close to what I needed. So, like most of us, I turned to Google and learned the rest by diving in headfirst. I made mistakes, stumbled, and sometimes even crashed hard. Now, as a 30-year-old inching toward 31, I’ve learned a lot after dating different people and navigating the chaos of love. If I could sit my 20-year-old self down, to share what my 20s had taught me about relationship, here’s what I’d tell her. 1. If They Want To, They Will And let’s be fair—this doesn’t just apply to men. Anyone who truly cares will make an effort. When you’re genuinely interested in someone, you naturally do something about it. Maybe you hold eye contact a little longer, start a random conversation, or even daydream and smile when you think of them. It doesn’t matter if someone is shy, awkward, or quiet. When people really want something, they’ll figure it out. It’s never about not knowing how. Deep down, we all KNOW how to show we care. The real question is whether we WANT to act on it or not. If there’s no effort, chances are they’re just not that into you. And that’s okay. We’re not supposed to like everyone, and not everyone has to like us back. It’s not really about who they are, but about how much we value them. When someone matters to you, you make the effort. When they don’t, then you know exactly how much they value you. Back in my 20s, I didn’t fully understand this. When a guy said things like, “I’m just not the kind of person who likes texting,” I believed him. I thought it was normal that I carried the entire conversation, waited days for a reply, or only heard from him when he needed something. Eventually, I’d realize the relationship was going nowhere. The moment I stopped trying, everything stopped. When I asked, “Do you love me?” they said yes, but their actions never backed it up. And when I questioned why I didn’t feel loved, they’d throw in excuses like, “I’m just not that romantic,” then highlight some bare-minimum effort and expect me to be thankful. Looking back, it makes sense why I struggled to understand what love was supposed to feel like, because I didn’t grow up surrounded by affection, so I had no reference point. I couldn’t tell whether I was asking for too much or settling for too little. These guys made me feel like I was being too demanding. But deep down, I always wondered—was I, really? What exactly did I demand? Is asking someone to reply within a day too much? Is wanting to be missed too much? I blamed myself. I thought I wasn’t trying hard enough to keep the relationship alive. I believed their excuses. I was convinced I was the problem. Sounds silly now, doesn’t it? But I wasn’t alone. A lot of us make these mistakes in dating. So here’s what I wish someone had told me back then: if someone truly loves you, they will try. You won’t have to ask—or worse, beg—for their attention or effort. When someone loves you, they’ll want to learn about you: your likes and dislikes, your childhood, your dreams, your fears. They’ll want to know how to make you smile (in their own way). 2. Judge Your Partner by Being Passive How do you know if someone is right for you—or at the very least, a genuinely kind person? How do you judge their character? The simplest way is this: stay quiet. Don’t chase, don’t initiate, don’t fix anything. Just observe. I say this because I used to be the one who put in all the effort. I would do so much for the other person that I left them with no space to show what they were willing to do for me. And that’s a problem. If you want to know whether someone truly cares about you, you should stop over-giving and watch how they respond when you stop giving. When you go quiet, do they notice your silence? Do they check in? During a date, if you’re not talkative, do they try to keep the conversation alive—or do they let it die? When you’re unwell, do they notice? Do they offer help without being asked? Do they try to ease your pain in small, human ways? Here’s what you shouldn’t rely on: asking. For example, saying, “Can you get me some medicine?” and thinking their yes means they love you. Sure, people might help when asked—but love isn’t something that happens after someone asks for it. You don’t fall in love because someone told you to. Love comes from within, unprompted, and only the person feeling it knows why. What I’m trying to say is this: if you’re clearly in pain, and they just watch, smile, and carry on like nothing’s wrong, you don’t need to ask anything. You already have your answer. They’re not the one. And I learned this the hard way. When you stay passive, people reveal who they really are. You don’t need to beg for their time or attention. Just step back and watch. Their actions, or the lack of them, will tell you everything you need to know. You can even use this tip when you're just getting to know someone. I’m not saying you should stay silent the whole first date. What I mean is try to be quiet at some point (especially if you're the kind of person who lights up the room or is the heart of the party). Stop keeping the conversation going. See if they reciprocate. And if anyone ever tells you, “Maybe YOU were the problem. Maybe you treated him badly, and that’s why he treated you like that,” here’s the next thing I wish I’d known: 3. Choose WHO You Listen To About Relationship When I was younger, I used to take advice from everyone. They said... Be patient. Be fun. Be creative. Be playful. Be sexy. Blah, blah, blah. But here’s the thing—they didn’t know what I was going through. They didn’t know my partner. And they definitely didn’t know how it felt to be me at that time, at that age, at that situation, in that relationship. People who don’t truly know you—and don’t know your partner at all—aren’t always the best people to give you advice. That’s why everything I’m sharing here is what I wish I’d told to my 20-year-old self, not specifically for you. Maybe you don't relate. But if there’s even a tiny chance you’re going through what I did, I hope you’ll find something here that clicks. So, let me say it again: filter who you listen to. For example, if you’re dealing with infidelity, you’ll probably want to talk to someone who’s actually experienced that themselves. Sure, you can read books or Google it, but it’s completely different when you’re living through it firsthand. Sometimes, people who haven’t been through something traumatic themselves can be overly logical. They don’t take into account that we’re human—we feel things. They forget how heavy those emotions can be. I remember when I found out my soon-to-be husband had been cheating on me for two years . I was shattered. My older sister called me and casually said, “Just leave him. What’s so difficult about it?” Ha?! What’s so difficult about it? Well, I guess if I were a robot, I could just hit the reset button and move on. But I’m not. I poured my heart, my trust, my money, my time— my entire self —into that relationship. I was ready to commit my whole life to him as his wife, only to find out he’d been having fun with other women behind my back the entire time. It wasn’t an easy thing to just walk away from. That’s why it’s so important to choose carefully who you turn to for advice. If they haven’t walked in your shoes, they might not truly understand what you’re going through. And honestly? Sometimes the best advice comes from within. Listen to your gut. Trust yourself. You’ll find the answers you’re looking for. 4. You Should Not Feel Lonely in a Relationship I can't stand it when people say, “If you feel lonely in a relationship, it just means you're seeking validation.” Seriously? After speaking with so many couples and living through it myself, I can confidently say: people feel lonely because they are lonely. Here's what usually happens: They do the chores alone. They make all the plans. They get excited about the future—alone. Meanwhile, their partner just drifts through the relationship, waiting to be told what to do next. So if you're feeling lonely in your relationship, it’s not all in your head. But it’s worth asking: why do you feel that way? Is your partner physically absent? Or are they there, but mentally and emotionally checked out? Sometimes, the hardest kind of loneliness is when someone’s body is next to you, but their mind is miles away. I remember saying, “We’re in a relationship, but it doesn’t feel like one. It feels like I’m dating myself.” And it was heartbreaking. Of course, there were always excuses: “I’m just busy with work.” “I’m going through a lot right now. I can’t focus on us.” “I’ll make it up to you. Let’s go out next week.” But here’s the truth: it’s not about priorities. It’s about presence. Even people with demanding jobs and packed schedules can still be emotionally available. I know this because I’ve been that person. I love my work. I care deeply about my goals. But when I love someone, I make sure they feel loved. So if I could do it, why couldn’t he? It’s not rocket science. No one is asking for grand romantic gestures. We’re just asking for the simple things: To be fully present when you spend time together. To ask, “How was your day?” and actually listen. You don’t need to be a poet or a hopeless romantic to do these things. You just need to care. And if you’re planning to get married for love , here’s a critical checklist: you should not feel deprived of that feeling . Loneliness can push anyone to the brink—into a version of themselves they don’t even recognize. I know this because I became that version. Staying in that kind of relationship turned me into someone I didn’t want to be. It was frustrating. It felt like an endless, lonely battle, which leads me to my next point... 5. Stop When It’s Not Right Let’s be real—when you’re in love, you get dumb. Even the sharpest minds turn blurry. It’s not a gender thing. Love makes fools out of everyone. You miss the obvious. You excuse the inexcusable. You hold on longer than you should. That’s why staying grounded is so important. Even when your heart is all in, you have to keep your eyes open. You have to learn to spot the red flags early. Because the longer you ignore them, the harder it will be when everything falls apart. Here’s something people don’t say enough: It’s better to be alone and lonely than to be with someone and still feel alone. When you’re alone, you have options. You can go for a walk. Move cities. Adopt a dog. Call your friends. Build a new routine. You can choose your way out of loneliness—because you’re in control. But when you’re with the wrong person, you lose that control. You’re tied—maybe legally, maybe emotionally, maybe just by the day-to-day life you’ve built together. And if that person is the one causing your pain, you're stuck waiting for them to fix it. Which leads us to the hardest truth of all: You can’t make someone change. They have to want it. They have to see that something is wrong. And if they don’t? If they look you in the eyes while you're breaking down and say, "I don’t see the problem..." —that’s not just painful. That’s soul-crushing. Because it means your pain is invisible to them. Your feelings aren’t real to them. And love, real love, doesn’t do that. I think: Love doesn’t ignore. Love doesn’t dismiss. Love sees . And if they refuse to see you, that’s your answer. Loud and clear. Before you commit to anyone, learn to recognize when it’s time to walk away—on your own terms. Set your boundaries clearly. For example, I decided that if communicating with my partner makes me uncomfortable because I know it will upset him, trigger defensiveness, or lead to fights—and if after I share how I feel, he doesn’t try to find a solution together—then it’s time to walk away. It simply doesn’t work. I can’t imagine spending the next 40 years feeling like I’m walking on eggshells. Life without a partner is already hard enough. I don’t need someone who makes it harder. What I truly need is a partner —someone who works as a team with me, communicates clearly, confidently, and helps build a peaceful life together. So What Does "Right Relationship" Feel Like? The right relationship feels like a solid team effort. You might not always agree and sometimes argue, but the key difference is this: you don’t argue to win. You share your feelings honestly, and the right person listens—really listens. They value what you say, try to understand your point of view, and don’t care about keeping score. It’s not about winning the argument, it’s about understanding each other. And that goes both ways. In a healthy relationship, you feel seen and understood. You sense you’re on the same wavelength. You might have different interests or hobbies, but that doesn’t matter. What counts is feeling loved, heard, and supported. Most of the time, it’s peaceful. There’s little to fight about because you both focus on listening & supporting each other . So those were the 5 lessons I wish I could’ve shared with my 20-year-old self: If They Want to, They Will Judge Your Partner by Being Passive Choose Who You Listen About Relationship You Should Not Feel Lonely in a Relationship Stop When It's Not Right What about you? What’s the one thing you wish you knew when you started dating?
- JENESYS 2.0 Beasiswa ke Jepang! (Day 1 of 9)
Ini dia pengalaman gue ikut program pertukaran pelajar ke Jepang selama 10 hari dalam program beasiswa JENESYS 2.0 . Program ini terbuka bagi mahasiswa-mahasiswi Indonesia setiap tahunnya berkat Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkunjung ke Jakarta beberapa tahun lalu. Programnya bersifat beasiswa jadi semuanya gratis tis tis... Nggak ada biaya pendaftaran, biaya akomodasi, konsumsi, dll. Eh iya, kecuali uang saku , itu harus bawa sendiri. Jadi, gue boleh berbangga diri nih terpilih mewakili Institut Kesenian Jakarta tanggal 21 Maret lalu untuk merasakan langsung uniknya kebudayaan Jepang, khususnya perihal animasi, dan keindahan Provinsi Chiba, Tokyo, serta Nagano. Tanggal 21 Maret jam 5 sore, gue dateng ke bandara Soekarno-Hatta ditemenin bokap-nyokap yang happy banget karena akhirnya impian gue tercapai juga: beasiswa ke Jepang! (FYI, waktu SMA gue pernah daftar tapi gagal.) Nah, ternyata setelah tiba di tempat berkumpul, gue nggak melihat satupun bendera embel-embel JENESYS 2.0. Gue sempet gugup, takut ini cuma email prank . Gue takut ini semua tidak nyata... Terus gue takut passport gue hilang, soalnya sejak gue kumpulin paspor ke rektorat awal Maret lalu, udah nggak pernah kelihatan lagi wujudnya. Ternyata... Si kepala tur yang mengurus JENESYS 2.0 Batch 5 dateng telat. Dia telat gara-gara visa kami semua baru saja jadi. Oh iya, yang gue maksud kami adalah 31 peserta JENESYS 2.0 Batch 5 . Seperti yang Anda lihat, gue adalah angkatan ke-5. Tiga puluh satu peserta ini datang dari Pulau Jawa dan mewakili universitas atau tempat kursus berbau Jejepangan (bisa kursus manga atau Bahasa Jepang). Saat itu, kami semua belum saling kenal. Dan gue sempet kaget gara-gara koper mereka gede semua. Terus jaket mereka juga tebel-tebel yang sebenarnya makes sense untuk menghadapi dinginnya Musim Semi di Jepang. Namun, diriku yang lugu ini terlalu percaya diri hanya berkoper kecil dan berjaket tipis (pinjem Willy) tanpa membawa syal sehelai pun. Maka beberapa anak itu akhirnya bertanya, "Kok tas lo kecil banget? Emang muat semua baju?" Okay, gue beberkan saja, rahasia tas kecil gue: Gue emang nggak punya koper gede. Gue cuma bawa 6 baju yang mostly just tank-top. Jadi tipis dan ringan. Gue hanya membawa satu jaket tipis dan satu celana jeans dan keduanya sedang gue kenakan saat itu. Gue berencana mencuci baju di hotel supaya bisa dipakai-ulang. Demikian kisah tragis koper kecil gue yang nantinya akan membawa keuntungan tersendiri. Pesawat yang akan gue naiki adalah Japan Airlines kelas ekonomi yang terbang langsung dari Jakarta ke Bandara Narita, Jepang. Berangkatnya jam 21:30 dan akan tiba jam 07:00 pagi waktu Jepang. Lamanya penerbangan adalah 7 jam, dan gue agak ketar-ketir naik pesawat setelah nonton film " Non Stop" . Emang kampret itu film, belum lagi berita pesawat Malaysia hilang, semakin membuat gue ngeri. Akhirnya gue komat-kamit baca doa di pesawat setiap kali terjadi turbulence . Setibanya di Jepang... Masya Allah dinginnya menusuk sanubari! (Ya iyalah!) Gue nyesel senyesel-nyeselnya nggak bawa jaket tebel. Tubuh gue menggigil kayak orang tolol sambil berlari masuk dari pesawat ke bandara. Hari itu tanggal 22 Maret dan suhu di Chiba sekitar 7°C. Sekitar jam 8 pagi, bus khusus JENESYS 2.0 Indonesia sudah datang dan kami pun berangkat menuju hotel Nikko Narita, masih di Chiba. Oh, FYI, dari Indonesia kami didampingi 1 supervisor bernama Dr. Vee. Bagi pecinta manga , mungkin tau nama beliau soalnya pernah masuk TV sebagai mangaka Indonesia pertama yang karyanya terbit di Jepang. Wah ternyata orang aslinya lebih cantik lagi daripada di televisi. Anyway , di bus gue duduk bersama Raisa, senior IKJ Fakultas Seni Rupa. Kami berdua mewakili IKJ untuk nyicipin indahnya Jepang. Rasanya senang sekali bisa merasakan kehangatan heater di bus sambil melihat pemandangan pohon tandus... Yah, Jepang baru saja memasuki musim semi, jadi belum semua pohon bersemi. Kebanyakan masih tandus. Kalau diperhatikan, sekeliling jalanan jadi didominasi warna cokelat. Cantik deh, meskipun tandus. Tiba di hotel Nikko, gue agak kaget. Desain luar bangunannya tua, nggak semegah Hotel Nikko Jakarta. Kamar hotelnya juga cukup kecil, khas kamar Jepang yang memang biasa sempit-sempit. Sebelum memasuki hotel, kami berkenalan terlebih dahulu dengan Takagi-san, koordinator yang akan menemani selama 9 hari ke depan. Beliau orang yang sangat luuuccuuuu..!!! Meskipun orang Jepang, beliau mampu Berbahasa Indonesia dengan fasih dan gaul, tapi tetap dengan aksen Jepang. Jadi kocak banget. Nah, sekarang ada waktu bebas 2 jam. Gue dan teman sekamar gue, Gaby memutuskan untuk mandi-makan-pergi. Yes, gue udah nggak sabar menjejakkan kaki di luar. Buru-buru gue buka kantong plastik isi makan siang, astaga gue terkejut. Kok makanannya sebegini menyedihkan. Gue coba positive thinking dan tetap menyeduh ramen itu dengan air panas. Pas gue makan, bah! Rasa macam apa itu? Nggak enak. Gue coba makan pisangnya deh, JDYAR! Belum mateng! Asem! Gue coba makan makanan yang lain, aduh nggak ada yang sesuai lidah. Untungnya masih ada sandwich stroberi buat ngeganjel perut. Lalu gue tinggalin semua makanan itu dan cabs with Gaby. Dan ternyata, eng-ing-eng... Di luar hotel dinginnya super parah meskipun tidak hujan. Sepanjang jalan Gaby mengeluh suara kertakan gigi gua yang berisik. Haduh maklum, baju gua terlalu tipis untuk menghadapi suhu ini. Tapi dengan hati riang gembira, gue tetep muter-muter lihat sepinya daerah ini. Lama-kelamaan karena nggak ada apa-apa dan agak membosankan akhirnya kami memutuskan pulang untuk tidur siang. (-_-) Jam 2 siang, acara orientasi dipimpin oleh dua orang Jepang yang berbicara Bahasa Jepang. Kerennya di acara ini kita dipinjamkan alat bantu dengar, yang terhubung dengan koordinator kita tadi. Jadi ketika si pembicara cas-cis-cus Bahasa Jepang, koordinator akan mengartikan ke Bahasa Indonesia, dan kami akan mendengarnya lewat earset sebelah kiri telinga. Presentasi sore itu menjelaskan latar belakang acara, tujuan, jadwal, dll. Dalam acara ini gue bisa melihat orang Filipina, Kamboja dan Vietnam. Beberapa dari mereka melakukan cosplay , dan sangat atraktif. Oh iya, tau sendiri nih orang Indonesia suka telat. Saat berkumpul tadi ada 3 orang Indonesia yang tidak kunjung datang. Kira-kira terlambat 1 jam lebih. Gue denger dari yang lain sih 3 orang ini nekat ke Akihabara dan tersesat di jalan. Gila, dalam hati gue. Akihabara itu di Tokyo, sementara kami masih di Chiba. Bisa dibilang beda provinsi kali ya? Intinya jauh. Jauh banget. Meskipun naik kereta juga tetep aja jauh! Nekat sekali tiga orang ini. Akhirnya sih ketiga orang ini datang dan langsung minta maaf ke koordinator. Oh iya, koordinator Indonesia nambah satu lagi namanya Fukase-san . Beliau juga fasih berbahasa Indonesia dengan aksen Jepang. Nah, Fukase-san ini lebih blak-blakkan daripada Takagi-san. Ketika ada 3 orang menghilang, beliau langsung bilang, "Kalian tolong jaga kekompakang ya. Kalau mau pergi ke Akihabara, tunggu besok saja. Nanti kita akan ada kunjungan ke sana, jadi tidak usah pergi sendiri-sendiri ya? Itu apa namanya... Tolong dibuka halamang tiga puruh..." Begitu kira-kira aksen Indonesia-Jepangnya. Seusai pengenalan akan program JENESYS 2.0, Kami dipersilakan mengukur suhu tubuh dan OH MY GOD! Suhu tubuh gue cuma 34°C! (Suhu normal manusia itu 36°C-37°C.) Fukase-san langsung menyeka kening gue dan bertanya, "Kamu tidak apa-apa kan?" Karena takut dideportasi, gue langsung menjawab dengan semangat, "Saya sehat loh Fukase-san!" dan kawan-kawan pun tertawa mendengarnya. Salah satu teman lalu menjuluki gue si ketek beku (karena mengukur suhunya dari ketiak dan suhu gue di bawah normal). Makan malam di Hotel Nikko Narita terasa sangat mewah dan menyenangkan. Gue kalap. Semua jenis makanan gue lahap. Senangnya tidak punya pantangan dalam makan. Jadi gue bisa makan apapun. Saking banyaknya piring yang gue ambil, temen gue sampe bilang, "Lo kecil-kecil banyak juga ya makannya. Udah ronde ke berapa ini?" dan gue pun tertawa bahagia. Jarang-jarang bisa makan mewah sepuasnya. Ini balas dendam dari makan siang yang menyedihkan! Setelah makan malam, gue bermain kartu dengan teman-teman sampai jam 11 malam. Pas di restoran hotel tadi gue berkenalan dengan beberapa cowok Kamboja. Tapi baru kenalan doang. Kami nggak ada kesempatan mengobrol karena meja selalu dipisahkan per negara. Alasannya Takagi-san sih, "Takut ada sengketa. Nanti kalau berkelahi, susah melerainya karena perbedaan bahasa." Ah, menurut gue ini alasan yang tidak pantas. Namanya juga program pertukaran, masa tidak dicampur. Bagaimana mau bertukar kalau masing-masing diberi dinding pembatas? Anyway , sekian post pertama, tunggu episode berikutnya!
- JENESYS 2.0: Anime Japan Expo (Day 2 of 9)
Hari kedua, tanggal 23 Maret 2014 jadwal gue adalah berpindah hotel ke Tokyo dan menerima lecture dari dosen Universitas Meiji mengenai sejarah animasi Jepang. Seru ya kedengarannya? Gue excited banget meskipun masih ngantuk. Gue bangun pagi dan berkewajiban membangunkan Gaby yang susah banget disuruh bangun!!! Sesampainya di Tokyo, semua peserta JENESYS 2.0 menginap di Harumi Grand Hotel. Letaknya masih jauh dari pusat keramaian kota dan temperatur di Tokyo masih 10°C juga, jadi gue tetep bar-bir-burrr kedinginan. Di hotel ini kami akan mendengarkan kuliah “History and Current Status of the Animation Field in Japan” dari Mr. Renato Rivera Rusca, assistant professor, Meiji University School of Commerce. Singkat saja, si dosen menceritakan sejarah animasi, budaya menggambar, dan bagaimana aksi pemerintah dalam melestarikannya dalam Bahasa Inggris karena dia seorang British. Beliau juga menjelaskan program "Cool Japan" di mana pemerintah berusaha agar anime dan manga menjadi produk industri internasional, meskipun di Negara Jepang sendiri, anime dan manga hanyalah sebuah subculture . Artinya penggemar anime dan manga di Jepang tidak sebesar di luar negeri. Alasannya cukup banyak, nah, gue berkesempatan bertanya, "Mengapa anime hanya menjadi subculture , sementara K-pop serta kartun Korea lebih terkenal di Jepang?" "Korean movies are shown at 3 p.m. The males are working and the kids are at school. Who's watching? Housewives. Korean movies are actually still a subculture. But because there are more old people than teenagers in Japan, they become more visible and give an impression of a mainstream culture." Okay, gue bisa ambil kesimpulan bahwa, anime dan manga itu lebih dinikmati oleh anak muda. Sementara anak muda di Jepang nggak banyak. Kalau lo nonton televisi Jepang, lebih banyak acara reality show atau talk show . Acara anime begitu sulit ditemui. Gue nggak tau jam berapa. Tapi yang pasti di jam orang nganggur nggak ada anime diputar. Setelah mendengarkan lecture , kami makan siang di Hotel Harumi dan menunya lebih sedikit dari Hotel Nikko. Hiks... Begitu makan siang beres, semua peserta langsung berangkat ke Japan Anime Expo 2014 di Tokyo Bigsight . Waw, ini acara bergengsi! Tapi karena semuanya dalam Bahasa Jepang, gue jadi nggak ngerti dan nggak bisa menikmati acaranya dengan maksimal. Di sini peserta dikasih tiket 1,500 yen untuk masuk dan bebas berkelana. Gue jalan-jalan bareng Gaby dan kami senang sekali membeli gacha! Hahaha itu loh mesin yang tinggal dimasukin koin 200 yen, nanti keluar bola. Kalau bolanya dibuka, isinya random . Gue beli gacha yang isinya gantungan kunci One Piece, Anpanman, LINE, dll. SERU BINGITS! Oh iya, ada satu hal menarik yang gue lupa bilang. Di Jepang, pemerintah berusaha keras mengurangi pembajakan anime maupun manga . Caranya gimana? Caranya adalah menanamkan rasa bangga membeli barang original dan menjelaskan akibat-akibat pembajakan, seperti matinya animator dan mangaka favorit. Kami diberi waktu 3 jam untuk berputar-putar mengelilingi gedung Tokyo Bigsight yang luas sekali. Sepulang dari sana, semua orang menenteng tas belanja besar, tapi isinya cuma brosur-brosur. Hahaha... Sebenernya gue pengen beli kaos One Piece, tapi harganya mahal banget. Satu kaos itu bisa 3,000-5,000 yen (sekitar 330.000 hingga 550.000 Rupiah dengan kurs pada saat itu). SADIIISSS!!! Sepulang dari sana, kami makan malam di food court Triton dekat hotel. Tinggal jalan kaki 5 menit. Setiap anak diberikan kartu dengan pulsa 1,000 yen untuk membeli makanan sesuka hatinya. Gue langsung beli ini, atas saran Takagi-san. Enak sih rasanya, tapi... ikannya banyak banget tulangnya! Bikin kesel. Akhirnya nggak habis karena kebanyakan. Gue beli itu seharga 550 yen, sisanya gue pakai lagi untuk beli cheese cake dan karaage . Oh iya, di Jepang semua air keran bisa diminum. Jadi air keran itu gratis. Habis makan banyak, gue, Gaby, Novri dan Opic jalan-jalan di sekitar hotel. Kami menemukan mall dan berbagai toko yang sudah tutup. Kampret semuanya tutup jam 8! Tiba-tiba Opic menghilang dan Novri mencarinya. Gue bersama Gaby bermaksud mengikuti jejak Novri, tapi berhubung kami melihat supermarket masih buka, kami jadi tergiur untuk masuk dan belanja. Di sana gue beli beberapa makanan. Nyes enak. Makan lagiiii~ (Pada akhirnya Novri dan Opic kembali ke hotel sementara kami masih berkutat di supermarket.)
- JENESYS 2.0: Akihabara (Day 3 of 9)
Hari ini tanggal 24 Maret 2014, pagi-pagi sarapan di Marumi Grand Hotel dan rasanya.. biasa saja. Gue makan sedikit karena nggak napsu liatnya. Gue pengen makan sushi huhuhu... Oh ya, sembari gue bersenang-senang di Jepang, sebetulnya gue jadi ketinggalan mata kuliah banyak sekali. Hati gue agak khawatir sih. Si Gaby juga khawatir. Kasihan, dia sampai bawa laptop ke Jepang demi ngerjain quiz online . Rata-rata peserta JENESYS 2.0 sudah semester 8 dan berasal dari Fakultas Seni Rupa, jadi lagi pada stres tugas akhir. Tapi ada juga sih yang masih semester 2 dan 6 dari jurusan IT, jadi nggak semuanya kuliah seni. Pagi ini kami akan mengunjungi Benteng Tokyo, namun sayangnya sedang tutup. Jadi cuma lihat luarnya saja. Setelah berfoto-foto, kami pun pindah ke Asakusa naik bus, like always . Di Asakusa, kami mengunjungi Kuil Senso-ji. Di sini banyak toko jualan souvenir Jepang yang harganya mahal bingits . Misalnya gantungan kunci bisa seharga 315-512 yen. Terus baju-baju khas Jepang seharga 3,000-5,000 yen. Jadi gue nggak jajan sama sekali. Oh iya, kalau ke temple , sempatkan mencoba ramalan keberuntungan! Hihihi... Namanya mikuji . Harganya 100 yen. Gue nyoba dan sedihnya dapet small fortune . Temen gue si Novri dapet best fortune dan dia langsung teriak-teriak nyombong ke kita-kita. Anyway , kami cuma punya 1 jam di Asakusa, dan setelah itu harus segera kembali ke bus untuk makan siang. Kami akan makan siang di gedung tai emas. Yak, sejujurnya gue lupa nama gedungnya, jadi maafkan ya gue seenaknya menamai. Di gedung ini desain interiornya lucu. Menarik. Terus makanannya all you can eat enak juga. Pasti harganya mahal. Hahaha Setelah makan siang, kami jalan lagi naik bus ke Akihabara. Nah, ini yang ditunggu-tunggu. Akihabara ini terkenal karena banyak menjual pernak-pernik anime dan AKB48. Sebelumnya di bus kami diberikan peta Akihabara dan waktu bebas 1 jam untuk berkeliling. Parah banget, satu jam itu singkat sekali! Gue dan Gaby langsung melingkari tempat-tempat lucu untuk dikunjungi dan menghapalkan jalannya. Kita pengen ke Uniqlo, karena katanya Uniqlo Jepang lebih muyah. Di Akihabara ini tempat pertama gue adalah Laox, toko duty-free . Sialnya dia baru duty-free kalau lo belanja di atas 10,000 yen. BAH! Gue menyesal membeli Kitkat Green Tea seharga 360 yen di sini. Sumpah lo kalo beli Kitkat jangan di sini, mahal banget. Salah banget gue. Karena harga asli Kitkat Green Tea sekitar 200-an doang. Nggak nyampe 300 yen. Oh iya, gue salut sama orang Jepang. Toko barang-barang porno itu bahkan tercatat loh di peta, gila ya? Setelah berkutat di Laox, gue terpisah dengan Gaby dan bertemu Lintang. Kami berdua pun berjalan bersama menuju mall yang ada Uniqlo serta Muji di dalamnya. Horeee.. tapi harganya sama aja sama di Jakarta (-_-). Akhirnya Gue beli beberapa baju lucu yang lagi diskon deh. Terus nggak sengaja ketemu Gaby di Muji. Gue : "Eh Gaby." Gaby : "Eh elo." Gue : "Bye." Gaby : "Bye." Ternyata kita berdua kalau sudah asyik belanja, sudah tidak peduli lagi dengan sekitar. Hahaha... Gue pun kembali ke meeting point bersama Lintang dan di sana terlihat teman-teman menenteng paperbag banyak sekali. Kali ini dipenuhi dengan kotak Gundam dan action figure lainnya. Kata Novri, "Murah gila. Daripada gue beli sejuta di Indonesia, mending gue beli sejuta di Jepang dapet 2. Gundam gue bisa jalan, man!" Dan berakhirlah perjalanan kami di Akihabara.
- JENESYS 2.0: Yoyogi Animation Gakuin (Day 4 of 9)
Selamat pagi! Kali ini di tanggal 25 Maret 2014, gue dan kawan-kawan Indonesia berkesempatan belajar di Yoyogi Animation Gakuin . Sebuah tempat kursus animasi dan manga yang berlokasi di Tokyo. Gue dkk. ke sana naik bus dilanjutkan berjalan kaki sebentar. Udara Tokyo masih dingin meskipun cahaya matahari begitu terik. Rasanya cukup hangat di bawah naungan matahari. Gedung YAG tidak terlalu besar dan megah—biasa saja bahkan. Tapi sekolah ini sudah mencetak banyak karya hebat, contohnya... gue nggak tau. Abisnya komikus dan animator kesukaan gue bukan hasil cetakan Yoyogi. Cuman ya tidak bisa dipungkiri bahwa Yoyogi juga sekolah animasi terkenal, cuman guenya aja yang nggak tau. Nah, sekolahnya ini dekat dengan stasiun kereta api, jadi kalau sedang belajar di kelas, bisa terdengar suara kereta api berlalu dengan cepat. Murid-murid Yoyogi variatif umurnya. Nggak mesti mahasiswa. Siapapun boleh, soalnya ini lebih kayak kursus sih. Nah, hari ini kita ada waktu 2 jam gitu buat belajar sedikit. Guru-gurunya orang Jepang dan nggak bisa Bahasa Inggris. Jadi kami dibantu Fukase-san untuk translation ke Bahasa Indonesia. Dalam 2 jam ini, 31 peserta dibagi 2 kelompok: kelas animasi dan kelas manga . Gue langsung booking tempat animasi soalnya gue males kalau kelas manga paling gambar doang. Eh taunya ya sama aja, kelas animasi juga cuma gambar doang. Di kelas animasi siang itu, kita punya waktu 1 jam untuk membuat sebuah figur berjalan. Figur ini boleh manusia atau apapun. Pihak YAG menyediakan kertas template gerakan, alat tulis, peralatan tracing , dan jepit-jepit kertas yang lucu. Setelah gambar selesai dibuat, semua dikumpulkan dan langsung dianimasikan dengan mesin yang lucu pula. Sementara itu di kelas manga , para peserta diminta menebalkan garis gambar dengan tinta hitam. Gue lupa apa namanya. Pokoknya itulah ya. Susah-susah gampang kata temen-temen gue yang masuk kelas manga . Kalau di kelas animasi sih mesti gambar 8 gerakan sesuai model. Untungnya ada model terus tinggal di- tracing . Jadi lebih mudah. Saat ini komputer sudah merajalela di Jepang. Jadi animasi Jepang udah nggak pure dengan tangan. Biasanya untuk gambar masih tangan manusia asli, tapi untuk pewarnaan sudah digital, sehingga banyak tinta warna kering dan rusak tersimpan di laci kantor. Tapi orang Jepang tetap lebih prefer animating by hand , daripada animasi yang pure digambar di computer . Soalnya menurut mereka animasi dengan tangan memiliki hasil yang lebih natural, indah, dan pembuatannya lebih pakai hati. Oke deh, setelah haha-hihi di YAG dan berkenalan dengan beberapa staff-nya (sayang sekali hari itu kami tidak berkesempatan kenal dengan murid YAG karena mereka sedang libur sekolah), jadi kami pun pergi makan siang dan bersiap shopping di Nakano Broadway dan Harajuku! Gue sempet bete gitu gara-gara nemuin Kitkat Green Tea seharga 450 yen per 2 pax. Sial! Gue beli di Laox 360 / pax, di sini malah cuma 225 / pax! Gue rugi 100 yen lebih!!! Tapi yaudah deh. Puas liat-liat di Nakano, kami berpindah ke Harajuku, pusat fashion -nya Jepang. Di sini gue cuma punya 45 menit, jadi bisa anda bayangkan betapa singkatnya gue berkunjung. Gue cuma sempet lewatin seperempat Takeshita doori (竹下通り). Padahal Harajuku itu luas banget loh. Ada beberapa merk yang gue suka banget dari Jepang. Kalau untuk aksesoris itu Paris Kids, untuk baju Uniqlo, dan kaos kaki itu Tutu Anna. Terus gue dikenalin sama merk lucu lagi dari Janine, namanya Dolly Wink untuk soal kosmetik. Nah, di Jepang puas banget gue nyari peralatan kosmetik. Satu toko tuh jualnya lengkap banget dan kemasannya cantik-cantik. Gue sama Gaby kalap nyobain semua eyeliner buat ngetes kualitas mereka. Hahaha... (Padahal abis beli juga nggak dipake nantinya, buat gaya-gayaan doang). Sepulangnya dari Harajuku, anak-anak mulai resah dengan uang saku mereka yang semakin menipis. Padahal ini baru hari ke-4 dan rata-rata udah ngabisin 20,000 yen (sekitar 2 juta lebih). Gue sendiri sih nggak belanja sampai sebanyak itu. Soalnya emang nggak ada duitnya. FYI aja nih, harga kaos kaki itu ada yang 1,000 yen dapet 3, ada juga yang 512 yen dapet 3. Harga baju bisa 2,000 yen ke atas. Harga eyeliner variatif bisa 600-1,000 yen. Kualitas menentukan harga banget. Di sini rata-rata harga barang itu stabil, tapi sekalinya mereka bikin diskon, bisa beneran murah banget. Jadi set your eyes for discount posters! Kembali lagi ke cerita, gue pulang makan malam deket hotel dengan voucher 1,000 yen lagi, terus gue beli apa ya... Hmm... Kayaknya gue beli nasi babi deh. Ih sumpah gue makan babi terus setiap hari. Lama-lama gue jadi babi lagi... Hahaha.... Gendut parah, tinggal di Jepang bisa bikin lo gendut! Beware!!!
- JENESYS 2.0: Onsen di Karuizawa (Day 5 of 9)
Sekarang tanggal 26 Maret! Menurut gue ini titik perjalanan yang akan membuat segalanya menjadi lebih indah dan berkesan. Di titik ini gue akan melihat hal-hal amazing dan menjadi lebih mengerti lagi tentang kebudayaan Jepang. Jadi sok atuh , kita mulai! Pagi ini di hotel para peserta dari Kamboja tampil formal dengan jas dan kemeja. Sangat anggun dan menarik. Dengan Pocky stroberi di tangan, mereka berlagak seperti mafia merokok. Gue pun menyempatkan diri berfoto bersama. Gue pikir, sayang dilewatkan kesempatan ini. Gue juga berpikir kalau foto bareng itu nambah akrab, jadi langsung gue ajak Meng, Yean, Thyrak, dll untuk foto bareng. Katanya sih mereka disuruh pake jas sama supervisor -nya karena mereka akan bertemu Gubernur Prefektur Fukuoka. Seusai berfoto ria, gue sok imut nyamperin geng Filipin di pojok restoran hotel. Gue pikir ini adalah kesempatan terakhir kami untuk saling kenal. Kalau nggak ada yang berani mulai, kapan kenalnya? Akhirnya gue memberanikan diri, sambil ditemenin Gaby. Gue ngajak anak-anak Filipin ikut foto bareng dan hasilnya, kami mulai saling berkenalan. Jarak antara meja Indonesia dan Kamboja. Kamboja Filipina Tak lama kemudian koordinator masing-masing negara mulai meminta kami memasukkan koper ke dalam bus. Selama perjalanan itu, gue dan Gaby bobo cantik. Tapi Gaby mungkin terlalu bersemangat bobo hingga kepalanya terjatuh dan menabrak kaca bus. Suaranya kencang sekali sampai gue terbangun dan ngakak nggak karuan. Tapi si Gaby sih stay cool dan kembali tidur. Tulisan gue yang berikutnya gue copy-paste dari laporan perjalanan yang gue kumpulin ke Rektorat IKJ, jadi jangan heran kalau bahasanya formal banget. Masing-masing negara akan berpisah dan mengunjungi prefektur yang berbeda. Kamboja ke Fukuoka naik pesawat, Indonesia ke Nagano naik bus, Filipina ke Aichi naik shinkansen , dan Vietnam ke Kyoto naik shinkansen . Karena hanya kami yang naik bus, kami menjadi agak sedih, namun koordinator kami, Takagi-san mengatakan bahwa hanya Indonesia yang berkesempatan homestay , sementara yang lain hanya home visit . Jadi kami boleh berbangga hati lagi. Perjalanan menuju Nagano memakan waktu 4 jam naik bus dengan 2 kali berhenti di rest area . Saya super kagum dengan rest area Jepang yang bersih dan modern. Desain interiornya sangat inovatif, karena tidak hanya indah tapi juga fungsional. Semuanya terasa sangat praktis. Hal menarik lainnya di rest area adalah selalu adanya taman untuk duduk, atau pun tempat makan keluarga. Kami tidak menghabiskan waktu banyak di rest area , namun cukup untuk melihat anak-anak kecil bermain, dan belanja di supermarket souvenir. Di setiap rest area , souvenir yang dijual umumnya berbeda, sesuai dengan ciri khas daerah itu sendiri. Sesampainya di Prefektur Nagano, Kota Karuizawa, dingin merambat ke sekujur tubuh saya. Ternyata benar, di sini masih bersalju meskipun sudah memasuki musim semi. Semua anak Indonesia tentu bersemangat dan berlomba memegang salju. Siang itu dingin, dan kami makan siang di sebuah restoran yang unik. Alas kaki harus dilepas sebelum masuk ke ruang makan. Sebelum makan kami harus mengatakan, “Itadakimasu!” . Makanan yang disajikan siang itu berupa nasi, sayur kukus, tempura, labu goreng, sup miso, nasi, dll. Saya pikir yang berwarna oranye itu adalah ubi manis, ternyata itu labu. Padahal rasanya persis seperti ubi manis. Enak sekali. Setelah selesai makan siang, kami bersama-sama mengucapkan, “Gochisousama deshita,” yang artinya terima kasih atas makanan yang telah dihidangkan. Lalu kami naik bus ke Karuizawa Kanko Kaikan untuk mendengarkan presentasi dari perwakilan Asosiasi Pariwisata Karuizawa. Di gedung ini kami dijelaskan mengenai program pengembangan Kota Karuizawa. Awalnya kota ini sepi sekali, tapi sejak keindahannya ditemukan oleh seorang misionaris asing, pemerintah daerah mulai mengembangkan Karuizawa untuk menarik lebih banyak turis luar. Penginapan pun bertumbuh pesat dan toko-toko souvenir bertambah. Menariknya, semua ini diatur dan ditata dengan rapi sehingga tata kota tidak berantakan. Mulai dari bentuk bangunan, tinggi dan luas bangunan hingga warna bangunan diatur oleh pemerintah daerah demi menjaga keindahan dan kesan tradisional Karuizawa. Sejak saat itu, Karuizawa menjadi destinasi utama untuk para pasangan baru berbulan madu, dengan atraksi berbagai olahraga salju seperti ski. Setelah berkeliling sebentar di area perbelanjaan, kami pulang ke penginapan Fujiya. Penginapan ini terletak jauh dari Karuizawa dan pemandangannya lebih tradisional lagi. Penginapan Fujiya sendiri sangat tradisional dengan lantai dan dinding kayu. Desain ruangannya masih khas Jepang dengan tatami dan pintu geser. Sebelum masuk ke ruang utama penginapan, kami harus melepas sepatu dan berganti dengan selop khusus. Di sekitar penginapan banyak gunung-gunung yang masih bersalju. Hal menarik lainnya di penginapan ini adalah onsen , tempat pemandian air panas. Katanya, onsen di Fujiya Ryokan ini yang terbaik di Jepang. Air panasnya alami dan masih mengandung belerang. Kami pun makan malam megah di ruang utama. Menunya sukiyaki , tempura, salmon, dll. Setelah makan malam, pemilik penginapan mengajarkan kami cara memakai futon , kasur Jepang dan cara memakai yukata , baju yang mirip kimono tapi lebih tipis dan simpel. Kemudian grup dibagi dua: pria dan wanita, untuk belajar tata krama onsen di Karuizawa. Berhubung ber- onsen di Jepang harus telanjang, maka ada tata krama tersendiri untuk menikmatinya. Contohnya, pengunjung tidak boleh memperhatikan tubuh pengunjung lain karena tidak sopan, kemudian sebelum berendam, pengunjung harus membersihkan badannya dulu dan dilarang memakai sabun di kolam. Pengunjung juga harus menjaga kebersihan kolam karena akan dipakai oleh banyak orang. Beberapa peserta Indonesia menolak ber- onsen karena alasan malu, datang bulan, dsb. sehinga mereka harus bergiliran menggunakan kamar mandi umum di sebelah onsen . Di penginapan Fujiya ini tidak ada kamar mandi di dalam kamar tidur. Semua orang diharapkan ber- onsen , tapi kalau pun tidak mau, telah disediakan satu kamar mandi untuk bergiliran dipakai. Dan meskipun tradisional, toilet di Jepang tetap modern dengan berbagai tombol otomatisnya. Orang Jepang memiliki kebiasaan memisahkan ruang mandi dan ruang toilet. Karena sempitnya lahan di Jepang, mereka selalu mendesain ruangan kecil tapi fungsional. Misalnya ruang tamu bisa disulap menjadi kamar tidur, sebab kotatsu (meja dengan heater di dalamnya) bisa dipindahkan dan tinggal menggelar futon (kasur lipat Jepang). Bila sudah pagi, futon harus dibereskan dan dikembalikan ke closet (lemari khusus kasur dan selimutnya). Semua hal ini harus dikerjakan oleh pengunjung tanpa bantuan staf penginapan, sehingga memberikan kesan yang unik. Seusai menikmati onsen outdoor dengan udara dingin tapi air yang hangat, kami kembali ke ruang utama untuk berlatih tampil di depan warga Desa Aoki besok. Kami menyiapkan pertunjukan Saman yang sudah dimodifikasi dan nyanyian lagu Doraemon berbahasa Indonesia. Biasanya kami hanya berlatih di bus, sekarang ini adalah kesempatan terakhir kami mengatur blocking dan keseluruhan penampilan.
- JENESYS 2.0: Homestay di Desa Aoki (Day 6 of 9)
Setelah sarapan nasi, ikan salmon, telur, dll. kami memindahkan semua barang ke bus karena malam ini akan homestay di Desa Aoki. Paginya kami mengunjungi kantor walikota terlebih dahulu. Menurut saya kantor walikota di sini sangat modern, bersih, rapi dan cantik. Meskipun kotanya masih tradisional dan pekerjaan utama di sini adalah bercocok tanam, namun gedung walikotanya tidak kumuh dan terasa seperti di kota besar. Walikota mengaku telah menghabiskan JPY 1,5 milyar untuk membangun gedung modern tersebut. Walikota Aoki juga menceritakan sedikit mengenai Desa Aoki dan strategi pengembangannya. Desa ini memiliki populasi yang sedikit dan didominasi oleh orang tua, sehingga pemerintah daerah harus menjaga penduduknya dari transmigrasi. Caranya adalah setiap warga yang ingin bersekolah ke jenjang SMA, akan dibiayai bila bersekolah di desa terdekat. Sebab di Desa Aoki hanya ada satu gedung SD dan SMP. Bila warga bersekolah di luar prefektur, maka pemerintah tidak akan memberikan biaya tunjangan. Hal ini rupanya efektif sehingga penduduk desa tidak begitu berkurang. Lagi-lagi saya menemukan bahwa seni rupa sangat diperhatikan di Negara Jepang. Di setiap desa, pasti memiliki logo dan logo ini akan dibuatkan karakter kartun yang lucu untuk dijual sebagai souvenir. Bagi saya ini adalah ide yang cerdas untuk meningkatkan ekonomi daerah. Logo mereka formal, tapi ketika dijadikan tokoh kartun, mereka membuat tokoh kartun yang imut agar anak-anak mau membelinya dan memberikan kesan ramah serta menyenangkan. Di Desa Aoki, logo desanya berbentuk hiragana A, dan tokoh kartunnya bernama Aoki no ko yang berarti “Anak Aoki”. Berbeda sekali dengan Indonesia, yang desain produk tradisionalnya selalu bergaya mistis dan menyeramkan. Walikota Aoki menerima kami dengan ramah dan mempersilakan kami untuk berkeliling melihat-lihat ruangan. Kemudian kami pun pamit dan pergi ke tempat tujuan berikutnya. Perusahaan Hioki E.E. merupakan perusahaan pembuat alat pengukur elektrik. Pabriknya besar dan sedang diperluas. Di sebelah pabrik terdapat lapangan baseball yang boleh dipakai warga sekitar. Perusahaan Hioki sengaja membuat lapangan tersebut agar terjalin hubungan baik antara warga dan perusahaan. Berkeliling di Gedung Hioki terasa agak membosankan karena desainnya minimalis dan monoton. Semua pekerjaan di sini memiliki peraturan yang tegas dan tidak boleh dilanggar karena dapat membahayakan keselamatan serta kualitas produk Hioki. Meskipun peraturannya ketat, namun pemilik perusahaan sangat ramah karena selalu membuka pintu kantornya lebar-lebar. Ia ingin hubungan staf dan kepala perusahaan terjalin dengan baik dan sehat. Kemudian kami berpindah tempat lagi ke Michi no Eki Aoki . Di sana kami belajar membuat mochi dari beras ketan. Kami harus menumbuknya sambil berteriak “Yosoi!” agar lebih bersemangat. Berat palu kayu yang digunakan untuk menumbuk mencapai 20 kg. Setelah puas menumbuk, kami mencicipi mochi yang sudah jadi. Ada mochi rasa kacang merah dan kacang tanah, rasanya manis sekali. Lalu kami berpindah ke Bunka Kaikan , gedung serbaguna untuk olahraga. Di sana kami berkenalan dengan murid-murid SMP Desa Aoki yang mahir memainkan kendang Gimin Taiko . Mereka menabuh kendang-kendang itu dengan penuh semangat sambil melakukan tarian yang kompak. Mulut kami tidak bisa berhenti menganga ketika menonton pertunjukan itu. Suatu performance yang sangat indah dan mengesankan. Kabarnya tim ini sudah sering memenangkan perlombaan taiko nasional. Setelah mulut menganga menonton, kini giliran kami menampilkan performance . Kami merasa malu karena tidak dapat memberikan penampilan yang sespektakuler anak-anak SMP tadi. Kami sedih kenapa pihak kedutaan Jepang di Indonesia tidak mempertemukan kami dulu di Jakarta untuk menentukan performance bersama. Pemberitahuan kami harus menampilkan pertunjukan seni begitu mendadak dan kami tidak siap melakukan hal yang spektakuler. Ditambah waktu latihan yang tidak disediakan sama sekali, sehingga kami harus berlatih di sela-sela perjalanan naik bus. Tetapi tak apa, kami tetap tampil dengan gembira. Setelah itu mereka pun bertepuk tangan dan kini kami diajarkan menabuh taiko dengan tangan sendiri. Ternyata tidak mudah. Keringat pun bercucuran dan kami segera melepaskan jaket. Udara Nagano yang dingin tidak lagi menyakiti kami, justru malah terasa panas karena menari sambil menabuh taiko menguras energi besar. Saya jadi terpikir dengan alat-alat musik Indonesia, kenapa ya tidak terasa menyenangkan seperti taiko ? Mungkin saya perlu mempelajarinya lebih dalam agar dapat menemukan jawaban-jawaban itu. Tak lama kemudian, sensei (guru) kami tertawa dan memuji permainan kami yang semakin membaik, dan menutup acara taiko dengan foto bersama. Kemudian tibalah para host family yang siap menjemput kami. Setiap host family akan mengurus tiga hingga empat anak Indonesia selama satu malam. Di hari sebelumnya, kami sudah diberitahu akan bertemu dengan keluarga yang seperti apa. Kebetulan keluarga angkat saya sudah sangat tua. Umur mereka 75 tahun ke atas dan mereka sudah pensiun bekerja sebagai petani. Keluarganya sederhana, rumahnya kecil, sempit dan berantakan. Halaman rumahnya penuh dengan tanaman bonsai, bunga daisy , dan jamur-jamur kecil. Mobilnya ada tiga: pick-up , sedan, dan saya tidak tahu namanya. Keluarga angkat saya bermarga Horiuchi. Saya memanggil sepasang kakek dan nenek ini dengan sebutan Okaa-san dan Otou-san (ibu dan ayah). Kami naik mobil sedan dari Bunka Kaikan ke rumahnya. Letaknya dekat. Sesampainya di rumah, kami berkenalan lebih jauh dan mulai kehabisan topik. Meskipun sudah dibekali buku Salam Dalam Bahasa Jepang , tetap saja mengobrol dalam Bahasa Jepang tidaklah mudah. Beruntung saya sudah pernah les Bahasa Jepang di Jakarta selama 6 bulan, jadi masih mengerti beberapa yang mereka bicarakan. Keadaan kemudian diperparah dengan kedua pasangan ini yang tidak bisa Bahasa Inggris, sehingga kami bertiga lebih banyak menggunakan Bahasa Jepang a la kadarnya serta gerakan-gerakan bodoh. Tiba-tiba koordinator homestay dari Desa Aoki datang mengunjungi rumah kami. Mereka mengobrol sebentar, minum teh hijau dan makan senbei . Mereka asyik berbicara Bahasa Jepang, berusaha memastikan hubungan kami dan keluarga baik-baik saja, sementara kami planga-plongo mendengar mereka. Fukase-san, koordinator kami pun mengartikan ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa saat kemudian, mereka pamit dan ayah angkat kami mengajak berkeliling ke taman Taishiyama. Kami ditemani cucunya yang bernama Toshinori, masih duduk di bangku SMA di desa sebelah. Taishiyama no koen terletak di atas bukit dan dari situ kami bisa melihat pemandangan seluruh Desa Aoki. Di taman ini terdapat satu kuburan warga, dan di sekelilingnya pula kita bisa melihat gunung-gunung bersalju, dan pohon-pohon tandus bekas musim salju yang baru saja berakhir di bulan April. Di sekitar tanah-tanah itu juga masih tertinggal bertumpuk-tumpuk salju. Beberapa area bukit berupa hutan dan dipagari, dengan alasan agar hewan liar tidak masuk ke desa dan merusak tanaman. Sepulangnya dari taman, ayah angkat kami menunjukkan apel hasil panen yang dia simpan di gudang. Kami pun segera mandi untuk makan malam. Makan malam kami hari itu luar biasa banyaknya. Semuanya mengandung karbohidrat dan rasanya sangat mengenyangkan. Minuman yang disuguhkan pun unik, Ginger Ale. Rasanya seperti Sprite – bukan minuman favorit saya. Kami makan bersama Toshinori dan ibunya juga. Saya jadi tidak heran melihat mereka bertubuh besar, makannya saja keterlaluan banyaknya. Saya sempat berpikir mungkin karena ada anak Indonesia, makanya makanannya jadi banyak. Tapi setelah saya perhatikan, semua orang menghabiskan makanannya dengan lahap dan mereka bilang mereka memang makan sebanyak itu setiap hari. Seusai makan malam, kami bertiga bermaksud membantu ibu membereskan piring. Namun beliau menolak, dan kami memaksa pun tetap ditolak. Ibu malah menyuguhi kami buah apel dan komik. Saya pun tertarik membaca komik itu. Rupanya film-film kartun Studio Ghibli di- screen capture dan dijadikan komik lengkap dengan balon kata. Naskah di filmnya persis dengan naskah di komik. Komiknya juga full color persis seperti filmnya. Sementara saya membaca, teman-teman saya menonton televisi dengan ayah angkat. Saya melihat bahwa di Jepang, seorang istri bekerja sangat keras untuk melayani suaminya, persis seperti tradisi orang Jawa. Seorang istrilah yang sibuk memasak, mencuci piring, mencuci baju, merawat anak, mengambilkan minum untuk tamu, dan membereskan rumah. Benar-benar seperti pelayan. Seorang istri tidak sopan apabila meminta suaminya mengambilkan, misalnya sekadar remote TV , sebab istri harus melayani suami. Saya dengar tradisi ini masih berlaku meskipun di kota besar, namun mungkin lebih kental di desa-desa terpencil seperti Aoki ini. Sambil menonton televisi dan menyantap apel segar, ibu angkat kami datang membawa sehelai kain kimono . Ia bermaksud memakaikannya ke kami bertiga secara bergilir. Satu-persatu dari kami pun dipasangkannya kimono dan difoto dengan pocket camera . Ibu angkat sampai keringatan karena mengenakan dan melepaskan kimono itu rumit sekali. Kira-kira pukul 10 malam, kami super mengantuk dan memutuskan untuk tidur. Besok kami harus bangun pagi lagi untuk pergi ke Kota Azumino. Ibu angkat kami sudah menyiapkan futon dan kami meminta maaf sekali lagi karena tidak membantunya. Beliau bilang tidak apa, ia memang tidak ingin merepotkan kami bertiga. Akhirnya kami pun mengucapkan, “Oyasumi,” dan tidur dengan nyenyak.
- JENESYS 2.0: Akira Kurosawa di Daio Wasabi Farm (Day 7 of 9)
Pukul 7 pagi tanggal 28 Maret 2014, kami bangun dan sikat gigi. Orang Jepang punya kebiasaan tidak mandi di pagi hari untuk menghemat air. Mereka juga tidak suka apabila toiletnya basah. Sementara untuk berendam air panas di bak mandi, mereka akan menggunakannya bersama-sama secara bergilir, sehingga setiap orang yang memakai bak mandi diharapkan tidak mengotori air. Udara di pagi hari luar biasa dinginnya. Genangan air bekas hujan kemarin pun sudah keras menjadi es batu. Saya mendekatkan kaki ke heater di dalam kotatsu agar tidak menggigil. Dapat dibayangkan bagaimana nasib orang miskin di Jepang, apabila tidak memiliki heater , mungkin bisa mati kedinginan. Sarapan pagi itu sama banyaknya dengan yang semalam. Masing-masing orang mendapatkan 3 onigiri berwarna ungu, pink dan merah. Saya tidak tahu nama furikake yang digunakan untuk mewarnai onigiri , tapi yang pasti yang berwarna merah tidak menggunakan furikake, melainkan umeboshi . Lauk pagi itu juga sedap mantap : salmon, karaage , dll. Saya yakin saya sudah bertambah 1 kg selama beberapa hari di Jepang ini. Setelah sarapan dan berfoto bersama, kami berangkat bersama ayah ke meeting point naik mobil sedan, sementara ibu dan Toshinori naik mobil yang lain. Toshinori tidak tinggal di rumah itu, ia tinggal agak jauh dan sering mengunjungi kakek-neneknya. Pagi ini ia datang untuk memberikan kami kaos kaki lucu yang terbungkus dengan cantik sebagai hadiah balasan karena semalam saya memberikan keluarganya sapu tangan batik. Saya belajar lagi kebudayaan Jepang yang unik di mana mereka sangat senang membalas budi. Bila kita memberikan mereka hadiah, mereka juga akan segera membalasnya. Kata sensei saya dulu, bila kita memberikan hadiah yang terlalu mewah untuk orang Jepang, mereka akan menolaknya karena takut tidak bisa membalas semewah itu. Tiba di meeting point , bus sudah menanti kami. Ibu dan Toshinori tiba lebih dulu karena handphone saya tertinggal di ruang tamu, jadi ayah mengantar saya pulang lagi. Untung saya ingat tepat ketika mobil baru keluar rumah. Kemudian saya pun mencari-cari ibu dan Toshinori, maksud hati ingin berpamitan dan berterima kasih. Rupanya ia sedang membeli kue untuk kami bertiga, atas balasan hadiah yang kami berikan pagi ini. Saya senang sekali mendapatkan sekotak kue bolu Jepang. Kemudian saya meminta email Toshinori agar kami dapat keep in touch , sayangnya ibu mengatakan bahwa Toshinori belum cukup umur untuk memiliki email (atau handphone , sebab handphone di Jepang memakai email ). Saya jadi heran, di rumah mereka TV sudah LCD, toilet sudah super canggih, kenapa anaknya yang sudah SMA dilarang memiliki handphone ? Kami pun berfoto lagi untuk terakhir kalinya dan segera naik ke bus. Di dalam bus ada sedikit rasa sedih dan bahagia, bahagianya tentu karena saya sudah rindu dengan rumah sendiri. Sambil bus itu berlalu, kami pun berdadah-dadah dengan orang tua angkat. Lalu kami duduk dan saling bertukar cerita. Teman saya bilang di rumah keluarga angkatnya ada kuda poni kecil. Kami pun saling memperlihatkan foto. Ada yang keluarganya hobi membuat gelang, menulis kaligrafi, ada pula yang melipat kertas origami , sementara ibu angkat saya hobinya membuat boneka. Kami pun membawa banyak cerita yang seru untuk dibagikan ke teman-teman Indonesia kami nanti. Sekitar pukul 09.30 pagi, kami berkumpul di Daio Wasabi Farm , Kota Azumino, tempat perkebunan wasabi — sambal khas Jepang yang berwarna hijau. Tempatnya bagus sekali. Di depan pintu masuk kita dapat melihat pegunungan Alps Utara yang mirip dengan gunung Alps di Swiss. Gunung-gunung itu masih bersalju dan berwarna biru-putih. Cantik sekali. Ditemani seorang tour guide yang berpakaian unik, kami berkeliling perkebunan seluas 15 ha. Ternyata wasabi ditanam di batu-batu kerikil dan harus senantiasa diairi. Air yang dipakai untuk tanaman wasabi turun langsung dari pegunungan Alps Utara dan suhunya selalu 15°C meski musim panas sekalipun. Kata tour guide kami, pada tahun 1990 Akira Kurosawa pernah menjadikan Daio Wasabi Farm ini sebagai tempat syuting filmnya yang berjudul Yume (atau Dreams ). Lagi-lagi saya menyaksikan kreatifnya orang Jepang dalam mengembangkan perekenomiannya. Di Daio Wasabi Farm , selain kisah Akira Kurosawa, kita juga bisa melihat-lihat perkebunan, juga bisa membeli souvenir khas wasabi. Souvenir -nya dari boneka, gantungan kunci, hingga gantungan Hello Kitty bernuansa wasabi . Mereka juga menjual makanan khas wasabi dan tanaman wasabi itu sendiri. Saya tertarik membeli es krim wasabi -nya, ternyata rasanya benar-benar pedas. Bila membeli soft ice cream cone , rasa wasabi -nya agak tersamarkan oleh susu, tapi bila membeli soft ice cream waffle , rasa wasabi -nya sangatlah kuat. Setelah berkelana di perkebunan wasabi , kami pun berpindah tempat ke Matsumoto , Ibu Kota Prefektur Nagano untuk mengunjungi Benteng Matsumoto . Benteng ini didirikan pada abad ke-16 dan bangunannya masih terjaga dengan baik meskipun danaunya berwarna hijau penuh lumut. Seperti biasa, untuk masuk ke dalam bangunan, kami harus melepaskan sepatu dan berganti dengan alas kaki khusus. Benteng ini dibangun dengan kayu dan batu dan memiliki 6 lantai dengan tangga yang sempit dan curam. Di dalam benteng terdapat berbagai pajangan senjata dan baju perang, lengkap dengan keterangannya dalam Bahasa Inggris. Tak lama berkeliling di dalam, saya pun keluar dan masuk ke toko souvenir . Lagi-lagi saya menemukan gantungan kunci Hello Kitty, kali ini dalam busana perang. Keluar dari toko, koordinator saya menunjukkan cosplayer berpakaian baju zirah samurai . Kami boleh berfoto gratis dengan cosplayer ini dibantu tukang foto yang mengenakan yukata . Menurut saya ini adalah servis yang sangat baik karena mempermudah turis. Tinggal sediakan 2 orang saja: cosplayer dan tukang foto. Turis tinggal meminjamkan kameranya dan foto pun jadi. Setelah itu kami pun pergi ke restoran untuk meminjam salah satu ruangan. Di ruangan itu kami mengadakan diskusi, membicarakan hal-hal apa saja yang telah kami temui di Jepang dan dampaknya pada kami, serta membuat action plan . Action plan ini ditujukan agar setelah kepulangan kami ke Indonesia ada hal-hal berguna yang akan kami terapkan demi mempromosikan Jepang ke masyarakat luas. Selesai berdiskusi, kami pulang ke hotel Matsumoto Kagetsu. Makan malam di hotel cukup menarik karena menunya baru: sashimi . Sayangnya ikan mentah ini sudah tidak segar lagi. Mungkin sudah menunggu kami terlalu lama untuk datang ke restoran. Seusai makan, saya dan kawan pergi keluar. Rupanya area di sekitar toko tutup setelah jam 8 malam. Suasana malam di kota ini sangat sepi dan gelap. Saya hanya berjalan-jalan sebentar melihat-lihat rokok dijual di vending machine dan kembali ke hotel untuk packing . Baca episode berikutnya!
- JENESYS 2.0: Sakura di Odaiba (Day 8 of 9)
Pagi ini kami kembali ke Tokyo dengan bus dan makan siang di Restoran Nandeya, Aqua City di Distrik Daiba. Banyak turis mengunjungi Odaiba karena mall ini menjual berbagai barang anime , pakaian hewan, pakaian manusia, dll. Mall besar yang sangat lengkap dengan patung replika Liberty di sebelahnya. Menu siang itu adalah nasi yang banyak dan katsu ikan. Rasanya makanan Jepang mulai hambar di mulut saya. Kami semua mulai merindukan bumbu-bumbu Indonesia yang lezat luar biasa. Saya tidak habis memakannya dan langsung kabur jalan-jalan. (Saking buru-burunya saya sampai tidak sempat mengambil foto apapun.) Di Tokyo, Sakura sudah mulai bermekaran. Ada yang berwarna merah muda, ada pula yang putih. Cantik sekali. Saya ingin memetiknya, tapi kata Dr. Vee, “Jangan dipetik, nanti kamu ditangkap polisi. Soalnya ini bunga milik pemerintah.” Langsung saya urungkan niat tadi. Kemudian kami melanjutkan aktivitas berikutnya, yakni presentasi hasil penemuan dan action plan . Presentasi dilakukan dalam bahasa masing-masing yang kemudian akan ditranslasi ke Bahasa Jepang dan bahasa negara lainnya. Setiap peserta mengenakan alat pendengar dengan earset kiri. Melalui alat itu, para koordinator akan berbicara dalam bahasa negara masing-masing. Yang menghadiri acara siang itu ada empat perwakilan dari kedutaan besar negara yang bersangkutan, serta perwakilan dari Ministry of Foreign Affairs of Japan. Para peserta siang itu pun dinobatkan sebagai Jenesyst karena telah berhasil menyelesaikan program acara dan menerima sertifikat. Setelah itu kami pun berfoto bersama dan mulai saling berkenalan. Baru hari itu kami benar-benar memiliki kesempatan untuk berkenalan antar negara. Saya dan seorang kawan dari Filipina sempat membahas masalah kurangnya interaksi antar negara. Saya dan dia sepikiran bahwa program pertukaran pelajar seharusnya memberikan kesempatan para peserta untuk “bertukar” kebudayaan. Sayangnya yang terjadi hanya satu arah, hanya dari Jepang ke negara lain. Tapi yasudahlah, kami tetap bersyukur atas kesempatan ini karena kami dapat belajar sangat banyak serta semakin termotivasi untuk menjadi lebih baik. Oh iya, ada cerita lucu setelah kami pulang ke hotel Nikko di Prefektur Chiba. Malam itu hampir semua peserta berjalan-jalan ke 7-11, termasuk saya dan Gaby. Di sana, saya berniat menghabiskan semua recehan yen karena percuma dibawa pulang tidak bisa dijual lagi. Tiba-tiba ketika saya sedang menghitung jumlahnya, satu recehan saya senilai 100 yen jatuh dan menggelinding ke bawah rak makanan. Saya langsung panik dan berusaha mengintip ke bawah kolong rak. Hal ini tentu menarik perhatian banyak orang termasuk teman Kamboja saya yang sedang lewat. "What are you doing?" tanya Meng ramah, disusul isak-tangis saya kehilangan 100 yen. Saya menunjuk kolong tempat yen itu hilang dan Meng tertawa terbahak-bahak, "That's quite a lot." kemudian ia membantu saya mencarinya di bawah kolong. Melihat Meng dan saya berlutut di lantai, yang lainnya jadi ikut bertanya, "What are you guys doing?" Akhirnya dibantu beberapa anak Kamboja, yen tersebut pun tetap tidak dapat ditemukan dan harus saya relakan. Padahal tim Kamboja sudah mempersiapkan senter dan sudah menggulung lengan jaket mereka. Hahaha... Saya sampai terharu melihat perjuangan mereka membantu saya mencari koin yang hilang. Setelah selesai berbelanja di 7-11, kami pun kembali ke hotel dan mulai packing , sementara anak-anak Kamboja party dan menggila di koridor hotel. Duh, tidak ikutan deh kalau nggak ada cewek-cewek yang ikut. Hehe...















