
Search Results
174 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- November Ceria di Toko Baju Bekas
Kalau dulu ada lagu “September Ceria” dari Vina Panduwinata, buat aku November justru terasa lebih ceria. Kenapa? Di Jerman, November identik dengan salju pertama, Weihnachtsmarkt (Christmas market), dan Black Week. Tiga hal yang indah sekaligus menyenangkan—apalagi buat diriku yang baru pindah dan masih menata keuangan. Hari Kamis, 27 November lalu, aku menyempatkan diri jalan-jalan ke Marienplatz di München sepulang kantor. Kebetulan aku hanya kerja sampai jam 2 siang, jadi masih sempat mampir sebelum toko-toko tutup. FYI, toko-toko di Bayern biasanya tutup jam 8 malam, dan hampir semuanya tutup di hari Minggu (kecuali beberapa restoran fast food). Aku awalnya cuma kepikiran cuci mata. Pengen lihat-lihat baju, soalnya sudah setahun nggak belanja kebutuhan sekunder. Akhirnya pilihanku jatuh ke toko baju bekas PICKNWEIGHT, yang katanya kasih diskon 10% buat pelajar. (Tapi ternyata, hampir semua toko baju bekas di Jerman memang kasih diskon 10% untuk pelajar, jadi nggak spesifik toko itu aja.) Pas aku turun di Isartor, baru deh nyadar kalau hari itu seluruh Jerman lagi merayakan Weihnachtsmarkt . Maklum, aku jarang banget jalan-jalan. Kota terlihat cantik banget, dihiasi lampu-lampu dan dekorasi Natal, plus dipenuhi kios-kios kecil yang menjajakan produk lokal. Rasanya pengen banget beli sesuatu, tapi harganya mahal banget! Bayangin, satu bungkus plastik isi lima Lebkuchen aja 15€. Padahal budget makan aku per minggu cuma 20€. Jadi jelas nggak mungkin deh. Akhirnya aku cuma jalan-jalan menikmati pemandangan, sendirian, tanpa jajan apapun. Dan lucu, aku baru sadar kalau jalan-jalan sendirian itu ENAK banget. Hihi… nggak ada yang komplain atau nyuruh jalan cepet-cepet. Aku bisa santai menikmati apa pun yang aku mau. Enggak ada yang berisik ngatur-ngatur. Harusnya aku lebih sering kayak gini, ya? Lanjut, aku masuk ke toko baju bekas yang kelihatan di depan mata. Tokonya kecil dari luar, tapi pas masuk ternyata panjang ke dalam dan punya beberapa lantai. Sayangnya, rata-rata baju bekas di sini harganya 60€ ke atas. Mahal banget, hampir sama kayak harga baju baru. Eh, nggak sengaja aku dengar dua anak perempuan ngobrol pakai Bahasa Indonesia. Rasanya pengen banget aku sapa. Tapi pas lihat wajah mereka masih kayak bocah kuliahan, aku urungkan niat. Pikirku sudahlah, pasti nggak nyambung ngobrol sama diriku yang sudah kepala tiga ini. Hehe... Lanjut jalan kaki dan akhirnya tiba di tempat tujuan, PICKNWEIGHT. Judulnya kan jelas ya: ambil lalu timbang. Tapi ternyata sistemnya udah enggak kayak gitu. Baju-bajunya sih menarik, cuman kebanyakan ukuran besar dan perhaps, just not my style. And if you're wondering style aku apa, aku suka baju-baju praktis yang comfy but still look decent. Mungkin kalau ditanya brand (padahal enggak ada yang nanya yak? Wkwkwk) aku bakal pilih Levi's, Biasa, dan Uniqlo yang most of the time representative for me. Anyway, ini bagian yang paling menakjubkan tentang si toko baju bekas tadi, sampai kisahnya perlu kuceritakan di blog aku. Ternyata di bagian belakang toko, ada area SALE yang diskonnya gila banget. SEMUA BARANG DIJAJAKAN SEHARGA SATU EURO! Bayangkan! Satu Euro loh (Sekitar Rp19.000,00)! Mulai dari celana, sweater, jaket, baju olahraga, sampai pakaian dalam. Dan barang-barangnya 90% masih bagus, sisanya emang rada buluk dan bernoda, dll. Tapi bolehlah, aku langsung senyum sumringah lantaran itu masuk banget di budget aku 😭😭😭 Aku ngubek2, bolak-balik ngecekin semua bajunya satu-satu. Sialnya lagi-lagi, ukurannya tuh gede-gede banget. Ukuran S di Jerman itu kayak M di Indonesia, dan menariknya ukuran S di Indonesia itu kayak ukuran XS di China. Jadi agak sulit buat aku cari ukuran yang pas. Terutama cari celana. Soalnya aku tuh enggak kurus dan enggak tinggi. Jadi beli ukuran S sempit di perut, tapi beli ukuran M jadi kepanjangan parah di kaki. Tapi yaudalah ya gengs, namanya juga baju bekas seharga 1€. Udahlah aku tutup mata aja. Pokoknya aku tetep beli barang-barang esensial, yakni 2 baju hangat, 1 celana winter, 1 kaos olahraga dan 1 BH. Ngakak enggak tuh, ketemu woy BH bagus! 😂 Ini dia baju-baju yang aku beli! Oh iya, jaket putih di foto bawah kiri itu bukan baju bekas. Itu aku beli di H&M karena kakakku kasih hadiah voucher 30€. Dan kebetulan karena sedang black week, jadi ada diskon 20%. Aku cuma nambah 10€ aja buat beli itu jaket yang harga aslinya mahal bener! (Mahal buat aku ya, kalau buat warga normal kayaknya biasa aja sih.) Aku senang banget malam itu. Udah lama nggak jalan-jalan sendiri sambil belanja-belanja, menikmati indahnya Weihnachtsmarkt dari sore sampai malam. Senang rasanya bisa santai, dengerin celotehan turis dan imigran dari berbagai negara, sambil senyam-senyum sendiri karena aku telah menjadi salah satu dari mereka. Aku capek tapi puas telah berhasil menuntaskan 12.000 langkah. Sebelum pulang, aku sempat beliin kado buat teman kosku yang paling nyebelin. Jujur, aku nggak terlalu suka sama dia, tapi tetap pengen berbuat baik. Hadiahnya patungan sama anak-anak kos lain, tapi aku yang in-charge beli barangnya. Akhirnya kupilih Joghurt dan cokelat berbentuk uang. Lucu banget bentuknya. Aku tulis di kartu ucapan, "Good luck getting older!" Dan ini adalah tulisan ChatGPT buat kasih aku paragraf penutup yang manis karena aku enggak tau mau cerita apa lagi: Malam itu bikin aku sadar: kadang, kebahagiaan sederhana itu datang dari hal-hal kecil—jalan-jalan sendiri, nikmatin lampu Natal, dan kasih sedikit perhatian meski ke orang yang enggak terlalu kita suka. November di Jerman memang ceria, tapi malam itu, aku yang bikin November-ku makin manis.
- Cara Bikin CV yang Ampuh
Buat kamu-kamu yang lagi cari kerja, khususnya yang kuliah di Jerman dan liburan semester ini pengen jadi Werkstudent , yuk mari aku share tips & trick membuat CV yang ampuh dipanggil interview . Tips ini sebenarnya berguna buat siapapun, tapi aku pakai format CV di Jerman, jadi mungkin tidak cocok untuk beberapa negara lain, seperti Jepang (tapi kalau buat di Indonesia, masih cocok kok). Alat yang aku pakai: Canva.com untuk desain ChatGPT.com untuk menyusun konten Output yang ingin kita capai: 1 atau 2 lembar daftar riwayat hidup / curriculum vitae (CV) / resume / Lebenslauf 1 lembar surat pengantar / cover letter / Anschreiben 1 contoh portofolio / portfolio Outcome yang kita inginkan: CV menarik perhatian pemberi kerja Dapat panggilan interview 1. CV: Bagian Pertama Struktur standard CV di Jerman umumnya terdiri dari: Persönliche Daten (data pribadi) tanggal & tempat lahir. Ausbildung (pendidikan) Berufserfahrung (pengalaman kerja) Kenntnisse & Fähigkeiten (keahlian & kompetensi) Sonstiges (lain-lain, seperti misalnya penghargaan, kegiatan sukarela dan hobi) Kita fokus di 3 poin pertama dulu yah: data pribadi, pendidikan dan pengalaman kerja. Sisanya aku akan jelaskan di bab dua. Ukuran font yang aku sarankan: Heading: 16 atau 20 Subheading: 14 atau 15 Body text: 10 atau 11. Di sini aku pakai Canva, karena gratis dan praktis. Cara pakainya gampang banget, tinggal bikin akun, lalu ketik CV dan akan muncul ratusan desain yang bisa kita pilih. Berhubung kita enggan membayar, maka pilihlah desain yang tidak ada simbol mahkota 👑. Kalau kalian enggak mau pakai Canva, bisa pakai Google Docs atau Microsoft Word. PRO TIP 1: Jangan bikin CV di Photoshop terus ekspor JPEG. Soalnya beberapa website butuh ATS-friendly .* Ekspor ke format PDF aja udah paling aman. Kalau enggak ngerti cara bikin PDF, upload dokumen Word kalian ke ilovepdf.com *Apa itu ATS-friendly? ATS = Applicant Tracking System, yaitu software yang dipakai HR untuk menyaring CV secara otomatis sebelum manusia baca. Sistem ini biasanya scan CV kamu berdasarkan: kata kunci (keahlian, pengalaman, pendidikan), format, dan struktur. ATS-friendly artinya CV kamu mudah dibaca dan diproses oleh software ini, misalnya: Gunakan format sederhana → hindari tabel kompleks, grafik, atau layout unik yang bikin sistem kebingungan. Kata kunci relevan → sesuaikan skill dan pengalaman dengan job description. File PDF atau DOCX → biasanya ATS bisa baca format ini dengan baik. Urutkan secara logis → pengalaman terbaru di atas, pendidikan, skills, dll. Hindari gambar/foto atau ikon yang nggak penting → ATS nggak bisa baca gambar. Oleh sebab itu, pilih aja salah satu desain minimalis yang kamu suka. Enggak usah terlalu perfeksionis soal desain, soalnya enggak penting. Jerman lebih suka CV yang polos, rapi dan menarik secukupnya aja. Enggak perlu dar-der-dor, meskipun ranah kerja kamu di bidang kreatif. Berikut contoh CV aku yang terdiri dari 2 halaman. Ini halaman pertamanya. Dan ngomong-ngomong, contoh yang aku kasih di bawah ini tidak ATS-friendly* secara sempurna (pas dibaca software , susunannya agak berantakan gitu, tapi enggak parah) dan enggak apa-apa. Yang penting kata kunci yang penting sudah terbaca. (Dalam kasus aku, menjadi ATS-friendly tidak begitu relevan.) Seperti yang kalian lihat, dalam penulisan data pribadi, aku utamakan 4 hal yang paling penting: nama lengkap, nomor telepon, email dan link ke portofolio aku. Tulisan Video Showreel itu kalau kalian klik, akan langsung membuka tab baru ke YouTube aku. Foto hanya sebagai pemanis, bukan kewajiban. Kuletakkan di sisi kanan untuk alasan estetik. Saran untuk foto, sebaiknya tersenyum supaya vibe -nya positif. Jangan pakai foto KTP atau paspor yang kaku mampus, karena akan sangat membosankan dan bikin males yang baca. Hehe first impression matters loh. 😂 tapi kalau enggak mau pakai foto juga TIDAK APA-APA ya! Tidak wajib! Jika perusahaan sudah mencantumkan syarat Bahasa Jerman, sebaiknya penulisan CV dalam Bahasa Jerman. Tapi kalau iklan loker itu sendiri dalam Bahasa Inggris, silakan mengirim CV dalam Bahasa Inggris. Begitu pula dengan kasus di Indonesia ya. Bahasa menyesuaikan kebutuhan. Kemudian masuk lebih jauh ke bagian pertama: data pribadi . Atau di sini aku sebutnya "About Me". Berhubung aku melamar kerja di Jerman, jadi ada kepentingan untuk mereka tahu tempat, kenegaraan dan tanggal lahir. Gunanya untuk pengecekan izin kerja, visa, asuransi dan pajak. Dalam beberapa kasus, bahkan perlu menjelaskan apabila sudah menikah dan punya anak (pajaknya beda lagi). Jika kamu melamar di Indonesia, ya tentu warga negara enggak perlu dicantumkan ya. Hehe. Kesimpulannya : tulis sesuatu yang memang relevan dan perlu diketahui oleh si pemberi kerja. Jangan asal comot template dan copy-paste . Kalau informasinya enggak penting, ya enggak usah dimasukin. Justru kebanyakan informasi malah bikin distraksi dan bikin capek pembaca. Begitu pula dengan riwayat pendidikan , atau aku tulisnya "Education". Aku hanya mencantumkan pendidikan S1 dan S2, kenapa? Karena enggak penting orang Jerman lihat nama SMA aku, mereka enggak tahu anyway. Dan ijazah SMA aku tidak diakui di Jerman. Jadi percuma juga. 😂 TAPI buat kalian yang melamar kerja di Indonesia, aku sarankan tetap masukin pendidikan SMA atau sederajat, karena informasi ini masih relevan dan dibutuhkan. Untuk informasi lainnya yang wajib ada (berurut): Keterangan gelar, misalnya Sarjana Seni. Nama jurusan, dan fakultas (jika perlu). Nama universitas, dan negara (jika perlu). Aku turut mencantumkan GPA atau Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) biar keren aja. Ini enggak penting sama sekali kok . Tapi bodo amat soalnya gue susah banget dapetin IPK setinggi itu, jadi enggak rela kalau enggak berbagi. 🤣 Perhatikan pula format penulisan bulan dan tahun ya. Untuk riwayat pendidikan, tidak penting tanggal berapa kuliah. Yang penting ketahuan bulan dan tahun saja. Di Jerman, penulisan tanggal bisa pakai format ini DD.MM.YYYY Untuk urutan, selalu mulai dari pengalaman terakhir. Secara filosofis, melalui CV, kita berkenalan dengan kamu yang hari ini hingga ke kamu yang baru mulai kerja. Jadi tuliskan yang terbaru di atas (reverse chronological order). Lanjut ke pengalaman kerja atau "Work Experience". Sebenernya yang bener tanpa -s. Tapi aku udah terlanjur bikin pake -s. Maklumin aja ya. Di bagian ini, wajib banget menunjukkan (berurut): Nama jabatan Nama perusahaan Tanggal mulai kerja hingga berakhir Deskripsi pendek mengenai tugas kamu di situ ngapain aja Opsional: di Jerman ada keharusan mencantumkan sertifikat kerja (Arbeitszeugnis) untuk membuktikan bahwa kita enggak bohong. Berhubung aku enggak punya, makanya ada tulisan kecil yang menjelaskan alasan kenapa enggak ada. Hehe. Kalau melamar ke perusahaan besar di Jerman, semua sertifikat kerja ini wajib kita lampirkan ke HR sebagai bukti. Tapi kalau perusahaan kecil, biasanya santai sih. Cara penulisan bisa seperti contoh CV aku, tapi boleh juga misalnya menurun ke bawah seperti ini, pakai 2-3 bullet points. Yang penting singkat , enak dibaca, dan mudah dimengerti. Jadi nggak harus plek-ketiplek kayak contoh CV aku yah. Senior Producer Perusahaan XYZ 00.2020 - 00.2025 Mengatur anak buah Memastikan mereka kerja Bikin laporan Berhubung kerjaan aku banyak banget, jadi CV aku lanjut ke halaman dua. Nah, untuk memperjelas bahwa CV aku ada 2 halaman, aku tulis di bagian footer itu "page 1 of 2" supaya pembaca tahu bahwa masih ada 1 halaman lagi. Hehe. Ini tidak wajib. 2. CV: Bagian Terakhir Mari kita masuk ke bagian informasi tambahan , seperti keahlian dan kompetensi. Bagian ini sangat bergantung pada diri kamu sendiri. Dalam kasus aku, sebagai seseorang yang bekerja di bidang kreatif di Jerman, penting untuk pemberi kerja melihat penghargaan film yang pernah aku buat, kemampuan bahasa dan software yang aku kuasai. Untuk sebagian orang lain, mungkin lebih penting menunjukkan kegiatan sosialnya, misalnya volunteer di NGO ini, NGO itu, dll. Jadi tergantung orangnya banget nih. Intinya kalau ada kelebihan, kehebatan ataupun aktivitas yang kamu tekuni, dan apalagi bisa menambah nilai bagi pemberi kerja yang kamu tuju , silakan kamu tulis! Ketika menjelaskan kemampuan bahasa, jangan lupa cantumkan pula level kemampuanmu. Apakah itu beginner, intermediate, atau hasil sertifikatnya sekalian. Jadi jangan sekadar tulis "Bahasa Inggris" tanpa konteks gitu. Sementara untuk kemampuan software , teknis, atau kemampuan apapun (tergantung bidang pekerjaanmu), menurut aku pribadi sangatlah tidak perlu membuat grafik yang menunjukkan kamu paling jago di mana. Kelihatannya memang keren/estetik seperti desain di bawah ini, tapi ternyata enggak penting, makan tempat, dan susah bacanya. Sumber: Tiki's Design Kenapa jangan? Karena grafikmu itu tidak terstandarisasi. Meskipun kamu bilang (misalnya) Adobe Photoshop 80% dan Adobe Illustrator 50%, tapi angka 80% ini menurut siapa? Kalau aku adu keahlianmu dengan orang yang lebih jago darimu, apakah keahlianmu tetap 80%? Enggak, kan? Nah, karena tidak ada standarisasi, lebih baik tidak usah. KECUALI, kamu memang mendapatkan nilai 80% dari Adobe-nya langsung. 3. Surat Pengantar Satu hal yang jarang dibicarakan padahal penting banget, dan di Jerman hukumnya WAJIB! Aku enggak pernah ketemu loker buat Werkstudent yang tidak meminta cover letter atau Anschreiben ini. Pasti selalu ada. Dan aku BENCI BANGET NULISNYA 😂😂😂 Karena apa? Karena kamu harus tulis cover letter yang berbeda untuk setiap perusahaan. Beneran. Aku enggak bohong. Satu cover letter PER perusahaan. BUKAN satu cover letter untuk semua perusahaan. Kenapa gitu? Soalnya di Jerman, cover lette r tuh beneran dibaca woy. Jadi kalau isinya cuma copy-paste asal, bakal ketahuan banget dan auto ketolak. Okay, to be fair, pasti ada dong perusahaan yang enggak baca cover letter? Iya, pasti ada. Tapi masalahnya kita enggak tahu yang mana. Berhubung gol kita adalah mendapatkan panggilan interview , ya kita usaha aja memperbesar kesempatan dengan mengirimkan cover letter yang emang ditulis khusus untuk perusahaan tersebut. So, here was my cover letter yang berhasil mendapatkan panggilan interview di salah satu perusahaan raksasa di Jerman, yang kalau aku sebutin namanya pasti semua orang tahu. Tapi lagi-lagi enggak bakal aku sebutkan di sini, agar tidak membawa masalah untukku di kemudian hari. Mari kita bedah! Bagian header , alih-alih kutulis cover letter, aku pilih menulis namaku lagi, besar-besar. Supaya apa? Supaya nempel di kepala pemberi kerja. Terus aku tulis lagi email dan nomor telepon, meskipun sebenarnya enggak penting. Tapi bodo amat. Jadi bagian ini opsional buat kalian. Bagian pengirim , enggak masalah kalian tahu nama si HR atau tidak. Kalau memang tertulis namanya, ya cantumkan. Kalau enggak, ya bisa ditulis sebagai Hiring Manager atau apapun. (Dalam hal ini, silakan diskusi dengan ChatGPT.) Bagian isi surat , jujur, ChatGPT paling terpakai di bagian ini sih. Soalnya enggak mungkin aku nulis belasan cover letter berbeda setiap minggu. Sudah pasti tidak ada waktu dan tenaga buat mikir sekeras itu. So thank you ChatGPT for saving me. Tapi bukan berarti semuanya kuserahkan ke AI. Karena tetep aja, yang paling tahu tentang aku adalah diriku sendiri, bukan si AI. Aku bantu kalian cara bikin prompt-nya aja: Buatkan aku cover letter dalam Bahasa X untuk melamar posisi Y di perusahaan Z, dengan job description sbb. [copy paste aja syarat-prasyarat dari loker-nya] Paragraf 1 jelasin aku kuliah di X di jurusan Y dengan kemampuan XYZ. Paragraf 2 dan 3 ceritain pengalaman aku mulai dari X sampai Z. Paragraf 4 suruh mereka buka link portofolio aku. Paragraf 5 kesimpulannya aku tuh jago banget di ABCDE dan hubungannya dengan kuliah aku. Paragraf 6 sebagai penutup, aku siap kerja bulan XX, siap relokasi dan sangat berharap bisa jelasin tentang diriku lebih lanjut lewat interview. Menurut aku surat pengantar itu bukan sekadar formalitas. Surat pengantar itu ya sesuai namanya: pengantar. Fungsinya (secara filosofis) menghantarkan pemberi kerja ke depan pintu rumah kita. Menjadi semacam pembuka tali silaturahmi. Wkwkwk. Oleh sebab itu, tulislah sesuatu yang menarik tentang diri kita, agar si pemberi kerja mau berkenalan (dan menawarkan interview ). Isinya tidak perlu detail, tapi harus menggelitik. Membuat si pembaca terkagum dan bertanya-tanya. Jadi harus ada elemen wow -nya. Buatku, elemen wow aku ada di Video Showreel . Makanya surat aku mengarah ke sana, dan link ini bahkan aku sematkan juga di CV. Pokoknya enggak boleh terlewat deh. Si pemberi kerja wajib banget lihat portofolioku, karena aku yakin: sekali lihat, pasti gol interview . Dan benar. 😬 Terakhir, di Jerman biasanya CV dan cover letter itu ditandatangani. Makanya ada gap antara best regards dan namaku, soalnya itu buat aku tanda tangan. 4. Tambahan: portofolio Jika karya kamu bisa didokumentasikan dalam bentuk digital, aku sarankan untuk menyertakan lampiran portofolio sebagai nilai tambah. Beda loh baca tulisan "Graphic Designer" sama melihat hasil karyanya langsung. Makanya aku mati-matian lewat CV dan cover letter, meminta pemberi kerja cek hasil karya aku. Soalnya kalau dia enggak lihat, pasti dia enggak bisa bayangin betapa gilanya pengalaman kerjaku selama ini. Enggak semua orang kenal nama perusahaan yang aku tuliskan, meskipun hasil karya yang kami hasilkan di perusahaan itu gilaaaa banget. Di portofolio inilah kalian boleh desain sekreatif mungkin, seliar mungkin. Terserah formatnya gimana. Yang penting formatnya antara: PDF JPG MP4 URL (link) Mudah dan ringan diakses. Sekitar 2 MB. Berhubung video sudah pasti berat, gunakan YouTube atau Vimeo. Jika kamu juga kerja di perfilman, aku sangat sarankan hasil karya kamu digabung jadi satu video showreel . Jangan lupa, Linkedin dan media sosial kamu juga bisa dicek ataupun dijadikan portofolio. Jadi jangan asal dalam menampilkan diri di dunia maya ☺️ Demikian tips dariku, semoga cocok.
- Kuliah Sambil Kerja di Jerman, Langsung Balik Modal?
Sebelum pindah ke Jerman, kakakku yang udah lebih dulu tinggal di Berlin sempat bilang, "Cari universitas yang kuliahnya gratis, sambil kerja part-time. Ntar sebelum lulus juga udah balik modal." "Wah, serius, Kak?" Kedengerannya meyakinkan banget, kan? Waktu itu aku masih belum ngerti apa-apa soal kehidupan mahasiswa di Jerman, jadi ya jelas aja aku manggut-manggut. Apalagi yang ngomong kakak kandung sendiri—percaya aja udah. Tanpa banyak mikir, langsung lah aku siapkan dana sekitar 300 jutaan rupiah buat berangkat ke Jerman. FYI, di dalamnya termasuk dana blocked account sebesar 200 juta rupiah, dan itu bukan modal yang harus aku balikin. Uang ini memang harus disiapkan dan digunakan untuk biaya hidup selama setahun pertama di Jerman. Enggak pindah ke Jerman juga tetap saja uang ini akan dipakai untuk biaya hidup di manapun . Jadi menurutku, dia bukan modal. Dengan demikian, modal sebenarnya adalah sisa 100 juta Rupiah yang hanya terjadi karena aku pindah ke Jerman, seperti misalnya biaya les bahasa, sertifikasi, visa, pesawat, booking kosan, perabotan winter dan semacamnya. Kembali ke pertanyaan di awal, beneran bisa balik modal sebelum lulus kuliah? Atau cuma mitos manis belaka? Sini, aku share semuanya—mulai dari pengeluaran, potensi pemasukan, sampai cara cari kerja, berdasarkan pengalamanku kuliah dan kerja di Jerman tahun 2025! Sebagai catatan atau recap buat pembaca baru yang tidak kenal diriku, aku kuliah: Master's degree, jurusan Komunikasi, di Hochschule Neu-Ulm (sekolah negeri). Biaya kuliahnya gratis, hanya ada biaya kontribusi sebesar 72 € per semester. Aku tidak pakai beasiswa apapun sampai saat ini. Bahasa Jerman masih di level A2. Tahun pertama aku datang, tidak bisa langsung cari kerja karena (1) belum punya Aufenhaltstitel (residence permit) , (2) masih culun, belum tau apa-apa, dan (3) kuliahnya ternyata sibuk banget euy. Kemudian aku mikir, mungkin semester dua bisa nih sambil kerja, soalnya semua syarat kan udah aku atasi. Tapi ternyata... enggak semudah itu, gengs. SUSAH BANGET! Setiap minggu aku kirim 3 sampai 5 CV ke berbagai perusahaan, dan hasilnya? 100% ditolak. 😂 HAHAHAHA... Sumpah ya, aku sampai depresi. Malu dan bingung, rasanya kayak... apa aku memang setolol itu? Kenapa sih aku ditolak terus? Akhirnya aku coba tanya ke teman-teman sekelas.Ternyata kebanyakan dari mereka (mahasiswa internasional) juga nggak berhasil dapat Werkstudent . Mereka lebih banyak ambil kerja Minijob atau Midijob . Ada yang kerja angkat-angkat barang di gudang Amazon, Müller, Edeka... ada juga yang jadi pelayan di restoran, pegawai kasir di toko baju, dan semacamnya. Beberapa yang lain kerja sebagai asisten di kampus, ada yang magang, TAPIII ada juga yang berhasil dapet posisi sebagai Werkstudent di perusahaan—meskipun itu sedikit banget. Nah, kalau aku ringkas semua jenis pekerjaan yang biasa diambil mahasiswa, bentuknya kira-kira kayak tabel di bawah ini (yes, ini dibantu ChatGPT). Feel free to CMIIW! Jenis pekerjaan Durasi kerja Gaji per Jam Contoh pekerjaan Catatan Minijob 10-15 jam per minggu 12,41 - 15 € Kasir, pelayan, kurir, dan semacamnya. Cocok buat kerja ringan. Max penghasilan 556 €/bulan untuk bebas pajak. Midijob ≤ 20 jam per minggu 12 - 16 €+ Warehouse, call center, dapur, dll. Penghasilan 556 - 2.000 €/bulan. Status mahasiswa tetap aman ≤ 20 jam/minggu. Praktika (Magang) Full time (biasanya 35-40 jam per minggu) Unpaid or 15 €+ Magang di perusahaan atau lab kampus. Wajib/opsional tergantung jurusan. Bisa unpaid. Terkait bidang studi. Werkstudent Max. 20 jam per minggu (selama semester) 15 - 20 €+ Asisten riset, marketing, IT, dll. sesuai bidang studi. Harus mahasiswa aktif. Gaji tinggi. Saat libur semester, kadang bisa 40 jam per minggu. Teilzeitjob Full time (up to 40 jam per minggu) 12 - 18 €+ Warehouse, pengemasan, musim panen. Hanya boleh selama libur semester. Kontrak sementara. Tentu aku paling tergiur kerja sebagai Werkstudent atau ambil Praktikum , karena... ya jujur aja, fisik dan kemampuanku tuh nggak cocok buat kerja Minijob atau Midijob yang harus angkat-angkat barang atau berdiri berjam-jam. Lagian, usiaku juga udah di atas 30 tahun dengan segambreng pengalaman kerja yang, let’s say, bombastis. Rasanya agak... nyebelin aja gitu kalau aku masih harus kerja buruh kasar lagi (FYI, aku udah kenyang ngerasain kerja kayak gitu pas kuliah S1 dulu). Maka setiap minggu, setelah tugas-tugas kuliah kelar, aku selalu sempatin buat ngecek lagi lamaran-lamaran kerja yang aku kirim. Bahkan tiap bulan aku update CV-ku supaya makin relevan dengan posisi yang aku incar. Nggak lupa, cover letter juga jadi pemain penting buat bisa dapet panggilan interview . Sumber cari kerja? Aku sih andalannya cuma dua: de.Indeed.com Linkedin Kadang sesama teman juga saling share info lowongan, dan biasanya ya... tetap aja sumbernya dari LinkedIn juga. Oh iya, jangan lupa juga cek mading kampus. Banyak banget lowongan kerja di situ (tapi kebanyakan dalam bahasa Jerman). Akhirnya, setelah rajin kirim CV sejak Maret 2025, aku dapet panggilan wawancara 5 kali, dan diterima di 3 perusahaan. Yang satu langsung nolak sambil nerima karena pas ketemu ternyata jadwal kerjanya nggak cocok, dan kebetulan juga aku udah nerima tawaran dari tempat lain. Jadi, sisa dua perusahaan aja yang benar-benar aku pertimbangkan. Nanti, di postingan lain, aku bakal bahas khusus tentang cara bikin CV dan strategi interview yang efektif. Tapi untuk sekarang, mari kita balik ke pertanyaan awal: "Emang bener bisa balik modal sebelum lulus?" Anggaplah modal awal untuk ke Jerman di tahun 2025 itu sebesar 100 juta Rupiah, udah termasuk biaya les bahasa, sertifikasi, visa, hingga tiket pesawat. Pertanyaannya: Kerja apa dan berapa lama sampai bisa nutup modal itu? Kita ambil simulasi hidupku ya. Jadi bener-bener berdasarkan kenyataan nih! September 2024 aku mulai kuliah. Realistically, susah dapat kerjaan dalam 1 tahun pertama tanpa kemampuan Bahasa Jerman yang mumpuni (belum lagi kuliahnya sibuk parah!). Faktanya memang dari September 2024 hingga Juni 2025 aku tidak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan tabungan blocked account. Blocked account aku masih cukup untuk membiayai hidup sampai November 2025. Jika durasi kuliah Master 2 tahun, dan akan lulus di Agustus 2026, maka aku punya waktu sekitar 12 bulan untuk mulai balik modal dan menabung sebelum lulus kuliah. Sekarang kita coba hitung yuk! Modal IDR 100.000.000 dikonversi ke kurs saat ini Rp19.000,00 jadi sekitar 5.263 €. Tapi aku juga harus tetap hidup selama kerja. Apalagi memasuki Desember 2025, blocked account aku bakal habis. Berarti dari Desember 2025 ke Agustus 2026, aku harus siapin biaya hidup lagi untuk 9 bulan ke depan. Biaya hidup standard di Jerman menurut pemerintah adalah 992 € per bulan, sementara aku di angka 950 €. Idealnya, gajiku selama 12 bulan harus cukup untuk menutup biaya hidup 9 bulan sekaligus menyisihkan uang untuk menutup modal 100 juta di awal. 950 € x 9 bulan = 8.550 € Total biaya hidup + tutup modal menjadi: 5.263 € + 8.550 € = 13.813 € (dalam 12 bulan) atau 13.813 € ÷ 12 bulan = 1.151 € per bulan Kalau aku kerja 20 jam per minggu, berarti sekitar 80 jam per bulan. Artinya gaji minimum yang kubutuhkan untuk menutup semua ini adalah... 1.151 € ÷ 80 jam = 14.4 € per jam Ambil jalur aman, berarti minimal 15 € per jam. Jika kita merujuk kembali ke tabel di atas, hampir semua jenis pekerjaan bisa mencapai 15 € per jam. Artinya, ucapan kakakku bukanlah mitos belaka! Balik modal sebelum lulus kuliah beneran bisa dicapai! Berdasarkan pengalaman aku pribadi bahkan, pekerjaan yang aku jalani sekarang sebagai Werkstudent di sebuah perusahaan startup (bidang video editing). Aku mendapatkan gaji 17 € per jam, dan aku kerja 20 jam per minggu, jadi anggap aja: 17 € x 20 jam x 4 minggu = 1.360 € per bulan (brutto) Lokasiku di Bayern (Bavaria), lahir tahun 1994, nggak punya anak, dan pakai asuransi kesehatan privat. Setelah dipotong pajak dan asuransi, penghasilan bersihku kira-kira: Kamu bisa pakai kalkulator dari website mana pun, hasilnya bakal kurang lebih sama. Tapi yang perlu diingat, semakin besar gaji kamu, semakin besar juga pajak yang harus dibayar. Kebetulan aku bukan penganut Katolik yang taat, jadi aku tidak bayar Kirchensteuer alias pajak gereja. Lumayan, bisa ngurangin potongan. Kalau kamu keterima kerja di perusahaan besar dan internasional seperti BMW, Siemens, Allianz, dan semacamnya, ada kemungkinan gaji kamu mencapai 20 € per jam (tapi tergantung jurusan dan bidang yah, bisa dicek gaji rata-rata di Glassdoor). Nah, kebetulan perusahaan kedua yang menerima aku adalah salah satu perusahaan besar di dunia. Aku dapat kontrak kerja 18 jam per minggu, dengan gaji bulanan sekitar 1.390 €. Kalau angka ini kita masukin ke kalkulator pajak, hasilnya kira-kira segini: Berdasarkan hitunganku di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kerja di startup pun cukup untuk menutupi biaya hidup serta modal dalam 12 bulan. Dan tentunya jauh lebih baik lagi jika bisa dapat kerja di perusahaan besar dan internasional. Kalau aku iseng mengkonversi gaji 1.275 € ke Rupiah, besarannya sekitar 24,2 juta saat ini. Bayangkan, cuma 18 jam kerja per minggu sebagai student saja sudah dapat gaji setara manajer di Jakarta 👁️👄👁️ Meskipun pada akhirnya, harus kamu setarakan juga dengan besarnya biaya hidup (dalam kasus ini) di kota Munich yang mencapai 1.100 € per bulan (atau setara 20.9 juta Rupiah). Jadi jangan langsung hip-hip-hore ya. Itu aja udah dipas-pasin sepas-pasnya dengan memilih kos reog seukuran 8 m2. 😭😭😭 Asli, tinggal di Munich mahal banget, enggak ngotak!!! Sekian serba-serbi hitungan gaji student di Jerman. Semoga bisa memberikan gambaran untuk kalian yang tertarik. Tapi... Jangan langsung diambil mentah-mentah ya. Jalan hidup tiap orang berbeda. Enggak bakal sama. Mungkin ada orang yang harus memulai dari Minijob dengan gaji 500 € per bulan, mungkin ada yang enggak sempat kerja sama sekali selama kuliah, dan mungkin ada juga yang disokong oleh beasiswa. Intinya, ada banyak cara untuk menutup biaya hidup dan balik modal sebelum lulus kuliah. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan informasi, berstrategi dan gigih mencapai gol yang kita inginkan. Kalau kamu punya pertanyaan atau ide topik lain seputar kuliah dan kerja di Jerman, tinggal tulis di kolom komentar atau sapa aku di Threads dan Instagram! Salam syahdu 🫡 @Ceaecilia
- Cara Mengurus Apostille untuk Visa Nasional Jerman
Salah satu prasyarat untuk melanjutkan S2 di Jerman dan membuat Visa Nasional di tahun 2024 adalah mengurus apostille dari dokumen ijazah dan transkrip S1. Kayak apa sih caranya? Apa itu Apostille? Apostille adalah sebuah sertifikat (di Indonesia dicetak oleh Kemenkumham AHU) untuk memberikan dokumen publik dari otoritas asing sebuah pengakuan secara hukum oleh 122 negara di dunia. Jadi apostille itu adalah sebuah sertifikat tambahan. Bukan sekadar stiker legalisir yang ditempelkan. Legalisir dan apostille adalah dua hal yang berbeda. Intinya, sertifikat tambahan ini diperlukan untuk membuat dokumen ijazah dan transkrip S1 kita tadi menjadi sah di mata negara lain. Dan untuk mengajukan Visa Nasional Jerman, yang dibutuhkan adalah sertifikat apostille, bukan sekadar legalisir. Kamu bisa mengajukan apostille melalui website ini: https://apostille.ahu.go.id/ Cara Mengajukan Apostille untuk Visa Nasional Jerman Caranya gampang. Ikuti alur yang sudah dijabarkan pada website di atas. Kamu bisa baca alurnya di sini https://panduan.ahu.go.id/doku.php?id=panduan_firma Biaya untuk mencetak sertifikat apostille adalah Rp150.000,00 per dokumen. Jadi misalnya kamu mau apostille: ijazah dan transkrip nilai, berarti kamu cuma butuh cetak 1 apostille per dokumen. Total biaya adalah 150.000 x 2 dokumen = Rp300.000,00 Kamu boleh apostille sertifikat asli maupun fotokopi (yang sudah dilegalisir). Selama dokumen tersebut sah secara hukum, maka bisa di-apostille. Tapi hati-hati ketika melakukan apostille terhadap dokumen fotokopi. Karena ini berkenaan dengan tanda tangan pejabat bersangkutan. Jika kamu melihat ada 2 tanda tangan di dokumen ijazah ataupun transkrip nilai, pilih tanda tangan dari jabatan tertinggi dan memiliki tanda tangan basah di dokumen kamu. Contoh: Ijazah kamu merupakan fotokopi yang sudah dilegalisir oleh Dekan, maka sertifikat apostille nanti harus menuliskan nama si dekan, bukan rektor dan bukan orang yang lain. Dalam kasus aku, karena yang aku cetak adalah sertifikat apostille untuk ijazah asli, maka tanda tangan rektor yang aku pilih. Hati-hati ya pilih nama ini, soalnya kalau salah input, tidak bisa refund . Catatan: Ingat, kamu nggak perlu dan TIDAK BISA mencetak 2 sertifikat apostille per dokumen, karena sertifikat ini akan ditempelkan bersama ijazahmu. Tidak bisa berdiri sendiri. Jadi input data cetaknya 1 saja. Pilih tempat mencetak yang dekat dengan alamat kamu. Jangan kayak aku, asal pilih. Akhirnya jadi jauh banget harus jemput sertifikatku di sana. Tempat pencetakan ini tidak bisa diganti lagi kalau dokumen sudah diajukan. Pilih yang bener! Jika pengambilan sertifikat akan diwakilkan seseorang, maka kamu wajib mempersiapkan surat kuasa bermaterai sejak awal. Dan surat tersebut wajib dibawa saat pengambilan nanti. Kesalahan apapun yang terjadi, tidak bisa direvisi dan tidak bisa refund . Setelah kamu sudah selesai upload dokumen dan mengisi data lengkap, saatnya menunggu pihak Kemenkumham untuk verifikasi. Proses ini memakan waktu 3 hari kerja. Apostille Dulu Atau Terjemahin Dokumen Asli Dulu? Pertanyaan ini nggak habis-habis ditanyain semua orang. Padahal harusnya jelas kalau sajaaaaaaaa pihak AHU menjawab pertanyaan ini di bagian FAQ mereka! Berikut aku share berdasarkan pengalaman pribadiku ya, jawabannya adalah bisa dilakukan bersamaan atau satu-satu, alias terserah! Kenapa terserah? Karena kamu harus paham dulu logika atau alasan kenapa sebuah dokumen perlu diterjemahkan dan di-apostille. Penerjemahan dokumen itu dilakukan ketika dokumen asli berbahasa asing dan tidak dipahami oleh negara yang dituju. Dalam hal ini, kita sama-sama membahas persiapan visa ke Jerman kan? Nah, negara Jerman itu bahasa nasionalnya ya Bahasa Jerman, sudah tentu mereka nggak bisa baca dokumen Berbahasa Indonesia. Makanya dokumen kamu disuruh diterjemahkan dulu oleh penerjemah tersumpah ke Bahasa Jerman. Lain cerita kalau dokumen asli kamu sudah berbahasa Inggris, maka dokumen asli tidak perlu lagi diterjemahkan ke Bahasa Jerman. Lalu apa itu apostille? Seperti yang sudah kujelaskan di awal tulisan, apostille adalah sebuah sertifikat untuk memberikan dokumen kamu pengakuan secara hukum di beberapa negara, makanya lembar apostille dicetak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (kamu bisa lihat contohnya di fotoku di bawah). Nah, karena dokumennya sudah berbahasa Inggris, ya enggak perlu lagi diterjemahkan ke Bahasa Jerman. Tapi kalau sudah terlanjur diterjemahin juga gimana? Ya enggak apa-apa, cuma buat apa? Kan orang-Jerman-yang-kerjanya-ngurus-imigrasi bisa Bahasa Inggris. 😬 Dan tertulis kok di persyaratannya bahwa dokumen yang sudah berbahasa Inggris tidak perlu lagi diterjemahkan ke Bahasa Jerman. Jadi udah kebayang ya jawabannya adalah: bebas. Kalau mau efisien waktu dan biaya, lakukan bersamaan. Lanjut, Harus Ngapain Setelah Verifikasi? Setelah proses verifikasi selesai, kamu akan mendapatkan notifikasi di email (dan bisa juga enggak). Kalau aku, waktu itu sih memang rajin cek terus dashboard aku setiap hari. Jadi mau ada notifikasi email atau tidak, tidak masalah hehe... Jika sudah diverifikasi, di dashboard kita akan muncul seperti ini: Kelihatan yah? Transkrip Nilai aku belum selesai, tapi Ijazah sudah selesai. Tahap berikutnya adalah memencet icon "Pengaturan" ⚙️ di samping tulisan "Selesai". Nanti akan ada pilihan download voucher. Voucher ini berisi kode dan biaya yang harus dibayarkan. Pembayaran bisa melalui bank yang berafiliasi dengan pajak pemerintah. Kemarin aku pakai mobile banking Mandiri, jadi bisa bayar dari rumah. Cara pembayaran dengan berbagai bank bisa cek di sini: https://panduan.ahu.go.id/doku.php?id=cara_pembayaran_simpadhu_pnbp Sudah Bayar, Sekarang Apa Lagi? Saatnya menjemput sertifikat tersebut di kantor yang sudah kamu pilih! Inget nggak waktu isi formulir pengajuan, sempat ditanyakan tempat pencetakan? Nah, kalau kamu lupa, kamu bisa mengecek kembali lokasi pilihan kamu dengan memencet icon "Pengaturan" ⚙️ di samping tulisan "Selesai", dan memencet tombol "Lihat". Nanti akan terlihat semua informasi yang pernah kamu isi. Waktu itu aku pilih Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta di Cawang. Jadi aku wajib menjemput sertifikat apostille aku di sana. Nggak bisa ganti tempat lagi kalau sudah diverifikasi. Seperti ini penampakan jika kita sudah bayar. Tinggal ke kantor yang kita pilih dan cetak sertifikatnya. Aku pilih hari Senin jam 10 pagi ke Cawang. Di sana pelayanannya sangat baik, cepat dan mudah. Hanya dalam waktu 5 menitan, sertifikat langsung di tangan. Jika kamu ambil sendiri tanpa perantara, kamu cukup membawa KTP asli dan dokumen asli yang akan disertifikasi. Tapi kalau kamu menggunakan perantara untuk mengambil sertifikat, maka perantara tersebut harus membawa (1) surat kuasa bermaterai dan (2) print bukti pembayaran. Kemudian petugas akan menggabungkan sertifikat apostille ke ijazah dan transkrip nilai kamu. Hasilnya kurang lebih seperti ini (tampak depan belakang): Apostille tampak depan Apostille tampak belakang (menyatu dengan dokumen asli) Oke, cukup mudah kan? Proses ini jauh lebih menyenangkan daripada legalisir ke Kemendikbud, Kemenlu dan Kedutaan karena proses apostille hanya satu kali dan satu pintu ke Kemenkumham. Dan tentunya biayanya super murah dibandingkan pengalamanku dulu saat mau pengajuan beasiswa ke Belgia.
- Meine kleine Familie
Belum tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini aku tiba-tiba pengen banget punya keluarga. 😭😭😭 Kayaknya bukan cuma “pengen” yang biasa, tapi beneran pengen banget. Kamu paham kan maksudku? Keluarga >> punya suami dan anak. Kayak, anjir ada angin apa ini? Wkwkwk... Ngakak sendiri, sial. Meskipun sebenarnya buat usiaku, enggak aneh sama sekali. Usiaku sudah 31 tahun. Udah masuk fase yang sangat wajar buat mulai mikirin hal-hal beginian. Tapi tetap aja, waktu perasaan itu datang, kayak awkward aja gitu. Kayak aneh, beda. Kayak, “Ih, serius Cecil pengen punya anak???” Jadi geli sendiri, lantaran aku biasanya childish banget ya. Tapi dari sini aku baru sadar satu hal penting: ternyata ada pola pikir yang baru muncul saat seseorang udah beneran siap lahir-batin buat berkeluarga. Kayak misalnya… Dulu aku mikir, sebelum nikah kita harus cari pasangan yang checklist -nya panjang banget—dari A sampai Z. Kayak lagi nyari calon mahasiswa S2 di Harvard. Tapi ternyata, dan faktanya, setelah mengarungi berbagai lika-liku kehidupan asmara (cailah), aku sadar: hubungan itu enggak bisa dipaksain buat masuk ke checklist sekaku itu. Bukan berarti enggak boleh punya standar ya. Punya itu perlu. Tapi ternyata, standarnya enggak harus kaku. Dan enggak harus banyak-banyak juga. Contohnya, dulu aku sempat mikir: pasanganku harus artsy, passionate sama kerjaannya, suka Jepang, pernah ke luar negeri, bisa bahasa Inggris, tinggi minimal sekian cm, tinggal di kota A, dan bla bla bla. Panjang banget daftarnya. Tapi lucunya, orang yang justru bikin aku pengen settle down 100%... enggak ada urusannya sama kualifikasi itu. 😂 Karena ternyata, satu hal yang lebih penting dari semua itu adalah: Aku dan dia (akhirnya) sudah siap untuk berkeluarga. Khususnya dia ya, secara fisik, mental, bahkan finansial. Karena kebetulan aku masih terseok-seok soal finansial. (Maklumlah, masih student yang baru pindah ke Jerman.) Kenapa lebih penting? Karena mau secocok apapun, kalau belum siap berkeluarga, biasanya bakal ribut terus. Saling menangin ego masing-masing, enggak ada yang mau kalah. Lalu, siap berkeluarga itu apa sih? Buat aku pribadi, “siap berkeluarga” itu sama dengan sudah bisa menerima pasangan apa adanya. Tapi aku juga merasa bahwa konsep ini perlu digali lebih dalam lagi. Karena… menerima pasangan apa adanya itu ternyata nggak bisa dipaksain. Menerima pasangan apa adanya bukan hasil dari niat atau usaha semata, apalagi settingan ya. Menurut aku, itu adalah bentuk penerimaan tulus yang baru bisa muncul ketika kamu emang udah siap berkeluarga . Justru ketika kamu masih harus "memaksakan" diri untuk belajar menerima pasangan apa adanya, berarti kamu belum siap berkeluarga sama "dia". Mungkin siapnya sama orang lain yang lebih pas, tapi kamu keukeuh maunya sama dia . Ya enggak apa-apa juga, itu hak kamu. Cuman menurutku, kalau lagi di posisi itu, mendingan kasih waktu lebih lama buat jujur ke diri sendiri: kamu beneran udah terima atau belum? Kalau aku sih, terima dulu, baru nikah. Bukan sebaliknya. Refleksi Hubungan Lama Mau nggak mau, aku jadi keinget hubungan lamaku. Waktu aku gagal menikah di tahun 2023, yang sekarang udah bisa aku lihat dari sudut pandang lebih dewasa—sebagai bahan refleksi diri. Karena ternyata, waktu itu aku bohong sama diriku sendiri. Sebenarnya isi hatiku udah teriak enggak siap. Aku belum bisa terima kekurangan pasanganku. Aku masih berharap dia berubah suatu hari nanti menjadi versi yang aku inginkan. Dan tentunya, pasanganku juga bisa merasakan hal itu ya, merasakan bagaimana ia tidak dicintai sepenuhnya, bahwa cinta di antara kami itu bersyarat. Jadi aku enggak heran, jika pada akhirnya kami berpisah. Tentu, kesalahannya enggak sepenuhnya di aku. Hehe. (Sorry not sorry, tapi aku nggak terima disalahin sendirian.) It takes two to tango, right? Dia juga salah karena secara sadar berbohong dan berselingkuh. Ke aku dia bilangnya oke, bakal berubah—padahal dalam hati dia udah tahu dia enggak bakal berubah. 😂 Coba kalau dari awal dia jujur, bilang, “Aku nggak nyaman diperlakukan begini.” Mungkin kita bisa cari jalan tengahnya. Tapi ya, nasi udah jadi bubur. Sudahlah, memang kita berdua enggak cocok aja. Enggak akan pernah ketemu di tengah. Setelah itu, aku sempat dekat juga sama seseorang dari Jakarta. LDR selama 6 bulanan. Dan aku juga coba refleksi, kenapa hubungan itu bisa gagal? Waktu itu, meskipun secara mental aku udah jauh lebih dewasa dan juga udah punya keinginan berkeluarga (meski belum siap), sayangnya dari sisi pasanganku, doi belum siap kerja sama sebagai tim. Aku merasa dia masih memposisikan hubungan ini sebagai “aku versus kamu”. Contohnya, mantanku itu suka banget pakai kata “kita”. Kesannya seperti dia memperhatikan kenyamanan kita berdua. Tapi nyatanya enggak. Justru aku ngerasa kayak ada yang aneh. Sampai akhirnya aku nyeletuk: “Kita? Kita tuh kamu sama siapa ya? Soalnya aku enggak pernah mikir atau sepakat sama yang kamu bilang. Kalau mau ngomong 'kita', mungkin tanya dulu kali, aku setuju nggak?” Kalau kamu bilang, “Kita suka makan sambel,” mungkin ada baiknya cek dulu, emang aku beneran suka makan sambel juga? Jangan langsung bikin klaim seolah-olah kita itu satu suara, ketika suara itu cuma suara kamu pribadi dan enggak ada suara aku di dalamnya. Hal seperti ini harusnya bisa "dikomunikasikan" aja. Kan kita sama-sama udah dewasa. Tapi sayangnya, dia nggak bisa diajak kompromi. Mulutnya bilang, “Iya, aku ngerti.” Tapi tindakannya? Nggak ada. Karena dia mikir, bergerak, dan bikin keputusan bukan pakai logika, tapi pakai trauma. Otomatis, dia selalu ngerasa diserang. Jadi dia refleks buat nyelametin diri sendiri dulu, bela diri atas nama “kita”. Padahal ya... dia enggak mikirin “kita” itu sebenarnya apa. Dia cuma pengen semuanya kelihatan harmonis, tanpa konflik. Bahkan lebih milih menghindar dan menutupi masalah, daripada selesain bareng-bareng. Padahal menurutku, konflik ini bisa banget diselesaikan, asal kedua pihak sama-sama berani jadi diri sendiri—jujur, apa adanya—dan percaya diri buat ngomongin sesuatu yang mungkin enggak enak, tapi tetap disampaikan karena percaya... percaya bahwa lawan bicaranya bisa terima. Lawan bicaranya juga harus dalam posisi yang sama. Sama-sama mau dengerin, menghargai, dan menerima perbedaan, tanpa langsung nge- judge atau nyari siapa yang salah. Karena tujuannya bukan buat saling nyalahin. Tapi buat cari jalan tengah. Jalan tengah itu bukan kompromi setengah hati. Jalan tengah adalah jalan di mana dua-duanya bisa jalan dengan nyaman. Waktu itu yang bikin aku gila adalah aku kerja keras sendirian menciptakan ruang aman buat dia terbuka. Aku mau dengerin, menghargai dan terima pemikiran dia—seberbeda apapun—tapi sayangnya, dia enggak mau melakukan sebaliknya. Kelihatan banget. Dia cuma mau urusan ini cepet kelar, alias cuci tangan. Dan akhirnya aku terpaksa dengan berat hati mengucapkan, "Maaf banget, kita enggak bisa pacaran kayak gini, kalau cara kerja kamu adalah jalan sendirian." Hubungan ini kalau aku terusin, cuma akan mengulang sejarah orang tua aku. Aku tahu rasanya punya ayah, pemimpin keluarga yang cerdas, sangat bisa diandalkan, tapi jalannya sendirian. Enggak ada ruang untuk diskusi. Dia enggak terima masukan siapapun, termasuk istrinya sendiri, dan itu sangat berat buat mama aku. Puluhan tahun digituin, istri juga bisa kesepian ketika opini dia enggak pernah didengerin. Dia harus nurut aja, ikutin apa kata suami. Meskipun suaminya baik ya, bukan orang jahat. Tapi hubungannya jadi enggak bahagia, dan itu, ujung-ujungnya anak ikut merasakan. ☺️ Makanya aku janji ke diriku sendiri, untuk tidak mengulang sejarah itu, dan memberikan diriku kesempatan hidup yang lebih baik. Setelah aku bilang, "Kita engga bisa lanjut ya. Kita putus," baru setelah itu dia sadar, menyesal, dan melontarkan janji-janji perubahan. Tapi semuanya sudah terlambat. Logika aku sekarang simpel aja: Kalau pas pacaran, komunikasi udah kayak tarik tambang, gimana nanti pas nikah? Pacaran itu momen lagi cinta-cintanya , masa-masa di mana semua kekurangan pasangan masih terlihat kayak pelangi. Nah, kalau masih pelangi aja udah berantem semengerikan itu, apalagi nanti pas pelanginya udah hilang? Pas nikah? Apalagi kalau lihat konteks usia: aku 30, mantanku 39. Kita berdua udah matang. Udah lewat fase-fase eksplorasi, dan udah nggak ada lagi perubahan besar dalam karakter masing-masing. Jadi kalau masih pacaran aja udah berantemnya heboh banget, pake nangis sampai stress … ya udah kebayang ya pernikahan akan lebih parah. 😬 Hubungan yang Sehat Terus konflik yang sehat itu kayak gimana sih? Nah, ini kejadian yang aku alami sama pasangan aku yang sekarang. 😬 Jadi, suatu hari aku udah bikin janji buat jalan sama doi. Tapi tiba-tiba, H-3 aku bilang cancel karena PR kuliah aku segunung. Aku tentu langsung minta maaf, tapi doi keliatan kecewa banget. Dia bilang dengan sangat baik-baik ya, "Aku sedih kamu cancel, karena aku udah luangin hari Sabtu buat jalan sama kamu, karena kamu bilang kamu cuma punya waktu hari Sabtu. Dan aku cancel temen aku demi ketemu kamu. Sekarang kamu cancel aku, aku harus ngapain hari Sabtu? Aku enggak bisa dadakan balik ke temen aku. Tapi aku paham kuliahmu lagi sibuk. Yaudah gpp, it's not the end of the world. Cuman sekarang aku harus pikirin hari Sabtu aku mau ngapain." Begitu aku dengar dia ngomong gitu… wajah aku langsung pucat. 🫠 Aku ngerasa bersalah banget. Otak aku langsung muter: Oke, solusi terbaiknya apa biar ini nggak kejadian lagi? Gimana cara minta maaf yang pantas? Waktu itu aku diem dulu. Aku butuh waktu buat mikir. Terus aku telepon dia, dan bilang aku minta maaf lagi. Karena masih ada waktu 3 hari, aku bilang, "Kasih aku waktu buat coba beresin jadwal. Mungkin aku bisa atur ulang PR-ku supaya kita tetap bisa jalan hari Sabtu." Meskipun tentu sudah terlambat ya, dia sudah kecewa, sudah malas ketemu di hari Sabtu. Jadi aku benar-benar 100% minta maaf karena nggak ngatur waktu dengan baik, dan supaya ini nggak kejadian lagi, aku bilang ke dia aku bakal bikin Google Spreadsheet yang isinya: semua mata kuliah, semua tugas yang akan datang, semua deadline kerja dan janji-janji lainnya. Biar dia bisa cek kapan aku free , dan aku juga jadi lebih rapi dan accountable soal waktuku. Apakah itu berlebihan? Tentu saja. 😂 Tapi menurutku, itu solusi terbaik yang realistis dan konkret. Aku nggak minta dia ngelakuin hal yang sama. Ini masalahnya aku: aku yang bikin jadwal orang jadi kacau, ya aku yang harus beresin hidup aku. Dan masalahnya cukup sampai situ aja. Jangan dilebarin. Jangan dibawa ke topik-topik lain. Meskipun berlebihan (karena dia ketawa pas aku beneran kirim spreadsheet 😂), tapi aku beneran tried my best untuk pegang janji dan perbaiki keadaan. Alhasil aku prioritasin dia dan mundurin beberapa tugas kuliah yang memang masih bisa dimundurin. Jadi hari Sabtu kami tetap bertemu, DAN yang tidak kalah penting. Ini sih yang bikin aku yakin banget sama dia. Hari Sabtu itu, aku dateng, minta maaf sekali lagi karena udah ngubah jadwal seenaknya. Aku pikir dia bakal nyindir atau nunjukin rasa kesal soal kemarin ya. Tapi ternyata enggak. Sama sekali enggak. Dia malah bilang: "Hey, aku udah bilang loh it's okay, it's not the end of the world. Next time, kalau kamu emang sibuk, ya enggak apa-apa. Mungkin suatu hari nanti itu terjadi padaku, dan aku berharap kamu juga jangan marah. Tapi makasih ya udah sediain waktu buat aku di sela-sela kesibukanmu. Aku happy bisa ketemu kamu , as always." 😭😭😭 Kalian tahu nggak sih, betapa terharunya aku dengar dia bilang makasih? Kayak... wah, gila. Usaha aku buat nyempetin waktu ketemu dia tuh bener-bener diapresiasi. Berasa banget jadi manusia. Dihargai. Diterima. Disayang. Dan jujur aja ya... Kalau aku boleh ngomong blak-blakan—buat mantan dan temen-temen lama yang dulu ngamuk-ngamuk karena aku pernah cancel janji: Kalian pikir kalian siapa? 😅 Apa hak kalian marah-marah sampai ngamuk kesetanan cuma karena aku cancel ketemuan? Padahal cuma pertemuan kecil juga, for having fun. Bukan business meeting yang harus disiapkan jauh-jauh hari. Aku ngerti kok, kalian udah berharap. Udah nyiapin waktu. Terus terpaksa ubah rencana karena aku. Tapi tau enggak—aku enggak ada kewajiban harus bahagiain kalian loh sebenernya. Aku sudah cancel dengan etika yang baik juga, minta maaf dan enggak cancel dadak-mendadak pas kalian udah di jalan (misalnya). Dan kalian tahu enggak kalau situasinya dibalik, aku bakal apa? Aku bakal yaudahlah. Aku bakal ngertiin kalian, dan santai aja. Enggak perlu aku cecar, maki-maki, atau kuajarin caranya menghargai orang, caranya bikin jadwal, bla bla bla. Kecewa? Boleh. Marah? Kurasa tidak pada tempatnya. Kebayang kan sekarang yang aku maksud dengan konflik yang sehat? Nggak perlu marah-marah. Nggak perlu jadi drama. Ungkapkan kekecewaan boleh, sesuai batasnya. Pasangan yang Sehat Itu yang bikin aku saat ini merasa siap berkeluarga, karena aku merasa punya pasangan yang sehat kali ini. Pasangan yang MAU ngertiin ritme hidup aku, ngertiin prioritas aku, dan nggak gampang baper atau meledak cuma karena hal-hal kecil. Dia tahu aku masih mahasiswa—jelas prioritas utamanya belajar, bukan pacaran. Itu juga udah aku sampaikan di awal, jadi bukan surprise. Dia udah tau dari sebelum pacaran kalau aku bakal sibuk kuliah. Emangnya gue hidup tiap hari mikirin si pacar? Enggak kan, aku pasti mikirin kuliah. Jadi wajar dong sesekali salah atur jadwal. Tapi bukan berarti aku nggak sayang. Bukan berarti aku nggak peduli. Itu cuma kesalahan kecil, yang bisa banget dibicarakan dengan kepala dingin, dan bisa banget diperbaiki. Nah, kalau sama-sama sayang dan mau berkeluarga, ya saling pengertian lah. Kalau salah ya minta maaf, enggak usah pakai tapi atau alasan; salah ya salah, enggak usah dibela-bela dan enggak usah dikecil-kecilin. Sebaliknya, kalau ada yang kecewa, ya sampaikan baik-baik dengan tenang. Bukan dengan ngamuk duluan. Karena bisa jadi, pasanganmu tuh nggak tahu kamu kecewa. Bukan karena dia nggak peka, tapi karena... ya dia juga manusia. Bisa aja lagi fokus ke hal lain. Ngamuk tuh baru valid kalau pasanganmu bener-bener enggak bisa diajak komunikasi. (Kalau dia bohong, mengkhianati, memanipulasi misalnya.) Nah, kalau pasangan masih bisa diajak komunikasi, mau mendengarkan, masu berpikir logis, mau berbagi isi hati dia juga, ya ngapain sih ngamuk-ngamuk? JADI... Hehehe... Balik lagi ke topik awal. Aku merasa ingin sekali—benar-benar INGIN sekali— settle down sama pasanganku yang sekarang. Aku udah tutup mata sama kekurangannya. Bukan karena aku pura-pura nggak lihat, tapi karena memang… aku nggak terganggu. Selama dia bisa kerja sama tim, aku rela support hal-hal yang dia belum bisa. Karena aku tahu, dia juga bakal lakuin hal yang sama buat aku. Dia kasih aku ruang aman. Dia kasih aku kedamaian, supaya aku bisa fokus kuliah, kerja, mikirin masa depanku pribadi, yang baru aja pindah ke Jerman. Tapi dia juga nggak bohong, kalau dia kesepian, kalau dia butuh aku, kalau dia bahagia karena aku ada. Dan aku juga... seneng banget bisa kasih dia ruang aman balik. Dia boleh jadi manusia sekonyol dan setolol apapun. 😂 Mau main game? Mau lompat-lompat? Mau hangout sama temennya? Mau nangis? Mau marah? Sok atuh, aku temenin atau diemin. Senyamannya dia. Dari awal dia udah bilang, "Aku enggak suka orang kasih aku saran, terutama kalau aku enggak minta. Karena aku udah tahu aku mesti apa." Yaudah, berarti aku kasih aja kepercayaan. Biarin dia cari solusinya sendiri. Aku mah bantu ngorek aja, biar kalau dia lagi kesal, dia bisa keluarin semua isi hati yang ngeganjal. Apakah aku sempurna? Enggak. Enggak bakal. Dia juga enggak akan pernah sempurna buat aku. Kalau mau dicari-cari kesalahan, pasti masing-masing bisa sebutin. Apalagi ketika hubungan ini nanti berjalan puluhan tahun, ketika kita makin kenal luar-dalam, makin terlihatlah semua kejelekan masing-masing. Tapi ya itu tadi, balik lagi, kalau sudah siap berkeluarga: Hal kecil jangan dibesar-besarin. Hal besar jangan dikecil-kecilin. Bantu ciptain ruang aman untuk satu sama lain. Selesain trauma masing-masing. Belajar regulasi emosi pribadi. Biar kalau ada apa-apa... ya enggak apa-apa. Tetap bisa mengekspresikan perasaan masing-masing dan bisa diskusi dengan kepala dingin. Aku punya trauma. Pasanganku juga. Aku tahu aku masih punya trust issue. Karena mantan dulu selingkuh, yang berikutnya avoidant . 😂 Aku kenyang ditinggalin, meskipun kadang cerita bisa diputer-puter seakan-akan aku yang ninggalin. Tapi aku nggak mau bohong. Aku kasih tahu semuanya ke pasanganku dari awal, “Ini masa lalu aku. Ini trauma aku. Aku masih dalam proses memperbaiki. Kamu nggak perlu bantuin. Cukup tahu aja. Aku akan beresin, tapi aku butuh waktu.” Karena rasa kecewa, takut, marah—itu nggak bisa disembuhin cuma pakai logika. Itu perasaan yang harus dialami. Lewat fase denial , sedih, dendam... Sampai akhirnya aku capek sendiri, dan bisa bilang: “Oh iya ya, udah berlalu. Sekarang aku bisa lihat dari banyak sisi. Dan aku ngerti kenapa itu harus terjadi.” Prosesnya bisa cepat. Bisa juga bertahun-tahun. Tapi bukan berarti karena aku trust issue, lantas aku nggak bisa sayang dengan tulus. Menurut aku, kamu enggak harus menjadi sempurna untuk bisa jatuh cinta. Healing dari luka masa lalu dan mencintai orang yang baru itu menurut aku, bisa dijalanin bareng-bareng, tuker-tukeran, bolong-bolong, nggak sempurna—ya enggak apa-apa. Itu namanya hidup. Dan ini yang aku paling suka dari dia. Dia punya opini, tapi bukan berarti itu mutlak. Hidupku tetaplah milikku pribadi. Hanya karena kami berpacaran, bukan berarti hidupku otomatis menjadi miliknya, and vice versa. Tetap selalu ada ucapan maaf dan terima kasih di waktu yang tepat. We don't owe each other anything. Tapi kalau kita bisa bikin satu sama lain merasa lebih bahagia, then we'll do it. Aku sampai pernah bilang ke dia: “Satu-satunya yang nyatuin kita tuh cuma rasa sayang. Kalau kamu udah nggak sayang sama aku... kita nggak akan nyambung lagi.” Doi mau coba nonton anime kesukaanku yang sebenarnya enggak banget buat dia. 😂 Tapi justru itu yang bikin aku nyaman bayangin masa depan sama dia. Karena aku tahu hubungan ini enggak ada politiknya. Enggak ada hitung-hitungan untung-rugi, enggak ada mikir soal “potensial pasangan ke depan bakal jadi apa.” Kita murni dua orang yang super berbeda, saling suka, dan enggak punya niat saling mengubah satu sama lain. Kita suka apa yang kita lihat hari ini, dan sama-sama mau berusaha nyocokin ritme kehidupan. Aku bisa nilai itu dari berbagai peristiwa kayak, kesibukanku kuliah, perbedaan bahasa, lalu kebutuhanku pindah ke kota sebelah untuk kerja. Aku bisa lihat bagaimana kita kerja sama sebagai tim. Dia enggak pernah biarin aku merasa bersalah dan capek sendirian mikirin ini semua. Dia ikut cari jalan tengah buat kita berdua. Makanya, aku jadi nyaman banget membayangkan, gimana ya kalau nikah? Tapi beneran, aku enggak sabar berkembang bersama dia. Dilamar. Merayakan pernikahan yang sederhana. Menentukan tempat tinggal. Hamil. Melahirkan. Membesarkan anak. Menjaga hubungan agar tetap langgeng. Dan seterusnya. Konyol kedengarannya. Bahkan bikin malu sedikit. Tapi tiap kali aku lihat matanya, aku bisa lihat masa depan itu rasanya kayak deket. Kayak masuk akal. Bukan sekadar angan-angan. Aku tahu ini perasaan yang beda dari biasanya. Ini bukan sekadar mimpi—karena aku ketemu orang yang beneran siap berkeluarga. Sesederhana itu. Aku juga sadar banget, hidup kami enggak akan selalu mulus. Pasti ada ribut, miskomunikasi, ataupun kebingungan. Pasti ada kalanya kami enggak nyambung dan butuh waktu sendiri buat “nyambungin” lagi. Meskipun saling sayang, aku dan dia tetap bisa saling melukai. Tapi kami juga harus bertanggung jawab atas luka itu, dan cari cara untuk kembali lagi menjadi satu tim. Apalagi kalau udah ada anak. Aku pengen anak kami tumbuh di rumah yang sehat—dengan dua orang tua yang bahagia. Dan lucunya, kami pernah ngebahas hal ini di waktu yang sangat enggak sengaja. Waktu itu aku lagi stres berat karena ujian semester, dan menstruasi aku telat. Aku enggak nyangka dia bakal peduli dan tanya, "Ngomong-ngomong kamu kok belum mens ya?" 😬😬😬 "Aku lagi stress sama kuliah. Palingan minggu depan juga mens kok!" Tapi ternyata minggu depannya tetap tidak mens. Dan doi khawatir beneran dong, "Eh, apakah kita perlu khawatir? Mau cek?" "Nggak mungkin hamil woy. 😂 Hamil tuh enggak segampang itu. Bukan cuma dari sisi kamu, tapi tanggalnya di aku juga harus pas." Well, kebetulan kami main aman ya, jadi kalau aku beneran hamil, berarti (1) kondomnya bocor dan (2) spermanya hebat banget bisa bertahan berminggu-minggu nunggu ovulasi. "Ya barangkali kondomnya bocor. Kalau hamil gimana nih?" "ABORSI LAH. Gile, aku masih kuliah, kerjaan enggak jelas. Mana bisa aku ngurus anak?!" ucapku sontak kenceng banget. Yang ternyata oh ternyata, dibalas dengan sangat lembut sampai hatiku terenyuh hingga hari ini. "Hmm... Kalau aku boleh bilang nih. Aku tahu bukan aku yang ngejalanin, aku tahu itu bukan badan aku, tapi kalau aku diizinkan beropini, kalau kamu kasih aku 50% hak untuk bicara. Aku mau tanya, boleh enggak jangan diaborsi? Aku enggak suka ide itu, dan menurutku, kondisi aku tuh prima loh." "Prima apaan?" 😂 "Maksudku, secara usia dan finansial, aku udah siap buat anak. Meskipun aku enggak berharap dia lahir sekarang ya, tapi kalau memang terjadi, aku siap." 🥹 Aku diam sebentar. Senyum dalam hati. Meskipun aku tahu, aku enggak hamil. Tapi aku coba sampaikan ke dia, "Menurut aku, dia berhak punya ibu yang bangga sama dirinya sendiri. Dan aku enggak bangga lahirin anak di saat aku enggak punya apa-apa." "Kenapa sih kamu bilang kamu enggak punya apa-apa? Kamu enggak merasa punya aku?" Lagi-lagi aku terdiam. Kami saling tatap lama, dalam diam yang rasanya... berat. Aku tarik napas pelan, dan akhirnya berkata dengan suara yang sedikit bergetar, “Aku enggak mau bergantung sama kamu. Itu menakutkan. Gimana kalau suatu hari kamu tinggalin aku?” Di satu sisi, itu jelas respon dari traumaku. Tapi di sisi lain, aku pikir... bahkan secara logika pun perasaan ini valid. Sangat sah buat perempuan merasa takut untuk bergantung sepenuhnya pada laki-laki—apalagi kalau kondisi si perempuan belum mapan. Posisi seperti itu terlalu lemah. Terlalu rawan. Tapi tahu respon dia apa setelah aku ngomong gitu? Dia peluk aku. Terus dia bilang, “Aku tahu, percuma aku bilang kamu bisa percaya aku. Karena kepercayaan itu butuh waktu. Tapi kamu juga harus tahu... di saat yang sama, aku juga takut kamu ninggalin aku. Jadi yaudah, kita biarin waktu aja yang ngebuktiin." 🥹🥹🥹 Damai banget ya, padahal topiknya heboh soal hamil. Dan kamu tahu, setelah dia peluk aku... besok paginya aku datang bulan! 😂 Bener kan, aku enggak hamil. Aku tahu tubuhku sendiri. Dan aku tahu, bahwa kali ini, tubuhku boleh rileks karena aku sedang bersama orang yang bisa aku percaya. Kalau insting lo salah gimana? Ya nggak apa, putus. Move on. Life goes on. Tapi kalau boleh, aku benar-benar berdoa, ini pacarku yang terakhir dengan happy ending. 🥹
- Pengalamanku Bersama Penerjemah Tersumpah Bahasa Jerman
Dalam persyaratan membuat Visa Nasional untuk "Studi dengan surat penerimaan tanpa syarat untuk program studi Bachelor dan Master" sesuai yang tertuang dalam website Kedutaan Jerman di Indonesia bulan Juni 2024 https://jakarta.diplo.de/id-id/service/visa-einreise/visa-nasional/1687488?openAccordionId=item-1992762-3-panel terdapat tulisan: Ijazah sekolah yang diakui dan Berbahasa Indonesia membutuhkan lampiran terjemahan Bahasa Jerman (1 asli + 1 Fotokopi) Lumayan kaget aku, soalnya aku kira boleh diterjemahkan ke Bahasa Inggris! Tapi ternyata harus diterjemahkan ke Bahasa Jerman. Lain cerita kalau ijazah kamu memang sejak awal sudah Berbahasa Inggris, maka tidak perlu diterjemahkan ke bahasa lain lagi. Alhasil, aku harus mencari Penerjemah Tersumpah yang diakui Kedutaan Jerman. Daftar penerjemah tersebut mudah di-Google atau kamu bisa mengunjungi website kedutaan langsung di: https://jakarta.diplo.de/id-de/service/-/2551760 dan kalau kita baca daftarnya, hanya ada 3 nama penerjemah tersumpah yang diakui kedutaan yaitu: Louis Liem & Partners Nikolas T. Pangutama Tayasmen Kaka Catatan: Memasuki akhir tahun 2024 sudah ganti daftar namanya jadi Christian Yonathan Wiratmo Nikolas T. Pangutama Tayasmen Kaka Sekitar bulan Juni pertengahan itu, aku baru tahu ada persyaratan ini dan buru-burulah diriku mencari penerjemah. Akhirnya aku kontakin semuanya satu-satu. Dan berikut informasi yang aku dapat dari mereka semua sebagai pertimbangan untuk kamu yang juga sedang mencari penerjemah tersumpah Bahasa Jerman untuk membuat Visa Nasional. Louis Liem & Partners Sudah tidak terdaftar dalam list kedutaan. Nikolas T. Pangutama WA +62 813-1705-5859 Berdasarkan hasil ngobrol dengan semua nomor HP dan semua penerjemah di atas, sepertinya (1) Louis dan (2) Nikolas ini satu kantor yang sama. Nah, mereka ini sangat populer sehingga kamu perlu booking minimal 2 bulan sebelum. Bayangkan saja, waktu aku chat di tanggal 13 Juni, aku ditawarkan waiting list sampai akhir Juli atau awal Agustus 2024. Yang ini agak menarik. Berikut adalah balasan chat dari admin Nikolas yang malah menyarankan ke Louis Liem & Partners: 🔶🔶🔶 Salam, terima kasih sudah menghubungi kantor penerjemah tersumpah Nikolas T. Pangutama. Harga terjemahan (ID><DE) per halaman hasil terjemahan sebesar Rp 295 ribu-525 ribu (tergantung jenis dokumen). Untuk memastikan waktu pengerjaan dan total biaya terjemahan, mohon foto atau pindai dokumen yang ingin diterjemahkan dan kirim via WA terlebih dahulu ke WA admin: +6285216160473 (Kantor Melawai - Louis Liem & Partners) +628111589098 (Kantor Kweni - Penerjemah K18) Jika setuju dengan biaya dan waktu pengerjaan terjemahan, kami mohon konfirmasi via DP 50% dari nilai perkiraan total biaya terjemahan (transfer, tunai, aplikasi uang elektronik QRIS). Alternatif lain untuk pemesanan dan pembayaran juga bisa melalui Tokopedia. Jam kerja: Senin-Jumat pkl. 8.30-15.30 WIB. Pesan Anda akan kami respon sesuai dengan urutan. Terima kasih. 🔶🔶🔶 Akhirnya aku Whatsapp yang Kantor Melawai , dan aku dikabari bahwa 1 halaman ijazah dan 2 halaman transkrip nilaiku seharga: Ijazah @Rp295.000 x 1 halaman hasil terjemahan = Rp295.000 Transkrip @Rp375.000 x 3 halaman hasil terjemahan = Rp1.125.000 TOTAL Rp1.420.000,- Tapi estimasi selesai terjemahan awal Agustus. GLEK! Aku coba lagi chat nomor yang lain, Kantor Kweni . Dan yang balas adalah staffnya Pak Nikolas, yakni Mba Mia. Di nomor yang ini lebih menarik, karena mereka bahkan menawarkan jasa apostille, dengan rincian harga sbb. Terjemahan Ijazah, 2 halaman jadi @Rp295.000 = Rp590.000 Terjemahan Transkrip, 3 halaman jadi @Rp375.000 = Rp1.125.000 1 halaman jadi lembaran Apostille @Rp 295.000 Apostille Ijazah & Transkrip, 2 dokumen @Rp395.000 = Rp790.000 TOTAL Rp2.800.000,- Waduh, gila banget yah. Padahal kalau aku urus apostille sendiri tuh cuma Rp150.000 per dokumen (belum termasuk ongkos jalan ke Kemenkumham buat ambil sertifikatnya). Dan sialnya lagi, mau bayar sampai 2 juta pun tetap saja semua dokumen baru bisa selesai tanggal 5 Agustus 2024! Akhirnya aku mencoba opsi terakhir yang katanya di Lampung*, padahal kantornya di Jakarta Timur, yaitu... *Baru-baru ini Kedutaan Jerman memperbaharui daftar nama penerjemah, jadi alamatnya Pak Tayasmen sudah dipindahkan ke Jakarta. Tayasmen Kaka WA lama +62 812-9883-9860 WA baru +62 812-1212-2811 tayasmen@yahoo.com Jujur aja, yang satu ini reviewnya di Google jelek. Dan ternyata memang benar. Aku agak kewalahan mengurus penerjemahan dokumen bersama dengan beliau. Tapi to be fair, Pak Tayasmen ini satu-satunya penerjemah tersumpah yang diakui kedutaan dengan biaya murah banget, serta berani janjiin hasil 14 hari kerja (meskipun akhirnya telat-telat dikit). Awalnya aku chat di WA, tapi kemudian beliau memintaku untuk ngobrol lewat email saja. Ya sudah, aku email semua dataku di pagi hari dan mendapatkan balasan di sore hari dengan rincian harga: Hasil terjemahan ijazah (1 halaman) Hasil terjemahan transkrip nilai dengan jumlah 64 mata kuliah (3 halaman) Biaya 4 halaman x Rp190.000 = Rp760.000,- Biaya kirim lewat TIKI Rp15.000 Total biaya Rp775.000,- Lama pengerjaan 14 hari Bayangkan, betapa bahagianya diriku ketika melihat harganya di bawah 1 juta dan pengerjaan hanya 14 hari! Tentu saja waktu itu langsung aku gas karena tidak ada lagi pilihan lain. Aku diminta bayar penuh di awal. Tidak boleh DP. Akhirnya di tanggal 19 Juni, aku bayar tuh 775 ribu sambil deg-degan takut ditipu. Kenapa takut ditipu? Ini dia kekurangan kerja dengan Tayasmen Kaka: Komunikasi lelet dan tidak profesional Tidak ada kejelasan yang jelas sejelas-jelasnya Kenapa komunikasinya kubilang tidak profesional? Ya bayangin aja, masak dia minta aku transfer penuh, tapi terus dia nggak kasih nomor rekening? Udah gitu ngobrolnya lewat email pula. Kan aneh ya email rasa chatting . Nggak percaya? Ini bukti percakapan konyol kami di email. Terus habis aku transfer dan kirim buktinya, udah gitu nggak ada balesan. Kan jadi horor banget itu. Aku langsung email lagi besoknya untuk tanya TANGGAL berapa dokumennya selesai? I mean, kalau lo berani hitung 14 hari, berarti bisa kasih tanggal dong. Ya nggak sih? Dan ternyata balasannya enggak banget. Aku paling benci dijawab, "Insya Allah." Sangat tidak terlihat profesional. Memang harganya termurah, tapi bukan berarti dokumen ini bisa dianggap gorengan kan? Tujuh ratus ribu itu tetep mahal loh buat bocah-bocah seperti diriku yang sedang berusaha kuliah ke luar negeri. Huhuhu... Seriusan dikit 'napa sih? Dan pertanyaanku tentang 3 Juli itu juga nggak dijawab anyway . Yaudahlah aku bersabar dulu aja, sambil baca-baca review di Google yang katanya banyak yang minta refund karena sudah berbulan-bulan tidak terima hasil terjemahan. Gils, makin deg-degan lah aku. Akhirnya Dokumen itu.. Kujemput Sendiri! Tepat tanggal 3 Juli aku mencoba email kembali dan memang mendapatkan balasan berupa pertanyaan alamat rumahku. Sementara di email sebelumnya kan aku sudah bilang, bisa express aja nggak? Maksudku express itu ya kirim Gosend / Grab Express aja gitu loh. Kan alamatnya sama-sama di Jakarta ini. Ngapain kirim TIKI segala. Takutnya rusak itu kertas di jalan. Maka mintalah aku dikirim pakai kurir saja, dan aku bersedia menambahkan biayanya. Tapi terus emailku cuma dijawab, "Baik." Lah? Baik gimana sih? Gua butuh kejelasan, bukan baik. Jadi dia mau kirim pakai apa dan harganya berapa? Yaudalah, aku mencoba sabar lagi. Besoknya aku email lagi, menanyakan kapan dokumen akan dikirim? Soalnya kalau pakai TIKI harusnya ada nomor resi dong. Eh, nggak dibales... Yaudah aku coba telepon ke WA. Tapi nggak diangkat. Yaudahlah karena udah kesel banget, aku teror sekalian. Aku telepon sekitar 3x dan akhirnya dibalas chat seperti pada screenshot di bawah ini: aku diminta menunggu. Maka aku pun mencoba sabar lagi. Tanggal 5 Juli, aku email kembali menanyakan update pengiriman, tapi belum dibalas. Jadi aku teror lagi WA si Pak Tayasmen ini dan lagi-lagi beliau masih di jalan. Sekitar jam 3 sore email aku dibalas dan dikabari bahwa dokumen akan dikirim dengan TIKI pada hari Sabtu sore dan Insya Allah tiba pada hari Minggu. Aku coba email lagi dan bertanya, bisa nggak kirim Gosend aja? Dan menarik, jawabannya adalah, "Kalau mau Gosend, silakan besok pesan Gosend sendiri." Ya kubales lagi, "Iya, tapi pesan ke alamat mana, Pak/Bu?" Akhirnya aku dikirim alamat untuk menemui Mba Putri di Jl. Pemuda, Jakarta Timur. Besoknya aku pesenin Gosend beneran dong ke alamat tersebut, sekaligus email memberi kabar bahwa ojek aku OTW, dan tau apa? Mba Putri ini nggak tahu-menahu mengenai dokumen atas namaku. Akhirnya ojek aku terpaksa cabut dulu jemput orderan yang lain, dan siangnya rencana balik lagi ke situ. Aku langsung chat di WA si Pak Tayasmen, karena ini sangatlah menyebalkan dan merugikan pihak ojek. Sialnya lagi, posisi aku tuh sedang liburan di Pulau Harapan. Jadi cuma ada ibuku di rumah yang kujadikan kontak di dalam drama pergojekan ini. Alhasil ibuku kena marah ojek + diteleponin Mba Putri yang berusaha menanyakan siapa itu Caecilia. Lah, si Putri teh saha? Dia staff kantor apa bukan sih? Kalau bingung ya tanya ke bosnya dong, jangan tanya ke mamaku. Sorenya si ojek balik lagi untuk jemput dokumen aku di Mba Putri, dan gilak, ojek aku dibikin nunggu hampir 1 jam for God knows what . Habislah mamakku dimarahin ojek. Dan aku berusaha minta maaf ke mami + ojek itu (dengan tambahan tip tentunya). Dan apa kabar biaya kirim TIKI seharga Rp15.000 yang sudah aku transfer? Ya, mboh. Katanya mau dibalikin, tapi sampai sekarang belum kuterima juga. Tapi ya sudahlah, untungnya dokumen diterima dengan selamat, tidak lecek. Aku menerima hasil 6 copy terjemahan dengan cap penerjemah tersumpah Akhir kata, untuk tim penerjemah Tayasmen Kaka, mohon diperbaiki komunikasi dan kejelasan sistem kerjanya. Udah terlalu banyak review jelek. Semoga ke depannya lebih baik. Terima kasih.
- Bisa Kuliah di Jerman Tanpa Beasiswa
Setiap kali ada yang dengar bahwa aku kuliah di Jerman, semuanya pasti kompak bertanya, "Beasiswa apa?" dan jawabannya adalah, "Nggak ada. Aku nggak pakai beasiswa." Yup, you read it right. Kamu nggak harus pakai beasiswa untuk bisa kuliah di Jerman. Tapi, bukan berarti biayanya terjangkau ya. It's still expensive. Kamu membutuhkan kurang lebih 300 juta Rupiah untuk mempersiapkan diri hingga ketibaanmu di Jerman. Loh, kok bisa? Mari aku break down biaya mulai dari persiapan hingga 1 tahun tinggal dan kuliah di Jerman. Dan mohon diingat bahwa pengeluaran setiap orang bisa berbeda, ditambah lagi situasi politik, kurs dan banyak hal ikut mempengaruhi, jadi mohon gunakan tabel di bawah sebagai estimasi saja ya. Persiapan di Indonesia Berikut adalah rangkuman pengeluaran yang kuketahui selama kurang lebih 12 bulan sebelum keberangkatan, dan ini semua tidak pakai agen atau bantuan orang dalam. Tapi izin mengingatkan sekali lagi, bahwa beda orang, bisa beda kebutuhan = beda pengeluaran. Tabel Estimasi Biaya Persiapan ke Jerman Tahun 2024 No. Kebutuhan Biaya (IDR) 1. Les Bahasa Jerman intensif A1 dan A2 23,000,000 2. Biaya ujian Bahasa Jerman A2 di Goethe Haus Jakarta 2,300,000 3. Biaya ujian TOEFL iBT 3,700,000 4. Biaya Vorprüfungsdokumentation (VPD) untuk daftar ke 3-5 kampus (tergantung jumlah kampus yang ingin dicoba dan ketentuan dari kampus itu sendiri) 3,000,000 5. Biaya pendaftaran ke 2 kampus (tergantung kampusnya, beberapa kampus gratis kok, tapi ya ada juga yang bayar) 2,000,000 6. Menterjemahkan beberapa dokumen ke Bahasa Jerman 775,000 7. Biaya bikin paspor baru (elektronik 10 tahun) 650,000 8. Biaya apostille dokumen ijazah dan transkrip nilai S1 (memasuki tahun 2025 harus apostille dokumen akta lahir, SD sampai pendidikan terakhir, jadi pastinya akan lebih mahal) 300,000 9. Dana yang harus disimpan di blocked account tahun 2024 dengan kurs EUR 1 = IDR 17,000 202,368,000 10. Biaya visa nasional 1,330,000 11. Biaya jasa VFS untuk mengurus visa nasional 300,000 12. Beli koper baru ukuran L 30kg 3,000,000 13. Tiket pesawat Jakarta - Berlin / Frankfurt / Munich 15,000,000 TOTAL 257,723,000 Khusus nomor 6 mohon dikerjakan sedini mungkin karena antriannya bisa berbulan-bulan. Biaya di atas juga sudah tidak relevan dengan situasi di 2025 yang memiliki peraturan berbeda. Jangan lupa pula masih ada biaya transfer valas di bank, ongkos perjalanan bolak-balik ke kantor pemerintah dan semacamnya. Jadi seperti yang kukatakan di awal: kurang lebih 300 juta! Anyway , setelah semua hal di atas siap, maka langkah berikutnya adalah mempersiapkan dana untuk bertahan hidup di Jerman. Satu Bulan Pertama di Jerman Ingat bahwa 200 jutamu di awal tersimpan dalam blocked account , dan akun ini baru bisa di- unblock setelah kamu melakukan Anmeldung serta memiliki local tax ID, which takes time to process it in Germany. So it's safe to assume dalam hitungan 2-3 bulan pertama, tabungan 200 jutamu belum bisa diakses dan kamu butuh uang cash . Jadi, berapa uang cash yang sebaiknya kamu siapkan untuk survive 1 bulan pertama di Jerman? Tabel Estimasi Biaya Awal di Jerman (1 Bulan) No. Kebutuhan Biaya (EUR) 1. Biaya kontribusi kuliah per semester (tergantung kampusnya) 100 2. Biaya sewa kos (WG) per bulan 400 3. Biaya deposit untuk WG (sebesar 2x sewa bulanan) dibayar satu kali di awal dan dikembalikan saat mau pindah 800 4. Biaya asuransi kesehatan per bulan 120 5. Biaya konversi visa nasional ke visa student 100 6. Biaya beli SIM card baru 10 7. Biaya internet, televisi dan komunikasi 40 8. Biaya transportasi per bulan 38 9. Biaya makan per bulan (masak di rumah) 120 10. Biaya beli baju thermal tambahan atau kebutuhan lainnya 200 TOTAL 1,928 Jika EUR 1,928 dikonversi ke Rupiah (1 EUR = Rp17.000,-) jumlahnya sekitar IDR 32,776,000 dan ya kurang lebih segitu uang cash yang MINIMAL kamu bawa ke Jerman untuk survive di awal. (Aku sebut minimal karena pengeluaran tiap orang beda-beda.) Bulan-bulan berikutnya, safe to assume bahwa pengeluaran kamu akan berada di angka EUR 800-900 tapi kembali lagi itu semua tergantung dengan cara hidup dan kebutuhan masing-masing. How do I Budget Myself Buat aku pribadi, 900€ itu lebih dari cukup, bahkan seharusnya bisa ditekan sampai 800€. Kosan (WG) aku sudah fully furnished , dan berbagai kekurangan lainnya bisa kuminta dari kakakku di Berlin (misalnya selimut, sprei, bantal, dll.), juga beberapa biaya dibuat patungan bersama anak-anak kos (contohnya biaya listrik, internet dan TV). Tapi berhubung aku baru pindah dan masih tetap harus membeli beberapa barang seperti buku sekolah, baju winter, dll. apalagi kadang aku membuat kesalahan telat bayar karena aku belum familiar dengan bank yang aku pakai di Jerman, alhasil aku sering dapat surat cinta alias surat denda. Hehehe... Mengenai makanan, aku selalu belanja ke supermarket seminggu sekali untuk stok (kurang lebih): Sayur Daging apapun asal murah dan enak Mentega Roti / reiswaffeln Mashed potatoes instant tinggal seduh air Bumbu sachet Sup kaleng untuk makanan darurat Joghurt & kacang-kacangan / sereal Buah-buahan Daerahku tergolong desa Jerman banget. Supermarket Asia itu jaraknya jauh. Jadi kalau aku maksa harus makan menu asia, ya tentu saja mahal. Untungnya aku sudah "dididik" oleh sahabat-sahabat CinemadaMare beberapa tahun yang lalu tentang cara makan orang susah di Eropa 😂 jadi aku nggak pusing lagi mau belanja dan masak apa. Dulu saat aku menjalani CinemadaMare dan tinggal di Itali, aku sering makan salat tuna kaleng, dengan chickpea , sayur, sedikit garam dan olive oil . Buat aku, itu udah enak banget. Di Jerman, aku rada males beli olive oil dan entah kenapa agak susah cari chickpea di sini . Jadi biasanya aku cuma makan plek-ketiplek sosis goreng + salat mentah gitu aja + roti tortilla atau apapun yang tersisa. Kalau lagi iseng, aku tumis bayam pakai pesto. (Empat bulan setelah kepindahan, aku dapat lungsuran rice cooker bekas dari kakakku, jadi akhirnya aku bisa masak beras. Tapi tetep aja karena masak lauk buat nasi itu seringkali full effort, setiap minggu aku suka selingi dengan makanan Barat yang lebih simpel dan murah.) Intinya aku nggak mau menghabiskan waktu terlalu banyak untuk masak dan cuci piring. Karena aku suka segala sesuatu yang praktis, tapi tetap enak. Dan jangan salah, sosis di Jerman itu murah dan enaaakk banget. Sayur salatnya juga tetap segar meski diimpor dari Itali. Buah apel dan jeruknya pun manis dan murah. Jadi meskipun foto makanan di atas terlihat menyedihkan, itu rasanya enak banget kok. Hehe. Budget makanku per hari adalah 5€, dan tentu saja jika kamu ingin makan di luar, uang itu akan habis dalam sekejap! Bayangkan saja, harga döner kebab di pinggir jalan itu mencapai 7-8€ per porsi. Memang sih porsinya gede banget buat ukuran cewek Asia (bisa buat 2x makan). Tapi kan jadi repot kalau harus bagi dua. Sementara makan di kantin kampus (istilahnya Mensa) seharga 3.5-5€ untuk kenyang. Selain itu, semua kebutuhan seperti sepatu, jaket winter , tas, dll. sudah aku cicil sejak lama karena barang-barang ini MAHAL untukku. Kalau beli yang murah, seringkali tidak bisa menahan dingin dan gampang rusak. Jadi mendingan sekalian beli yang bener dari brand-brand terpercaya, khususnya pada saat mereka diskon besar-besaran. Barang-barang winter seperti ini aku cicil beli di China dan di Jepang karena seringkali lebih murah daripada di Jerman. Beberapa brand favorit yang masih masuk di kantong adalah: Uniqlo, Adidas, Salomon, dan Superdry (kalau mahal banget >> belinya di toko pakaian bekas atau saat SALE). Khusus untuk thermal innerwear aku percayakan sepenuhnya pada Uniqlo. Asli, nggak ada tandingan. Jangan deh beli yang merk lokal China meskipun murah. Beda banget. Dan untuk sarung tangan, awalnya aku beli yang ada bahan Gore-tex dari Indonesia buat main ski (jadi tahan salju). Tapi berhubung itu tebel banget dan nggak praktis dalam keseharian (ya iyalah ya?) akhirnya aku beli lagi + dapat beberapa sumbangan dari kakak dan mamaku. Buat kalian yang belum pernah mengalami winter, penting untuk cek ketahanan sarung tangan terhadap cuaca. Nggak semua sarung tangan diciptakan sama, karena ternyata ada sarung tangan yang nggak guna saat suhu mencapai minus. Contohnya seperti di bawah ini: Berbagai jenis sarung tangan Awal kepindahanku ke Jerman, selimut yang aku punya itu nggak tebal sama sekali. Alhasil, kalau tidur malam, pakai celana panjang itu wajib banget biar nggak kedinginan. Tapi, ya tahu sendiri kan, celana panjang suka ngeselin karena sering banget naik-naik ke paha waktu dipakai tidur. LOL. Berhubung selimutku super tipis, dan celana panjangku tidak cocok untuk tidur, mau nggak mau aku cari solusi lain biar tetap nyaman. Akhirnya, aku memutuskan buat beli celana jogging yang ada karet di ujungnya—biar dia tetap "nangkring" di kaki dan nggak naik-naik. Pilihanku jatuh pada brand Uniqlo, karena sekalian waktu itu aku mau beli beberapa baju thermal lagi. Awalnya agak ragu, duh masak beli celana tidur aja sampai 20€, tapi pas barangnya udah dikirim ke rumah dan aku coba, ternyata bener-bener lifesaver! Celananya jadi aku pakai setiap hari, nggak cuma buat tidur, tapi juga buat santai dan kerja di rumah. Di bagian dalamnya ada bahan fleece yang lembut banget—nggak cuma nyaman, tapi juga bikin badan tetap hangat. Kalau kamu lagi cari celana yang nyaman, stylish, and winter-approved , aku sih beneran rekomendasiin celana ini. Worth every penny! HEATTECH Thermo Jogginghose Untuk skincare , terlepas dari kalian laki-laki atau perempuan, dan suka ataupun tidak; wajib hukumnya punya skincare untuk melembabkan kulit. Suhu dan kelembaban udara di Jerman pasti terasa asing untuk kulit orang Indonesia. Sangat normal untuk tiba-tiba kulit pecah-pecah, termasuk bibir. Jadi pastikan kalian bawa atau beli krim pelembab. Aku pribadi pakai Neutrogena Hydroboost Aqua Gel buat muka + Vaseline Petroleum Repairing Jelly buat bibir. Dah tuh, aman banget di kulit dan pas juga di kantong. Untuk peralatan kuliah seperti buku dan alat tulis, aku agak ngeyel untuk tetap bawa dari Indonesia, karena aku punya banyak, masih agak baru dan sayang banget aku tinggal. Di Jerman, barang-barang ini enggak mahal kok. Kecuali lem. Ya, lem ternyata mahal banget :( Untuk barang-barang lain seperti kotak makan, gelas, dll. itu bisa beli di IKEA atau tunggu lungsuran barang bekas orang lain. Kalau lagi diskon, bisa bener-bener gila banget murahnya nggak ngotak. Jadi sebenarnya jangan terlalu khawatir mengenai sisa barang-barang lain yang harus dibeli, nggak mahal kok. Ada opsi Aliexpress juga kalau butuh yang murah meriah. In general, yang bikin Jerman mahal itu biaya tempat tinggal, birokrasi, listrik dan transportasi. Sisanya kurang lebih sama saja dengan Indonesia, bahkan kadang lebih murah. Smart Tips Tips terakhir, yang sebelumnya tidak tertulis dalam post ini dan baru kutambahkan sekarang adalah jurus ninja bagi para MaBa hemat, pantau terus website / aplikasi: KleinAnzeigen https://www.kleinanzeigen.de/ MyUniDays https://www.myunidays.com/ Too Good to Go https://www.toogoodtogo.com/en-us Tiga website ini berguna banget buat hemat beberapa kebutuhan aku di Jerman. Let me explain one by one. Pertama, KleinAnzeigen . Ini adalah website jual beli barang bekas. Tapi menariknya, bisa juga gratis. Di sini istilahnya: zu verschenken. Di beberapa kota besar seperti Berlin, mungkin kamu bisa menemukan barang-barang bekas tergeletak begitu saja di jalanan depan rumah dengan tulisan ZU VERSCHENKEN dan kamu bebas mengambilnya tanpa izin ataupun bayar. Karena basically, benda-benda itu adalah sampah bagi pemilik sebelumnya. Tapi karena jadi bikin sampah di jalanan, muncullah opsi lain secara online melalui aplikasi KleinAnzeigen tadi. Kamu hanya butuh nomor HP Eropa untuk bisa mengaktifkan akun dan langsung bisa browsing barang-barang gratis yang ditawarkan di daerah kotamu. Kemarin aku hoki banget, ketemu mahasiswa yang mau membuang bantal 80 x 80 cm dan selimut duvet tebeeell ukuran 100 x 200 cm. Gila nggak tuh? Merknya nggak main-main pula, lokal tapi oke punya. Cuma ya emang udah bernoda kuning-kuning jijay. But so what lah? Kan bisa disarungin kain baru? Begitu dia posting , aku langsung sikat (soalnya aku pantengin tiap hari) dan gas ke rumahnya buat ambil. Jarak perjalanan 4 km, dan kamu tahu bahwa di awal kepindahanku, aku hanya punya sepeda. Jadi aku siap-siap bawa plastik raksasa dari rumah serta tali buat nanti iket-iket. Bener tebakanku, pas ketemu, orangnya nggak punya bungkus apapun. Jadi aku bungkus sendiri pakai plastik yang aku bawa dari rumah. Udah deh gitu, aku gotong selimut dan bantal naik sepeda sambil kedinginan. Pulangnya semua penemuan ini langsung aku cuci dan jemur di luar. Sayangnya aku bodoh, di luar kan dingin? Bukannya kering, selimut dan bantalku malah tambah basah. Alhasil di hari ke-2 semuanya aku masukin kamar, pasang heater kenceng dan keringin sambil buka jendela biar kamar nggak lembab dan nggak jamuran. Hehe. (Kalau ketahuan landlord aku bisa dimarahin.) Tapi yang penting, sekarang aku punya 3 bantal. Satu bawa dari Indonesia, satu dikirim kakakku, satu lagi nemu di Neu-Ulm. Aku punya selimut tebal (akhirnya!). Dan di hari yang lain, aku juga dapat kotak sabun IKEA, keranjang rotan, koper vintage, dll. Aku cinta barang bekas (yang masih berkualitas)! Dan prosesnya gampang banget kok. Cuma butuh Chatgpt / Google Translator buat bantu chatting , tanya barangnya masih ada atau engga, minta alamat lalu bikin janji ketemu. Kamu nggak perlu repot-repot ngobrol sama orangnya saat ketemu. Kadang percakapan kami hanya sebatas, "Halo, ini barangnya." Lalu kujawab, "Terima kasih, sampai jumpa." Selesai. Kedua, website MyUniDays . Website ini bukan tempat jualan, melainkan tempat mencari kupon diskon untuk belanja online khusus untuk mahasiswa Eropa dan US. Jadi kamu perlu daftar dengan email dari kampusmu. Di dalam website ada berbagai diskon gila-gilaan, misalnya 60% o ff buat beli Samsung, Ralph Lauren, dll. Diskonnya nggak cuma untuk produk fisik, tapi juga produk digital seperti kelas kursus online, buku digital, dll. tergantung ketersediaan. Ketiga, aplikasi Too Good to Go . Nah, ini aplikasi udah lama banget aku denger, tapi karena nggak populer di Asia, jadi baru sekarang bisa coba. Aplikasi ini juga menarik buat kamu yang lagi bosen masak, pengen makan malam di luar tapi murah. Karena dengan aplikasi ini, kamu bisa lihat restoran apa aja yang lagi kerjasama dan menawarkan harga miring untuk makanan (bersih) yang tidak laku terjual di hari itu. Biasanya pick up baru boleh dilakukan jam 7 malam atau 9 malam, dan isinya surprise. Nggak bisa milih. Tapi yang pasti porsinya gede, bisa disimpan buat besok-besok dan harganya berkisar 4-7€ per paket. Tapi sayangnya di daerah aku minim pilihan makanan. Jadi aku cuma pernah pakai aplikasi Too Good to Go ini satu kali, dan kurang puas dengan pilihan makanannya. Udah gitu ambilnya malam-malam banget, udah rada capek. Tidak worth my time. Lebih enak aku masak sendiri. Hehe. Demikian informasi mengenai biaya hidup di Jerman tanpa beasiswa. Semoga membantu dan semoga berhasil!
- Kupas Tuntas Cara Kuliah S2 di Jerman
Kabar baik bagi kalian yang bukan orang kaya, tidak banyak berprestasi, tapi ingin sekali kuliah S2 di luar negeri. Karena apa? Karena kuliah di Jerman pada umumnya GRATIS. Berikut akan aku jabarkan pengalamanku dan bagaimana caranya bisa kuliah gratis di Jerman. Anyway secara garis besar, kalau kamu sudah yakin mau kuliah S2 di Jerman, berikut yang perlu kamu lakukan secara berurut: Cari kampus dan beasiswa di website DAAD. Baca dulu persyaratan Visa Nasional Jerman yang terbaru, karena biasanya mirip-mirip sama syarat kuliah (supaya sekalian prepare semuanya sedini mungkin). Persiapkan paspor yang masih berlaku selama 2-3 tahun ke depan dan masih banyak lembar kosong. Persiapkan apostille ijazah terakhir, transkrip nilai (makan waktu 1 minggu). Terjemahkan semua dokumen berbahasa Indonesia ke Bahasa Jerman lewat penerjemah tersumpah yang diakui Kedutaan Jerman (daftar tahun 2023) dari sekarang karena ini bisa makan waktu 6 bulan! Persiapkan dokumen ANABIN kampusmu (harus entsp rich atau gleichwertig) dan VPD sesuai kampus yang dituju. Persiapkan sertifikat Bahasa Inggris atau Jerman, tergantung persyaratan kampus tujuan. Persiapkan kartu kredit dan dana, karena akan ada banyak hal yang harus dibayar di awal, seperti misalnya biaya VPD, biaya pendaftaran kuliah, dll. Bulan Mei, semua kampus buka pendaftaran untuk winter season. Siapkan semua dokumen supaya bisa segera daftar. Sambil menunggu LoA dari kampus, saatnya mencari tempat tinggal, asuransi dan blocked account untuk keuangan di Jerman nanti. Berapa total estimasi biaya yang diperlukan? Kurang lebih 220 juta (aku bahkan menghabiskan lebih dari itu). Mari kujabarkan prosesnya (menurut pengalamanku di September 2024). Kok Bisa Kuliah Gratis? Setahu aku, Jerman adalah satu-satunya negara yang mengizinkan warga negara manapun untuk mengenyam pendidikan secara gratis di seluruh universitas publik / pemerintah di Jerman. Biasanya negara lain itu pilih-pilih, kayak misalnya cuma warga Eropa yang boleh gratis, atau harus miskin, atau harus berprestasi, dll. Di Jerman, mereka nggak peduli kamu tajir, miskin atau apapun. Pokoknya gratis ya gratis. Dan ini berlaku untuk S1 maupun S2. Tapi tetap ada biaya administrasi ataupun kontribusi ya, dan jumlahnya tergantung dari pihak kampus. Ada yang me wajibkan €70 per semester ada juga yang €150. Semuanya tergantung kebijakan kampus! Dan ingat pula, kata kuncinya adalah universitas publik , bukan swasta (private). Jadi tetap ada universitas di Jerman yang berbayar, yakni swasta. Dan kamu bisa cek semua itu dengan mudah di website DAAD ini (klik linknya). Di website tersebut, kamu bisa filter mau cari S1 atau S2, mau biaya berapa, bahasa pengantar apa, dan jurusan apa. Jadi kamu bisa dengan cepat mengetahui universitas yang pas untuk kebutuhanmu. Catatan: Beberapa negara bagian di Jerman mulai memberlakukan biaya kuliah sekalipun itu adalah universitas publik. Jadi silakan cek lagi dengan kampus yang kamu tuju. Kuliah di Jerman Pakai Bahasa Apa? Kuliah di Jerman tidak selalu berbahasa Jerman. Ada kok S1 dan S2 yang berbahasa Inggris, banyak bahkan! Cumaaann... meskipun bahasa pengantarnya Inggris, seringkali Bahasa Jerman tetap menjadi persyaratan untuk mendaftar kuliah. Gunakan website DAAD tadi untuk mencari yang bahasa pengantarnya Inggris, dan berdoa aja semoga persyaratannya nggak meminta Bahasa Jerman. Tapi kalaupun diminta, pihak kampus biasanya memberikan fasilitas belajar Bahasa Jerman gratis di kampus mulai dari level A1-B1. Jadi jangan buru-buru spend money untuk bayar les di Indonesia!!! Mahal, mendingan kamu baca dulu persyaratan kampus. Dalam kasusku, aku memang sudah bisa Bahasa Inggris. Jadi aku tinggal ambil lagi ujian TOEFL (karena hasil ujian TOEFL itu cuma berlaku selama 2 tahun, dan punyaku yang dulu sudah expired). Maka aku harus merogoh sekitar 3,7 juta untuk ujian lagi TOEFL iBT. Hasil ujian akan kamu dapatkan setelah 1 minggu. Syukur pada Allah, nilai aku 105 dari 120. Jadi bagus banget, dan hasilnya lebih dari cukup untuk kuliah di kebanyakan kampus di Jerman. Kebetulan waktu itu aku memang pengen bisa Bahasa Jerman sebelum tiba di sana, jadi aku ambil les intensif (3 jam per hari) di Kukche Pondok Indah selama 4 bulan. Biayanya sekitar 22,9 juta sudah termasuk 4 buku fisik Studio 21 untuk level A1 dan A2. Kamu bisa ambil les di Goethe Haus Menteng dengan biaya yang sedikit lebih murah, dan akan dapat diskon saat mengambil ujian Goethe. Tapi buat aku waktu itu, Goethe terlalu jauh. Aku bakal mahal di ongkos. Biaya ujian Bahasa Jerman Goethe level A2 sebesar 2,3 juta Rupiah. Again , kalau kamu les bahasa di Goethe, kamu akan mendapatkan diskon. Hasil ujian akan kamu dapatkan secara digital setelah 4 minggu. Tapi waktu itu aku ujian tanggal 24 Juni dan sudah menerima hasil tanggal 5 Juli. Untungnya aku lulus A2 dengan nilai 79 dari 100. Susah Nggak Daftar Kuliah di Jerman? Jujur, untuk aku susah. Yang perlu kamu ketahui juga adalah Jerman sangat menjunjung tinggi pendidikan dan karir yang linear, artinya satu jurusan dan tidak pindah-pindah. Jerman paling nggak suka orang yang S1-nya Ekonomi, tiba-tiba S2 mau ke Teknik. Waduh, nggak bisa. Udah pasti ditolak atau perlu pembuktian lebih lanjut seperti misalnya pernah ambil ausbildung atau pekerjaan yang sejurusan. Dan itupun kemungkinan besar tetap akan ditolak. Bah! Itu adalah hal yang aku alami. Jurusan S1 aku itu "Produksi Film dan Televisi", masuknya ranah seni dan komunikasi. Sementara S2 film di Jerman itu muahal banget, nggak ada yang gratis. Nggak ada beasiswa juga untuk manusia macam aku yang udah usia 30 tahun tanpa prestasi yang wah-wah-wah. Aku nggak punya uang untuk kuliah film di Jerman, dan nggak punya prestasi untuk cari beasiswa. LOL. Jadilah aku mencoba pindah jalur. Awalnya aku coba daftar kuliah Manajemen, berarti kan ranahnya ekonomi yah? Ya kebayang dong, udah pasti aku ditolak berkali-kali? Dan betul, aku gagal pindah jalur ekonomi, gengs. Akhirnya aku cek lagi di DAAD, dan ketemu jurusan komunikasi yang masih cocok sama aku. Nama jurusannya "Communication and Design for Sustainability", di Hochschule Neu-Ulm (HNU). Jadi ini bukan universitas, lebih kayak sekolah tinggi yang mengedepankan praktek ketimbang teori. Tapi gelarnya tetep S2 di Master of Arts. Nah, cocok nih. Sekarang aku ketemu kampus yang kusuka, saatnya mendaftar kan? Eits, tidak semudah itu, Ferguso. Persyaratan pertama yang paling menyebalkan adalah mempersiapkan VPD atau Vorprüfungsdokumentation . Apa itu VPD? VPD adalah "dokumentasi tinjauan awal" yang dirilis oleh Uni-Assist, sebuah badan jasa di luar kampus yang membantu menyetarakan ijazah S1 Indonesia ke dalam standard Jerman. Biaya peninjauan ini tidak murah, dan harganya tergantung dari masing-masing kampus. Website Uni-Assist: https://www.uni-assist.de/en/how-to-apply/plan-your-application/vpd/ Jadi kalau mau kuliah di Jerman, siapkan dulu VPD yang sesuai dengan kampus yang kamu pilih. Misalnya kamu mau kuliah di TU Ilmenau, ya VPDnya harus untuk TU Ilmenau, nggak boleh VPD untuk kampus HNU. Kebanyakan kampus punya syarat seperti itu, tapi pada faktanya aku menemukan beberapa kampus yang juga nggak pusing dan mau terima VPD dari kampus apapun. Jadi kadang-kadang, kamu bisa pakai satu VPD untuk melamar ke beberapa kampus. Nah, VPD ini biayanya berkisar antara €30-70. Lumayan ya, beb? Dan butuh waktu 1-6 minggu untuk diproses oleh Uni-Assist, DAN dokumen ini hanya akan berlaku selama 1 tahun. Habis itu expired . Gila nggak? Maka cepat-cepatlah mempersiapkan VPD di bulan April, karena biasanya bulan Mei semua kampus serentak buka pendaftaran untuk winter season . Dan kalau kamu baru bikin VPD di bulan Mei, wassalam! Kamu bakal nunggu hampir 2 bulan cuma buat dokumen sialan itu karena pihak Uni-Assist pasti lagi kebanjiran order. Dan kamu tahu dokumennya kayak apa? Cuma kayak gini. Bayangkan berapa Euro yang sudah melayang cuma buat aku melamar ke beberapa kampus di Jerman, dan ditolak. Padahal VPD aku isinya sama aja, cuma beda di tulisan nama kampus yang dituju. Jadi cuma untuk perbedaan nama kampus itu, aku harus merogoh kocek ratusan Euro! VPD udah Ready, Terus Apa? Setelah kamu menemukan jurusan yang cocok buat kamu, punya sertifikat Bahasa Inggris / Jerman, VPD juga siap di tangan, langkah berikutnya adalah melengkapi persyaratan kuliah lainnya yang selalu bikin kesel. Antara dia peduli sama jurusan, nilai S1 dan prestasi kamu, ATAU dia peduli banget sama jumlah SKS kamu semasa kuliah. (Belum lagi surat motivasi dan surat-surat lainnya!) Dalam kasusku, Hochschule Neu-Ulm (HNU) mewajibkan calon mahasiswa untuk lulus 210 ECTS. Istilah ECTS di Eropa dan SKS di Indonesia sebenarnya mirip tapi punya hitungan yang berbeda. Kamu bisa pakai kalkulator ini untuk mengecek berapa jumlah ECTS kamu https://oia.feb.ugm.ac.id/credit-transfer-great/ TAPI, ini cara perhitungan SKSnya UGM. Sebenarnya tidak bisa disama-ratakan dengan kampus lain. Aku kan lulusan IKJ, sebenernya beda sama UGM. Tapi paling nggak, bisa aku jadikan acuan referensi. Nah, kampus HNU ini punya syarat tambahan: jika tidak lulus 210 ECTS, maka calon mahasiswa wajib menyertakan bukti kerja selama 6 bulan yang masih 1 jurusan dengan bidangnya. Untungnya aku punya bukti kerja di VICE Media Singapur. Jadi pas banget, udah dalam Bahasa Inggris, nggak perlu diterjemahkan dan aku bisa lolos persyaratan tersebut. Catatan: Penting banget kumpulin surat-surat referensi/rekomendasi, konfirmasi kerja dan surat kontrak dari tempat kamu bekerja! Pastikan juga semua surat ini dalam Bahasa Inggris. Tentu langkah berikutnya adalah upload semua data tadi ke website pendaftaran masing-masing kampus. Kebanyakan kampus punya websitenya sendiri, tapi ada juga yang bisa mendaftar lewat Uni-Assist. Jadi ya kamu baca-baca lagi aja disuruh apa. Hal Apa Lagi Yang Perlu Dipersiapkan? Satu lagi hal penting, yaitu mengecek status universitas dan jurusan lamamu di ANABIN https://anabin.kmk.org/no_cache/filter/institutionen.html Ada beberapa kampus yang membutuhkanmu menyertakan dokumen ini. Jadi intinya ANABIN ini menyimpan seluruh data mengenai kampus-kampus dunia dan statusnya di mata Jerman. Di website ini kamu bisa cek apakah kampus kamu sudah diakui, atau belum sama sekali. Wassalam kalau kampus lo nggak diakui, karena lo akan jadi orang pertama yang harus bayar jutaan Rupiah demi memohon kampus lo diakui oleh ANABIN. Aku nggak tahu prosesnya gimana, tapi aku pernah lihat salah satu anak Indonesia share mengenai hal ini di YouTube. Untungnya, kampus aku masih diakui, meskipun agak-agak dipertanyakan. Jadi aku sertakan 1 dokumen lagi dari website BAN-PT untuk mempertegas bahwa kampus dan jurusanku legit. Dokumen ini nantinya juga akan dibutuhkan saat pengajuan visa, jadi ya better dipersiapkan dari sekarang. Karena kalau ada apa-apa, it always takes MONTHS to get things right. Jadi prepare semuanya sedini mungkin sebelum terlambat. Sudah Daftar Kuliah, Sekarang Apa? Saatnya menunggu kabar dari kampus. Biasanya mereka cuma butuh 1 minggu untuk membalas. Jadi waktu itu cepet banget aku denger kabar ditolak / diterima. Berikut contoh kalau kamu diterima di kampus daerah Bavaria: Aku pikir kalau diterima, bakal ada tulisan ACCEPTED atau apalah gitu ya. Tapi ternyata mereka punya istilah VALID. Lah, aku bingung dong, valid? Apanya yang valid? Pas aku pencet si kata VALID itu, ternyata penjelasannya kurang lebih: dokumen Anda sudah kami cek dan sesuai dengan persyaratan. Saat ini kami akan mengecek apakah kuota masih cukup. Jika masih ada kuota, maka Anda akan segera menerima Surat Penerimaan (Letter of Admission atau LoA). Jadi bisa dilihat pada gambar, di kotak kuning atas itu ada tulisan bahwa di akhir Juni nanti akan ada LoA yang dikirim. Yaudah, seneng dong aku! Tepat tanggal 12 Juni 2024, aku menerima notifikasi lagi bahwa LoA sudah bisa di-download dari website kampus. Isinya seperti ini: Perlu diketahui bahwa Zulassungsbescheid artinya Surat Penerimaan Bersyarat . Jadi aku belum benar-benar diterima di HNU. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah: Memiliki asuransi selama kuliah nanti, dan pihak asuransi wajib mengkonfirmasi kampus secara langsung (meski digital) tanpa melalui perantara. Registrasi ulang tanggal 16 Juli Membayar biaya administrasi sebesar €70 untuk semester pertama Mengumpulkan sertifikat Bahasa Jerman minimal A1 Gila ya? Hahaha... Perjalanan masih panjang! Pada postingan berikutnya aku akan share tips memilih asuransi, blocked account dan persiapan Visa Nasional Jerman hingga memilih tempat tinggal. Ingat kawan, perjalanan masih panjang!
- Kukira ini "Akhirnya"
Satu tahun berlalu sejak tragedi aku gagal menikah, dan nggak lama di bulan Agustus 2024, aku.. pacaran lagi??? Eh? Loh? Kok cepat banget ya? Baru putus dan hancur, kok udah pacaran lagi? Baik, mari saya jelaskan. 😂 Pertama-tama harus aku akui bahwa aku membuat kesalahan. Dan kesalahannya adalah: belum menyelesaikan luka dalam diri. Pada waktu itu, aku sebenarnya masih hancur, dan luka yang terparah adalah trauma "ditinggalkan" oleh orang yang aku sayang. Fear of abandonment bahasa kerennya. Luka ini bukan sembarang luka dan bukan sekadar perih di dada, tapi juga merusak jalan pikirku, di mana ketika ada orang ✨ baik ✨ sedikiiittt aja sama aku, aku jadi langsung baper dan jatuh cinta. Aku, pada saat itu, benar-benar sedang merasa kesepian karena merasa 'ditinggalkan' oleh mantan yang selingkuh. Dan yang lebih gawat lagi adalah, aku bertemu seorang yang juga kesepian dan pas banget kita mengawali pertemuan pertama dengan love bombing . Mari kita sebut namanya Pak Ed. Kenapa “Pak”? Karena dia 9 tahun lebih tua dari aku. Lumayan, kan? Bayangin aja, pas dia kelas 1 SMA, aku baru belajar nyanyi Balonku Ada Lima di sekolah dasar. Jujur aja, aku nggak pernah terbayang untuk pacaran sama orang yang beda usianya sejauh itu. Karena seringkali yang lebih tua merasa si paling tau segalanya. Ujung-ujungnya aku jadi males, karena jadi enggak setara. Dan kalau perasaannya kayak gitu, aku nggak akan bisa melihat orang yang lebih tua sebagai pacar. Jadinya ya kayak ngelihat "bapak-bapak" aja gitu. Nah, bareng Pak Ed, awalnya terasa begitu berbeda. Kisah manis kami berkembang dari obrolan santai soal majalah dan keberangkatanku ke Jerman. Waktu itu dia nanya, "Why leaving so soon?" dan aku jawab, "Karena sudah muak dengan kebusukan Kota Jakarta," dan pada waktu itu memang, alasan terbesarku pergi: untuk meninggalkan sepenggal masa laluku yang kelam. Kebetulan waktu itu aku sedang promosi majalah Wonderwhy —majalah yang kubantu-garap bersama tim hebat dari Unithree. Aku sedang super excited membahas majalah ini ke semua relasiku, termasuk pada Pak Ed. Syukur pada Allah, Pak Ed menyampaikan ketertarikan untuk membeli, terlepas dari alasannya beli karena suka majalahnya atau karena suka sama akunya, yang penting buku ini laku, pikirku. ☺️ Kemudian kami janjian bertemu hari Sabtu di Bar Between the Sips dengan niatku untuk membawakan majalah tersebut. Tapi ternyata surprise! Pak Ed sudah beli dari Tokopedia langsung, jadi aku nggak perlu lagi bawa bukunya. (Suka deh, bapak-bapak gercep kayak gini 😂). Jika kalian juga tertarik beli, silakan klik link Tokopedianya ya. Sabtu itu, aku tiba tepat waktu seperti biasa, tanpa ekspektasi apa-apa. Karena majalahnya sudah ia beli sebelumnya, niatku cuma pengen minum santai dan ngobrol seadanya setelah sekian lama jadi anak rumahan di rumah orang tua. Tapi ternyata, rencana awal berubah karena Pak Ed kena macet plus kecelakaan kecil di jalan. Ia mengabari kalau bakal telat. Alhasil, mampuslah aku sendirian di bar yang masih sepi! Tapi ya sudahlah, aku nggak terlalu peduli. Aku memang datang tanpa ekspektasi, dan kebetulan lagi bosan banget di rumah. Jadi aku coba nikmati saja momen me time itu. Untungnya, bartender di Bar BTS ramah banget! Dia ngajak ngobrol sambil ngejelasin proses bikin minuman-minuman eksperimental mereka. Ada banyak koktail unik di bar ini, dan semuanya bikin aku penasaran. Rasanya seperti pengalaman baru yang seru banget. Sembari asik dengerin si bartender, tiba-tiba Pak Ed muncul, dengan kaos dan celana pendek, terburu-buru masuk sambil tertawa. Dia langsung menyapa bartender dan staf lainnya, bercerita soal pengalaman absurdnya dengan taksi online yang baru saja menyerempet mobil orang. Aku sempat heran, karena dia nggak cuma fokus ke aku, tapi juga kayak ngajak semua orang di bar buat dengerin kisahnya. Dari situ aku nebak, apa mungkin dia tamu reguler di sini? Atau mungkin memang pembawaannya gampang akrab sama orang? Untuk menghargai privasinya, mari kita samarkan wajahnya ya. Setelah selesai menyapa para staf, Pak Ed akhirnya duduk di sampingku. Dengan senyum lebar dia bilang, "Maaf ya lama, kamu jadi nunggu sendirian di sini, bosen ya?" Sementara aku cuma senyum sambil jawab santai, "Enggak kok, aku tadi asik ngobrol sama bartender soal mesin destilasi di sini." Dia langsung menoleh ke bartender dan nyeletuk, "Wah, curang banget, lu nggak pernah jelasin soal mesin itu ke gue!" Bartendernya tertawa renyah, dan akhirnya obrolan kami bertiga ngalir dengan seru. Dari situ aku baru tahu kalau Pak Ed pernah jadi fotografer buat interior Bar BTS saat baru awal dibuka. Pantas aja dia akrab sama staf di sana. Dan hasil fotonya? Bagus. Aku sih suka. Yang awalnya kupikir cuma bakal minum 1-2 gelas, ngobrol sebentar, terus pulang. Eh, ternyata obrolan kami ngalir terus sampai nggak kerasa udah subuh. Selama itu pula, aku udah minum 4 gelas koktail plus 2 shots tanpa merasa mabuk sama sekali. Bayangin, 7 jam ngobrol nonstop! Dan kita berdua bener-bener sober , bisa ngobrolin apapun dari yang remeh sampai rumit. Jarang-jarang aku bisa seperti itu, karena biasanya.. aku pasti tipsy dan ngantuk. Atau mungkin ini akibat terlalu lama kesepian? Anyway, malam itu hampir nggak ada momen canggung atau momen kehabisan obrolan. Semua mengalir dengan natural. Kami saling menimpali dan tertawa tiada henti. Wow, pikirku, sudah lama aku tidak merasakan ini. Ed juga sepertinya tidak menyangka obrolan kami berdua akan seseru itu. Atau mungkin mood -nya sedang bagus? Ada satu hal menarik lagi yang perlu kamu ketahui dari pertemuan malam itu: sebenarnya aku belum tau usia Pak Ed yang ternyata terpaut jauh banget sama aku. Waktu itu, aku sama sekali nggak kepikiran buat nanya umur, karena suasana ngobrol kami terlalu asik. Dan, judging dari penampilannya yang kasual, aku kira dia masih berumur 32 tahun. Sampai akhirnya, di tengah-tengah obrolan, aku merasa sudah terlalu sotoy dengan banyaknya saran yang kuberikan pada Ed. Akhirnya aku beranikan diri bertanya, "Kamu kelahiran tahun '90 kan?" "Hahaha... Jauh banget." Ed tertawa terbahak-bahak, "Kamu kira aku umur berapa?" "Loh, bukannya Ed masih 32 tahun?" "Aku lahir '85. Aku udah 39 tahun." "HAH? Serius???" Ed tertawa terpingkal-pingkal. "Maaf banget, aku sok tahu. Yawla, daritadi aku ngobrolnya sok akrab banget pula. Maaf ya kalau kurang ajar. Malu banget!!!" 😭 Wajahku memerah, agak malu tapi sudah terlanjur, "Jadi aku panggil kamu 'Pak atau 'Kak ini?" "Panggil Om sekalian!" Sejak itulah nama Ed menjadi 'Pak Ed', dan bukan om—soalnya aku juga jijik manggil dia om. Dan jika kalian tidak sengaja bertemu dengan orangnya langsung, kalian juga pasti tidak akan menyangka bahwa usianya sekarang sudah 40 tahun. Wajah dan gaya berpakaiannya tidak menunjukkan perangai bapak-bapak sama sekali. Tapi nanti jika kalian bicara, dan melihat bagaimana ia berpikir dan bersikap, kalian akan sadar bahwa Pak Ed memang sudah bapak-bapak, apalagi kalau dia mulai mengeluh sakit pinggang. 😭 "Kamu kedinginan ya? Mau keluar dulu aja?" tanya Ed padaku. Kulihat, Ed sangat perhatian selama kami ngobrol, khas bapak-bapak. Dia peka ketika aku terus-menerus menggosok tanganku karena kedinginan. (Maklum, malam itu aku naik ojek online dan sempat kehujanan. Jadi sepatuku agak basah dan aku jadi nggak kuat sama AC bar yang dingin banget.) Berkali-kali ia menawarkan keluar, tapi kutolak karena sungkan. Setelah berjam-jam kedinginan, akhirnya diriku tergerak juga diajak. "Ngobrol di luar yuk? Tinggalin aja minumannya, nggak apa," kata Ed seraya memanggil bartender, "Eh, bro, gue keluar dulu ya. Minumannya gua tinggal!" Di luar bar, udara Jakarta malam itu terasa panas dan lembap. Jalanan masih cukup padat. Aku mulai tergelitik ingin tahu lebih jauh tentang kehidupan Ed. Lucunya, Pak Ed justru bertanya, "Boleh aku cerita dari aku lahir?" "Dari lahir banget nih?" "Iya dong, aku pengen kamu denger kisah lengkapnya." At that point, mungkin Ed sudah setengah mabuk. Soalnya kalau sekarang ditanya lagi kenapa dia ngomong begitu, dia pasti bakal ngakak sambil bilang, "Iya juga ya, kenapa aku tanya gitu? Buat apa coba? Bikin malu aja." Tapi malam itu, aku biarkan saja Ed yang setengah mabuk bercerita lengkap tentang kehidupannya—dari lahir sampai hari di mana dia ngobrol denganku di BTS. Ceritanya panjang, penuh lika-liku. Dari sana, aku jadi mengerti bahwa Ed pun telah melalui banyak tragedi yang membentuknya menjadi ‘Ed’ yang aku lihat hari ini. Dan aku senang ia bisa menceritakan itu dengan gembira riang di pinggir parkiran, sebelum akhirnya aku harus pamit karena malam sudah terlalu larut (sudah jam 2 pagi, bro, bisa dibunuh nyokap gue kalau nggak pulang). Dan lagi-lagi Pak Ed membuat hatiku luluh hanya dengan sentuhan kecil lewat kata-kata yang manis, "Maaf ya mobil aku masih di bengkel. Aku anterin kamu pulang naik taksi online aja ya." "Hah? Gimana, Pak? Gimana itu konsepnya?" Aku seneng banget mendengar beliau berkenan mengantar pulang, tapi masalahnya rumahku jauh banget dan itu akan membuat Ed bolak-balik wasting time & money di jam sesubuh ini. Padahal besok kita semua punya kegiatan masing-masing, kan? "Jangan nolak ya. Ini udah subuh, jam 2 pagi. Rumahmu jauh pula, makin nggak tenang aku biarin kamu pulang sendiri." "Aku lebih nggak tenang lagi kamu ikut aku, kamu jadi tau rumahku di mana." >> Caecilia being sober. "Yaudah kamu yang pesen taksi onlinenya. Turunin aku sebelum nyampe rumahmu juga nggak apa, yang penting udah deket biar aman." WOW. Gila nggak tuh 'bapack-bapack' vibe -nya? 😂 Benar-benar sosok pelindung bertanggung jawab yang selama ini kucari (di orang yang salah). Oh Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan Pak Ed, pikirku waktu itu. Akhirnya memang aku pulang ditemenin dia dan kita NONSTOP ngobrol sepanjang jalan sampai aku nyampe di rumah, sampai bosen kali tuh driver dengerin kita ngoceh. 🔶🔶🔶 Wahai pembaca budiman, ceritanya belum selesai sampai di sini, izinkan aku menjelaskan lebih jauh tentang kekagumanku pada pria ini yang meskipun pada akhirnya, hubungan kami tak berlangsung lama. Kisah kami berdua kemudian berlanjut dengan penuh warna, dan tentu saja drama. Berhubung Ed tahu aku akan segera terbang ke Jerman dan waktu kami hanya tersisa satu bulan. Ed, kemudian berusaha mempercepat banyak hal yang normalnya terjadi dalam kurun waktu 1 tahun. Dia langsung mengenalkanku pada sahabat-sahabat dekatnya, orang tuanya, adiknya, termasuk bikin sejuta rencana jalan-jalan mulai dari Bandung, Bogor, Surabaya, hingga Bali. Meskipun, tentu saja, nggak semuanya berhasil terlaksana karena ada saja halang-rintang yang terjadi di tengah jalan. Jalan-jalan ke Lembang bersama Gin. Saat itu, keluargaku mulai menegur dan mengkritik keputusanku untuk dekat dengan Ed. Katanya terlalu cepat, dan mereka khawatir hal ini bisa mengganggu kuliahku di Jerman. Di sisi lain, mantanku kembali menghantui dengan segala drama stalking, spamming, dll. Tidak hanya itu, tiba-tiba muncul nomor asing yang mengirimkan pesan misterius, memperingatkanku untuk berhati-hati dengan Ed, karena katanya, orangnya tidak sesuai dengan apa yang kita lihat. Bayangin aja, aku baru akrab sama Ed beberapa minggu, eh tiba-tiba dapat pesan misterius yang nyuruh aku waspada. Gimana enggak panik coba? Gimana kalau ternyata dia... nggak lebih baik dari mantanku yang kemarin? Atau jangan-jangan pesan itu muncul dari mantanku? Tapi kok dia kenal Ed? Makin membingungkanlah drama sinetron ini. Aku coba telepon nomor asing itu, tapi dia menolak jawab. Aku chat dan tanya dia ini siapa, tapi jawabannya nggak jelas. Dia bilang kurang lebih, "Cuma mau nolongin sesama, Sis. Ed itu 🐍 (ular)," dan kemudian nomorku diblokir. Berasa 'sinetron' banget nggak tuh? Pak Ed sendiri tidak bisa menerka sosok tersebut. Tapi di hadapan sahabat-sahabat (dan business partner) Pak Ed, mereka bilang ke aku untuk, "Tenang aja, Cil. Seumur-umur gue temenan sama Ed dari zaman kuliah, Ed orang paling baik yang selalu mendahulukan orang lain dibanding dirinya sendiri. Jangan percaya sama chat nggak jelas kayak gitu. Banyak orang freak di luar sana. Dulu mantan gue sama mantan suami gue juga freak kok, bahkan sampai berani chat bos kantor supaya kami dipecat." Setelah mendengar kisah lengkap sahabatnya Ed yang di- stalk sama mantan sampai PARAH banget, aku dan Ed cuma bisa senyum. Ternyata cerita kami berdua nggak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Hehe... Tapi tetap aja, sejak saat itu, tiap kali aku keluar rumah, rasanya jadi was-was sendiri. Takut diikutin sama mantanku (soalnya dia seringkali chat dan ngasih tau lokasiku) dan juga takut Ed bukanlah orang yang tepat untukku. Dan karena aku tambah parno, aku mulai ganti semua password , mengurangi jejak di WhatsApp, dan rajin cek satu per satu software di HP, laptop, dan semua perangkat elektronik lainnya. Dikarenakan terlalu banyaknya drama yang terjadi selama 1 bulan sebelum aku berangkat ke Jerman, akhirnya aku dan Ed bicara cukup panjang dan serius mengenai hubungan kita. Waktu itu, aku sampai pada satu keputusan bahwa aku nggak siap untuk berkomitmen dengannya. Aku berharap Ed bisa mengerti posisiku, bahwa aku baru saja lepas dari hubungan yang penuh kekonyolan, dan aku nggak mau jatuh ke lubang yang sama. Jadi, aku bilang dengan tegas kalau saat itu kami hanya bisa berteman saja —sampai suatu hari nanti, ketika aku benar-benar tahu apa yang aku mau. Dan enggak ada yang bisa garansi aku bakal jatuh cinta sepenuhnya sama Ed. Jadi aku mempersilakan dia untuk mundur. Aku tetap tidak mau memberikan kepastian di tengah hidupku yang penuh dengan ketidakpastian. "I want to believe that you are a kind person, and I think you deserve someone kind. Seseorang yang sudah selesai dengan masa lalunya, dan itu bukan aku." Itu kata-kata yang berkali-kali kusampaikan pada Pak Ed. Tentunya ucapanku—sesopan apapun aku berusaha, tetap terdengar menyakitkan untuk orang yang sedang memperjuangkanku. Berkali-kali kami menangis di telepon maupun saat bertemu. Gimana yah? Aku berharap Ed nyerah aja, tapi dia nggak mau mundur. Aku juga bingung, masak harus aku jahatin dulu, biar dia mundur? Posisiku sebenarnya sudah tidak ada rasa untuk mantan, hanya saja hidupku saat itu masih rumit dan berantakan. Aku belum siap berkomitmen lagi, apalagi Pak Ed sudah masuk ke pembahasan pernikahan. Karena ini jadi rumit sekali, makanya aku terima bahwa kesalahan terbesar ada padaku. Salahku membahas Jerman, majalah Wonderwhy dan menemui Ed malam itu. Namun tentu saja, semesta punya caranya sendiri untuk memberi warna. Terlepas dari siapa yang salah, hubungan kami lanjut semakin erat dan jadi pacar, hingga ke Jerman. 🔶🔶🔶 Tulisan ini awalnya kuposting beberapa bulan lalu, saat hubungan kami sedang hangat-hangatnya. Dan ada beberapa bagian yang ingin kupertahankan sebagai bahan refleksi, karena ternyata.. ending -nya menyakitkan. Ini tulisanku yang asli saat itu: "Beliau benar-benar.. orang baik. Nggak minta aku bikin keputusan apapun atau do anything specifically. Jujur aja, aku sempat takut. Takut jika hubungan ini kuladeni, aku jadi nggak fokus kuliah, nggak berteman, dan kembali ke siklus yang sama di mana aku akan sangat bergantung pada pacar, clingy, lalu perlahan cowoknya mulai bosan, sibuk, aku mulai merasa kesepian, dan kemudian si cowok mundur perlahan tapi tidak memberikan kepastian. Aku pikir hubunganku dengan Ed akan sama seperti masa laluku. Tapi ternyata, enggak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku dewasa bersama dengan orang yang juga sudah dewasa. Rasanya seperti 'setara'. Hubungan kami tidak lagi meledak-ledak seperti anak remaja. Tidak ada cerita cemburu-cemburu konyol, ataupun perdebatan yang tidak ada ujung. Berbeda pendapat itu pasti, tapi semuanya bisa disampaikan dengan lembut dan penuh akal sehat. Ed bahkan sering mendorongku untuk keluar dari kamar, "Main gih sama temen-temen kamu. Aku senang setiap kali kamu keluar kamar, pasti kamu bawa pulang cerita seru." Dan ya, benar saja, saat aku pulang, Ed sudah standby untuk mendengarkan kisah-kisah tololku. Berbanding terbalik dengan yang biasanya aku alami, di mana mantanku juga bisa bersikap seolah-olah suportif—mendorongku keluar—meski sebenarnya ia hanya ingin sendirian. Padahal, dia juga bisa jujur dan aku nggak masalah dengan itu; tapi entah kenapa banyak orang memang lebih nyaman berbohong atas dalih, "Ini semua aku lakukan demi kamu!" Atau kadang pula kebalikannya. Aku dibuat merasa bersalah ketika aku harus sibuk bekerja. Ucapan klasik mantan-mantan seperti ini biasanya, "Kamu sibuk terus, giliran aku mau main sama temen malah dilarang!" 😅 Haha... Aku paling sebel sama orang yang hobi nge- twist alias gaslighting. Padahal jelas-jelas dia yang bikin perkara. Ini contoh hubungan tidak sehat: sengaja cari celah buat nyalahin pasangan, alih-alih cari solusi di tengah. Untungnya Pak Ed, berbeda. Dia nggak pernah bikin aku merasa kesepian, sekalipun kita berbeda timezone 6 jam antara Jerman dan Indonesia. Dia nggak marah-marah kalau aku bilang aku nggak bisa janjian tanggal xx karena kuliah dan kerjaanku masih seabrek. Demikian pula denganku. Kalau Pak Ed sibuk, ya udah nggak apa. Kalau Pak Ed mendadak ada urusan, ya yaudah nggak apa. Life happens every second. Nggak masuk akal maksain orang untuk available 24/7. Ngobrol aja lah kalau ada apa-apa. Hidup jujur tuh enak banget sebenernya. Ketika kedua pasangan bisa saling jujur dengan nyaman, dan tanpa ada rasa takut, hubungannya jadi sehat banget. BTW, jujur itu bukan berarti kasar mengeluarkan semua yang kita pikirkan lewat mulut. Kita bisa kok jujur tapi tetap sopan dan tidak menghina orang lain. Atur kata yang baik, bicara pelan dan lembut, sampaikan pemikiran dengan etika. Untungnya dengan Pak Ed, bisa." Saat baru berpisah dari Ed, aku enggak sanggup membaca tulisanku sendiri. Karena semua yang aku tulis di atas, nyatanya berubah. Ed, ternyata sama saja dengan mantan yang aku ceritakan. Setelah kurang lebih 3 bulan menjalani Long-Distance-Relationship (LDR), Ed perlahan berubah. Mulai marah karena aku enggak punya waktu untuk kita berdua, padahal setiap hari kita chatting + video call, dan aku sudah bilang berkali-kali aku sedang burn out menjalani kuliah-kerja. Tapi tetap saja aku yang salah dan dia lash out kemarahannya sesuka hati. Yang kukira segala hal bisa dibicarakan baik-baik, nyatanya enggak bisa. Setiap kali aku minta evaluasi hubungan, Ed butuh waktu menyendiri dulu dan kemudian akan kembali dengan solusi menurut dia sendiri. Tidak ada diskusi. Dia jalanin semau dia sendiri, yang bahkan dia enggak tahu dia bisa jalanin atau enggak. Pada akhirnya ada banyak janji yang tidak bisa ia tepati. Yang tadinya sangat perhatian, selalu ada di saat aku butuh, seperti misalnya awal-awal kami LDR, ketika aku masih sering menangisi mantanku malam-malam. (Bukan karena masih cinta, tapi karena masih terasa sakit hati dikhianati orang yang tadinya aku percaya akan menjadi suami sampai mati.) Pak Ed—yang sedang tertidur di sleep call karena perbedaan timezone tadi, bisa bangun dan langsung tanya, "Kamu kenapa?" padahal suara nangis aku pelan banget. Tapi sekarang? Hmm... Boro-boro deh. Sleep Call. Pertengkaran yang awalnya remeh soal aku sibuk enggak bisa kencan, mulai membesar dan melebar ke masalah lain. Sialnya, waktu itu Pak Ed sudah beli tiket ke Jerman untuk menghabiskan libur musim dingin bersamaku selama 29 hari. Perjalanan yang aku pikir, mungkin, bisa menjadi obat atas hubungan LDR kami, ternyata jadi mimpi buruk. Persiapan visa Ed saja sudah menguras energiku, lantaran orangnya sibuk terus, enggak tau kenapa dan ada apa. Diajak bikin itinerary kayak ogah-ogahan. Padahal ini kan liburan? Kok enggak bahagia merencanakan kencan bersama pacar yang sudah lama tidak ia lihat secara langsung? Saat itu aku mulai merasa kesepian dan tidak dihargai lagi. Sama ketika aku bersama mantanku. Aku memberikan usaha luar biasa, menata perjalanan Jerman ini sedemikian rupa agar biayanya efektif, enggak kemahalan, dan enggak terlalu padat sampai bikin capek. Aku hapalkan semua kebiasaan dan kesukaan Pak Ed, dan itinerary perjalanan ini benar-benar aku buat untuk membuatnya senang. Aku atur tempat-tempat yang dia suka, bahkan tanpa memikirkan diriku sendiri mau apa. Tahu balasan dia apa? "Eh, sorry aku enggak bisa banyak nolong urusan visa." Lah? Nolong? Yang punya visa siapa ya? Ibarat kata lu yang punya hajatan, lu minta tolong gue bantu organisir vendor, tempat, catering, dll. dan yaudah gue bantuin dengan tulus, terus tiba-tiba lu ngomong, "Sorry, enggak bisa bantu banyak." Lah gimana? Gua jadi bingung yang punya hajatan lu apa gua? Waktu itu aku bilang langsung ke dia saking kesalnya, "Ed, ini visa kamu loh. Ini kamu yang mau ke Jerman, bukan aku. Kenapa jadi seolah-olah aku yang punya urusan dan kamu nolongin aku? Jangan dibolak-balik dong. Aku yang nolongin kamu biar urusan visa kamu lancar tanpa masalah." Aku berharap dia akan mengerti dan berubah, tapi nyatanya enggak sih. Hehe... Waktu itu aku pikir, karena Ed yang mengeluarkan uang paling banyak, mungkin aku enggak berhak meminta lebih. Ikuti saja yang dia mau. Jadi yaudahlah, yang bikin dia senang, juga akan membuatku senang. Demikian janjiku pada diriku, saat itu, yang kupegang teguh hingga akhir kepulangannya ke Indonesia di bulan Maret silam. Dan kalian mau tahu kenapa hubungan kami akhirnya kandas? 🥹🥹🥹 Gongnya terjadi saat Ed akhirnya tiba di Jerman. Setelah semua perjuanganku membantu mengurus visa sampai enggak tidur dan kuliah+kerjaan jadi agak terganggu, Ed muncul di hadapanku biasa-biasa saja. Matanya berbinar melihat Jerman, bukan melihatku. Dia bawa bunga dari Jakarta hingga ke Jerman, dan yang dia pusingin lebih ke bunganya yang layu ketimbang senyumku. Dia pusing bagaimana cara menyimpan bunga itu agar tidak pernah mati, alih-alih fokus pada pacarnya yang sudah lama tidak ia nikmati(?) Hari demi hari di Jerman kulalui dengan bersabar, menantikan ia menepati janji-janji untuk diskusi yang tertunda saat masih LDR, tapi Ed nampak lebih sibuk bernostalgia, mengenang masa lalunya saat kuliah di luar negeri, ketimbang menikmati 'hari ini' dan bicara denganku. Pikirannya ke mana-mana dan ucapanku tak lagi berarti. Sekadar menyarankan naik bus yang mana pun berubah menjadi kompetisi, padahal Ed tahu betul bahwa aku yang warga lokal di sini. Tapi buat Ed, entahlah, seperti sebuah penghinaan jika aku selangkah lebih maju daripadanya. Bahkan ketika aku menegurnya tentang cara memilah sampah (yang lagi-lagi ia masih salah), Ed balik menyerang dan ngambek. Ed—yang entah kenapa tidak lagi semanis dan seperhatian saat di Bar BTS—berubah menjadi sosok yang paling aku takutkan. Aku enggak bisa lagi lihat Ed sebagai sosok bapak-bapak usia 39 menuju 40 tahun. Di depan mataku, dia kayak anak SMA yang baru pertama kali pacaran dengan ego setinggi langit. Malam itu aku sudah enggak tahan. Dan Ed being Ed, tentu tidak paham atau mungkin menolak paham. Lama akhirnya baru kusadari bahwa Ed juga sama seperti mantanku, insecure dan avoidant . Entah apa yang membuatnya insecure padaku, atau mungkin tidak ada urusannya denganku. Pokoknya, malam itu akhirnya aku beranikan untuk speak up . Berharap Ed akan menanggapi seperti dulu, ketika ia masih sayang padaku. Nyatanya enggak. Ed—sama seperti mantanku—mereka berdua berhenti mencintaiku ketika sudah berhasil 'mendapatkanku'. Atau mungkin memang tidak pernah mencintaiku sebagai aku. Mungkin selama ini yang mereka cintai adalah fantasi akan Caecil yang mereka ciptakan sendiri. Entahlah, hanya mereka yang tahu. Yang pasti, perjalanan kami jadi anyep, dan sialnya, masih harus dijalani. Pada suatu waktu ketika kami akhirnya kembali ke kosan, aku sudah enggak tahan banget dan sontak menangis. Menangis sejadi-jadinya. Menangis kembali mengingat rasa sakit ditinggalkan. Kamu tahu, 'ditinggalkan' tidak harus diartikan secara harfiah. Seperti silent treatment , tapi tidak sepenuhnya silent. Misalnya mereka mau membicarakan hal yang menyenangkan, tapi shut down ketika kamu membahas rasa sakit hatimu. Mereka pura-pura bodoh ketika kamu berusaha menanyakan alasan mereka menjahatimu. Buatku, itu pun serasa 'ditinggalkan'. Dan kamu tahu apa yang Ed lakukan ketika ia melihatku menangis setelah sekian lama berusaha tegar tanpa air mata? Ini yang dia katakan: "Aku rasa kamu butuh waktu sendiri," lalu dia berdiri dan pergi. Itu adalah hal yang paling menyakitkan, yang juga (kurang lebih) dilakukan oleh mantanku, yang juga sudah berkali-kali kuceritakan pada Ed, berharap ia mau mengerti, betapa menyanyatnya kata-kata itu untukku. Betapa aku benci, ketika ada pasangan yang sedang bersedih, lalu kita memutuskan untuk pergi meninggalkan. Padahal sebaliknya, ketika ia menangis, sekesal apapun hatiku, sesakit apapun kata-katanya melukaiku, aku tetap hadir dan memeluknya, menenangkannya hingga ia berhenti menangis. Tak pernah kutinggalkan orang ini sedemikian buruknya. Akhirnya, karena perasaan kesalku sudah tak terbendung lagi, keluarlah kata-kata kasar, "Enggak sekalian pulang ke Indonesia, Ed? Ngapain kamu masih ada di sini? Aku sudah enggak butuh lihat wajahmu lagi. Jangan nanggung-nanggung kalau mau pergi." 🔶🔶🔶 Kamu tahu, lama untukku menyadari bahwa orang yang insecure dan avoidant adalah kombo yang paling menakutkan. Bayangkan saja, mereka mengaku cinta, tapi juga takut pada cinta. Otak mereka shut down di saat mereka merasa terdesak. Alih-alih menjadi pasangan yang penyayang, tubuh mereka reflek ingin kabur dan lari sejauh mungkin dengan cara apapun. Dan semua itu terjadi tanpa perlu berpikir panjang. Kita diam, mereka diam. Kita bicara, mereka tertekan. Kita marah, mereka melawan. Kita nangis, mereka lari. Bagiku, aku sudah memberikan Ed dan mantanku ratusan kesempatan untuk bicara baik-baik, yang sayangnya selalu ditampik dan diabaikan. Jadi kalau akhirnya aku pun frustasi dan emosi, tidakkah itu merupakan reaksi yang sangat manusiawi? Kalau mereka tidak suka aku marah-marah, ya selesaikan dong masalahnya dari awal, dari saat masalah ini masih kecil dan masih bisa dibicarakan baik-baik. Kenapa dari kemarin diam saja, lalu sekarang balik menyalahkan emosiku yang manusiawi? 😅 Gara-gara alur komunikasi insecure-avoidant ini yang hobi deflect dan gaslight , masalah sepele tentang perlakuan buruk mereka jadi (seolah-olah) rumit dan menjadi salahku juga. Akhirnya yang dibahas malah 'kesalahanku' yang mereka buat-buat sendiri. Sementara 'kesalahan' mereka gimana? Ya kita puter-puterin aja tanpa pernah beneran disentuh. Pada akhirnya at some point, aku usir Pak Ed beneran dari kosanku secara baik-baik dan kita putus. Aku memutuskan untuk tetap jadi orang baik yang menghargai kedatangannya ke Jerman. Tapi sialnya, kebaikanku dianggap sebagai = everything is fine. So I had to draw a clear line. Terpaksa, orang ini aku blokir. Percuma hubungan kayak gini dilanjutkan. 🥹
- Annyeong, Jowoona!
Di suatu Sabtu yang damai di bulan Maret, tepatnya jam 2 siang waktu Jerman, aku berkenalan dengan seorang perempuan Indonesia bernama samaran Jo. Dia enggak mau kasih lihat muka ataupun bicara terlalu detail mengenai identitas dirinya, dan buatku, enggak apa-apa juga sih. Aku memang membuka sesi Deep Talk dengan siapapun pada saat itu, dimulai dari tanggal 4-16 Maret 2025, dan Jo adalah salah satu yang mendaftar. Tentunya, tidak semua sesi berlangsung lancar dan seru. Ada kalanya membosankan, ada kalanya menegangkan, dan ada kalanya, aku bertemu orang seperti Jo, yang sangat seru dan jenaka. Hari demi hari berlalu sejak 2 jam kita ngobrol tentang dirinya dan permasalahan hidupnya. Tiba-tiba Jo muncul di Threads aku dengan sebuah postingan blog yang menceritakan pengalaman kita saat itu. Isinya, buatku, sangat menyentuh. Aku menitikkan air mata saat membacanya, lantaran aku bahagia, bersyukur pertemuanku dengan beberapa orang bisa menjadi berkah dan juga memberikanku kebahagiaan dalam prosesnya. Jadi postingan ini, sengaja kutulis untuk Jo termanis. Sengaja, untuk reply isi blog kamu yang sama manisnya. Meskipun kamu enggak minta. Hehe. Kamu ada tulis bagian ini: Di pertemuan ini aku masih dalam ketidakjelasan tentang hidup ku, sementara kamu tahu apa yang kamu mau. Di pertemuan ini aku masih bingung dari 2 wilayah mana yang mau di tuju, sementara kamu mantap tentang tenggat waktu. Di pertemuan ini semua sikap gamangku terasa sangat nyata, tentang tidak percaya diri, sementara kamu begitu hebatnya menetapkan posisi. Di pertemuan ini aku sangat terbaca dalam percakapan 2 jamku, sementara kamu, aku tidak sering mendengar tentang kepribadian mu dan masalahmu. Di pertemuan ini aku banyak belajar tentang diriku, sementara kamu, semoga tidak mual mendengar ucapanku. Dan di pertemuan ini aku sangat bersyukur itu terjadi. Sementara kamu, aku tak tahu.. hehehe. And here's my reply to that: Jo, sangatlah wajar jika (akhirnya) aku tahu apa yang aku mau. Tahukah kamu bahwa usiaku jauh di atasmu? Hehe... Bulan Mei 2025 ini aku akan ulang tahun ke-31. Aku telah melewati banyak hal indah dan pahit, dan oleh karena itu aku mulai tahu apa yang ingin kuhindari dan apa yang lebih masuk akal untuk kukejar. Usiaku sudah tergolong dewasa dan layak disebut matang, dan dalam usia ini tantangannya semakin mengerikan. Aku tidak bisa lagi mencari pekerjaan selucu yang aku mau seperti saat aku masih 20an. Banyak perusahaan mengernyitkan dahi ketika mereka tahu aku melamar untuk posisi fresh-grad. Mereka bilang aku over-qualified . Ya, tentu saja over-qualified, tapi aku tidak punya pilihan. Apa lagi yang bisa aku lakukan saat ekonomi global sedang terguncang, dan banyak sekali perusahaan yang layoff dan tidak mampu lagi menggaji seseorang dengan layak? Perusahaan tempat aku bekerja sebelumnya pun sudah bangkrut dan cabut dari Indonesia. Dan oleh karena itu aku (setengah) terpaksa kabur ke Jerman, mengambil jalur S2 untuk memantaskan diriku agar lebih layak berkompetisi dengan top talent dunia, memantaskan diriku agar tak perlu lagi bersaing di kolam fresh-grad yang memang seharusnya tidak kuselami. Aku tetap manusia, sepertimu, kadang kalau punya momen tidak percaya diri dan gamang. Hanya saja, karena usia dan pengalamanku yang sudah dar-der-dor, memang aku sedikit lebih cepat dalam mengendalikan pemikiran dan kegalauanku, dibandingkan aku yang masih berusia 20an dulu. Jadi jangan khawatir, kita semua punya timeline kita masing-masing. Dan hingga nanti kita usia 50 pun, ketidakpercayaan diri akan tetap datang dan pergi. Itu normal, dan sangatlah manusiawi. Asal kamu tahu, aku sebenarnya pun takut menghadapi kemungkinan buruk dalam masa depanku. Bayangkan, hidup bergantung pada tabungan, dan hingga kini belum juga aku mendapatkan pekerjaan yang layak. Bagaimana jika aku tetap tidak punya pekerjaan hingga tabunganku nanti habis? Tapi, di situlah akalku harus bermain. Kenapa berpikir seburuk itu? Kenapa takut tidak punya pekerjaan? Aku membantu memantapkan diriku setiap kali jatuh dengan kata-kata, "Hey, Cil! Sejak kapan kamu berbakat jadi pengangguran? Kapan, dalam hidupmu, kamu nganggur? Seingatku, kalaupun hidup sedang sulit, kamu pasti punya ide-ide unik untuk mengatasi masalahnya. Entah dengan berbisnis, ganti pekerjaan, atau apapun. Kamu enggak pernah nyerah dan complain tentang itu. Kamu punya banyak keahlian untuk dijual. Jadi kenapa takut?" Dan ya kemudian aku bangun aja gitu dari kegelapan yang menyelimutiku, "Lah, ya iya juga yak. Segoblok apa sih gue sampai enggak bisa kerja di manapun?" Dan tentu saja, dua jam tidak akan cukup untuk kita bertukar banyak informasi. Hari itu, aku tahu, kamu adalah prioritas. Aku ingin kita fokus pada masalahmu dan mencari ketenangan untuk hatimu dulu, karena masalahmu terdengar lebih besar daripadaku. Tentu aku tidak mual, kan aku yang bikin acara Deep Talk-nya? Hehe. Dan kini kamu pun tahu kan, kalau aku bahagia bisa berkenalan dan membaca tulisanmu? Seperti yang kukatakan, kamu lucu dan tulisanmu bagus sekali! ☺️☺️☺️ Aku berharap kamu bisa bertumbuh dan berdamai dengan dirimu sendiri. Menerima apa yang menjadi anugerah Tuhan, baik itu kekurangan maupun kelebihan, menjadi bagian yang netral dalam dirimu. Like I said, hidup ini kompleks sehingga setiap hal bisa dilihat dari dua sisi. Enggak selalu yang kita bilang kelemahan = buruk. Kadang mereka bisa menjadi penolong di momen yang kita butuhkan. Mungkin contohnya dalam hidupku... banyak orang bilang sifatku yang outspoken = galak! Tapi kamu tahu enggak, di dalam pekerjaan dan persahabatanku dengan orang Eropa, sifat outspoken -ku = firm, transparant & trustworthy. Aku malah sering dibilang masih kurang outspoken di antara mereka, padahal di Indonesia aku disuruh tekan sifat itu mati-matian. Hahaha... Lucu kan hidup ini? Ya coba berpikir dalam berbagai cara yang baru aja. Mungkin kadang, yang perlu diperbaiki bukan diri kita, tapi lingkungannya. Tapi kadang juga, mungkin lingkungannya sudah baik, tapi kitanya yang kurang bisa memposisikan diri. Trial and error deh, dicoba aja dulu, nanti lama-lama kamu akan tahu apa yang paling tepat untuk dirimu. Dan karena kamu kasih aku lagu Taylor Swift, ini aku reply pakai lagu kesukaanku ya. Menurut ChatGPT, artinya ini: "Shout Baby" oleh Ryokuoushoku Shakai Lirik lagu yang ditulis oleh vokalis utama dan gitaris Haruko Nagaya, mengangkat tema keraguan diri dan keinginan untuk transformasi pribadi. Dia merenungkan perasaan ketidakcukupan dan keinginan tak henti-hentinya untuk berubah, meskipun dihadapkan dengan masa depan yang penuh tantangan.
- Kunci Sukses Pindah ke Luar Negeri
Aku lahir di keluarga menengah-atas. Mampu secara finansial, tidak ada tanggungan, dan tidak ada tunggakan apapun yang harus kuselesaikan. Aku dilahirkan dengan kebebasan untuk sekolah dan mengejar cita-cita. Fakta itu mungkin membuat banyak orang akan berkata, "Yah, kamu kan privileged, tentu jalanmu lebih mudah untuk bisa ke luar negeri." Betul, dan aku tidak akan menyangkal itu. Tapi itu adalah hidupku, yang sebenarnya tidak ada hubungannya denganmu. Apakah lantas, orang yang tidak ber- privilege lalu tidak bisa pindah ke luar negeri? Nggak, kan? Sebenarnya ber- privilege atau tidak, tidak menjadi kunci utama dalam keberhasilan seseorang pindah ke luar negeri. Jadi apakah kamu mau tahu kunci suksesnya? Di bawah ini adalah tiga kunci utama, yang akan aku jelaskan satu-persatu setelahnya. Berhenti tanya teman. Berhenti merendah. Daripada banyak omong, mending kerjain. 1. Berhenti Tanya Teman Kadang aku suka bingung sama orang-orang yang percaya banget apa kata temen. Padahal temennya bukan petugas embassy , bukan staf universitas, bukan yang punya perusahaan, dst. Padahal jelas-jelas temennya juga bingung, kok malah percaya? Aku kasih saran yang bantu hidupku lancar sampai hari ini: kalau bingung, tanya orang yang nggak bingung. Kalau mau pintar, tanya orang pintar. Kalau mau sukses, tanya orang sukses. Jangan sebaliknya. Kalau nggak tahu siapa orang-orang yang bisa kamu andalkan, tanya ChatGPT atau DeepSeek. Biarkan mesin-mesin AI ini membantu kamu mensortir informasi di seluruh dunia untuk memberikan kamu petunjuk. Setelah itu petunjuknya tinggal kamu cek / coba cari tahu di Google untuk tahu valid atau enggaknya. Contoh, kamu nggak tahu caranya mempersiapkan dokumen apostille, ya coba baca-baca dulu FAQ website AHU, coba telepon staff AHU atau datang langsung ke kantornya biar jelas. Jangan tanya temen yang nggak pernah bikin apostille. Malah makin tersesat nanti. DAN, YANG NGGAK KALAH PENTING! Stop nanya mulu. Google dulu kenapa sih? Coba baca-baca dulu kek website -nya atau apa gitu. Dikit-dikit nanya, segitu malesnya kah cari informasi sendiri? 😭😭😭 2. Berhenti Merendah Seringkali orang-orang yang bertanya padaku, datang dengan pemikiran bahwa mereka 'kurang' dari yang lain. Istilahnya 'mentalitas korban', sebuah pola pikir di mana seseorang selalu merasa menjadi korban keadaan, orang lain, atau lingkungan, bahkan ketika mereka sebenarnya memiliki kendali atas situasi tersebut. Orang dengan mentalitas ini cenderung menyalahkan faktor eksternal atas kegagalan atau kesulitan mereka, alih-alih mencari solusi atau bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Seringkali kudengar ucapan seperti ini: Aku nggak jago Bahasa Jerman (padahal banyak orang pindah ke Jerman tanpa kemampuan bahasa dan fine-fine aja). Aku nggak datang dari keluarga mampu (padahal ada banyak beasiswa dan umumnya pendidikan di Jerman gratis). Aku pasti nggak bisa (padahal belum coba). Gimana mau sukses, kalau kepercayaanmu terhadap dirimu sendiri serendah itu? Padahal kamu belum coba. Kamu belum baca persyaratannya, kamu belum cari lowongan kerja atau ausbildung atau universitasnya. Kamu belum usaha mati-matian. Kamu belum ngapa-ngapain! Bagaimana bisa kamu tahu hasilnya pasti gagal? 😂 Apakah kamu cenayang? Peramal masa depankah? Kalau kamu segitu percayanya akan gagal, terus ngapain masih nanya kunci sukses ke luar negeri? 3. Daripada Banyak Omong, Mending Kerjain Kadang-kadang orang yang aku temuin itu banyak alasan kayak, "Soalnya aku masih xxx," atau, "Ya soalnya aku nggak tahu." atau apapun itulah. Pokoknya banyak banget alasan. Padahal udah dikasih solusi, tinggal dikerjain. Katanya mau ke luar negeri kan? Ya pilih dong negara yang mana. Google dong negara tujuannya. Cek dong biaya hidupnya (bisa di Google ataupun ChatGPT). Cek dong persyaratan visanya. Cek dong lowongan kerjanya (bisa di Linkedin, dll. bebas yang penting cek ombak dulu). Cek dong universitas atau tempat ausbildung -nya. Belajar dong bahasanya. Bikin dong planning & deadline supaya persiapan ini bener-bener dijalanin, bukan cuma dipikirin. Banyak orang ngguuuoomooonggg mulu tapi aksinya nol. Persiapan juga nol. Ya kapan mau pindah ke luar negeri kalau cara kerjanya cuma omong kosong? 4. Tambahan Ini nih kesalahan yang selalu dilakukan orang-orang yang mau ke luar negeri: belajar bahasa dulu. Keluar duit jutaan buat les bahasa dan sertifikasi. Padahal belum baca syarat kampus yang diinginkan apa. Kalau mau sukses ke luar negeri, baca dulu semua persyaratannya, mulai dari visa, kerjaan / kuliah, dll. Jangan langsung-langsung memutuskan sendiri dan keluar biaya puluhan juta untuk hal yang siapa tahu ternyata tidak perlu. Jika uangmu terbatas, ada baiknya membuat strategi yang matang dulu. Tapi kalau kamu memang secara finansial berkelimpahan, ya monggo kalau gitu terserah deh mau apa. Kesalahan umum berikutnya adalah cuma mengandalkan informasi dari EduFair. Waduh, kalian tahu nggak bahwa universitas dan sekolah tinggi di dunia ini ada BANYAAAK banget! Nggak mungkin semuanya muncul di EduFair di Indonesia. Sayang banget kalau kalian membatasi informasi hanya dari EduFair. Tentu saja sekolah yang bisa hadir di situ cuma sekolah-sekolah besar dan ternama yang memang punya agenda merekrut mahasiswa Indonesia. Balik lagi ke gol kalian ke LN ini buat apa? Apakah harus diwujudkan dengan masuk ke universitas ternama, atau sebenarnya kuliah di manapun enggak masalah asalkan jurusannya cocok? Jangan takut mengenai, "Kalau kampusnya enggak ternama, nanti susah cari kerjaan?" karena cara berpikir kayak gitu cuma lumrah di Asia. Di Eropa, seperti Jerman, asal kampus enggak terlalu dipermasalahkan sampai segitunya. Yang lebih diutamakan tetap pengalaman dan kemampuan kerja. Dan jangan salah, kampus-kampus Jerman yang enggak ternama itu, kualitasnya tetap di atas rata-rata. Jadi sebenarnya enggak apa-apa juga masuk ke sana. Sekian deh, ada lagi yang menurutmu perlu ditambahkan?
- Wisata Alam Pet-Friendly di Jungle Milk Lembang
Salah satu wishlist aku sebelum cabut ke Jerman adalah membawa Gin Gin, anjingku yang lahir di Bali untuk jalan-jalan ke alam bebas. Maklum, kami berdua kangen banget kebebasan yang dulu kami miliki di Bali, yang kini tak lagi bisa kami nikmati di Jakarta. Beruntung, ada Pak Ed baik hati yang mau membawa kami jalan-jalan ke Jungle Milk, Lembang, Bandung. Tempatnya masih fresh banget, dingin, penuh dengan pepohonan Pinus, kuda, sapi, monyet liar, bebek, angsa, ayam dan anjing-anjing lain juga hehehe. Ini adalah tempat sempurna bagi kalian yang ingin liburan bersama doggy-doggy kesayangan, khususnya anjing ukuran besar karena tempatnya seluas dan se-eksklusif itu. Bebas dari keramaian, jalan raya, kebisingan kota, maupun kucing-kucing liar. Wisata Alam di Lembang Boleh Bawa Hewan Peliharaan! Ini adalah poin penting setiap kali aku jalan-jalan jauh: apakah akomodasinya bisa pet-friendly? Kebetulan anjing Bali aku ukurannya medium (11 kg). Nggak bisa diajak cantik-cantikan lantaran hobinya keliling lapangan dengan kecepatan lari sampai 30 km/jam. Jadi aku pasti coret tuh opsi-opsi penginapan yang furniturnya cantik dengan pilihan café-café tertutup, karena udah pasti anjingku nggak suka. Kebetulan, Jungle Milk memenuhi semua check list yang aku butuhkan! Anjing boleh off-leash ✔️ Lapangan luas ✔️ Tidak ada kucing ✔️ Jauh dari jalan raya ✔️ Tempatnya nyaman dan bersih ✔️ Harganya masuk akal ✔️ Akses perjalanan mudah ✔️ Kebetulan aku udah pernah ke Jungle Milk hanya untuk piknik (tidak menginap), jadi aku udah survey lokasi dan langsung jatuh hati sama tempat ini. Kuda-kuda yang dipelihara di sini dilepas dengan bebas bisa lari-lari dan makan rumput sesuka mereka. Ada kesan magical saat melihat kuda-kuda itu lewat. Anjingku, Gin juga mukanya sumringah banget langsung lari-lari di lapangan, dan aku bisa dengan tenang membiarkannya off-leash karena nggak ada kucing, mobil, ataupun orang-orang yang (mungkin) akan terganggu dan mengganggu anjingku. Tempatnya juga relatif sepi karena luas banget dan hanya bisa diakses dengan booking minimal H-1 . Jadi sangat aman untuk meninggalkan barang sembarangan, terutama anjing kesayangan kita, sambil mamak-mamak ini istirahat menikmati sejuknya udara Lembang. Kegiatan yang bisa dilakukan di sini antara lain: piknik cantik (dengan props tenda gemesh), mengendarai ATV dan berkuda. Tentunya karena area ini adalah hutan, maka akan ada banyak serangga dan monyet liar yang sesekali datang minta makan. Sebaiknya jangan diberi makan ya, karena kalian akan diserbu puluhan monyet kelaparan setelah itu. Akomodasi Aku pilih paket glamping yang paling cocok buat aku yaitu Glamping "Rinjani Couple" seharga Rp1.000.000,00 per malam untuk 2 pax di hari Rabu. Paket ini sudah termasuk breakfast , minum, makanan ringan, kompor gas dan api unggun. Jadi kita tinggal bawa peralatan masak dan bahan makanan dari rumah. Tidak ada kulkas, jadi kalau mau yang dingin, bawa cooler box sendiri. Toilet sharing dengan penghuni "Rinjani Family". Tapi kalau nggak ada yang nginep, jadi serasa private , dan di toilet ada air hangat. Overall stay? Pilihan Glamping Happy banget!!! Sangat puas dengan pelayanan, fasilitas dan tempatnya yang sesuai ekspektasiku! Siangnya panas, tapi begitu matahari terbenam, langsung dingin menusuk sanubari dan staff sigap 24 jam menyediakan segala kebutuhan. Bagi kalian yang kurang suka glamping , masih ada opsi rumah kayu atau bahkan camping yang beneran camping . Harganya start from 190rb hingga 3,5 jutaan per malam tergantung jenis akomodasi. Semuanya bisa dicek langsung lewat Whatsapp Jungle Milk di +62 821‑1696‑7759 Sebaiknya Bawa Apa? Bagi kalian yang tertarik membawa doggy ke sini dan wisata alam di Lembang sepertiku, berikut list barang yang aku sarankan agar holiday kalian super nyaman: For the Dogs Harness / collar (warna kontras supaya kelihatan di antara pepohonan dan tanah) Leash buat jalan (panjang sekitar 1-2m) Long leash buat latihan sebelum off-leash or whatever (up to 10m) Karabiner buat bantu iket-iket leash di tiang atau pohon saat diperlukan Poop bag (penting nggak penting sih soalnya banyak eek kuda sembarangan juga di jalan) Food bowl lipat Drinking bottle yang bisa sekalian jadi tempat minum Asupan dry & wet food secukupnya sesuai berat badan dan jumlah hari Dog snack buat training bisa dibeli di Tokopedia Gin to Gin Tentu saja tissue basah dan tissue kering Handuk jika butuh mandi di lokasi, in case kehujanan atau kena lumpur Jas hujan anjing bisa dibeli di Tokopedia Gin to Gin Kasur & mungkin selimut (jika anjingnya butuh) karena malamnya dingin banget For the Hoomans Pagi-siang = baju yang adem karena panas Sore-malem = baju winter, kaos kaki, sarung tangan, asli dingin banget Sepatu hiking seperti Salomon Sandal jepit Peralatan masak seperti panci, penggorengan, pisau, penjepit makanan, dll. BTW boleh pinjam piring, mangkuk dan alat makan dari Jungle Milk gratis Air 5L buat minum dan masak sekalian Bahan makanan untuk dimasak 3x makan (siang, malam dan besok siangnya lagi) Marshmallow + tusuk sate seru banget ternyata buat dibakar saat api unggun Cooler box seru sih, biar bisa bawa jus, daging, buah, sayur, dll. Buku, film, apapun untuk mengisi waktu luang Handuk dan peralatan mandi lainnya Lotion nyamuk, tapi jujur aja nggak terlalu kepakai sih karena kami pakai celana panjang dan jaket terus Yang agak nggak penting dibawa adalah senter, speaker segede gaban dan laptop karena dilarang keras berisik dan TIDAK ADA SINYAL ya, gengs. Berbahagialah kalian yang pakai Telkomsel karena Indosat, XL dan provider lainnya setengah mati untuk dapat sinyal. Jadi kalau mau menginap di Jungle Milk, siap-siap nggak bisa balas chat siapapun, nggak bisa update Instagram dan nggak bisa bawa kerjaan. Harus benar-benar siap liburan. Wisata alam bersama anabul di Lembang Akses Masuk ke Jungle Milk Kabar baik bagi kalian yang pakai mobil sedan, karena Pak Ed sudah membuktikan bahwa tempat ini bisa dikunjungi dengan Mercedes Benz jadulnya! Tapi tetap harus jago nyetir ya, soalnya jalanan bertanah, berbatu dan kadang licin lumpur dengan kemiringan yang masih terbilang masuk akal. Tidak terlalu parah. Tapi tetap lebih enak kalau mobilnya memang didesain untuk jalanan off-road . Lokasi Jungle Milk sendiri terletak di dalam kawasan wisata Cikole, Jayagiri dan dikenakan biaya masuk Rp5.000,00 per orang dan Rp10.000,00 per mobil. Lokasinya dekat dengan Orchid Forest Cikole yang terkenal cantik itu. Lokasi lebih tepatnya di sini https://g.co/kgs/yiBa4tm Jika berminat menginap, silakan Whatsapp Jungle Milk untuk booking di +62 821‑1696‑7759















