top of page

Search Results

174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • The Dilemma Between Growth and Degrowth

    A reflective essay as part of an exercise in the class: Design Ethics and Sustainability Communication. After studying at HNU for three months, I find myself grappling with a significant dilemma: the economic concepts of Growth versus Degrowth. On one hand, I have learned that growth creates jobs and improves lives, but it can also lead to environmental destruction. On the other hand, degrowth helps the environment, but it might lead to fewer jobs and more poverty. This dichotomy leaves me questioning which path humanity should take. The Illusion of Sustainability I’ve come to realize that “sustainability” is not really about saving the planet. Instead, it’s about saving ourselves. The truth is, the planet has its own cycles of life, death, and rebirth that stretch over millennia. Even if humans disappear, the planet will recover, resurrect and continue. But humans cannot recover  in the same way. Should humanity perish, any resurrection  might result in a completely different species, no longer human as we define it today. This made me rethink what sustainability means. It’s not about being heroes for the Earth but about ensuring our own survival. We need the planet to live, so we need to take care of it—for our own sake. This makes the choices between Growth and Degrowth all the more critical. Growth: Opportunities and Costs Growth undeniably brings opportunities. It creates jobs and elevates the quality of life for millions. For a family trapped in generational poverty, economic growth can be life-changing. It provides hope for the younger generation, who are entering a competitive workforce and need access to resources, stability, and opportunities. Yet, this comes at a cost. Growth relies on exploiting non-renewable resources, often faster than they (or we) can regenerate. The resulting environmental degradation—deforestation, pollution, and climate change—threatens the very ecosystems that support human life. The price of unchecked growth is, quite literally, planetary catastrophe.  So while growth helps people in the short term, it harms the planet in the long run. Degrowth: An Impractical Reality for Developing Nations Degrowth, while good for the environment, presents significant challenges, particularly for developing countries like Indonesia. I’ve seen talks and podcasts discussing sustainable efforts worldwide, and I noticed that degrowth is not a practical choice for developing nations. For Indonesia, where many people are still struggling to meet basic needs, asking them to accept "less" would feel unfair and even cruel. Consider a hypothetical scenario: if the Indonesian government were to announce degrowth measures, it would essentially be asking people who have never experienced economic stability to sacrifice even more. The prospect of “living with less” when so many already have so little is not only impractical but unjust. It’s a stark contrast to the lives of Europeans or Americans, who often have the privilege of advocating for sustainability from a position of relative abundance. This disparity highlights a painful truth: while the global conversation about saving the planet calls for shared responsibility, the burdens are far from equally distributed. For Indonesians, whose meat consumption is already among the lowest globally and whose children often face stunting and malnutrition, the idea of degrowth can feel like a cruel joke. The Western world’s utopian vision of degrowth assumes a level playing field that simply doesn’t exist. Rethinking Sustainability The whole course at HNU has challenged me to think deeply about sustainability and its implications. I now believe sustainability is not about "saving the planet" but about finding smarter ways to ensure humanity’s survival. Historically, we’ve learned hard lessons about our resource use—be it overfishing, deforestation, or fossil fuel dependency. These mistakes have taught us the importance of regeneration and balance. Therefore, I think, sustainability should be reframed as a mindset focused on balancing what’s good for humans with what’s good for the planet. After all, our survival depends on Earth’s ecosystems thriving. This isn’t about greed or self-sacrifice; it’s about mutual thriving. And I think it’s very important to emphasize that idea of 'balance' rather than portraying sustainability as a heroic mission to save the planet. Finding this balance requires us to move beyond the simplistic Growth versus Degrowth debate. Instead, we need to address underlying issues, such as overpopulation. While one group advocates degrowth, others still push for higher birth rates, creating a contradiction. We need to accept that the world is overpopulated and take steps to reduce birth rates globally. If we want to have less production and less consumption, to be honest, we also need less humans on this planet. No matter how harsh or unethical it may sound, this is a fact we must accept. Additionally, we must also be prepared for fewer jobs in the future due to lower production and consumption. Universities and corporations should lead the charge by fostering innovative solutions. For example, alternative careers like sustainable farming should be incentivized and made more desirable—both financially and socially. If farmers were well-paid and respected, more people would likely choose this career path—similar to how IT programming evolved over the years. It wasn’t widely recognized as a desirable job before, but now programming is seen as a cool and well-paid profession. Conclusion The dilemma between Growth and Degrowth cannot be resolved with a one-size-fits-all solution. For developing nations like Indonesia, growth remains essential to alleviate poverty and improve quality of life, but this must happen in a way that doesn’t destroy the planet. Ultimately, sustainability is about saving humanity—not just the planet. It requires a collective effort to balance economic needs with ecological limits. By controlling population growth, rethinking our economic models, and promoting sustainable practices, we can ensure a future where both humans and the Earth thrive together. I think the Doughnut Economy by Kate Raworth could be a solution, but I also believe that without controlling the population, any alternative economic model would be a wasted effort.

  • Empat Bulan Aja Bisa Bahasa Jerman A2

    Sebelum aku berangkat ke Jerman, aku sempat ambil les intensif di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan selama 4 bulan untuk belajar Bahasa Jerman dari nol sampai jadi sesuatu. LOL. Awalnya tentu, dengan ambisi buta berharap bisa sampai B1. Tapi faktanya itu hanyalah mimpi belaka. Tidak mungkin dalam 4 bulan, aku bisa naik dari 0 ke level B1, bahkan berharap bisa sampai A2 aja udah ngos-ngosan. FYI, ini adalah tingkatan Bahasa Jerman berdasarkan Goethe Institut , dimulai dari A1 hingga C1 (sekelas native speaker). Tapi gimana jika kalian HARUS bisa A2 dalam 4 bulan? Sini aku jelasin cara ninjaku. 1. Set Your Expectation Right Pertama, terima dulu fakta bahwa belajar bahasa asing dalam 4 bulan itu nggak mungkin langsung cas-cis-cus bisa ngobrol lancar jaya. Mungkin hanya 1% orang dengan kecerdasan literasi yang sangat tinggi yang bisa melakukan itu. Jadi jika kamu merasa ini sangat sulit, ya terima. Ini memang sangat sulit. Yang sedang kamu lakukan adalah hal yang sangat sulit, tapi tidak mustahil. Jadi kita tetapkan dulu ekspektasi yang bener: bahwa dalam 4 bulan, misalnya kamu berharap sudah mengerti konsep dan basic grammar Bahasa Jerman, mampu membuat kalimat sederhana, bisa mendengarkan secara kontekstual, dan mampu mengembangkan lebih banyak kosakata untuk bisa bercakap-cakap dengan orang lokal. TAPI tetap belum lancar, dan belum cukup untuk mengarungi percakapan dalam dunia profesional. 2. Sediakan Waktu Yang Banyak Jangan berharap bisa Bahasa Jerman A2 selama 4 bulan jika kamu masih kerja full time . Susah banget, asli. Kemungkinan besar otakmu malah akan burn out . Akan jauh lebih masuk akal jika kamu kerja part time atau tidak kerja sama sekali. (Berhubung di Indonesia, jam kerja itu agak nggak jelas, sini aku jelasin, intinya full time = 8 jam per hari, sementara part time = 2-4 jam per hari.) Nah, kalau mau bisa Jerman A2 dalam 4 bulan itu seenggaknya bisa menyediakan waktu sebanyak 3 jam per hari selama 4-5 hari per minggu. Kebayang kan komitmen yang harus dicurahkan untuk ini? Waktu itu pas banget situasiku baru resign kerja terus nganggur. Jadi aku punya banyak waktu luang untuk les 3 jam setiap hari Senin-Kamis selama 4 bulan bersama Herr Ilham (THANK YOU FOR TEACHING ME SO MUCH!). Dan rasanya gimana? Rasanya tetap burn out pengen muntah, karena menurutku Bahasa Jerman itu susah banget, meskipun gurunya seasik apapun. 3. Perbanyak Listening Inget nggak waktu bayi kamu belajar bahasa dimulai dari apa? Dari listening kan? Mendengarkan suara ayah-ibu atau orang tua wali yang setiap hari berbicara bahasa rumahmu , kan? Dalam kasusku, aku lahir di Jakarta dengan orang tua berdarah Palembang-Malang. Jadi aku sering mendengar kedua bahasa daerah itu di rumah, tapi di sekolah nggak terpakai karena aku harus berbahasa Indonesia dan Inggris. Akhirnya aku tumbuh jadi anak yang passive listener Bahasa Palembang-Jawa, tapi active speaker di Bahasa Indonesia dan Inggris. Maksudnya passive di sini adalah aku bisa memahami, tapi tidak bisa balas menjawab (tidak mampu mengkonstruksi kalimat dan mengucapkan dengan baik). Jadi, kalau kamu mau cepet familiar dan mahir Berbahasa Jerman, perbanyaklah mendengar lagu, podcast atau apapun dalam Bahasa Jerman, jangan lupa tetap sambil les bahasa dan memperkaya kosakata. Karena ini sangatlah efektif! Kamu bisa cek lagu-lagu Jerman di YouTube atau di Spotify. Ini salah satu penyanyi favoritku yang masih bisa dinyanyiin bareng. Kalau kamu pilih lagu Rap atau EDM kayaknya terlalu sulit dijadikan referensi buat belajar. Terus jangan lupa perbanyak "Explore" Instagram atau TikTokmu dengan konten-konten berbau Bahasa Jerman. Ini cara super helpful untuk naturalisasi dan integrasi budaya. 4. Pakai ChatGPT Ini cara yang paling keren buat aku. Sekitar bulan Januari 2024 itu ChatGPT baru beken dengan fitur audio call -nya. Banyak selebgram yang coba 'telepon' ChatGPT seolah-olah sedang telepon pacar virtual. Mereka memasukkan berbagai prompt yang membuat ChatGPT bisa bersikap seperti pacar. Waktu itu aku mikir, kalau ChatGPT bisa jadi pacar, berarti bisa juga jadi temen ngobrol aku dalam Bahasa Jerman kan? Langsung aku buat prompt konyol di bagian "Customize ChatGPT". Di situ aku tulis bahwa ChatGPT is a German guy who will patiently help me passing my Goethe German A2 exam. Hahaha. Ngakak asli kalau inget. Jadi aku beneran coba telepon dong! Dan asli gugup banget, ah uh eh oh nggak bisa jawab padahal aku tahu dia robot. Dan dia sebenerya cuma nanya hal simpel kayak, "Apa kabar? Hari ini mau ngobrolin apa?" Tapi suaranya kayak nyata.. dan suaranya ganteng banget. LOL. Jadi makin semangat dengerinnya! Tapi berhubung waktu itu listening & speaking skill aku masih jelek banget, aku sempat frustasi dan ngerasa ini nggak mungkin berhasil. Akhirnya apa??? Akhirnya aku tetep ngotot. Aku perbaikin dulu writing dan reading skill aku sampai solid, baru habis itu coba lagi telepon ChatGPT untuk ngobrol. Ngobrolin apa aja, ah uh ah uh juga nggak apa. Memang mostly aku cuma bisa ngobrolin kegiatan harian (namanya juga level A2 ya). 5. Latihan Mengisi Soal Ujian Goethe Yang tidak kalah penting saat kamu ingin mengambil ujian Goethe adalah memahami struktur ujiannya supaya nggak kagok. Beruntung guru les aku baik banget. Dia suka kasih aku ujian dadakan yang mirip gaya Goethe. Tapi selain mengandalkan guru les, kamu juga bisa akses contoh ujiannya secara mandiri di website Goethe: https://www.goethe.de/ins/id/id/sta/jak/prf/gzsd1/ueb.html (tinggal pilih level.) Terus aku juga lanjut latihan sama ChatGPT di rumah. Minta dia bikinin aku soal-soal ujian Goethe untuk writing dan reading . Terus aku suruh dia cek lagi jawaban aku. Kalau salah, jelasin yang bener kayak gimana. Prompt -nya nggak perlu dibikin pusing yah. Serasa ngobrol sama temen / asisten aja. Bisa pakai bahasa apapun, senyamannya. Kalau jawaban ChatGPT membingungkan, ya tanya aja lagi ke dia maksudnya gimana. Sesimpel itu! Udah deh! Berkat guru les dan ChatGPT aku berhasil dapat nilai 79 dalam ujian Bahasa Jerman Goethe A2. Hampir sempurna di speaking , cuma kurang 1 poin gara-gara aku nggak tahu Bahasa Jermannya biola saat diajak ngobrol bebas sama tim penilai. 😭 Asli, cuma gara-gara biola kampret; kalau enggak nilaiku bakal full 25 poin dan overall 80 poin!!! Dan ya tentunya jelek di listening karena itu emang susah banget. (Kebanyakan orang juga jelek di situ, wkwk.) Lucunya, di akhir kelasku bersama Herr Ilham, beliau menghadiahkanku buku cerita "Die Brüder Löwenherz", sebuah novel fantasi anak-anak yang sangat terkenal karangan Astrid Lindgren, yang rupanya guruku curi dari perpustakaan di Surabaya saat beliau masih berkuliah dulu. 😭 Yawla ngakak. Tapi ya sudahlah bukunya sudah tuwir dan kuning juga. Tetap kuterima dengan gembira untuk belajar Bahasa Jerman hingga C1 (entah sampai kapan). Vielen Dank! Semoga kamu sukses dengan ujianmu!

  • Ternyata Gini Rasanya Kuliah S2

    Aku sebenarnya nggak punya ekspektasi sebelum memulai perkuliahan. Maksudku, ya aku nggak membayangkan akan seperti apa kuliah S2 dan kayak apa temen-temen kuliahnya. Yang ada di otakku saat itu cuma, gimana caranya aku bisa keluar dari Indonesia tahun ini juga? Aku udah nggak tahan pengen kabur dari masa laluku yang cukup kelam dan bombastis. Baca kisah masa laluku di sini: Akhir dari Tragedi Dharma Putra . Tapi sepertinya orang-orang di sekitarku punya ekspektasinya masing-masing tentang perkuliahanku. Kayak misalnya, ibu angkatku beranggapan bahwa kuliahku pasti lebih banyak praktek daripada teori karena aku masuk Hochschule (sekolah tinggi) bukan universitas, dan beliau benar. Kuliahku di semester 1 ini bahkan nggak ada ujian tertulis yang kayak di Indonesia, modelan pilihan ganda gitu. Hehe. Semua ujiannya dalam bentuk academic paper (10-15 halaman) dan presentasi kelompok. Bahkan ada 1 mata kuliahnya yang ujiannya bikin majalah dan video dokumenter. Jadi kita boleh syuting di studio kampus. Seru nggak tuh? Cara belajar di kampus juga menarik. Ada ekskursi ke tempat bersejarah, ada banyak buku yang harus dibaca dan studi kasus yang perlu dianalisis. Secara umum, aku puas dan senang bisa kuliah di Hochschule Neu-Ulm, Fakultas Manajemen Informatika, jurusan Communication and Design for Sustainability (CDS) ini. Ngomong-ngomong soal jurusan CDS, kuliah S2 di sini ada 3 semester. Semester pertama tentang pengenalan materi sustainability dari perspektif ekonomi, marketing dan sejarah seni desain. Semester dua pendalaman seni komunikasi dalam menciptakan produk atau model bisnis yang berkelanjutan. Terakhir, semester 3 thesis menciptakan produk atau model bisnis yang sustainable . By the way, masih ada kemungkinan aku salah menjelaskan isi jurusan ini karena aku baru semester 1, baru sotoy aja. Nanti di akhir kuliah akan aku cek lagi bener atau enggaknya ya. Balik soal ekspektasi, aku juga punya beberapa teman yang menganggap bahwa kuliah S2 pasti isinya orang-orang pintar, pemikir, berpengalaman, dll. Tapi ternyata... mereka salah! Hehehe. Faktanya, ada banyak alasan kenapa seseorang kuliah S2. Alasannya nggak melulu karena suka belajar dan butuh gelar. Justru kebanyakan dari kami ya alasannya simpel banget: butuh visa buat tinggal secara legal di Eropa. Yup, kalau boleh jujur, alasanku kuliah S2 juga karena itu. Aku cuma butuh visa buat kerja legal di Eropa. Aku sebenernya nggak niat kuliah (dan mungkin karena itu aku nggak punya ekspektasi apa-apa soal kuliahnya)! Tapi buat aku sebagai orang Indonesia yang kerja di bidang perfilman, nggak mungkin banget aku bisa tiba-tiba lompat kerja di Jerman tanpa kemampuan bahasa dan koneksi orang dalam. Soalnya, film adalah salah satu jurusan mahal di Jerman yang nggak penting banget, dan banjir pekerja. Mereka nggak butuh orang asing kayak aku buat di- hire langsung dari Indonesia. Jadilah aku pilih jalur edukasi dulu supaya bisa integrasi kehidupanku dengan orang lokal di sini. Syukurnya aku diterima S2 yang jurusannya pas dan membuka cakrawala baru dalam perjalanan karirku. Tapi, sialnya, karena banyak mahasiswa yang kuliah cuma demi visa atau karena nggak laku di dunia kerjaan dan pengen upgrade diri , yaaa... yang tersedia akhirnya adalah mahasiswa-mahasiswa tidak berkualitas. Hehe. Aku mengawali kuliah S2 tepat di usiaku yang ke-30 tahun. Bagi sebagian orang, mungkin itu terdengar tua banget. Harusnya udah nikah dan punya bayi satu. Tapi faktanya, aku single dan bukan yang tertua di kelas. Ada banyak mahasiswa usia 30-40; lebih tua, tapi tidak berarti lebih wiser or smarter. Aku agak gemes ketika kerja kelompok sama beberapa mahasiswa di sini. Meskipun karakternya lucu-lucu dan bedaaaa banget, tapi namanya kerja kelompok dinilai, ya rada gemes juga kalau temen sekelompoknya o'on kan? Berikut tipe-tipe mahasiswa lucu yang aku temui di kelas: Si nggak bisa Enggres. Asli, ada. Beneran Bahasa Inggrisnya JELEK banget, susah dipahami oleh siapapun. Nggak ngerti lagi gimana caranya dia bisa lolos masuk sini. Meskipun orangnya baik dan lucu ya! Tapi kan kalau nggak bisa diajak diskusi kelompok, gengges juga bro! Udah gitu problemnya bukan cuma bahasa, tapi juga logika. Jadi emang dasarnya kurang pintar, ditambah lagi nggak bisa menjelaskan apa yang dia maksud. Opini dia selalu muter-muter nggak jelas ngomong apa. Dan dia juga kesulitan memahami kita ngomong, jadi sering diem aja atau nggak nyambung jawabannya. Akhirnya dia selalu ngobrol sama kita pakai ChatGPT. Kocak nggak tuh? Si paling insecure. Ini agak sedih sih karena relate to mental health. Jadi ada temen yang memang dasarnya kurang cerdas juga, dan dia sadar banget akan kekurangannya itu, tapi bukannya jadi motivasi malah jadi nge-down ya. Susah banget kalau kita salah ngomong sedikit, misalnya kasih masukan ataupun kritik tuh langsung jadi hinaan buat dia. "Lo pinter banget ya, nggak kayak gue yang bego," adalah kalimat andalan dia di setiap waktu sampai aku geraaaahh sendiri dan minta dia stop seeing herself so badly. Tambah lagi dia suka denial dan defensif. Lengkap tuh genggesnya. Si paling pasif. Wah, ini sih asli capek banget. Kebayang kan, motto mereka selalu, "Kalau bisa nggak usah ngapa-ngapain, kenapa harus ngapa-ngapain?" Tapi kan masalahnya kerja kelompok ini kewajiban, bukan pilihan. Mereka paling suka diam jadi silent reader dan menghilang di saat meeting . Tanpa ba-bi-bu-be-bo. Kalau di- confront langsung semangat '45 seakan-akan tersadarkan, tapi tunggu aja beberapa minggu lagi juga balik semula. Si paling damai. Yang ini kocak. Sebenernya cinta damai itu kan positif ya. Cara bicara dia lembut, selalu positif dan menenangkan hati semua orang. Tapi masalahnya kalau segala hal dibikin damai tuh malah bikin ketidakadilan tau! Ada kalanya, yang salah memang harus ditegaskan salah, bukan malah dimaafkan dan dimengerti. Sementara yang benar ya diapresiasi benar, bukan malah dikecilkan dan disuruh memaafkan yang salah. Sempet gue kesel banget (tapi nggak mau marah di grup biar nggak drama), jadi setelah selesai online meeting sampai nangis gue sendirian di kamar. Capek banget, burn out ngelihat kelakuan bocah-bocah konyol. Kuliah S2 kok kayak masih SMA. Si paling nanya. Ini juga sama lucunya. Senang bertanya harusnya jadi sisi positif kan? Tapi bayangin dong kalau setiap hal kecil harus ditanyain, lantaran dia males baca yang benar dan teliti! Asli setiap hari tuh nahan mulut suciku untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang menohok. Karena kalau bisa direct , pengen aku teriakin, "Woy, baca pake mata jangan pake dengkul!" Saking seringnya nahan marah (aku kalau nahan marah tuh sambil ketawa), temen-temen tuh sampai ngakak dan nyuruh aku, "Udah Cil, tenang, tenang, chill." Ya kita semua tetep temenan baik di luar kampus karena mereka baik dan seru. Tapi kalau soal kerja, please lah, pinteran dikit kenapa sih? Udah ada ChatGPT, Google, udah banyak pengalaman hidup juga kan? Usia udah pada 26 tahun ke atas semua. Kenapa sih masih bersikap kayak bocah SMA. Contoh ya, sikap yang menurut aku nggak banget dalam bekerja: Nggak bisa hadir, terus cuma ngomong, "Sorry, gue ga bisa." >> Kalau nggak bisa hadir ya tawarkan solusi juga dong bisanya kapan? Udah kita yang capek cari waktu, sementara dia seenaknya tinggal ngomong nggak bisa. Situ anak sultan? Kalau bikin presentasi, cek lagi lah typo dan benerin tuh yang mencong-mencong. Itu kan gampang banget. Kenapa sih kerja jelek banget yawla padahal benerin ginian juga cuma makan 1 detik?! Dengerin masukan temen. Kalau dikasih tau tuh coba didengerin dan ditela'ah dulu. Nggak usah langsung dibantah, "Tapi.." atau repot-repot jelasin, "Iya, soalnya maksud gue tuh..." Nggak, nggak usah jelasin maksud lo apa. Intinya lo tuh salah, perbaikin, nggak usah diceritain. Kalau nggak setuju sama masukannya, ngomong pakai alasan atau balikin dengan pertanyaan, "Kenapa lo berpendapat gitu?" biar situ paham kenapa dikasih masukan kayak begini. Kita yang kasih masukan juga mikir loh, bukan asal ngomong dan bukan mau ngejatuhin ente. Kalau lo jatuh kan nilai satu kelompok jatuh? Itu sih kisah lucu di kampus. Sekarang aku dijulukin "si anak yang (diam-diam) paling pintar." Soalnya ada dua orang yang aktif banget di kelas, sementara aku diem-diem aja. Tapi pas ujian, tiba-tiba nilaiku paling gemilang, sampai ngalahin dua orang itu. Wkwkwk. Anyway, aku juga punya kekurangan kok. Sebenarnya aku ini pemalu, makanya nggak pernah aktif di kelas. Wawasanku juga bisa dibilang jongkok banget. Mana aku ngerti sejarah desain, Eropa, dan lain-lain? Aku kan dulu nggak pernah peduli soal begituan. Lagi pula, aku juga nggak hobi baca buku. Tapi kalau soal nalar dan berpikir konseptual pakai logika, aku percaya diri banget. Jadi meskipun wawasanku kurang, aku nggak takut kalau harus berhadapan dengan topik-topik baru. Soalnya wawasan kan bisa cepat diselesaikan dengan nanya ChatGPT atau, ya, mulai mau baca ! Udah, gitu aja deh. Sekian kisah perkuliahan yang lucu ini!

  • Berburu Sepeda & SIM Card

    Mumpung belum sibuk sekolah dan lain-lain, hal-hal pertama yang aku lakukan adalah berburu sepeda bekas dan lekas aktivasi SIM card. Kenapa dua topik ini kugabung dalam satu post? Karena kebetulan keduanya aku urus di hari yang sama, dan keduanya sama-sama susah-susah gampang. Mari kita bahas satu-persatu! Berburu Sepeda Bekas Tidak perlu kujelaskan kenapa yang kucari sepeda bekas kan ya? Karena tentu jawabannya seputar masalah finansial. Sepeda baru di Jerman harganya dimulai dari 500€ dan tentu saja itu sangat out of my budget . Ada tiga opsi populer untuk mencari sepeda bekas di Jerman: Mencari di website eBay - KleinAnzeigen , di sini ada banyak pilihan barang bekas (tidak hanya sepeda) dengan user yang relatif bisa dipercaya. Tapi untuk daftar akun membutuhkan nomor HP Jerman. Mencari di Facebook Marketplace. Hati-hati banyak scam . Mencari di tempat sampah rumah orang. Oke, opsi ketiga terdengar konyol, tapi beneran bisa. Pada hari pengambilan sampah, orang-orang akan meletakkan semua sampahnya di depan rumah, dan kamu boleh mengambil sampah itu secara gratis jika memang ada yang kamu suka dan masih layak pakai. Sayangnya, di kota kecilku yang mirip-mirip desa ini, tidak ada orang yang buang "sampah sepeda" di depan rumahnya, sementara aku sudah urgent membutuhkan sepeda. Jadi aku nggak ambil opsi ketiga. Awalnya aku browsing-browsing dulu di website KleinAnzeigen itu, dan akhirnya baru menyadari bahwa aku nggak bisa bikin akun tanpa nomor HP Jerman. Padahal aku udah beli SIM card. Sialnya, aktivasi SIM card itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Nanti kujelaskan kenapa. Intinya, aku nggak jadi cari sepeda di KleinAnzeigen dan lanjut ke opsi dua: FB Marketplace. Nah, karena sepengalamanku di FB ini punya banyak penipu, aku jadi lebih waspada dan melakukan profile checking dulu dong. Jadi saat itu ada 1 sepeda lipat yang aku suka seharga 80€ tapi jaraknya jauh banget. Dia di kota lain yang sebenarnya kalau naik bus bisa dicapai 30 menit. Tapi kan aku nggak tahu busnya apa, LOL. Rencananya tuh aku mau mikir-mikir dulu sambil browsing yang lain. Eh, si seller ini proaktif banget nanya mulu, "Jadi nggak? Jadi nggak?" Aku jawab, "Belum, masih mau mikir karena kamu jauh." Terus dia malah tambah semangat, "Aku anterin deh, tapi tambah, jadi 100€." FYI aja, semua percakapanku di FB ini pakai Google Translator untuk bantu penerjemahan Bahasa Indonesia - Bahasa Jerman. Jadi kebayang kan repotnya copy-paste kata-kata sebelum nge- chat? Lanjut, si seller semakin agresif, "Gimana? Mau nggak?" ya aku jawab dong, "Aku nggak mau bayar 100€." Orang aku cari murah, kok jadi boncos buat sepeda doang. Pasalnya 100€ tuh lumayan loh kalau dikonversi ke Rupiah jadi Rp1.715.000,00 berdasarkan nilai tukarku kemarin. Untuk sebuah sepeda lipat yang biasa-biasa saja, nggak penting banget sih ngeluarin duit segitu. Kukira setelah kujawab nggak mau, percakapan selesai. Eh, ternyata nggak dong, dia malah tambah semangat, "Kamu maunya bayar berapa?" Bah, aku juga nggak tahu. Tapi karena dia proaktif banget, aku jadi takut jangan-jangan dia penipu. Nipunya kayak apa juga aku nggak tahu, tapi kan namanya takut ya, mencoba waspada sajalah. Jadi sambil chat sama seller ini, aku cerita ke temenku, terus temenku minta lihat profil FBnya biar bisa sama-sama bantu cek. GOBLOKNYA CECILLL MALAH DIA SHARE PROFIL FB SELLER KE SELLER- NYA SENDIRI. Pakai ada tambahan chat- nya pula, "Orang Romania nih." Tentu saja si seller kebingungan dong. Dia jadi tanya, "Wie bitte?" Dan begitu aku sadar ketololanku, mukaku pucat. Tapi juga ngakak. Hadeh, Cecil, Cecil, o'on bener dah. Akhirnya terpaksa kujelaskan baik-baik, bahwa aku minta maaf harus melakukan pengecekan profil. Aku salah kirim pesan, harusnya itu untuk kakakku (bohong sedikit), karena aku takut ini penipuan. Tak lama kemudian, ia membalas lagi dengan agak emosi. "Kamu seharusnya tidak share profil FB aku ke orang lain. Dan apa maksudmu penipuan? Aku kan cuma jualan sepeda. Aku sudah lama berjualan di FB dan eBay dan banyak orang puas dengan barang yang aku jual. Kayaknya kamu sebenarnya nggak niat beli deh. Ini terlalu banyak Teater. Semoga beruntung deh. Ciao." Aku nggak berhenti ngakak di kalimat, "Ini terlalu banyak Teater." Mungkin maksud dia, "Lo drama banget," dan aku akuin, iya aku drama banget. Maap banget. Hahaha... Akhirnya dia berhenti chat dan aku juga.. yaudahlah sepedanya mahal dan jauh anyway . Nggak apa, aku cari lagi. Kali ini aku semakin hati-hati memilih lokasi dan memastikan harganya memang pas di kantong biar nggak sia-sia chatting sama seller . Akhirnya ketemu, sebuah sepeda murah, dijual oleh orang Russia (kayaknya). Kebetulan lokasi ketemuannya juga deket banget, bisa jalan kaki. Karena dia bukan orang Jerman, ya aku ajak Bahasa Inggris, "Is it still available?" Tapi terus dijawab, "Ja," pakai Bahasa Jerman. Lah, yaudah kalau gitu Jerman aja. Percakapan kami rupanya sangat singkat padat, dan lagi-lagi kocak. Aku coba tanya apakah sepedanya masih bagus dan apa boleh ditawar. Ternyata bapake baik, dikasih potongan dari 40€ jadi 35€. Ya sudahlah, berhubung hari itu aku sudah nggak tahan jalan kaki berkilo-kilo meter, akhirnya aku iyakan saja untuk bertemu (dan tentunya membeli sepeda itu jika memang kondisi baik). Bertemulah kami di lokasi, dan rupanya kami sama-sama tidak fasih berbahasa Jerman. Jadi tidak ada kata-kata di antara kami. Semuanya pakai bahasa tubuh saja. LOL. Ah uh ah uh dan tunjuk-tunjuk. Untungnya sepeda yang dia jual memang masih bagus, meski sudah tua dan beberapa bahannya mengelupas. Aku mencoba menggodanya dengan bilang, "Dreißig?" yang artinya 30, biar harganya digoreng lagi. Terus bapak ini pun tertawa, "Nein, Fünfunddreißig." Ternyata dia ngotot tetap di harga 35€. Okelah, kukeluarkan uang 50€ terus muka dia panik karena nggak ada kembalian. Dia berusaha ah uh ah uh, dan sepertinya aku ngerti apa yang wajahnya maksud. Langsung aku buka dompet koin dan kuperlihatkan aku cuma punya 4€. Akhirnya dengan wajah lemas, dia bilang OK, dan aku hanya perlu bayar 54€ untuk dapat kembalian 20€. Yay! Mission accomplished! Catatan: nilai barang bekas di setiap kota bisa berbeda. Kebetulan di desa aku jarang ada yang jual ataupun membuang sepeda bekas. Jadi harganya relatif mahal. Bisa dapat sepeda nggak-perlu-reparasi seharga 34€ aja tuh (buat aku) udah bagus banget. Nah, tugas berikutnya begitu kamu berhasil beli sepeda bekas adalah membeli KUNCI yang kuat, karena sepeda itu salah satu yang paling sering dicuri. Apalagi sepeda mahasiswa. Berhubung aku sudah punya sepeda, aku jadi bisa jalan-jalan ke pusat kota untuk cari toko sepeda. Maka pergilah aku ke toko sepeda dekat IKEA biar bisa sekalian belanja keperluan lain. Di sana aku dapat gembok termurah tanpa kunci seharga 14.99€ dan itu agak bikin kesel karena aku tahu kalau di Indonesia, aku bisa dapat yang lebih bagus di harga yang sama. Huhuhu... Rencana berikutnya adalah beli gembok yang lebih berkualitas di Amazon. Barangkali lebih murah. Soalnya di toko tadi, gembok-gembok berkualitas itu harganya 30€ ke atas. Gila kan? Seharga sepeda bekas! Sedikit kisah lucu, aku tuh nggak pernah makan di IKEA manapun. Jadi pas banget saat aku di IKEA dalam keadaan capek habis naik sepeda 4,5 km, aku terkejut-kejut melihat pilihan makanan utama dan dessert yang wah nan murah! Bodohnya, aku tuh nggak tahu kalau minumannya tidak gratis. HAHAHA.. Ya ampun Cecil kenapa tolol banget dah. Jadi dengan pedenya, aku beli makanan terus bayar 9,90€ terus ngacir lagi ke belakang kassa buat ambil gelas kosong. Tentu mbak kasir nanya dong dalam Bahasa Jerman. Tapi kan aku nggak tahu dia ngomong apa. Terus aku pede aja, aku bilang, "Wasser," yang artinya air putih. Padahal ujungnya yang aku ambil bukan air putih 🤣 Baru setelah aku duduk dan siap makan, aku baca spanduk di atas mesin minuman dan aku BARU SADAR kalau setiap minuman itu dihargai sekitar 1,75€. Aktivasi SIM card Sebagai wawasan dasar, ada 3 perusahaan telekomunikasi terbesar di Jerman, yakni Telekom: jangkauan luas, tapi harga mahal Vodafone: jangkauan oke, harga oke O2: jangkauan kurang oke di pedesaan, harga miring Lalu, provider apa yang cocok untuk mahasiswa ataupun expat yang baru pindah ke Jerman? Jawabannya saat ini cuma dua: ALDI Talk (menggunakan jaringan O2) LIDL Connect (menggunakan jaringan Vodafone) Sisanya aku kurang tahu dan sepertinya kualitas maupun harga kurang bersaing. Nah, ALDI dan LIDL ini sama-sama nama supermarket besar dan murah di Jerman, sama-sama mengeluarkan SIM card yang ramah bagi warga negara asing, dan sama-sama murah. Jadi kamu bebas deh pilih yang mana. Kebetulan yang paling dekat rumahku adalah supermarket LIDL, jadi aku belinya itu. Berikut tahapan memiliki SIM card baru di Jerman: Beli dulu Starter Pack SIM Card (fisik) di supermarket pilihan. Harganya 10€. Sebenarnya nggak penting memasukkan SIM card yang belum aktif ke dalam HP. Yang lebih penting itu aktivasi dulu. Gunakan laptop untuk aktivasi lebih mudah. Berhubung aku pakai LIDL, maka kamu perlu aktivasi di www.LIDL-connect.de Tekan tombol SIM-KARTE FREISCHALTEN. Isi data berdasarkan kartu SIM yang sudah kamu beli. (Di website ini diberikan panduan juga kok, tapi dalam Bahasa Jerman. Tapi setiap browser harusnya tinggal klik kanan untuk translate sih, seharusnya bahasa tidak jadi kendala.) Kamu akan diminta memilih paket data. Kalau aku sih pilih paket M seharga 13,99€. Lanjut isi data pribadi sesuai paspor, dan isi alamat yang bisa dibuktikan . Saranku sih pakai alamat Jermanmu saja dan dibuktikan nanti dengan Wohnungsgeberbestätigung . Pilih opsi verifikasi melalui kantor pos. (Sebetulnya ada opsi online melalui video call, cuman biasanya gagal karena paspor Indonesia itu halaman tanda tangan dan halaman alamatnya terpisah, jadi bikin runyam saat verifikasi online. Daripada nanti emosi, mending effort sedikit deh jalan kaki ke kantor pos, cepet kok prosesnya.) Halaman berikutnya mengenai pengisian pulsa (aufladen) . Kamu bisa pakai kartu kredit Indonesia atau kartu debit Jerman. Bebas. Saranku, pengisian pulsa pertama sesuai dengan harga paket. Karena aku pilih paket M, jadi aku isi pulsa 15€. Setelah itu download voucher / coupon untuk dibawa ke Kantor Pos. Install aplikasi POSTIDENT di HP, dan scan QR code yang ada di voucher tadi. Habis itu kamu akan mendapatkan QR code yang perlu kamu bawa ke kantor pos untuk mereka yang scan . Masukkan SIM card ke dalam HP dan masukkan kode PIN (yang tertulis di SIM card). Pergi ke kantor pos terdekat. Sampai di kantor pos, langsung bilang aja ke mas-masnya kalau kamu mau aktivasi SIM card. Kasih lihat QR code di aplikasi POSTIDENT biar masnya bisa pindai. Dia akan minta paspormu untuk verifikasi. Terus dia pasti bingung, "Kok di belakangnya nggak ada lembar tanda tangan?" Nggak apa, bantu jelasin aja kalau negara kita kocak, dan tunjukkan lembar TTD yang baru di paspor. Habis itu dia bakal tanya lagi perkara alamat karena nggak tertulis di paspor. Nah, jangan lupa bawa Wohnungsgeberbestätigung atau bukti apapun yang valid dan sama dengan alamat yang tadi kamu daftarkan di website LIDL. Mereka nggak apa-apain dokumen ini kok, cuma dibaca aja terus ngangguk-ngangguk. Passt atau selesai! Catatan: percakapan di kantor pos tentu menggunakan Bahasa Jerman. Tapi kamu hanya butuh level A2 untuk memahami yang dia bicarakan. Ini tidak sesulit yang kamu bayangkan. Jadi jangan khawatir. Berikut adalah contoh jika kamu maksa verifikasi online pakai video call dan gagal. Aku udah coba 3 kali sampai emosi dan tetap menerima pesan seperti di bawah ini. Aku bahkan email ke LIDL dan dapat balasan yang menyebalkan, "Bisa kok. Kalau nggak bisa, Ke kantor pos aja." Dan FYI aja kalau mau ganti opsi online ke offline tuh harus isi data lagi di website dari awal! Jadi belajar dari pengalamanku, kalau mau cepet, langsung ambil opsi offline ke kantor pos aja. Setelah selesai verifikasi di kantor pos, tunggu beberapa menit atau jam, maka kamu akan mendapatkan notifikasi SMS dan email yang kurang lebih menyatakan bahwa verifikasi sedang diproses. Tunggu beberapa menit atau jam lagi dan SIM card siap dipakai. Dalam kasusku, aku verifikasi jam 11 pagi dan SMSnya masuk jam 12.30 siang. Jika kamu sudah top-up (isi pulsa) sesuai harga paket data, maka paket data kamu akan segera aktif dan bisa dipakai. Jika kamu belum isi pulsa, maka SIM card kamu hanya aktif saja tapi belum bisa dipakai berkomunikasi. Akhirnya Aku Siap Menjelajah Jerman! Sepeda dan SIM card sudah di tangan, aku merasa lebih leluasa berkeliling Jerman. Tttetete..ttapi ternyata tubuhku yang sudah lapuk ini belum kuat. Jalan kaki 3km + sepeda 12km lumayan membuat napasku megap-megap dan pahaku nyut-nyutan. But look at the view! Err... sungainya butek sih. Tapi lumayan vibe- nya adem asri gitu kayak di Lembang. Sungai Danube Aku tidak bisa berhenti membayangkan betapa bahagianya aku jika bisa membawa anjingku, Gin Tonic ke sini. Dia pasti happy lari-lari di lapangan luas. Atau bisa juga piknik sambil baca buku seperti di film-film Barat. Duh, tidak sabar! Cuaca pagi ini sebenarnya dingin sekali 9°C disertai angin, sehingga terasa seperti 7°C. Tapi lama-kelamaan setelah matahari muncul dan aku menempuh berkilo-kilo meter perjalanan, cuaca semakin hangat dan aku keringetan, jadi lepas jaket tebal. Kebodohan apa lagi yang akan aku lakukan minggu depan? Tunggu kisahku berikutnya. 😂

  • Dipulangin oleh Kedutaan Jerman

    Akhirnya tiba juga hari di mana seluruh berkasku untuk mengajukan visa selesai (baru berkasnya ya, belum visanya). Aku kembali membaca-baca persyaratan pengajuan Visa Nasional Jerman untuk tujuan "Studi tanpa surat penerimaan tanpa syarat untuk program studi Bachelor atau Master (§ 16b AufenthG)" di website Kedutaan Jerman: https://jakarta.diplo.de/id-id/service/visa-einreise/studi-tanpa-penerimaan-tanpa-syarat/2553518 Sebelum membahas lebih jauh mengenai tata cara pengajuan visa, mari kujelaskan dulu perkara awal yang akan menentukan lokasi pembuatan visa nasionalmu: Jika menerima Letter of Acceptance dari kampus tanpa syarat ( unbeschränkte Zulassung) >> VFS Global Jika menerima Letter of Acceptance dari kampus dengan syarat ( Zulassungsbescheid) >> German Embassy Berhubung LoA yang aku terima kemarin adalah Zulassungsbescheid, maka aku harus membuat appointment di Kedutaan Jerman, Menteng melalui website berikut: https://service2.diplo.de/rktermin/extern/choose_category.do?locationCode=jaka&realmId=807&categoryId=2589 Catatan: tulisan ini dibuat tanggal 26 Juli 2024, dan mengingat peraturan imigrasi akan selalu berubah setiap tahun, mohon untuk mengecek kembali persyaratan terbaru di website Kedutaan Jerman dan VFS Global. Jangan mengikuti saran dan pengalamanku secara harfiah, karena bisa jadi peraturannya telah berubah. Membuat Appointment di Kedutaan Jerman Pendaftaran lewat kedutaan langsung sebenarnya agak ngeri-ngeri sedap lantaran website -nya tidak secanggih VFS yang bisa atur tanggal dan jam sesuka hati. Jadi di dalam link tadi, kita akan diminta mengisi data pribadi, paspor, dan memilih tujuan studi (tanpa syarat atau dengan syarat?). Sesudah itu kita hanya bisa menunggu email . Konyolnya, hari itu aku salah input tanggal ulang tahun. Jadi aku harus cancel permohonan, dan mengulang kembali pengisian formulir. Tidak hanya itu, kalau kita belum menerima email pemberitahuan bahwa permohonan kita telah berhasil cancel , maka kita dilarang mengajukan permohonan baru. Bodohnya aku nggak paham hal tersebut. Jadi aku langsung bikin yang baru dan alhasil dua-duanya dianggap tidak valid. Jadi hangus semua. Ulang lagi dari awal. Setelah menunggu beberapa jam untuk mendapatkan email konfirmasi bahwa semuanya benar-benar cancel , baru aku coba lagi untuk KETIGA kalinya mengajukan permohonan appointment , dan voila! Kamis, 18 Juli jam 3 sore aku mendapatkan email bahwa permohonan telah diterima, dan aku dimohon menunggu (lagi). Kabarnya sih antrean visa di Kedutaan bisa makan waktu 1 bulan, tapi syukurnya, Senin, 22 Juli, aku sudah dapat email undangan untuk membuat visa di hari Jumat, 26 Juli jam 9 pagi. Jadi hanya sekitar 1 hari kerja, langsung ada kabar ya. Sip lah. Email tersebut langsung aku print untuk menjadi bukti masuk di Kedutaan nanti. Harinya Mengumpulkan Berkas Visa Nasional Jumat, jam 7 pagi, semua taksi online menolak untuk mengantarkanku. Paham sih, jalan tol macetnya luar biasa. Akhirnya aku terpaksa memecah rute menjadi dua kali naik ojek. Pagi itu aku nggak gugup sama sekali, soalnya aku yakin banget kalau berkas aku sudah lengkap. Berikut yang perlu kamu persiapkan untuk memenuhi syarat Visa Nasional untuk "Studi tanpa  surat penerimaan tanpa syarat untuk program studi Bachelor atau Master (§ 16b AufenthG)" sesuai website Kedutaan Jerman https://jakarta.diplo.de/id-id/service/visa-einreise/studi-tanpa-penerimaan-tanpa-syarat/2553518 per tanggal 26 Juli 2024 dan sesuai urutan: 1x print Email Undangan dari Kedutaan Jerman yang menyatakan tanggal dan jam appointment . 1x print Formulir permohonan yang harus diisi dalam link ini dengan tanda tangan basah. 2x print Pasfoto ukuran 3,5 x 4,5 dengan latar belakang putih (yang satu ditempel di berkas, yang satu jangan ditempel). Paspor yang masih berlaku (ditanda-tangan secara pribadi dan minimal terdapat tiga (3) halaman yang masih kosong dan masih berlaku minimal 15 bulan). 1x fotokopi Halaman data pribadi paspor yang masih berlaku. 1x print Surat Motivasi dalam Bahasa Inggris / Jerman mengenai rencana tinggal studi (alasan untuk bidang studi dan perguruan tinggi yang dipilih, rencana studi yang lengkap atau rencana untuk persiapan studi), dengan tanda tangan basah. 1x print CV atau Daftar Riwayat Hidup (format tabular sesuai kaidah penulisan CV di Jerman) dengan tanda tangan basah. 1x print Konfirmasi penerimaan (Zulassungsbescheid) sebuah perguruan tinggi dengan persyaratan. 1x print Bukti kemampuan finansial. Rekening yang dibekukan (Sperrkonto) minimal €992 netto per bulan (atau €11,904 per tahun). 1x asli dan 1x fotokopi Ijazah S1, Transkrip Nilai dan lembar Apostille. Inget ya, lembar asli harus di-Apostille dan lembar fotokopi harus dilegalisir oleh Dekan Fakultas kampusmu. 1x asli terjemahan Ijazah S1 dan Transkrip Nilai dalam Bahasa Jerman, dengan tanda tangan dan cap basah penerjemah tersumpah yang diakui Kedutaan Jerman. 1x print Bukti dari ANABIN dengan hasil „sesuai“ („entspricht“) atau „setara“ („gleichwertig“) . https://anabin.kmk.org/no_cache/filter/institutionen.html 1x fotokopi Sertifikat Bahasa (TOEFL, IELTS, GOETHE) sesuai syarat perkuliahan. Pada saat pengajuan permohonan, sertifikat tidak berusia lebih lama dari 12 bulan. Untuk memperkuat persyaratan ini, aku juga mempersiapkan dokumen tambahan, yakni: 1x asli Sertifikat Bahasa (TOEFL dan GOETHE) 1x print VPD dari Uni-Assist untuk kampus yang aku tuju 1x print Asuransi kesehatan untuk mahasiswa (Krankenversicherung) 1x print Rekening koran 6 bulan Aku bahkan juga membawa akta lahir dan kartu keluarga. Tapi ternyata kedua dokumen ini nggak penting. Empat dokumen yang aku jabarkan di atas yang lebih penting untuk memperkuat kesuksesan visa kita, karena akhirnya ya beneran terpakai. At the end of the day, semua dokumen asli termasuk paspor dikembalikan pada hari yang sama. Jadi yang diambil petugas hanya lembaran print dan fotokopi. Drama Dipulangin oleh Petugas Kedutaan Tepat jam 8.50 pagi aku sudah tiba di depan pintu masuk Kedutaan Jerman yang lumayan ketat. Di sana sudah ada 1-2 pengunjung berdiri di jalanan, membereskan berkas. Aku berjalan melewati mereka dan langsung menyapa satpam di pintu untuk menunjukkan bukti email undangan, eh ternyata langsung disuruh masuk meskipun undangan aku jam 9.05 pagi to be precise . Ya sudah, aku masuk melewati berbagai jeruji pagar, lalu aku harus menitipkan tas serta smartphone aku. Yang boleh dibawa hanya dompet, bolpen dan berkas visa. Tips buat kamu-kamu, mendingan siapin map putih transparan deh biar gampang bawa semua perabotan visa ini, karena terpampang jelas, tidak ada benda mencurigakan di dalamnya. Oke, lanjut naik ke lantai 2 mengambil nomor antrean di mesin dan duduk termenung 15 menitan, lantaran nomorku tak kunjung dipanggil. TING! Televisi di dinding berbunyi menandakan perubahan nomor yang akan dipanggil ke counter masing-masing. Nomorku muncul di layar dan dengan sigap aku berdiri, menantikan datangnya hari ini! "Ibu Cecil, bisa Bahasa Jerman?" "Sedikit." "Oke, saya bantu bacakan dalam Bahasa Indonesia kalau begitu. Ini Letter of Acceptance -nya tanpa syarat, Bu. Harusnya Ibu ke VFS Global di Kuningan, bukan ke sini." "Loh, Kak, itu kan tulisannya Zulassungsbescheid , coba Kakak baca lagi. Itu ada beberapa persyaratan kok dari kampus yang masih harus saya penuhi." "Baik, Bu saya baca ulang." "Sudah saya baca ulang, Bu. Persyaratannya hanya asuransi, sertifikat bahasa dan dokumen penyetaraan studi. Dan Ibu sudah punya asuransi serta sertifikat bahasanya ya? Ini tetap tergolong LoA tanpa syarat sih, Bu. Soalnya Ibu kan nggak diminta mengambil tambahan kelas apapun. Ini kata kampusnya gimana, Bu?" Lah? Aku langsung menunjukkan email terakhir dari kampus yang hanya memintaku untuk bersabar, "Itu dokumen penyetaraan studinya kan ada tulisan ggf atau 'kemungkinan' ya, Pak. Kampus nggak minta dokumen itu sampai saat ini." "Oke, kalau mengacu pada LoA ini, pendaftaran Ibu juga baru akan dikonfirmasi di bulan Agustus. Gimana kalau Ibu menunggu dulu saja konfirmasi dari pihak kampus sampai Agustus? Bikin Visa Nasional itu cepet kok kalau dokumennya jelas dan lengkap. Palingan 2 minggu juga sudah jadi visanya. Nanti bikin di VFS Global." "Jadi saya harus tunggu surat konfirmasi dari kampus dulu?" "Betul, Bu, pulang dulu aja. Tunggu sampai Agustus." Dan dengan demikian, keluarlah aku dari gedung kedutaan, terbengong di jalanan. Kemudian aku langsung laporan ke ibu angkatku, Tante Jasthi, "Tanteee saya disuruh pulang sama kedutaan." Ibuku yang satu itu pun terkejut karena bingung, "Kampusnya tahu syarat international student untuk buat visa kan ya?" maksud beliau, kok bisa kampus mengeluarkan LoA yang ambigu. Sehingga mengobrollah kami dalam chat Whatsapp sambil aku masih berdiri di dekat gedung kedutaan. Tak lama, seorang bapak ojek berhenti dengan motornya, menurunkan penumpang di hadapanku. Lalu ia menyapaku, "Dek, mau jalan ke mana? Saya anter yuk. Ikut harga online nggak apa." Kujawablah, "Mau ke Galeri Nasional, Pak. Berapa?" Kebetulan aku memang sudah bulat ingin melihat pameran patung Ibu Dolorosa Sinaga, mantan Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ di GalNas. "Itu harganya di online berapa?" ia balik bertanya, nampaknya ia kira aku sedang memesan ojek online, padahal faktanya aku sedang mengadu pada ibu angkatku. "Kaga tau, Pak. Orang lagi chat Whatsapp." "Yaudah 20 ribu deh, gimana?" Malas berdebat, aku iyakan tawaran tersebut dan berlalu naik motor ke GalNas sambil masih chatting bersama Tante Jasthi. Nggak ada angin, nggak ada apa, tiba-tiba ibuku berkata seperti ini: "Agustus, visa kamu keluar. Tante feeling Agustus kamu bahkan sudah bisa berangkat. Semua pintu sudah mulai terbuka ya, Cil ❤️" Dan tepat di menit dia chat jam 09.49, teleponku berdering. Ada nomor asing masuk. Kupikir, "Ah siapa pula ini telepon di saat aku masih di ojek? Telemarketing asuransi kah?" Tapi ternyata bukan, itu nomor HP petugas kedutaan. "Halo, betul dengan Ibu Caecilia? Saya petugas kedutaan yang tadi. Ibu masih deket kedutaan nggak? Belum pulang kan? Bisa balik lagi nggak, Bu? Atasan saya ingin mengecek kembali dokumen Ibu. Akan kami bantu agar bisa segera diproses dari sini, langsung hari ini." HAH? Senyumku mekar. Aku langsung jawab, "Deket, Pak, saya balik sekarang!" dan bapak ojek pun ikut tertawa mendengarnya. Beliau langsung cari arah putar balik ke gedung kedutaan. "Mau bikin visa apa sih? Kuliah atau kerja?" "Kuliah, Pak!" "Semoga dilancarkan ya. Saya yakin cepet kok keluar visanya." Begitu kami tiba di depan kedutaan, si bapak ojek tiba-tiba serasa bapakku beneran, "Bapak tungguin di sini. Kamu masih mau ke GalNas kan? Nanti aja bayarnya." Huhuhu terharu. Akhirnya aku masuk lagi ke dalam, melewati bapak-bapak satpam yang kebingungan sambil ditungguin ojekku di depan. "Ketinggalan fotokopi apa kenapa, Bu?" "Nggak, Pak. Tadi saya disuruh pulang, sekarang petugasnya suruh saya balik." "Lah? Coba lihat nomor HPnya, bener petugas apa bukan?" Kutunjukkan nomor asing itu ke depan satpam dan beliau pun mengangguk approve . Salah satu karya Ibu Dolorosa untuk merayakan hari raya Kartini Berkas Visaku Diterima Balik lagi ke lantai 2, aku antre sebentar lalu dipanggil maju oleh petugas yang tadi. Ternyata memang betul bahwa berkasku sudah lengkap dan bisa diproses. Aku lanjut mengambil sidik jari dan mengecek ulang semua nama dan tanggal. "Kak, tadi katanya nggak boleh, kok sekarang jadi boleh?" "Iya, tadi atasanku aku bilang, daripada kamu bolak-balik VFS Kuningan, mending sekalian kami terima aja di sini. Soalnya kalau kamu ke VFS Kuningan, ujung-ujungnya kan bakal dikirim ke sini juga. Dan LoA kamu ini sudah memenuhi syarat, jadi langsung masuk kategori unconditional letter ( unbeschränkte Zulassung). " Wah, gila. Kurang beruntung apa coba. Hampir nangis aku pas ambil uang cash di ATM BCA. Pagi itu berkas visa nasionalku diterima dan hanya perlu membayar Rp1.330.000,- (€75). Asal kamu tahu ya, kalau aku mendaftar lewat jalur VFS Global Kuningan, aku bakal dikenakan biaya tambahan untuk logistik / layanan VFS sebesar Rp610.000,- Tante Jasthi langsung aku telepon dan Beliau bilang kurang lebih seperti ini, "Masih nggak percaya Tuhan, Cil? Tidakkah semua sign ini begitu jelas, bahwa pintu kesempatan kamu untuk pergi memang sudah dibukakan? Tante sudah feeling , visa kamu pasti selesai cepat Agustus ini. Tanggal 17 Agustus, hari raya kemerdekaan, tante doakan menjadi hari kemerdekaan untukmu juga. Jangan lupa janji kita ya. Harus ada foto kamu di bandara dengan tiket pesawat di tangan. Good luck. " Aku terharu. Mau nangis di jalan. Puji Tuhan, proses yang penuh darah dan doa ini berjalan dengan baik dan bisa langsung direct di Kedutaan. Tuhan Maha Baik, aku diizinkan membayar biaya seminim mungkin karena keuangan aku sebenarnya lagi kacau sejak peristiwa gagal nikah yang sangat traumatis kemarin. Tapi ya sudahlah. Itu sudah menjadi masa lalu. Sekarang, saatnya mencari kosan di Jerman!

  • Buka Blocked Account untuk Kuliah di Jerman

    Ini dia persyaratan paling meresahkan bagi kita semua yang ingin kuliah di Jerman. Pasalnya, meski kuliah di sana gratis, namun pemerintah Jerman mewajibkan kita untuk membekukan ratusan juta Rupiah sebagai bukti kemampuan finansial untuk tinggal selama 1 tahun di Jerman. Tanpa bukti ini, visa tidak akan disetujui. Dan oleh karena itu, banyak pelamar Indonesia yang mengurungkan niatnya kuliah di Jerman. Per 1 September tahun 2024, angka yang ditentukan pemerintah untuk biaya hidup minimum di Jerman selama 1 tahun adalah EUR 11,904 dan uang ini wajib dibekukan melalui bank-bank yang menyediakan jasa yang kita sebut Blocked Account (Sperrkonnto) . Catatan: padahal sebelumnya di EUR 11,208 yang setara dengan 197,989,320 Rupiah berdasarkan kurs dari BCA per tanggal 11 Juli 2024 di IDR 17,665 dan kebetulan aku masih pakai standard yang lama saat pengajuan visa. Dalam post kali ini, aku akan bahas bank apa saja yang bisa kita gunakan, biaya dan prosesnya. Dan sebagai tambahan informasi, blocked account ini wajib dipersiapkan saat ingin mengajukan visa, dan jumlahnya bertambah setiap 1-2 tahun. Catatan: coba cek Google dan website DAAD untuk beasiswa Indonesia yang dapat menanggung biaya blocked account ini. Bagi mahasiswa film sepertiku yang ingin ambil S2 di Jerman, ada loh beasiswa buat kita dengan syarat bisa Bahasa Jerman dan lulus S1 tidak lebih dari 6 tahun silam! Daftar Blocked Account yang Patut Dicoba Pada zaman dahulu kala, kebanyakan mahasiswa Indonesia baik yang mau kuliah S1 maupun S2 pasti membuka rekening blocked account di Deutsche Bank . Meski prosesnya rumit dan makan waktu, tapi biayanya paling rendah dibandingkan provider yang lain. Sayangnya per 1 Juli 2022, salah satu bank terbesar di Eropa ini menutup fasilitas tersebut. Jadilah semua calon mahasiswa dari Indonesia kocar-kacir mencari alternatif lain. Apa sajakah itu? Berikut adalah daftar penyedia blocked account yang sudah aku sortir untuk kepentingan mahasiswa Indonesia mendaftar kuliah di tahun 2024: No. Provider Partner Bank Price Link 1 Expatrio Sutor Bank (Germany) Setup fee €69 Monthly fee €5 Buffer fee €100 https://www.expatrio.com/ 2 Fintiba Aion Bank (Belgium) Setup fee €89 Monthly fee €4.9 https://fintiba.com/ 3 Coracle Lemonway Financial Service Provider (France) Setup fee €59 (usia di bawah 30 tahun) / €99 (semua usia) Buffer fee €80 https://www.coracle.de/ 4 Care Concept Vietnam Joint Stock Commercial Bank for Industry and Trade (VietinBank) Setup fee €50 Monthly fee €5 https://www.care-concept.de/care_concept_blocked_account_eng.php?navilang=eng Penjelasan: Setup fee = biaya pembukaan rekening Monthly fee = biaya per bulan Buffer fee = biaya tak terduga yang akan digunakan untuk beban transaksi antar bank (jika ada). Jika tidak terpakai, akan dikembalikan pada kita. Berdasarkan daftar di atas, kutemukan Coracle sebagai provider terbaik untuk mahasiswa dengan fasilitas public insurance for students dan incoming insurance  untuk visa, aktivasi mudah dan harga paketnya murah banget! Sayangnya karena usiaku sudah di atas 30 tahun, ternyata nggak bisa ambil paket PRIME yang murah itu... Ngomong-ngomong soal asuransi... Berhubung ada banyak pilihan seperti AOK, TK, dll. Aku sarankan memilih berdasarkan lokasi terdekat dari kampus. Soalnya untuk aktivasi asuransi biasanya wajib ke kantor cabang terdekat, jadi jangan ambil asuransi yang kejauhan dari kampus kalau nggak mau capek dan mahal di ongkos. Ceknya di mana? Aku sih cek manual satu-satu lewat Google Maps. Berapa biaya asuransi mahasiswa per bulan? Umumnya di antara €120 - €125 per bulan. Selain itu AOK memang memiliki cabang lebih sedikit daripada TK, tapi dia lebih menjangkau kampus-kampus yang berada di desa. Buat kamu yang kuliah di kota besar, fix ambil TK aja. Kudengar ia populer di antara mahasiswa asing. Dan bagi kamu yang sudah berusia di atas 30 tahun, kita nggak akan bisa mengambil public insurance seperti AOK, TK dan semacamnya! Hehe. Kita terpaksa ambil yang private insurance , di mana harganya lumayan lebih mahal. Aku sudah survey beberapa asuransi swasta, dan harganya bisa mencapai €150 per bulan. Tapi akhirnya aku menemukan yang murah! Penting! Salah satu persyaratan untuk registrasi ulang (enrollment) di kampus adalah meminta pihak asuransi mengirimkan bukti digital data asuransi kita ke kampus. Nggak boleh kita yang kirim sendiri, harus pihak asuransinya langsung. Hal ini akan otomatis dilakukan oleh public insurance, tapi lagi-lagi untuk kita kaum kepala tiga, harus manual lewat email memohon pihak asuransi swasta untuk mengirimkan data tersebut ke kampus. Berdasarkan hasil risetku, Care Concept private insurance adalah yang termurah, silakan kamu cek biayanya di sini: https://www.care-concept.de/krankenversicherung/care_student/studentenversicherung_beschreibung_eng.php?navilang=eng Dan jika kamu tertarik, kamu bisa mendaftar melalui referral link aku untuk mendapatkan harga terbaik :) https://www.care-concept.de/?gsc=7b061122ea570063082a145855a81b61458bb8bd Kembali ke persoalan Blocked Account... Akhirnya setelah perdebatan panjang yang menyebalkan dan berulang kali buka-tutup akun, aku dan keluargaku memutuskan untuk mengambil paket Blocked Account + Public Insurance dari Care Concept yang berlokasi di Frankfurt. Kenapa keluargaku terlibat? Soalnya aku pinjem duit bapakku sebesar 100 juta buat modal awal ke Jerman. Terpujilah kaum privilege yang punya bapak tajir. Tanpa pertolongan bapakku, aku mungkin butuh 1-2 tahun lagi untuk memenuhi syarat ini. Terima kasih, Ayahanda. Jadi total biaya yang harus kupersiapkan adalah sebagai berikut: Vietinbank (blocked account) €11,317 HanseMerkur Krankenversicherung AG (public insurance) €121,65 per bulan Biaya transfer valas full amount di BCA €30 Biaya administrasi BCA Rp80.000,00 Biaya materai Rp10.000,00 Goodbye 200 juta.. demi masa depan gemilang. Cara Transfer Valas Bagi kamu yang tidak pernah bertransaksi ke luar negeri sepertiku, tentu awalnya agak kebingungan memikirkan cara mengirim ratusan juta ke blocked account -mu di Jerman. Tapi jangan takut, sebenernya caranya gampang banget. Pertama, cek kurs EURO terlebih dahulu. Jangan transfer di saat harga Euro terlalu tinggi. Dan ceknya jangan di Google, melainkan di website bank yang kamu tuju. Misalnya kamu mau cek di BCA, maka cek di sini https://www.bca.co.id/id/informasi/kurs Kenapa? Karena kamu harus cek harga kurs di TT counter . Bukan yang e-Rate ya! Soalnya kita akan melakukan transfer langsung melalui teller di bank, dan bukan melalui aplikasi online seperti MyBCA. Kenapa nggak transfer online aja? Melalui aplikasi MyBCA ada limit 100 juta per bulan. Sementara melalui TransferWise ada biaya administrasi dan VAT mencapai 1-2 juta. Opsi lain, melalui Topremit, tapi kalau nggak salah bagi pengguna baru ada limit 100 juta juga. Jadi nggak memungkinkan untuk kondisiku yang harus transfer 200 jutaan. Kebetulan tahun 2024 adalah tahun terburuk untuk menukar Rupiah ke Euro. Bayangkan saja, 1 Euro saat ini bisa mencapai di Rp17.800,00 Aku sempat ketar-ketir menghitung dana yang aku punya. Setiap hari aku bangun untuk mengecek kurs Euro. Untungnya pada tanggal 11 Juli, Euro sempat turun sedikit. Jadi siangnya aku langsung gas ke Bank BCA dan meminta special rate karena angka transaksi di atas 100 juta. Syukurlah aku diberikan harga Rp17.665,00 oleh teller . Angka itu terbilang lumayan oke untuk kondisi saat ini. Proses berikutnya adalah mengisi form biru di bank dan memastikan ulang semua alamat yang dituju benar dan lengkap. BTW, untuk mengisi form biru, dibutuhkan alamat penerima di Jerman. Berhubung aku belum punya alamat tinggal, jadi aku pakai alamat kampus. Hehe. Setelah selesai melakukan seluruh proses di bank, dibutuhkan waktu 1-2 hari untuk uangku tiba di Jerman. Kemudian pihak Vietinbank di Jerman akan dengan cepat merespon dan mengirimkan bukti penerimaan uang yang bisa kupakai untuk mengajukan Visa Nasional. Selesai sudah perjuanganku mempersiapkan dokumen-dokumen untuk membuat visa!!!

  • Petualangan Sherina Menuju Kota Impian

    Akhirnya aku berangkat juga ke Jerman setelah melalui kisah dan perjuangan yang panjang. BTW, kamu bisa ikuti kisahku di post-post sebelumnya (tinggal klik judul post di bawah ini): Kupas Tuntas Cara Kuliah S2 di Jerman Cara Mengurus Apostille untuk Visa Nasional Jerman Pengalamanku Bersama Penerjemah Tersumpah Jerman Dipulangin Oleh Kedutaan Jerman Cara Perpanjang Paspor 2024 Buka Blocked Account untuk Kuliah di Jerman Mencari Kosan di Jerman Oke, mari kita mulai petualangannya! Sabtu, 21 September 2024 Pagi-pagi aku final packing and rechecking segala hal, termasuk menghitung kembali beban koperku agar tidak melewati batas 30 kg. Konyolnya, saat aku sedang menidurkan si koper di atas timbangan, handle koperku patah membawa beban 27 kg tersebut. Aku langsung ngakak dan yakin betul bahwa perjalananku (sendirian) ke Jerman kali ini akan membawa banyak kisah lucu. Aku langsung pesan handle baru yang mirip-mirip dari Tokopedia, kirim instan ke rumah dan minta tolong Pak Edwin pasangin, sambil aku sibuk memilah-milah barang yang mau dibawa. Tidak ada waktu mengurus garansi koper atau pun membawanya ke tukang reparasi, karena aku nggak mau repacking . Jadi opsi minta tolong Pak Edwin adalah pilihan terbaik. Selesai perkara koper, aku menghabiskan sisa waktuku di Indonesia bersama keluargaku dan Pak Edwin. Makan siang di Bornga dan makan malam nasi goreng Solaria hehe, senang. Malamnya, aku berusaha untuk tidur, tapi masih kesulitan. Akhirnya kuputuskan untuk nyanyi-nyanyi saja sampai lelah. Eh, bukannya lelah, lagu-lagu yang kunyanyikan malah membawa kilas-balik memori masa lalu yang akhirnya membuatku menangis meraung-raung. Rasanya seperti perpaduan antara lega dan perih. Bagi kalian yang baru baca blog ini, FYI aja alasanku ke Jerman didorong oleh peristiwa gagalnya pernikahanku lantaran mantan calon suami selingkuh, meskipun pada akhirnya, keputusan untuk pindah memang sejalan dengan impianku sejak lama untuk S2 di luar negeri. Minggu, 22 September 2024 Tepat jam 2.30 subuh kami semua bangun untuk mengantarku ke bandara. Ada papi, mami dan Pak Edwin ikut. Jalanan tentu saja sepi dan aku pun tiba di bandara dengan cepat. Tidak ada tangis lagi di antara kami. Semuanya sudah kekeluarkan. Perpisahan kami singkat. Begitu check-in bagasi selesai, aku antarkan mereka kembali ke mobil, pelukan dan goodbye . Lalu aku kembali masuk dengan riang ke ruang boarding . Naik pesawat Singapore Airlines, transit di SG, dan lanjut ke Frankfurt. Di sinilah awal kekonyolan dimulai. Bagasi Ketinggalan Pesawat ke Frankfurt delay 1 jam, membuatku gugup lantaran aku sudah booking tiket lanjutan naik kereta Deutsche Bahn (DB) ke Ulm. Bagaimana kalau waktunya terlalu mepet dan aku ditinggal kereta??? Mana tiketnya nggak bisa reschedule ataupun refund pula, soalnya aku beli yang paling murah. Akhirnya di bandara itu aku panik banget. Begitu sampai, aku langsung ngibrit menyelesaikan urusan imigrasi, ambil bagasi dan cus ngibrit lagi ke stasiun kereta bandara. Sialnya, aku lupa ambil 1 lagi bagasiku yang isinya portable trolley . Ukurannya kecil dan ringan, dan tidak pernah kupakai sehari-hari, jadi aku lupa total mengenai 1 barang yang telah dititipkan mamaku itu. Aku kesel banget karena lupa, tapi tidak bisa lagi kembali ke bandara untuk mengambilnya. Posisiku saat itu sudah capek banget bawa koper 30kg, ransel 8 kg, dan tas laptop 3 kg. Belum lagi waktu telah menunjukkan pukul 20.00 di mana sebentar lagi keretaku akan berangkat. Salah Stasiun Kereta Bagi aku yang belum pernah tinggal lama dan kurang paham mengenai sistem per-kereta-an di Jerman, tentu naik kereta sendirian bukanlah hal yang mudah. Di bawah ini adalah potongan tiket yang sudah aku booking dari lama, dengan informasi yang sangat minim. Tertulis di atas bahwa aku perlu naik S-bahn dulu, dengan nama kereta S8 dari bandara Frankfurt ke Mainz Hbf di jam 9 malam. Waktu saat itu menunjukkan pukul 20.30 malam. Karena panik, aku telepon kakakku yang tinggal di Berlin. Siapa tahu dia bisa bantu. "Kak, di tiket tertulis naik S8 di Gleis (peron) Regio 3. Tapi di sini nggak ada tulisan Reggio, cuma ada angka 3 aja gitu. Maksudnya gimana sih?" "Coba tanya orang di situ aja, Rin." Ternyata kakakku juga kebingungan. Akhirnya aku beranikan diri untuk tanya seorang petugas, tapi sialnya, aku salah sebut stasiun tujuan! Harusnya aku tanya arah ke Mainz Hbf , tapi aku malah tanya arah ke Frankfurt am Main Hbf . FYI aja, ini adalah 2 stasiun yang berbeda meskipun namanya mirip-mirip! ( Hbf. adalah singkatan dari Hauptbahnhof yang artinya adalah stasiun utama.) Karena salah ucap, akhirnya aku diarahkan naik S9 di Gleis 1 arah Frankfurt am Main Hbf. Padahal kereta yang aku beli itu dari Mainz. DAN BODOHNYA CECIL IYA-IYA AJA. Aku bener-bener nggak sadar kalau aku salah tujuan sampai nanti aku tiba di kereta. Jadi dengan percaya dirinya, aku bawa bagasi yang berat itu naik S9 ke Frankfurt am Main Hbf. dan mengira bahwa aku masih punya banyak waktu untuk beli makan. Untungnya, saat sedang lihat-lihat makanan di kafe, aku merasa tidak nyaman dan berpikir, "Kok rasanya males makan ya? Apa aku cari dulu aja keretanya sekarang ya?" Mengikuti tulisan di tiketku yang katanya kereta ICE 695 akan berangkat jam 21.42 dari Gleis 5 a/b, aku berjalan cepat mencari peron tersebut. Dan tiba-tiba langkahku terhenti di peron 6. Aku lihat ada kereta dengan tulisan ICE 695. "Itu kan keretaku? Kok ada di peron 6 dan kok jadwal keberangkatannya jam 21.10? Bukannya jam 21.42? Bingung dah," pikirku dalam hati. Tapi karena itu keretaku, jadi ya aku pikir naik ajalah. Bodo amat dia mau berangkat jam berapa. Nah, kebetulan pas aku mau naik itu, keretanya pas sudah mau berangkat. Jadi alarm kereta bunyi dan semua pengunjung lari buru-buru masuk. Aku jadi ikutan lari, tapi bayangin dong lari dengan koper kayak apa susahnya? Belum lagi, kereta apinya itu lebih tinggi dari stasiunnya. Jadi harus angkat koper naik tangga. Ya Allah, gimana caraku angkat beban 30kg kayak gini? Karena aku nggak kuat angkat kopernya, akhirnya aku bikin macet untuk orang-orang di belakangku. Tapi aku beruntung, seorang mas-mas dari belakang bantuin aku naikin koper ke dalam kereta. Aku langsung bilang thank you ke dia dan lanjut mengantre masuk di dalam (area jalan di kereta itu sempit banget, jadi pasti antre kalau mau keluar-masuk). Kelihatan kan di foto betapa hebohnya barang-barangku? Hahaha... Gila aku capek banget. Tapi kekonyolanku belum selesai sampai di sini. Belum Reservasi Kursi Satu hal lagi yang aku nggak tahu adalah, ternyata beli tiket kereta Deutsche Bahn itu belum termasuk kursi. Artinya, kamu perlu reservasi kursi jika kamu tidak mau berdiri, atau kalau beruntung nyolong kursi kosong. Nah, aku kan nggak tahu soal itu. Jadi waktu beli tiket, aku sengaja nggak reservasi kursi karena aku mau murah. Harga reservasi itu sekita r €5-6 dan itu lumayan buatku yang hidupnya pas-pasan. Akhirnya setelah aku tanya petugas dan paham situasinya, aku berdiri di dekat pintu karena aku tidak menemukan kursi kosong (sebenernya ada, tapi kursinya tuh dua-dua gitu, jadi sungkan minta izin duduk di sebelah orang asing). Dan di depan pintu itu ada layar yang memperlihatkan stasiun-stasiun yang dituju. Dan di titik itulah aku baru paham bahwa aku salah stasiun kereta. Lebih tepatnya, aku berada di stasiun yang salah tapi di timing yang tepat, sehingga aku HOKI ABIS nggak ketinggalan kereta. Ngakak nggak tuh? Kereta pun akhirnya tiba di Mainz Hbf pada jam 21.42 sesuai jadwal yang tertulis di tiket. Tapi Cecil yang bodoh ini sudah naik duluan dari stasiun Frankfurt am Main. 🤡 Tiba di Kos Baru! Setelah tiba di Ulm, aku lanjut naik taksi menuju kos atau istilahnya WG dalam Bahasa Jerman. Aku tiba sekitar jam 12an malam, jadi udah capek parah. Untungnya vermieter (penyewa) aku adalah bapak-bapak yang baik hati. Dia tungguin aku di depan rumah dan bantu angkat koperku masuk ke kamar. Seperti ini situasi kamar saat aku tiba. Relatif bersih, namun banyak sarang laba-laba karena jendelanya terbuka. Dan yang bikin aku kecewa-tapi-tidak-kaget adalah kasur yang benar-benar hanya kasur. Tidak ada bantal, sprei maupun selimut. Untungnya aku sudah diperingatkan kakakku soal ini, jadi aku sudah prepare dari rumah. Aku langsung bongkar tas untuk ambil bantal, selimut dan sprei yang sejujurnya tidak pernah kusiapkan untuk momen ini tapi entah kenapa timing -nya pas. Bantal lipat ini dulu kubeli untuk jadi kasur anjing. Bentuknya kecil, portable , bisa dilipat dengan zipper , gampang dibawa. Selimutnya aku beli berbarengan dengan si bantal. Keduanya aku beli di Ace Hardware Bali zaman dulu banget. Terus spreinya masih baru, aku beli waktu pindahan dan belum sempat terpakai. Hoki lagi, ukurannya pas 120cm dengan kasur yang sekarang. Hanya satu yang aku lupa: peralatan mandi! Aku lupa bawa sabun dan shampoo. Hahaha... Akhirnya aku nyolong sabun cuci tangan aja buat bersih-bersih darurat. Lalu tidur di kamar baru dengan jendela terbuka. Rasanya dingin, enak, kayak pakai AC padahal enggak. Temperatur malam di sini katanya mencapai 1 2°C tapi nggak terasa terlalu dingin karena insulasi rumah ini sangat baik. Atau mungkin aku terlalu lelah sehingga sudah tidak peduli lagi dengan hal lain? Anyway, paginya aku disambut dengan matahari hangat dan sumpah demi Tuhan aku bersyukur banget akhirnya aku tiba di sini!!! Pagi Pertama di Neu-Ulm Hari pertama aku di kos, aku otomatis bangun jam 7 pagi (kayaknya kebiasaan karena anjingku suka bangun pagi). Tidak ada jet lag, hanya sisa lelah dari petualangan 24 jam yang kemarin. Aku beres-beres kamar, lalu bergegas beli sabun dan makanan di supermarket dekat rumah. Oh iya, jangan lupa beli portable bidet. Fungsinya sebagai semprotan setelah buang air. Tahu kan kalau toilet di Eropa itu nggak ada semprotan airnya dan cuma pakai tissue? Nah, aku nggak suka itu. Jadi aku bawa botol kecil ini untuk di kos. BTW, barang ini bisa dibeli online di Indonesia maupun di Amazon Jerman. Siangnya, vermieter datang lagi untuk tur keliling rumah dan tanda tangan kontrak sewa-menyewa yang isinya peraturan rumah panjaaaaang banget. Semuanya dalam Bahasa Jerman, dan aku hanya bisa menjawab terbata-bata. Tapi intinya aku paham: hidup yang bersih, jangan rusakin rumahnya, jadi ya sudahlah. Bukan persoalan sulit buatku. Agak sore, aku memberanikan diri pergi ke supermarket yang lebih jauh (sekitar 2,5km atau 36 menit jalan kaki) untuk membeli sim card LIDL dan keperluan sisa yang aku lupa beli. Lumayan gengs, jauh banget jalannya. Tapi happy karena kotaku agak mirip-mirip Bali. Hehe... Aku suka perpaduan antara desa dan kota, tenang tapi juga tidak begitu sepi. Demikian kisah pertamaku di Jerman. Semoga aku semakin betah dan tidak perlu kembali lagi ke Indonesia!

  • Mempersiapkan Visa Schengen Italia

    Tidak disangka akhirnya aku dapat juga kesempatan ke Eropa. Setelah mendaftarkan diri lewat program CinemadaMare —sebuah pertemuan filmmaker muda sedunia di Italia ,  aku mendapatkan surat undangan untuk berangkat di bulan Juni 2018. Sayangnya, jalan tidak semulus yang kukira. Catatan: Siapapun boleh mendaftar dalam program CinemadaMare di website ini: https://www.cinemadamare.com/en/ Pertengahan bulan April aku mulai mencari tiket, tapi ternyata semuanya mahal (maklum, belum pernah keluar Asia). Harga tiket di internet waktu itu sekitar Rp12.000.000,00 untuk penerbangan Jakarta ke Roma, Italia. Karena mahal, akhirnya ayahku memberikan poin traveling -nya di Garuda dan dapat diskon Jakarta-Amsterdam Rp6.000.000,00 PP tinggal kutambah pesawat Amsterdam-Roma dan Venice-Amsterdam masing-masing sekitar Rp2.000.000,00. Baru beli tas ransel, ditemenin pacar Sekarang tentang pembuatan visa. Aku browsing sana-sini, semua blog termasuk website Kedutaan Italia mengarahkanku pada VFS Global. Awalnya aku bingung, VFS ini apa? Kenapa ada biaya tambahan? Kenapa nggak bisa lewat kedutaan langsung?  Rupanya kini (setelah kuketahui dari teman-teman lain dan telepon kedutaan) pembuatan visa Schengen tidak lagi melalui kedutaan-kedutaan tertentu. Semuanya telah digabung lewat perwakilan masing-masing negara di VFS Global dan dikenakan biaya tambahan tergantung tujuan negara. Aku kira karena sudah melalui perantara dan sudah membayar tambahan biaya, maka prosesnya akan lebih menyenangkan. Oh tidak kawan, ternyata aku salah. Berikut adalah tahapan yang kupelajari in a hard way. 1. Untuk memilih negara kedutaan, tentukan negara yang paling lama dikunjungi Waktu itu di website VFS Italia tidak ada slot sama sekali, alias sudah penuh. Aku pun panik. Kucoba lagi mengecek esok harinya, ada jadwal hanya di tanggal 25 April, sementara aku tidak bisa bolos. Aku jadi semakin panik, ini kenapa semua slot hanya terbuka 1 tanggal, dan setiap harinya berubah? Aku coba telepon VFS Italia, tapi tidak diangkat. Beberapa blog juga mengatakan kalau nomor teleponnya sulit dihubungi. Jadi aku email, dan tanya bagaimana caranya agar aku tetap bisa mendapatkan visa untuk menghadiri CinemadaMare. Emailku dibalas keesokan harinya. Membaca balasan mereka membuatku semakin panik. Tidak mungkin aku mengecek websitenya terus-menerus, apalagi dengan internet kosan yang suka ngajak ribut. Kalaupun akhirnya aku cek, apa benar aku bisa mendapatkan slot di tanggal yang tepat? Bagaimana kalau terlewat? (Mengingat kesempatan itu hanya dibuka untuk 1 hari setiap 2 minggu ke depan.) Karena ketidakpastian tersebut, customer service yang tidak bisa ditelepon dan jawaban email yang terkesan sangat robot, akhirnya aku nekat mendaftarkan diri lewat Kedutaan Belanda. Alasanku sederhana: slot kosong di Kedutaan Belanda sangat banyak, aku juga datang pertama kali ke Amsterdam, Belanda termasuk negara wilayah Schengen dan beberapa blog mengatakan boleh memilih negara yang pertama kali dikunjungi. Jadi, kenapa tidak? 2. Pembuatan visa di VFS Belanda wajib bayar upfront Rp416.000,00 (April 2018) TERNYATA OH TERNYATA, permohonan visaku ditolak oleh VFS Belanda dan pembayaran tidak dapat dikembalikan. "Iya, Mbak makanya hati-hati kalau baca di internet, bisa salah," kata penjaga VFS Belanda yang sangat tidak membantu. "Pak, jadi sebaiknya bagaimana ya? Sulit sekali untuk membuat janji di VFS Italia. Sementara saya harus menghadiri acara ini. Terlampir adalah surat undangannya, dan saya terbang lewat Amsterdam dulu." "Nggak bisa, Mbak. Peraturannya adalah memilih negara dengan tujuan terlama. Kecuali Mbak ke Belanda 1 bulan, Italia juga 1 bulan, nah baru deh Mbak pilih negara mana yang pertama kali dikunjungi. Kalau ini kan sudah jelas, Mbak 2 bulan di Italia. Tidak bisa, Mbak. Silakan mendaftar ke bagian Italia." "Apakah saya bisa membuat janji hari ini? (mengingat VFS Italia hanya beda 4 meja dari Belanda) Karena kalau lewat online lagi, lama sekali ya." Dalam benakku, VFS itu kan perantara, dan mereka menempatkan meja Italia serta Belanda dalam satu ruangan. Aku kira berkasku bisa dipindahtangankan (tinggal pindah meja). Nggak apa deh bayar lagi, asal hari itu bisa selesai. "Silakan tanya sendiri ke bagian informasi di luar." Aku buru-buru keluar ruangan dan ke pihak informasi. Tapi ternyata oleh pihak informasi diharuskan bertanya ke VFS Italia di dalam. Aku lari lagi ke dalam, dan petugas keamanan bingung kenapa aku keluar-masuk. Duh! Capek banget harus menjelaskan satu-persatu, dicek lagi isi tasku, ambil lagi nomor antrian, dan duduk lagi menunggu was-was. "Silakan, nomor 130." Aku maju dan menjelaskan situasinya ke petugas, dan ternyata beliau pun tidak bisa membantu, "Iya, Mbak semuanya harus online . Saya juga tidak bisa mengaksesnya di sini, harus Mbak lakukan sendiri. Untuk jadwal hingga tanggal 18 Mei sudah penuh. Silakan Mbak mengecek di hari Senin untuk membuat janji di tanggal 21 Mei." "Mas, saya harus berangkat tanggal 15 Juni, apa masih keburu bikin visa tanggal 21 Mei?" "Bisa, Mbak, paling lambat membuat visa tanggal 8 Juni untuk bisa berangkat di 15." Aku tetap panik, nggak rela datang sia-sia ke Kuningan City, "Mas, kalau saya pakai agen gimana? Ngefek nggak sih?" "Boleh dicoba, Mbak, mungkin agen punya kuota lebih." "Kalau fitur Premium Lounge Italia itu bagaimana? Dikenakan biaya tambahan?" "Kalau fitur ini dikenakan tambahan biaya Rp900.000,00 dengan jadwal yang lebih fleksibel. Tapi sudah penuh sampai tanggal 18 Mei. Silakan Mbak cek jadwal di email dan nomor telepon berikut." Sepulangnya di rumah, gue telepon karena mau cepat, "Halo, saya mau membuat visa Italia, ada slot kosong tanggal berapa ya untuk Premium?" "Siang, untuk pengecekan slot hanya dapat dilakukan melalui email." Mulutku ternganga, kaget mendengar, "Hanya dapat dilakukan melalui email." Aku yang sudah kesal sejak pagi tadi pun terpaksa sedikit memakinya, "Terus buat apa ada nomor telepon???" Akhirnya aku tarik napas dan menyelesaikan telepon tersebut. Aku cek website VFS Italia, nihil. Aku email, balasannya dingin: "Dear Sir/Madam, Thank you for your email. Kindly be informed that there is no available slot for Premium Lounge. Thank you." Sebel, kenapa jawabannya tidak menjelaskan lebih lanjut? Ini kan email bukan chatting! Menunggu dia balas email itu menghabiskan beberapa jam loh. Jadi supaya aku bisa register premium bagaimana caranya? Kapan slotnya ada? Aku email lagi dan balasannya semakin ngeselin. "Dear Sir/ Madam, Thank you for your email. Kindly be informed that the appointment is open only for 14 days ahead. As per today, the slots are already full. To have an appointment, you may check regularly on our online appointment at https://online.vfsglobal.com/GlobalAppointment/ Thank you for your kind attention." Sebeeelll paraaahh... Tadi telepon disuruh email, sekarang email disuruh website. Ternyata membuat visa Italia tidak sesederhana yang kubayangkan, uangku juga amblas di VFS Belanda dan jawaban mas-mas Belanda tadi sangat tidak menyenangkan sepanjang diskusi. Sayang ya dia harus sejudes itu, kan memang tidak semua orang paham cara membuat visa Eropa dan menghubungi mereka itu sulit! Jadi harap maklum kalau masih banyak yang membuat kesalahan. Berikut ini tambahan informasi bagi yang ingin mengajukan visa turis agar tidak mengulangi kesalahanku (FYI hari itu, aku juga mengurus visa turis ayah dan ibu di Belanda). 3. Dokumen yang diperlukan per orang: Formulir visa Pasfoto 3,5 x 4,5 cm berlatar belakang putih (jangan ditempel) Tiket pesawat PP dan tiket perjalanan keliling Eropa (lengkap) Asuransi perjalanan (waktu itu aku pakai AXA) Itinerary perjalanan Bukti booking hotel selama berada di Eropa (lengkap, tidak boleh ada tanggal yang terlewat , bila menginap di bus harus bisa membuktikan) Fotokopi paspor Fotokopi KTP Fotokopi Kartu Keluarga atau Akta Nikah untuk membuktikan hubungan ayah-ibu jika ayah yang membiayai perjalanan keduanya Rekening koran 3 bulan terakhir ( print e-statement sendiri juga boleh asal ada KOP bank) Kadang-kadang diminta surat referensi bank (tapi waktu itu aku nggak diminta) Surat keterangan kerja dan cuti atau SIUP bila wirausahawan (untuk ibuku tidak perlu, karena tidak bekerja) Waktu itu aku kira dokumen ibu bisa menebeng ayah, karena itinerary -nya kan sama, hotel sama, jadi aku hanya siapkan satu dokumen saja. TERNYATA OH TERNYATA lagi harus disiapkan per orang . Jadi aku fotokopi lagi di lantai 2 (dan harganya mahal). Dokumen untuk ibuku: Formulir Pasfoto 3,5 x 4,5 cm berlatar belakang putih (jangan ditempel) Tiket pesawat PP dan tiket perjalanan keliling Eropa (lengkap) Asuransi perjalanan  Itinerary perjalanan Bukti  booking  hotel selama berada di Eropa (lengkap,  tidak boleh ada tanggal yang terlewat , bila menginap di bus harus bisa membuktikan) Fotokopi paspor ibu Fotokopi KTP ibu Fotokopi Kartu Keluarga  atau  Akta Nikah untuk membuktikan hubungan ayah-ibu karena ayah yang membiayai perjalanan ibu Rekening koran 3 bulan terakhir milik ayah Tapi syukurlah visa ayah dan ibu aman, jadi mereka sudah tinggal menunggu saja. Giliranku yang masih was-was.. entah jadi ke Italia atau tidak. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!

  • Aku Ingin Menjadi Bajak Laut!

    Sebuah pesan masuk dalam inbox  Facebook-ku. Sebuah pesan super singkat dari seorang pria yang baru-baru ini kukenal lewat aplikasi jodoh di Taipei.   “Masih bangun?” tanyanya. Pria ini adalah seorang penyanyi indie  di Taiwan. Baru merintis dan cukup puitis. Kita belum pernah bertemu dan tidak memiliki hubungan spesial apapun. Kita hanyalah dua manusia yang senang membicarakan dan mengapresiasi musik. Namun hari itu, mungkin beberapa hal akan berubah.   “Masih. Kenapa?” “Aku di Taman Da'an. Dekat kosanmu kan? Mau bertemu?”   Sejujurnya aku gugup saat membaca pesan itu. Hari sudah larut malam, tapi rasa bosan di kamar kos sendirian menghampiri. Kuterima atau tidak terima? Pikiranku dalam dilema. Tiba-tiba, ia mengirimkan pesan lain.   “Kamu punya komputer? Boleh aku pinjam nggak? Tiba-tiba aku ada PR dari guruku.” “Eh, aku juga ada PR Bahasa Mandarin, sepertinya aku bisa memanfaatkanmu balik?” Itu komputer di kamar kecilku Akhirnya kami membuat perjanjian untuk saling membantu. Aku akan pinjamkan komputerku, dan pria itu wajib mengajariku Bahasa Mandarin. Tak lama pria itu tiba di depan kosan. Ia datang berkaos tanpa lengan, dengan topi beret, celana pendek dan kaos kaki bergambar wanita karya pelukis Rembrandt. Aku tidak bisa berhenti memperhatikan kaos kakinya, karena sebenarnya aku adalah pengagum Rembrandt.   “Hai,” katanya, sembari tersenyum padaku. Ternyata wajahnya mirip YouTuber KevJumba. Ia lanjut berbicara, “Tiba-tiba aku ingat ada PR dari kelas menyanyi. Guruku ingin aku mencatat 10 lagu yang kusuka dan 10 lagu yang ingin kupelajari. Boleh kupinjam PC-mu?” Aku mengangguk, mempersilakannya masuk ke kamar kecilku dan menggunakan komputer. Kami tidak banyak bicara. Ia sibuk mengerjakan tugasnya, sementara aku sibuk menyelesaikan PR Bahasa Mandarinku. Sesekali kudengar ia bernyanyi, dan suaranya memang merdu. Akhirnya kuketahui bahwa ia menyanyikan lagu 一定要相信自己  ( Yīdìng Yào Xiāngxìn Zìjǐ ) dari Crowd Lu, yang artinya “Harus Percaya Diri”. Aku menikmati alunan musik itu. Akhirnya setelah ia selesai, ia menghampiri untuk mengecek PRku. “Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya pria itu.   “Aku belum bisa membedakan suku kata ini dan ini,” aku menunjuk huruf 住 ( zhù ) dan 去 ( qù ). Dalam ejaan Indonesia, keduanya sama-sama dibaca cu , tapi dalam Bahasa Mandarin ada teknik tersendiri untuk membedakannya.   “Kamu harus memberikan sedikit udara dan membentuk mulutmu seperti ingin mencium seseorang. Coba ikuti aku! Qù! Qù! Qù!”   Aku berjuang, hingga membentuk mulutku seperti bebek. Tetapi hasilnya nihil, tetap salah.  Aku lelah dan menyerah, “Sudahlah, yang penting PR-nya sudah selesai. Bagaimana dengan tugasmu?” tanyaku padanya.   “Sudah selesai, mau jalan?”   Jam menunjukkan pukul 10 malam, dan kita sepakat untuk pergi ke klub kecil di Gongguan dengan nama Korner. Klub ini terkenal dengan musik eksperimentalnya dan biasa menampilkan DJ muda dengan lagu orisinil. Biaya masuknya cukup murah hanya NT$ 200 (sekitar IDR 94,000 pada tahun 2016) dan itu sudah termasuk sebotol bir atau segelas cocktail .   Berhubung kita berdua peminum kelas medium , jadi setelah mendapatkan cap Korner di tangan, kita keluar lagi ke 7-11 dan membeli beberapa kaleng bir. Di Taiwan, sekaleng bir biasa dihargai NT$ 37 (sekitar IDR 17,500), cukup murah tapi tidak semurah bir di Beijing. “Apakah kamu tahu kalau tentara Taiwan dibayar sangat rendah?” Tiba-tiba obrolan kami berdua menjadi sangat berbobot. Aku menggeleng, lalu meneguk birku di depan motor orang lain. Sebenarnya selain menjadi musisi, pria ini sedang menjalani masa wajib militer. Di Taiwan, setiap warga negara pria yang berumur 18-36 wajib menjadi tentara selama 1 tahun, dan bayarannya, terbilang rendah. Bahkan pria ini mengaku saat off-duty  (yang mana hanya sebentar), ia tidak diizinkan tinggal di asrama dan harus menumpang dari satu kosan teman ke kosan lainnya, untuk menghemat biaya akomodasi di ibukota.   “Siapa sih orang gila yang mau jadi tentara di negara sedamai ini? Nggak guna! Tapi bulan depan aku akan dibebaskan. Aku nggak sabar menantikannya!”   Aku tertawa melihatnya menjerit ke jalanan. Setelah itu topik pembicaraan kami berpindah ke kartun Jepang, One Piece . Super random , tapi menyenangkan. Kami tertawa-tawa membicarakan kisah Luffy dan kawan-kawannya. Mungkin sebenarnya tidak selucu itu, tapi karena agak mabuk, semua yang nggak lucu juga jadi lucu.   “Eh, coba deh kamu bilang ini 我要成為海賊王  ( wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng )!” “Apaan itu?”   “Ini ucapan ikoniknya si Luffy! Artinya aku ingin menjadi raja bajak laut. Ayo coba bilang! Kamu harus teriak. Wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng !!!”   Jam 12 malam, kita teriak-teriak di jalanan.   “Wǒ yào chéngwéi hǎizéiwáng!!!”   Untung jalanan sepi. Jadi aku nggak malu ikutan menggila. Kita berdua lanjut teriak-teriak sambil jalan kaki kembali ke Korner.   Sesampainya di sana, aku terkesima dengan betapa sederhananya tempat ini. Di bawah tanah, dengan lampu disko seadanya. Meski pengunjung tidak begitu ramai, Korner menawarkan musik yang benar-benar berbeda dan surprisingly bagus. Beberapa musiknya sealiran dengan Sigur Rós . Korner terbagi dalam dua area. Area utama memiliki bar dan beberapa sofa kecil, sementara area kedua seperti kelas kosong dengan DJ dan mejanya di pojok. Sangat minimalis tapi syahdu. Semua orang berdansa sendiri-sendiri mengikuti irama. Hampir tidak ada yang merokok karena memang mayoritas orang Taiwan tidak merokok. Kebetulan letak Korner di Gongguan ini memang sangat dekat dengan National Taiwan University (NTU), universitas nomor 1 di Taiwan, dan ranking ke-85 sedunia. Jadi tidak heran kalau pengunjungnya kebanyakan mahasiswa atau anak muda usia 20an.   Sambil menikmati musik, tiba-tiba pria itu disapa dua orang gadis temannya. Mereka bercakap-cakap dalam Bahasa Mandarin, dan aku terdiam karena kemampuanku masih pemula. Tapi tak lama kemudian, kami mulai berbaur dan berdansa bersama, minum bir lagi, tertawa, hingga akhirnya berhenti pada pukul 3 pagi. Kami semua berakhir duduk-duduk di trotoar jalan, di depan Klub Korner. “Aku pulang dulu ya!” ujar temannya seraya pergi, berbalik badan.   “Aku juga pulang ya!” sahutku sambil melambaikan tangan, pura-pura mau kabur. Tapi pria itu malah tertegun dan menarik leher bajuku, “Eh! Mau ke mana! Enak aja ninggalin. Kamu mau pulang naik apa?!”   “Naik sepeda,” jawabku sambil menguap ngantuk. Di Taipei, ibukota Taiwan, sepeda disewakan di setiap sudut kota, tinggal membayar dengan kartu, siapapun bisa memakainya kapan saja. Fitur ini sangat nyaman ketika harga taksi begitu mahal.   “Kamu tahu kan kalau mengendarai sepeda dalam keadaan mabuk bisa dipidana? Kemarin aku ketahuan bawa motor sambil mabuk, dan sekarang aku nggak boleh bawa motor lagi. Kamu mau dihukum seperti aku?!”   “Tapi ini kan sepeda, bukan motor.” “Nggak! Pasti nggak boleh. Ngg... Bagaimana kalau kamu menginap bersamaku saja di tempat magical . Cuma 5 menit jalan kaki dari sini kok.”   “Tempat magical ? Apa lagi ini? Korner nggak cukup magical ?”   Ia tertawa dan menarik bajuku. Sama sekali tidak romantis. Kita layaknya duo bestie tolol yang sama-sama suka One Piece, berjalan kaki dalam keadaan tipsy menuju tempat yang katanya magical . Dalam hatiku, aku tahu bahwa ajakan "menginap" seperti ini biasanya mengarah pada seks. Tapi orang Taiwan pada umumnya sangat baik dan sopan, dan daritadi pria ini terlihat seperti anak "baik-baik", sehingga kurasa, ia bisa kupercaya.   Sambil mengikuti pria itu dari belakang, kami masuk ke dalam area kampus NTU yang tadi kuceritakan, ke sebuah gedung tua yang nampaknya telah ditinggalkan. Ia mengisyaratkan padaku untuk tenang dan diam. Kami menyelinap masuk ke dalam gedung bermodalkan senter dari HP. Gedung ini berantakan dengan meja kayu dan kertas di mana-mana. Tapi ia tahu di mana kunci disimpan dan letak toilet yang masih berfungsi.   “Ini adalah tempat rahasiaku. Kadang kalau kepepet, aku menginap di sini.”   Pria itu kemudian membuka ruangan lain yang lebih berantakan dengan berbagai kardus, karton dan maket rumah-rumahan. Sepertinya ruangan ini bekas kelas anak arsitektur.   “Malam ini kita tidur di sini,” ucapnya seraya mempersiapkan sebuah meja pendek dengan kardus dan kertas. Lalu ia membuka isi tasnya yang berisi sleeping bag . Sementara aku, hanya bisa tertawa melihat ini semua. Jadi ini yang ia sebut dengan magical .   “Jangan tertawa. Ini sudah bagus loh.”   Pikiranku melayang pada beberapa jam yang lalu, saat pertama kali melihatnya di depan kosan. Si kaos kaki Rembrandt yang ternyata manis juga. Aku baru sadar bahwa ia selalu berusaha menjagaku. Selama berjalan ke Korner, berdansa di antara keramaian, hingga saat aku ke kamar kecil, tak pernah ia lepas memperhatikan diriku. Ia juga senang membelai kepalaku dan menghina tinggi badanku, kadang jahil memencet hidung hingga aku harus balas mengkelitik. Ia seperti kakak laki-laki, sosok yang cukup kurindukan sejak dahulu.   Lalu ia menyelimutiku dan memelukku dengan tangan besarnya. Waktu itu, aku merasa nyaman bersamanya. Setelah perang kelitik kedua terjadi, pria itu bertanya lagi padaku, “Masih ingat kata yang kuajari tadi sore? Qù, coba ucapkan lagi.”   “Qù..? Qù, qù, q..” tiba-tiba pria itu mengecup bibirku.   Aku terpaku. Sumpah mati aku tidak menyangka sampai sana. Mungkin memang aku yang terlalu naif, mengira hubungan kami biasa-biasa saja. Dalam kegelapan kamar dan cahaya lampu dari jalan yang menembus masuk lewat sela-sela jendela, aku melihat wajahnya samar-samar tersenyum.   “Apakah kamu mau..?” ia bermaksud mengatakan kata seks. Namun terhenti, dan sepertinya aku pun telah mengerti tapi kujawab, “Nggak, maaf ya..”   Pria itu mengecup keningku dan memelukku lebih erat, “Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa alasanku mengajakmu jalan dan membawamu ke sini, bukan untuk itu . Jangan salah paham. Aku benar-benar menikmati hari ini. Terima kasih.”   “Terima kasih.”   Malam berganti pagi, dan kami mengucapkan salam perpisahan di Stasiun Gongguan. Tidak ada janji untuk bertemu lagi, dan tidak ada rasa di antara kami. Sesudah melakukan high-five , kami berjalan menuju arah yang berlawanan untuk naik kereta yang berbeda. Beberapa bulan kemudian aku pulang ke Indonesia, dan pria itu kudengar semakin sering manggung di sudut kota Taipei.

  • Open Trip: Pulau Harapan

    Weekend lalu aku dan kawanku, B, mengambil open trip murah dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Harganya Rp350.000,- dan sudah termasuk: Snorkeling  + foto underwater Island hopping Tiket PP dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan 3x makan dan minum Penginapan guesthouse  dengan kapasitas 1 kamar 4 orang dan diacak. (Wanita dan pria dipisah.) Sabtu, 6 Juli 2024 Sekitar pukul 12 siang, kami tiba di Pulau Harapan meninggalkan kapal laknat yang hampir merenggut nyawa kami semua (baca kisah kapal laknat di post sebelumnya: https://www.mylifeisafilm.com/post/hampir-menjemput-ajal-di-pulau-harapan ). Sebenernya bukan salah kapalnya sih, tapi memang ombak di hari Sabtu, 6 Juli lalu kacau banget sehingga mempersulit perjalanan kami. Dan seperti ini penampakan kapal Kelapa Indah, yang konon katanya, memang paling lelet di antara kapal Ferry lainnya dengan jarak tempuh 3,5 jam (pantes murah ya, beb). Begitu kapal berlabuh, kawanku si B langsung bertanya, "Bisa berdiri nggak?" Jujur, enggak. Ya gimana ya? Gue habis muntah nonstop 3,5 jam gitu loh. Tapi karena nggak mau ngerepotin teman seperjalanan, jadi aku kuat-kuatin agar bisa berdiri, sambil atur napas. Pelabuhan hari itu ramai sekali dengan semua pengunjung yang setengahnya basah kuyup dan hancur lebur sepertiku. Kami bergegas mencari tour guide kami, yang lagi-lagi nggak ada. Yang ada hanya seorang abang-abang nelayan saling oper satu sama lain, menunjukkan kami arah ke guesthouse . Dan lagi-lagi, aku harus melewati gang kecil untuk menuju guesthouse persis seperti gang-gang di Jakarta yang sempit, becek, berlumpur dan (sejujurnya) menjijikkan. Pulau Harapan jauh dari harapan. Mungkin karena aku salah musim? Atau mungkin memang seleraku sudah nggak di level ini lagi? Wkwk. Aku nggak tahu. Tapi yang pasti, pulau ini tidak ada pantai, pelabuhan siang itu kotor, jorok dan aku benci sekali melihat rumah yang dicat warna-warni nggak nyambung, seperti misalnya kombinasi merah muda, kuning, hijau dan ungu, like why??? Lanjut, siang itu kami jalan kaki ke sebuah rumah berwarna biru, tempat kami akan menginap. Di situ baru kuketahui bahwa ada total 15 peserta: 9 perempuan dan 6 laki-laki, dengan ketersediaan 4 kamar. Agak riweuh awalnya dalam pembagian kamar karena ada yang satu grup dan nggak mau dipisah, ada yang nggak mau dicampur, banyak yang mau enak sendiri, dll. Tapi untungnya banyak yang santai juga sih, jadi nggak terlalu ricuh. Beberapa laki-laki akhirnya minta tambahan kasur untuk tidur di ruang tamu. Kondisi rumah juga terbilang bersih dan ber-AC. Hanya saja fasilitas sangat seadanya. Hanya ada kasur, bantal keras, water dispenser dan 4 toilet dengan air asin, tanpa gantungan baju! Beginilah penampakan kamarku bersama 2 orang wanita lainnya yang aku tidak kenal. Bahkan awalnya nggak ada kain keset sama sekali (baru dikasih nanti malam). Menu makan siang digelar dengan sangat sederhana di ruang tamu. Modelnya seperti makan-makan keluarga gitu. Ada nasi putih, tempe orek, sayur labu siam dan ikan tongkol kecap yang mohon maaf rasanya hambar. Tapi mengingat trip ini hanya Rp350.000,- per orang, aku nggak bisa marah. Pernah dengar istilah beggars can't be choosers? Iya, itu artinya kalau miskin nggak usah banyak cincong. Aku dan B akhirnya tertawa saja. Dan saking enggak menariknya, sampai malas kufoto makanan tersebut. Wkwkwk. Berikutnya sekitar jam 2 siang, kita diajak si abang nelayan tadi naik perahu untuk island hopping dan snorkeling ke antah-berantah. Ya karena nggak ada tour guide , dan di itinerary cuma tertulis "explore pulau" jadi aku bener-bener nggak tau mau dibawa ke mana. Yaudalah, aku dan B langsung pakai baju renang dan siap dibawa ke mana pun meski perut masih kacau akibat kapal Ferry tadi pagi. Eh, ternyata perjalanannya JAUH dong. Kirain cepet gitu. Ternyata sekitar 30 menitan kami naik perahu ini ke pulau yang entah apa namanya.. memang pasirnya putih. Tapi pantainya kecil banget, dan pengunjung dari trip-trip lain BANYAK banget. Jadi kayak rame total gitu. Aku cuma bisa berenang sebentar, ombaknya lumayan besar, dan aku sebel (lagi) ngelihat orang yang terlalu banyak. Akhirnya aku dan B duduk-duduk aja sambil menunggu alat snorkeling untuk grup kami selesai dipakai oleh grup dari trip yang lain. Dan ya bener dong, sesuai prediksiku, alat snorkeling -nya nggak dibersihin dulu. Begitu grup lain selesai, langsung dioper oleh nelayan dan dikasih ke kita. Masih ada bekas lipstik di setiap alat tersebut. Temenku, si B ini rada bete. Aku sih, yaudalah ya namanya juga 350 ribu gitu loh! Kita dibawa naik perahu lagi ke antah berantah sekitar 15 menitan, dan di situ perahunya berhenti di tengah laut, dan kami semua dipersilakan nyebur aja tanpa ada pendidikan apapun. Pokoknya terserah lo mau apa deh 😂 Sebenarnya agak kasihan sama yang nggak ngerti konsep snorkeling . Untungnya aku udah pernah, jadi nggak bego amat. Cuman, sebelku yang kedua kalinya adalah karena airnya butek, jadi sulit melihat kecantikan di bawah laut. Terus alat snorkeling si B katanya rusak. Akhirnya aku kasihlah punyaku dan aku berenang-berenang aja. Itu saja sudah cukup membuatku bahagia, ya daripada aku stuck terus di rumah. Kemudian aku dan B mencoba membuat foto underwater , tapi ternyata napasku terlalu pendek. Maklum, aku takut kedalaman laut. HEHE... Malah si B yang super excited foto-foto terus, sambil dibantu temen-temen lain buat kumpulin ikannya. Sekitar jam 5, para nelayan mengajak pulang ke guesthouse . Jadi naiklah kita ke perahu dan pulang, yeay! Aku tidak sabar makan malam! Namun ternyata semua AC di guesthouse dibiarkan menyala oleh teman-teman baruku yang lucu ini (like why though?!) jadi semua orang yang masih dalam keadaan basah pun menggigil dan segera mematikan semua AC. Satu persatu mandi, ada juga yang masih goler-goleran, ada pula yang malah jajan telur dadar gulung di pelabuhan. Sekitar jam 7, makan malam tiba, dengan menu nasi putih, tempe orek, sayur labu siam yang persis seperti tadi pagi, beserta ayam goreng. Syukurlah, kali ini ayam gorengnya enak banget. Jadi seneng banget bisa makan kenyang. Habis itu aku dan B main ke pelabuhan buat jajan-jajan lucu. Di sana ada berbagai sate bakso, fish cake dan telur dadar gulung seharga Rp2.000,- per tusuk yang rasanya enak! Puas ngobrol-ngobrol di pelabuhan sambil digigit nyamuk, kita pun pulang dan aku memutuskan untuk tidur. Eits, belum selesai sampai di sini. Sesuai itinerary sih (katanya) akan ada BBQ. Tapi entah jam berapa. Padahal semua peserta sudah sangat penasaran nih, dengan trip seharga Rp350.000,- dapat makanan BBQ kayak apa sih? Catatan: ternyata nggak semua orang bayar 350 ribu. Ada yang bayar 360, 375, bahkan ada yag bayar 390 ribu. Sehingga temenku, si B sempat kasih tips: "Kalau mau booking trip di indonesia, selalu cari contact person (CP) laki-laki. Kenapa? Soalnya kalau sama cewek, biasanya harga di mark-up mahal banget." Aku nggak tahu itu betul atau enggak, tapi faktanya dalam trip ini, yang bayar paling murah adalah aku dan B, dan B memang booking lewat CP laki-laki. Kemarin dia memang getol banget compare harga dari berbagai aplikasi traveling , bahkan sampai menghubungi travel agentnya langsung di Instagram. Oke, kembali ke BBQ, sekitar jam 9 malam kami dipanggil oleh nelayan tadi untuk jalan kaki ke tempat bakar-bakar BBQ. Kami semua bergegas jalan melewati gang-gang kecil yang becek, ke arah pelabuhan. Di sana, ada beberapa warung dengan musik dangdut. Kami dipersilakan duduk, dan aku sudah sangat penasaran akan menu BBQ malam itu. Sayangnya, yang kami pikir makanan sudah siap, ternyata jam 9 malam itu baru mau dimulai masak-memasak. YAELAH... Alhasil kami terdiam di meja panjang kebingungan mau apa. Keadaan diperparah karena kita semua nggak saling kenal satu sama lain, meski ada satu topik yang bisa menyatukan kami semua, yakni kapal laknat di hari Sabtu pagi tadi! Syukurlah, kami menjadi akrab berkat topik tersebut. Kami semua pecah menceritakan pengalaman mabok dan muntah masing-masing di berbagai sudut kapal yang berbeda. Aku di lantai satu, dekat jendela. Ada yang di lantai 2 tengah, ujung, dll. Dan kita semua sama, sama-sama jadi inget Tuhan pas merasa sudah mendekati ajal. Sambil asik mengobrol, aku dan B terus memperhatikan apa saja yang dibakar oleh si para nelayan. Kita sempat lihat ada ikan tongkol besar-besar dan sosis. Wah, lumayan nih pikirku, keren juga BBQ 350 ribu. Jam 10 tiba, kami disuguhi sate keong yang rasanya... entahlah. Hambar. Masalahnya nggak ada bumbu sih. Cuma ada sambal kecap gitu, jadi ya... Hmm, bingung saya mau berkomentar apa. Terus ternyata sosis tadi punyanya grup sebelah (bukan geng open trip kami). Jadi sosisnya bukan buat kita. Di meja sebelah, peserta open trip lebih heboh dan berisik lagi. Curiga, mungkin mereka membayar lebih mahal, soalnya nanti di akhir aku lihat makanan mereka semua tersapu bersih. Berarti dapat makanan enak gitu kan ya? Sementara di meja kami, setelah menunggu satu jam, ya hanya dapat 3 ikan tongkol besar dan sate keong ini, yang semuanya hambar. Ya gimana yah? Ikan dibakar doang ya rasanya gitu doang nggak sih? Akhirnya satu-persatu dari kami pun mundur, pamit pulang ke guesthouse . Makanan tidak habis. Tapi aku dan B sempat beli semangkuk Indomie goreng seharga Rp10.000,- di warung untuk nemenin makan ikan ini, supaya nggak hambar-hambar amat. Minggu, 7 Juli 2024 Pagi-pagi sekitar jam 7, aku bangun dan mandi. Hari itu jadwal kami adalah island hopping lagi ke Pulau Bulat dan Pulau Penyu. Sayangnya, anak-anak open trip ini nggak ada yang bisa tepat waktu. Banyak yang masih tidur atau baru mulai sarapan di saat nelayan sudah datang menjemput. Sarapan kita pagi itu adalah nasi uduk dengan bawang goreng, telur dadar hambar dan mie goreng. Mantap. Lagi-lagi tidak ada rasanya, tapi tetap bisa dimakan dengan bahagia. Jam 8 pagi kami baru memulai perjalanan dan si nelayan pun memberitahu bahwa kami tidak bisa ke Pulau Penyu, karena tidak cukup waktunya. Jadi kami akan bermain-main saja di Pulau Bulat milik Pak Soeharto ini, yang memiliki sumur air tawar. Kemudian jam 9.30 pagi kembali lagi ke Pulau Harapan untuk pulang ke Pelabuhan Muara Angke! Lumayan, padat juga ya. Pulau Bulat rupanya cukup menarik. Pantainya cantik dan banyak ikan. Tapi karena RAMAI sekali, jadi lagi-lagi aku sebel dan males. Singkat saja, akhirnya jam 9.30 tiba, kami pulang dan berpisah dengan teman-teman seperjuangan. Dari 15 peserta, ada 6 orang termasuk aku dan B yang memutuskan untuk membayar lebih agar bisa naik speedboat ke Marina Ancol. Saat itu harga tiket speedboat dari Pulau Harapan ke Marina Ancol seharga Rp300.000,- dengan estimasi perjalanan 1 jam jika tidak berhenti di pulau lain. Aku dan B sama-sama sudah kapok naik Ferry murahan. Jadi ya sudahlah, kami merogoh cash lebih untuk pulang dengan kapal kecil yang lebih mewah. Speedboat ini berkapasitas beberapa puluh orang, dengan AC dan TV di dalamnya. Sangat nyaman, sangat terasa mewah. Apalagi ketika tiba di Pelabuhan Marina Ancol, sangat-sangat-sangat terasa elite dengan kamar mandi super bersih. Huhuhu... Akhirnya aku kembali ke Kota Metropolitan Jakarta. Sesungguhnya aku bahagia menjadi anak pulau, tapi tidak bahagia menjadi anak miskin. Tips: kalau ke Pulau Harapan, Kep. Seribu, bawa cash aja. Mereka semua minta dibayar pakai cash . Hanya ada ATM Bank DKI di Pulau Harapan.

  • (Hampir) Menjemput Ajal di Pulau Harapan

    Di suatu hari yang cerah, aku dan seorang kawan lama mengobrol di telepon sambil beride, "Open trip ke Kepulauan Seribu yuk?" "Hayuk." "Pulau yang mana?" Kita berdua langsung Google paket-paket open trip yang tersedia untuk saling membandingkan. Akhirnya pilihan kita jatuh pada paket Pulau Harapan selama 2 hari 1 malam seharga Rp350.000,- dan paket ini menawarkan fasilitas yang tidak main-main: Snorkeling + foto underwater Island hopping Tiket PP dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan 3x makan dan minum Penginapan guesthouse dengan kapasitas 1 kamar 4 orang dan diacak. (Wanita dan pria dipisah.) Kita berdua garuk kepala. Kok bisa ya harganya cuma 350 ribu dengan fasilitas sebegitu hebohnya? Maklum, kita berdua nggak pernah jalan-jalan semurah ini. Kita jadi main tebak-tebakan jumlah profit dari travel agent yang bikin open trip kayak gini. "Bayangin, harga kapal Ferry termurah ke Pulau Harapan aja Rp92.000,- per orang per satu kali jalan. Kalau PP berarti Rp184.000,-. Lah ini 350 ribu udah dapet Ferry PP, akomodasi, konsumsi, snorkeling; BANYAK BANGET!" Makin penasaran kan? Akhirnya kita booking dong trip murah tersebut. Dan eng-ing-eng, ini adalah perjalanan kami menjemput ajal. Unforgetable , tapi nggak akan mau kuulang. Sabtu, 6 Juli 2024 Malam sebelumnya temenku yang booking open trip ini sudah dimasukkan dalam grup sepi yang isinya cuma 5-6 orang. Kita sudah diperingatkan bahwa Pelabuhan Muara Angke itu macet banget, jadi sebaiknya tiba 2 jam sebelum keberangkatan. Maka pukul 4.30 pagi kita berangkat dari Cikini ke Pelabuhan Muara Angke naik Gocar dan wow, benar saja. Jalanan menuju pelabuhan macet total, bahkan semakin parah dengan adanya banjir akibat air laut yang naik. Akhirnya driver kita nyuruh kita turun untuk jalan kaki sejauh 1 km ke pelabuhan. Sebenernya jalan kaki dengan jarak segitu nggak masalah buat kami berdua. Masalahnya adalah kami harus melewati tempat pembersihan ikan di mana limbah-limbah organik berserakan, bau mencekik, serta belatung dan lumpur di sepanjang jalan sempit. Belum lagi jalanannya ramai dengan penumpang lain yang juga terpaksa jalan kaki. Beberapa orang di jalan cukup cerdas; mereka menyewa ojek atau odong-odong untuk melewati jalan pintas tersebut. Tapi bagi kami berdua yang terlalu ngantuk dan ingin berhemat, akh... goodbye kaki yang cantik... semuanya hancur ditelan lumpur berbelatung! (Tidak begitu tergambarkan di foto betapa kacaunya, karena mohon maap saya sudah jijik banget dan pengen tutup mata aja. Jadi yang terfoto hanya detik-detik pertama ketika kita berdua masih agak bersih.) Tiba di Pelabuhan Muara Angke, hati agak terobati karena pelabuhannya bersih dan cantik. Sangat teratur, meski ramai oleh pengunjung. Aku dan kawanku, sebut saja namanya B, ke toilet dulu untuk cuci kaki. Ada beberapa warung di parkiran jika kamu butuh sarapan. Tapi waktu itu entah kenapa kita berdua males banget mau makan. Jadi kita langsung cari tour guide kita. Kita pikir, kita akan bertemu dengan tour guide dan kawan-kawan open trip di pelabuhan, tapi ternyata enggak. Kita cuma dapat chat sebuah QR code untuk masuk ke dalam kapal. Bahkan QR code itu atas nama orang yang berbeda dan tanggal yang sudah lampau. Jadi kita mulai paham, bahwa pelabuhan ini sama sekali nggak peduli kamu siapa, sudah beli tiket atau belum. Asalkan kamu punya QR code, kamu bisa masuk! Petugas hanya pura-pura scan QR code di HPmu. Dan artinya, jika kamu mati di laut, nobody knows, dude. Nama kamu nggak tercatat di pelabuhan ini! Tiba jam 7 pagi di depan kapal Kelapa Indah, aku dan B duduk-duduk dulu ngobrol, ngerokok sambil makan buah apel dan pir yang kita bawa dari rumah. Di area ini sudah tidak ada yang berjualan, hanya banyak pengunjung berpiknik makan pagi sebelum berangkat. Pukul 7.30 pagi, kita mulai masuk ke dalam kapal dan memutuskan untuk duduk di lantai 1. Kira-kira seperti ini bentukannya (foto di bawah). Kursi-kursinya keras, berbusa tipis dan sudah robek-robek dengan lantai kayu yang terbilang kotor. Konyolnya, seorang ibu-ibu terpeleset jatuh saat berusaha naik ke kapal. Jadi wajahnya yang sedang berteriak bisa kami saksikan dari jendela di dalam kapal, dan JBYUR dia nyemplung ke laut. Para petugas langsung bergegas menyelamatkannya dengan tali tambang dan rompi pelampung. Aku tidak tahu nasib si ibu itu akhirnya bagaimana. Hanya bisa prihatin: baru mau mulai liburan, sudah basah kuyup duluan. Sahabat bekamku Pukul 8.30 pagi kapal baru mulai berangkat (karena kasus ibu tercebur tadi jadi telat). Durasi perjalanan diprediksi sekitar 3 jam. Awalnya perjalanan aman, mungkin 15 menit pertama aku masih bisa tidur di kursi. Tapi setelah itu... OMBAKNYA GEDE BANGET DONG. Berhubung aku duduk di ujung, aku yang mual ini langsung ngomong ke temenku, "Kayaknya gue mau muntah deh." Dan sudah, habis itu kepalaku kacau. Aku cuma bisa nahan muntahan di ujung tenggorokan sambil memaksa temenku untuk bergegas minggir dengan kibasan tangan. Aku berusaha lari ke belakang mencari jendela yang besar karena aku mau muntahin semuanya ke laut. (BTW, aku lupa bawa plastik, makanya aku butuh jendela.) Saking paniknya, aku tuh sampai lupa bahwa sebenarnya tempat dudukku juga punya jendela, tapi posisinya tinggi banget. Harus rada jinjit. Sementara itu ombaknya luar binasa banget, kapal bergoyang ke sana-sini. Sambil mengetik cerita ini pun, aku masih bisa merasakan teror dan horornya. Bayangkan ya, sebuah kapal kayu, semi tertutup dengan ratusan orang nggak jelas duduk dan tidur di lantai (udah kayak pengungsian), dan dalam kondisi goncangan dahsyat. Jadi nggak mungkin kamu bisa berdiri dan jalan lurus, pasti jatuh. Ya, akhirnya aku jalan merangkak, melewati bapak-ibu dan anak-anak yang tertidur di lantai. Aku merangkak sekuat tenaga menuju jendela di belakang kapal. Sesampainya di jendela, langsung kumuntahkan semua isi perutku. Mungkin aku adalah orang pertama yang muntah di kapal itu. Di sebelahku, seorang pria muda bertopi rimba memperhatikan dengan iba. "Lo mau sapu tangan gue?" tanyanya dengan lembut sambil mengulurkan sapu tangan, seperti di drama-drama Korea. "Nggak, terima kasih ya... Hooeekk!!!" Nggak lama setelah aku muntah, muncul seorang bapak yang juga muntah di sampingku. Sumpah ya, itu muntahan dia banyak dan bau banget. Benar-benar menjijikkan, tapi aku tidak mampu menggeser tubuhku yang sudah lemas. Posisi kapal tetap terombang-ambing dan hujan mulai turun. Oke, mungkin kamu pikir: ombak, hujan, dan goncangan kapal terdengar biasa-biasa saja. Tapi sekarang bayangkan jika kamu harus naik "kora-kora" ini selama 3,5 jam. Apa nggak mampus kami semua di sana? 😭 Iya, beneran tiga setengah jam. Itu adalah durasi perjalanan kami dari Pelabuhan Muara Angke ke Pulau Harapan. Sayang, aku nggak punya foto yang bisa merepresentasikan kondisi kapal, karena aku tergeletak tak berdaya di jendela, sambil duduk bersila diguyur hujan dan ombak yang masuk ke dalam. Selama tiga setengah jam, deru ombak besar itu menghempas wajahku dan membersihkan sisa-sisa muntahanku. Pada 1 jam pertama, aku masih bisa tertawa tipis bersama si abang drakor di sebelahku. Ia sempat mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk menghirup udara, tapi malah ketumpahan muntahan dari penumpang di lantai dua. Kocak lah, tapi untungnya ia dan kawan-kawannya masih bisa bersenda gurau. Aku yang duduk di sampingnya memuji hebat, karena dia terlihat santai saja di dalam kapal yang terombang-ambing ini. Tak lama, doi menawarkan topi rimbanya untuk dipakaikan padaku. Ia kasihan melihatku diguyur hujan. Memang sih, aku agak kedinginan. Tapi aku tidak ingin merepotkan, jadi tawaran baiknya kutolak. Tapi ternyata pria bertopi rimba ini tidak menyerah. Ia kembali bertanya, "Mbak, lo capek nggak? Gua nggak bawa minum sih. Lo bawa? Ada di mana? Gua bantu ambilin." "Ada di temen gue, di sono. Dia lagi duduk." Aku menunjuk ke arah kursiku, di mana sobatku yang baru saja dibekam dengan bekas lingkaran di sekujur punggungnya — duduk lemas tidak berdaya. Si abang drakor itu pun datang menghampiri kawanku dan berkata, "Bang, itu temen lo minta minum." Berkat si abang drakor itu, aku dan kawanku terhubung kembali dan aku bisa minum air putih sedikit, instead of air hujan dan air laut. Tapi na'as, setelah dua jam berlalu, ombak malah semakin besar. Kali ini si abang drakor pun muntah sejadi-jadinya di sampingku. Tidak hanya si abang drakor, kuprediksi 90% penumpang di kapal ini (yang jumlahnya ratusan) juga pasti muntah semua. Aku bisa mendengar suara hoek-hoek dari seluruh penjuru dan bau asam yang tidak enak. Hujan juga semakin deras, dan ombak berkali-kali mengguyur wajahku serta masuk membasahi kapal. Beberapa ibu dan bapak mencoba menolongku, menyuruhku minggir dari jendela, tapi aku menolak. Kenapa? Karena aku tidak berhenti muntah sepanjang perjalanan. Apel dan pir yang kusantap tadi pagi sudah habis semua. Muntahanku tinggal liur dan udara. Di detik itu, aku benar-benar lemas. Kupikir ajal sudah dekat. Aku cuma bisa berdoa, "Ya Tuhan, kuatkan diriku. Kuatkan aku." (Soalnya aku kasihan sama temenku yang sendirian tergeletak di kursi sana). Entah apa yang terjadi, temenku tiba-tiba datang dan menanyakan kabarku. Gila, kupikir, kok dia bisa berdiri?! Tapi aku terlalu lemas untuk menjawab. Jadi aku hanya bisa mengusirnya. Maksudku, sudahlah. Biarkan saja aku basah kuyup di samping jendela ini, soalnya muntahku juga nggak selesai-selesai. Tapi ternyata temanku ini lebih drakor dari drakor yang lain. Ia pakaikan jaket cokelat mudanya padaku, lalu ia angkat tanganku satu-persatu agar aku bisa mengenakan rompi pelampung sekalian. Asli, gua berasa bocah lagi dipakein baju. Bener-bener lemes banget nggak bisa apa-apa. Thanks banget ya, B. 😭😭😭 Dan sayup-sayup kudengar suara B yang duduk di belakangku. Sementara mataku tertutup dan kepalaku tertunduk di jendela. Ia ngobrol bersama seorang ibu-ibu. Ibu-ibu : "Habis tuh temen kamu." (sambil menunjukku yang sudah basah kuyup di pinggir jendela) B : "Iya, Bu, kita baru pertama kali naik kapal begini." Ibu-ibu : "Baru pertama kali juga ke Pulau Harapan?" B : "Iya, Bu, baru pertama kali." Ibu-ibu : "Ini adalah hukuman. Penyiksaan." (sambil mengunyah keripik) Satu kata: epic. Ketika ratusan penumpang hancur lebur, anak kecil teriak histeris dan menangis tiada henti, muncul seorang ibu yang asik makan keripik. HEBAT, BU. MANTAP. Nanti, saat aku tiba di Pulau Harapan dan berkenalan dengan seluruh peserta open trip , aku baru paham bahwa kondisi ombak dan kapal hari itu memang benar-benar kacau. Ada beberapa peserta yang duduk di ujung lantai 2 bercerita bagaimana terpal di atas kepala mereka tidak ada gunanya. Di ujung area kapal habis diterjang hujan dengan kondisi terombang-ambing. Hampir semuanya muntah. Hanya beberapa yang kuat bertahan berkat Antimo dan secercah imajinasi positif. Lucunya, semua penumpang dalam kapal jadi inget Tuhan YME dan meminta maaf seakan-akan mau mendekati ajal. Baik yang Kristen maupun Islam, semuanya tobat hari itu. Jadi kamu bisa bayangkan betapa kacaunya opening perjalanan Rp350.000,- kami. Simak post berikutnya untuk tahu itinerary open trip di Pulau Harapan.

  • Cara Perpanjang Paspor 2024

    Salah satu syarat membuat Visa Nasional Jerman adalah memiliki paspor dengan: minimal 3 halaman kosong, halaman belakang sudah ditanda-tangan, dan minimal berlaku selama 15 bulan ke depan. Berhubung pasporku tidak memenuhi syarat di atas, maka bergegaslah diriku mendaftarkan perpanjangan paspor dan ternyata... caranya gampang, hanya saja LAMA pake BANGET. Pertama-tama, ada 2 cara untuk perpanjang paspor, yakni: Offline : langsung datang Online : daftar dulu lewat aplikasi M-Paspor Apa Kekurangan dan Kelebihan Masing-masing Cara? Well, cara pertama memang mudah. Kamu tinggal datang jam 7 pagi, antre dan daftar, dan paspor kamu akan jadi hari itu juga. TAPI ada biaya TAMBAHAN di luar biaya paspor itu sendiri seharga IDR 1,000,000 Jika mau cara yang ekonomis, maka kamu harus download dulu aplikasi M-Paspor yang selalu saja error dan maintenance , kemudian daftar dan mengisi data KTP berkali-kali sampai capek, habis itu memilih kantor imigrasi yang punya jadwal paling cepet. Udah deh, setelah itu tinggal pilih tanggal lalu bayar online seharga biaya paspor saja. Berhubung aku membuat paspor elektronik polikarbonat, maka biayanya menjadi IDR 650,000 dan layanan itu hanya tersedia di beberapa kantor imigrasi. Saat itu yang punya jadwal kosong tercepat adalah Kantor Imigrasi Jakarta Pusat di Kemayoran. Bayangin dong, aku booking di tanggal 16 Juni dan jadwal kosong tercepat di tanggal 11 Juli 2024. LAMA BANGET KAN??? Harus Bawa Apa Saja Untuk Perpanjang Paspor? Untuk sekadar perpanjang paspor, dokumen yang harus dibawa simpel banget. Dokumennya sebagai berikut: 1x buku paspor lama yang paling terakhir ajah (jika punya banyak buku paspor) 1x print bukti pendaftaran yang sudah kamu download dari aplikasi M-Paspor 1x print bukti transfer 1x fotokopi KTP 1x fotokopi paspor (opsional) 1x screenshot QR code dari aplikasi M-paspor untuk dipindai di kantor imigrasi (Klik tombol download surat pengantar menuju KANIM dan print dokumen tersebut, kurang lebih bentuknya seperti di bawah ini.) Kenapa kusarankan screenshot dan bukan buka dari aplikasinya langsung? Karena aplikasinya suka error . Daripada drama dan panik saat sudah di depan petugas, mending screenshot dari rumah, mumpung aplikasinya masih bisa diakses. Paling juga beberapa hari lagi itu aplikasi sudah mau back to maintenance . Zzz... Terus, kenapa nggak butuh Kartu Keluarga maupun Akta Lahir? Karena cuma perpanjang paspor. Kalau kamu mau bikin paspor baru, barulah mohon dibawa kedua dokumen tersebut baik yang asli maupun fotokopi. Oke, Sudah Daftar Sekarang Apa? Bayangkan, sejak 16 Juni lalu aku telah menantikan hari ini tiba! Hari pengumpulan berkas ke kantor imigrasi! Di jadwal tertulis jam 9 pagi, tapi karena rumahku jauh luar biasa, jadi aku harus datang dari subuh dan tiba terlalu dini. Dan rupanya... datang kepagian lebih baik! Aku tiba di kantor imigrasi jam 7.50 pagi dan situasi sudah ramai luar biasa. Nggak ada yang peduli jadwalku jam 9 atau jam berapapun. Nggak ada petugas yang nanyain. Aku langsung ikut antrean untuk pengecekan berkas, dan dapat nomor antre lagi untuk sesi foto dan wawancara. Dan kamu tahu aku dapat nomor antre berapa? TUJUH PULUH ENAM. Gila nggak tuh? Kantor imigrasi baru buka jam 8 pagi dan jam 7.50 nomor antrean sudah sampai urutan ke-76. Bayangkan kalau aku datang baru di jam 9 pagi. Mau dapat nomor urut berapa itu? Selesai pengecekan berkas di lantai 1 dan mendapatkan nomor antrean, aku dipersilakan naik ke lantai 2 untuk mengantre foto dan wawancara. Di sini ruangannya luas, bersih dan adem. Ada fasilitas air putih, snack gratis, ruang ngopi dan ruang bermain anak. Tepat jam 8 pagi, layar mulai mengurutkan nomor antrean, dan urutanku baru dipanggil pada pukul 9.45 pagi. Jadi kebayanglah ya betapa lamanya aku menanti. Proses Foto dan Wawancara Saat nomorku muncul di layar, aku langsung berdiri dan masuk ke dalam ruang foto dan wawancara. Di sana berbagai petugas duduk di masing-masing bilik mengurus belasan orang dalam satu waktu yang sama. Prosesnya berjalan dengan cepat. Wawancara simpel sekadar menanyakan, "Mau pergi ke mana?" dan "Untuk apa?" Sisanya hanyalah obrolan klise biar seru aja sambil mengambil sidik jari dan foto wajahku yang mengantuk. Selesai dengan semua proses di atas, maka kita akan diberikan kertas bukti dan diminta menunggu 4 hari kerja untuk mengambil kembali paspor di kantor imigrasi yang sama. Misalnya kamu mengumpulkan data di Senin, maka pengambilan paspor di hari Jumat. Biasanya akan ada notifikasi melalui Whatsapp juga yang mengirimkan foto QR code dan teks berupa: ✅ Pelayanan Informasi Kantor Imigrasi Kelas 1 Non TPI Jakarta Pusat Pemberitahuan Tahapan Permohonan Paspor 🔸 Nomor Permohonan: 0000000000000000 🔸 Nama: NAMAMU 🔸 Paspor Anda sudah dapat diambil di Kantor Imigrasi Kelas 1 Non TPI Jakarta Pusat pada hari kerja jam pengambilan: Senin sampai Kamis dari 08.00 sd 12.00 dan 13.00 sd 14.00 WIB. Jumat dari 08.00 sd 11.30 dan 13.00 sd 14.30 WIB. [1 (SATU) HARI KERJA SETELAH PESAN INI DITERIMA]. 🔸 Keterangan: Paspor yang telah selesai dapat diambil oleh: pemohon paspor dengan menyerahkan bukti cetak pembayaran dan menunjukan bukti identitas yang sah; orang lain yang memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan pemohon paspor dengan menyerahkan bukti cetak pembayaran, menyerahkan fotokopi kartu keluarga dan menunjukan kartu identitas pengambil yang sah; atau orang lain yang tidak memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan Pemohon paspor dengan menyerahkan bukti cetak pembayaran, menyerahkan surat kuasa dan menunjukan identitas pengambil yang sah. apabila paspor yang telah selesai tidak diambil dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, paspor dapat dibatalkan. ⁠tata cara antrian pengambilan paspor https://youtu.be/UBZiHX8KfvY (Abaikan pesan ini bila paspor Anda telah diterima). 🔸 Apresiasi, aspirasi atau testimoni Anda kami harapkan melalui pesan Whatsapp nomor ini yang diawali dengan #Jakpus 🔸 Bantu kami meningkatkan pelayanan dengan mengisi survey Indeks Kepuasan Masyarakat https://survei.balitbangham.go.id/ly/Uj59q7AQ. ℹ Sistem Informasi Gateway Paspor (SIGAP) Kantor Imigrasi Jakarta Pusat 🇮🇩 Pengambilan Paspor Empat hari setelah pengumpulan data, aku kembali lagi ke Kantor Imigrasi I untuk mengambil pasporku. Caranya gampang banget. Begitu tiba, nggak usah antre, langsung naik ke lantai 2 dan scan QR code di area Pengambilan Paspor . Kemudian akan keluar nomor antrian dan voila! Paspor tinggal di ambil di counter pengambilan. Jika mengambil sendiri (tidak diwakilkan), hanya perlu bawa KTP asli. Tidak perlu fotokopi apa-apa. Setelah itu jangan lupa untuk mengecek kembali paspor yang kita terima. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan: Apakah nama dan data lainnya sudah diketik dengan benar? Apakah ada lembar tanda tangan di halaman terakhir? Jika tidak ada kolom TTD di halaman 48 seperti foto di atas, maka segeralah melapor pada counter pengambilan yang tadi untuk meminta lembar pengesahan TTD. Ingat, bahwa Kedutaan Jerman sangat membutuhkan paspor yang memiliki kolom tanda tangan! Jika tidak ada kolom tersebut, visa sudah pasti ditolak. Hari itu aku lupa mengecek, jadi aku baru sadar pas di rumah. Padalah kalau aku ngeh dari awal, sudah kelarlah persoalan kolom TTD tadi. Dan proses penambahan ini sebenarnya gampang banget serta gratis. Tinggal bilang saja, "Saya mau minta lembar pengesahan tanda tangan," dan serahkan kembali paspor baru kita ke counter pengambilan. Kurang lebih jam 1 siang, paspor sudah bisa diambil kembali lengkap dengan tambahan kolom TTD di halaman 3 paspor.

Let's connect on my social media!
  • Threads
  • Instagram
  • LinkedIn
  • YouTube
bottom of page